Kalimat “wali” memiliki banyak makna. Yang paling penting dari makna tersebut sebagai berikut.
A. Pengayom
B. Sahabat
C. Penolong dan penyokong
Kendati masing-masing dari tiga makna ini benar terkait dengan Baginda Ali As, akan tetapi dengan memperhatikan beberapa riwayat yang disebutkan dalam masalah ini yang dimaksud dengan redaksi kalimat ini pada azan adalah makna yang pertama; artinya Ali [adalah] wali, pengayom, pertama dan terutama dalam masalah khilafah dan wilâyah ini merupakan delegasi dari Tuhan kepadanya sebagaimana pada makna “Muhammadan Rasulullah” yaitu Muhammad merupakan rasul yang diangkat dari sisi Tuhan.
Namun mengucapkan teks ‘Aliyyan Waliyullah merupakan bagian dari azan ataukah bukan? Jawabannya adalah berdasarkan riwayat Ahlulbait dan fatwa fukaha Syiah. Azan terdiri dari 18 kalimat yang kalimat “Asyhâdu anna ‘Aliyyan Waliyullâh” tidak termasuk dari bagian azan ini dan tidak boleh diniatkan sebagai bagian dari azan.
Untuk menjawab pertanyaan ini secara seksama kami akan membaginya menjadi tiga bagian pertanyaan. Kemudian sesuai runutan bagian tersebut, kami akan menjawab pertanyaan tersebut.
1. Apakah dasar penyebutan “Ali Waliyullah” itu benar adanya atau merupakan ucapan yang keliru dan batil?
2. Apabila benar adanya apakah kalimat ini merupakan bagian dari azan atau tidak?
3. Apabila tidak termasuk bagian dari azan apakah penyebutannya tanpa disertai niat (bagian) dari azan tidak dibolehkan?
Untuk menjawab bagian pertama pertanyaan kiranya kita harus membedah makna dan pengertian kalimat “wali”.
Makna Wali
Kalimat wali memiliki ragam makna yang akan kita singgung makna yang lebih penting dari makna-makna yang ada.
A. Wali bermakna pengayom dan penanggung jawab, sebagaimana pada banyak ayat al-Qur’an digunakan dengan makna ini seperti: Tidak ada bagimu selain dari-Nya seorang penolong pun dan tidak (pula) seorang pemberi syafaat (QS. Al-Sajdah [32]:4)
B. Bermakna sahabat atau kawan[1] yang juga disebutkan dalam al-Qur’an dengan makna ini seperti: Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia terdapat permusuhan seolah-olah telah menjadi kawan (wali) yang sangat setia (QS. Al-Fushshilat [41]:34)
C. Bermakna penolong dan pembantu.[2] Dalam al-Qur’an dinyatakan, Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong (wali) bagi sebagian yang lain (QS. Al-Taubah [9]:71)
Tak syak lagi, tiga makna yang dikemukakan di atas tidak ada masalah dalam penggunaan redaksi “Wali Allah” bagi orang-orang beriman pada makna kedua dan ketiga (kawan dan penolong). Bahkan pada sebagian riwayat Ahlusunnah dan Syiah juga disebutkan dengan makna sedemikian.[3]
Adapun terkait dengan makna pertama, harus dikatakan bahwa sebagian riwayat yang disebutkan menyatakan bahwa Ali adalah wali, pengayom, lebih utama dalam urusan wilâyah sebagaimana kedudukan Rasulullah Saw. Akan tetapi ‘Ali Waliyullah bermakna Ali diangkat oleh Allah Swt untuk menduduki makam wilâyah dan pengayom umat sebagaimana disebutkan Muhammad Rasulullah dalam azan yang bermakna bahwa Muhammad adalah seorang rasul yang diangkat oleh Allah Swt.
Adapun pertanyaan kedua apakah penyebutan “Ali Waliyullah” merupakan bagian dari azan atau tidak?
