Keunggulan dan kelebihutamaan ilmu para imam dibanding para nabi banyak ditegaskan dalam beberapa riwayat. Dalil pokoknya adalah kesatuan cahaya batin para imam dan Rasulullah Saw dan karena Rasulullah Saw lebih utama dari seluruh nabi maka ilmu para imam juga yang berasal dari sumber yang satu lebih utama dari seluruh nabi. Di samping itu, keunggulan jenis manusia ketimbang para malaikat merupakan suatu hal yang pasti di tengah kaum Muslimin. Karena itu, bahwa para imam memiliki derajat dan maqam yang lebih tinggi daripada para malaikat sama sekali bukan suatu hal yang mustahil.
Ucapan Imam Khomeini ini diadopsi dari beberapa hadis yang dinukil dalam kitab-kitab riwayat yang muktabar. Di antaranya dari, “Imam Shadiq As yang bersabda, “Sesungguhnya kami memiliki rahasia dari rahasia-rahasia Ilahi dan ilmu dari ilmu-ilmu Ilahi, yang tidak dapat diterima oleh para malaikat muqarrab juga para nabi yang diutus (mursal) dan juga oleh orang-orang beriman yang telah teruji keimanannya. Demi Allah! Allah tidak pernah menugaskan seorang pun atas hal tersebut selain kami dan tidak seorang pun selain kami yang (dapat) menyembah Tuhan melalui ilmu tersebut.[1]
Dengan demikian, masalah keunggulan dan kelebihutamaan ilmu dan derajat para imam harus dikaji melalui riwayat-riwayat seperti ini dan ucapan-ucapan ulama Syiah yang bersandar pada riwayat-riwayat semacam ini.
Sebelum membahas masalah kedudukan-kedudukan imamah perlu kiranya kita ingatkan bahwa kelebihutamaan jenis manusia atas para malaikat termasuk sebagai hal yang diterima secara umum oleh kaum Muslimin. Karena itu, bahwa para imam memiliki derajat dan maqam lebih tinggi dan lebih unggul dari malaikat bukanlah suatu hal yang mustahil. Akan tetapi keunggulan para imam atas para nabi juga dapat ditetapkan melalui beberapa sisi dan tidak bertentangan dengan salah satu prinsip Islam.
Mengenal maqam-maqam ini erat kaitannya dengan hakikat maknawi Islam yang tidak boleh diabaikan begitu saja oleh setiap Muslim dan setiap Muslim harus memiliki makrifat yang benar terhadap masalah ini.
Untuk menetapkan klaim ini kami akan tunjukkan dalam beberapa poin berikut ini:
Pertama, empat belas maksum merupakan satu hakikat tunggal dan dengan kata lain, bersumber dari cahaya yang satu. Kesatuan cahaya Ahlulbait ini banyak disebutkan secara tegas dan jelas dalam riwayat-riwayat, namun terkadang disebutkan dengan redaksi lima orang Âli Abâ dan pada kesempatan lain disebutkan seluruh maksum.
Sebagai contoh, riwayat berikut ini dapat dijadikan sebagai contoh jenis pertama dan kedua:
A. Hadis ini merupakan salah satu hadis mikraj yang disampaikan Allah Swt kepada Rasulullah Saw, “Wahai Muhammad! Aku menciptakanmu dan Aku menciptakan Ali, Fatimah, Hasan dan Husain dari cahaya-Ku. Dan wilâyahmu Aku bentangkan atas penghuni langit dan bumi. Maka barangsiapa yang menerimanya maka ia termasuk sebagai orang-orang beriman di sisi-Ku. Dan barang siapa yang mengingkarinya maka ia tergolong sebagai orang kafir di sisi-Ku. Wahai Muhammad! Apabila salah seorang hamba-Ku sedemikian beribadah kepada-Ku sehingga raganya remuk dan hancur kemudian ia datang kepada-Ku namun mengingkari wilâyah-Mu maka sekali-kali Aku tidak akan mengampuni-Nya sehingga ia mendekat kepada wilâyah-Mu. [2]
B. “Wahai Muhammad! Sesungguhnya Aku Aku menciptakan Ali, Fatimah, Hasan dan Husain serta para imam dari cahaya yang satu. Kemudian aku bentangkan wilâyah mereka atas penghuni langit dan bumi. Maka barangsiapa yang menerimanya maka ia termasuk sebagai orang-orang yang dekat (di sisi-Ku). Dan barang siapa yang mengingkarinya maka ia tergolong sebagai orang kafir (di sisi-Ku). Wahai Muhammad! Apabila salah seorang hamba-Ku sedemikian beribadah kepada-Ku sehingga raganya remuk dan hancur kemudian ia datang kepada-Ku dalam keadaan mengingkari wilâyah mereka maka Aku akan masukkan ia keadalam neraka.”[3] Dalam riwayat juga ini dinyatakan secara tegas tentang cahaya yang satu.