Berdasarkan sebagian riwayat Ahlulbait, azan terdiri dari 18 kalimat. Kalimat-kalimat tersebut adalah sebagai berikut:
Allahu Akbar… Allahu Akbar… Allahu Akbar… Allahu Akbar
Asyhadu an lâ ilâha illallâh… Asyhadu an lâ ilâha illallâh
Asyhadu anna Muhammadan Rasûlullah… Asyahadu anna Muhammadan Rasûlullah…
Hayya ‘ala al-Shalat… Hayya ‘ala al-Shalat…
Hayya ‘ala al-Falah… Hayya ‘ala al-Falah…
Hayya ‘ala Khair al-‘Amal… Hayya ‘ala Khair al-‘Amal…
Allahu Akbar... Allahu Akbar.. lâ ilâha illallah… lâ ilaha illallah [4]
Dengan demikian kalimat “Asyhadu Anna ‘Aliyyan Waliyullah” yaitu kesaksian ketiga tidak termasuk bagian dari azan. Fukaha Syiah juga, berdasarkan riwayat semacam ini, memberikan fatwa bahwa kalimat ini bukan merupakan bagian dari azan. Imam Khomeini Ra dalam hal ini berkata, “Azan terdiri dari delapan belas kalimat. Kalimat Allahu Akbar empat kali. Asyhadu an lâ ilâha illallah… Asyhadu anna Muhammadan Rasûlullah…Hayya ‘ala al-Shalat… Hayya ‘ala al-Falah… Hayya ‘ala Khair al-‘Amal… Allahu Akbar… lâ ilâha illallah… masing-masing dua kali. Kemudian Imam Khomeini mengimbuhkan bahwa kalimat “Asyhadu anna ‘Aliyyan Waliyullah” bukan bagian dari azan dan ikamah. [5]
Selanjutnya, apakah penyebutan “Asyhadu Anna ‘Aliyyan WaliyulLah” membatalkan azan ataukah tidak?
Jelas bahas penyebutan syahadah ketiga dengan meniatkannya sebagai bagian dari azan (atau ikamah) bermasalah secara hukum. Sebagian berkata bahwa tidak ada masalah apabila disampaikan tidak serupa dengan kalimat-kalimat azan dan ikamah.[6] Puncak syubhat yang dapat dikemukakan di sini boleh jadi tambahan tersebut disebut sebagai bid’ah.
Akan tetapi, dengan memperhatikan poin ini bahwa dalam makna bid’ah yang disebutkan adalah memasukkan sesuatu dalam agama yang tidak bersumber dari agama,[7] maka jika ada seseorang memandang syahadah ini sebagai bagian dari azan dan menyampaikannya dalam azan maka ia telah melakukan perbuatan bid’ah dan haram. Namun, tidak satu pun fukaha Syiah yang memandang kalimat ini sebagai bagian dari azan. Dan, apabila disebutkan dalam azan yang tidak serupa dengan kalimat-kalimat azan dan ikamah, maka hal ini bukanlah bid’ah dan sama sekali tidak ada masalah.
Di samping itu, dalam teks-teks riwayat, kita menjumpai riwayat yang menandaskan bahwa tatkala Anda menyampaikan kesaksian terhadap risalah Rasulullah maka Anda juga harus menyampaikan kesaksian kepada wilâyah Amirul Mukminin Ali As.
Bagaimanapun, sebab pernyataan para fakih Syiah yang membolehkan penyebutan syahadah ketiga ini tanpa diniatkan sebagai bagian dari azan adalah riwayat-riwayat yang menyebutkan secara mutlak: “Ketika Anda menyampaikan syahadah kepada tauhid dan risalah, Anda juga harus menyampaikan syahadah kepada wilâyah Ali bin Abi Thalib As dan riwayat-riwayat seperti itu bersifat mutlak, tidak muqayyad, maka ia juga termasuk dalam azan baik pada azan dan ikamah juga pada selain azan dan iqamah. Karena itu, ketika kesaksian terhadap tauhid dan risalah Rasulullah Saw disampaikan, maka kesaksian kepada wilâyah Ali bin Abi Thalib juga telah disampaikan dan hal ini tidak bermakna bagian dari azan.
Demikian juga terdapat sebagian riwayat khusus yang menegaskan syahadah ketiga pada azan.[8] Karena itu, tidak ada masalah dalam hal penyebutan kalimat ’Aliyyan Waliyullah pada azan dan talqin mayat, dengan memperhatikan kedudukan, derajat dan maqam Ali bin Abi Thalib As[9] bila dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah (qurbah) atau tayammum dan tabarruk (keduanya bermakna mengambil berkah) dan lain sebagainya (selain menganggapnya sebagai bagian).
Disebutkan bahwa banyak ulama Ahlusunnah menyatakan bahwa kalimat “al-shalat khair min al-naum” bukan bagian dari azan dan merupakan kreasi di antara kreasi-kreasi Khalifah Kedua.
Dinukil dari Malik bahwa muazin datang kepada Umar bin Khaththab untuk mengabarkannya tentang shalat subuh. Namun ia mendapati Umar sedang tidur. Ia berkata, “al-shalatu khairun min al-naum” (shalat lebih baik daripada tidur). Umar memerintahkan muazin tersebut untuk memasukkan kalimat ini pada azan.[10]
Pertanyaan yang mengedepan adalah atas dasar apa pengulangan kalimat ini yang dilakukan oleh Ahlusunnah dalam azan Subuh mereka? Apakah hal ini dapat dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh Syiah (ketika mengucapkan syahadah ketiga, kesaksian atas wilayah Ali) yang justru mendapatkan penegasan banyak riwayat. [IQuest]
[1] Abul Hasan Ali bin Muhammad Thabari Kiya Harasi, Ahkam al-Qur’ân, jil. 3, hal. 83, Dar al-Kitab al-‘Ilmiyah, Beirut, 1405 H.
[2] Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, jil. 15, hal. 407, Dar Shadir, Beirut, Cetakan Ketiga, 1414 H.
[3] Abdurrahman bin Muhammad ibn Abi Hatim, Tafsir al-Qur’ân al-Azhim (Ibnu Abi Hatim), jil. 2, hal. 675, Maktabat Nizar Musthafa al-Baz, Cetakan Ketiga, 1419 H.
[4] Syaikh Shaduq, Man Lâ Yahdhuruh al-Faqih, jil. 1, hal. 289-291, Jamiah al-Mudarrisin, Qum, 1413 H.
اللَّهُ أَکْبَرُ اللَّهُ أَکْبَرُ اللَّهُ أَکْبَرُ اللَّهُ أَکْبَرُ
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً رَسُولُ اللَّهِ
حَیَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَیَّ عَلَى الصَّلَاةِ
حَیَّ عَلَى الْفَلَاحِ حَیَّ عَلَى الْفَلَاحِ
حَیَّ عَلَى خَیْرِ الْعَمَلِ حَیَّ عَلَى خَیْرِ الْعَمَلِ
اللَّهُ أَکْبَرُ اللَّهُ أَکْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
[7] Husain bin Muhammad, Raghib Isfahani, al-Mufradât fi Gharib al-Qur’ân, hal. 111, Dar al-‘Ilm al-Dar al-Syamiyyah, Cetakan Pertama, 1412 H.
[8] Terkait dengan hal ini, silahkan lihat: “Syahadah Ketiga dalam Azan, Ikamah dan Shalat”.
[9] Untuk memperoleh keterangan lebih jauh terkait dengan hal ini, silahkan lihat indeks yang terdapat pada site ini: Penetapan Imam Ali As, Pertanyaan No. 1162; Al-Qur’an dan Imamah Imam Ali, Pertanyaan No. 1817.
[10] Malik, Muwattha, jil. 1, hal. 210, Site al-Islam, http://www.al-islam.com