Kedua, seluruh Ahlulbait As adalah pemilik maqam wilâyah.[4] Hal itu bermakna bahwa mereka adalah para khalifah Rasulullah Saw di samping fungsi-fungsi sosial dan juga memikul tanggung jawab menjawab seluruh persoalan-persoalan hukum agama. Mereka adalah orang-orang yang telah membangun dirinya dan maksum yang memiliki penetrasi gaib atas alam dan manusia. Sesuai dengan izin Tuhan, mereka mengawasi ruh-ruh dan hati-hati manusia serta memiliki penguasaan takwini atas mereka. Allamah Thabathabai Ra terkait dengan masalah ini berkata, “Maqam imâmah adalah sejenis wilâyah atas seluruh perbuatan manusia dari sisi esoterik yang senantiasa disertai petunjuk dan petunjuk di sini bermakna menyampaikan seseorang kepada tujuan bukan semata-mata memandu dan menunjukkan jalan yang merupakan pekerjaan para nabi, para rasul dan bahkan tugas secara umum kaum Mukminin melalui jalan nasihat dan wejangan serta dakwah manusia kepada Tuhan.[5]
Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa wilâyah terdiri dari dua jenis: Wilâyah tasyri’i dan wilâyah takwini.
Wilâyah tasyri’i bermakna hak penetapan syariat dan hukum merupakan hak eksklusif Allah Swt dan bahkan Rasulullah Saw sekali pun tidak memiliki hak seperti ini.[6] Beliau hanya merupakan mundzir, mubasyyir, muballigh dan mubayyin hukum-hukum agama.[7]
Wilâyah takwini bermakna kemampuan dan kudrat jiwa untuk mengatur alam semesta sesuai dengan izin takwini Allah Swt. Dengan kata lain, pemiliki wilâyah takwini, sesuai dengan tekadnya dapat menciptakan sesuatu sebagaimana Tuhan di alam luaran.
Atas dasar ini, seluruh mukjizat dan keramat yang dimiliki para wali Tuhan adalah melalui wilâyah takwini yang mereka miliki. Dan dapat dikatakan bahwa mukjizat perbuatan[8] seperti, syaqq al-qamar (membelah bulan),[9] syaqq al-syajar (membelah pohon)[10] yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. Syaqq al-ardh (membela bumi)[11] dan syaqq al-bahr (membelah laut)[12] dalam kisah Qarun dan Fir’aun yang didemonstrasikan oleh Nabi Musa As. Syaqq al-Jabal (membelah gunung)[13] yang dipraktikan oleh Nabi Shaleh As. Menyembuhkan lepra dan kusta serta menghidupkan orang mati[14] sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Isa As. Dan peristiwa Baginda Ali yang mengangangkat gerbang Khaibar,.[15] kesemuanya adalah kekuasaan (tasharruf) manusia-manusia sempurna di alam semesta yang didemonstrasikan dengan kekuatan wilâyah takwini.
Ketiga, wilâyah hanya dapat dihasilkan dengan taqarrub (mendekatkan diri kepada) Allah dan fana fiLlah (fana dalam Tuhan),[16] dan taqarrub kepada Tuhan juga diperoleh sebagai hasil ketaatan kepada-Nya dan mutkhalliq (meniru akhlak) Tuhan. Artinya manusia kendati tidak dapat menjadi Tuhan namun ia bisa menuhan (mencontoh dan meniru perbuatan-perbuatan Tuhan). Manusia semakin lekat berhubungan dengan sumber abadi Ilahi dan mendekat kepada Tuhan maka Tuhan akan semakin memanifestasi dalam dirinya.[17] Tuhan memiliki kodrat untuk mengatur seluruh entitas di alam semesta, manusia juga demikian adanya seukuran dengan hubungannya dengan kekuasaan nirbatas Tuhan. Sebagaimana Tuhan maka ia juga akan dapat mengatur seluruh entitas di alam semesta.
Disebutkan dalam hadis Qudsi bahwa Allah Swt berfirman, “Hambaku taatilah Aku sehingga Aku menjadikanmu seperti-Ku.”[18] Atau pada hadis Qudsi lainnya, “Wahai Bani Adam Aku Mahakaya dan tidak akan fakir. Taatilah Aku hingga aku menjadikanmu kaya. Aku mahahidup dan tidak akan mati. Patuhilah apa yang Aku perintahkan kepadamu hingga Aku akan menjadikanmu hidup selamanya sehingga sekali-kali engkau tidak akan mati. Aku berkata “kun” (jadilah) kepada sesuatu maka jadilah ia (fayakun). Taatilah Aku sehingga Aku menjadikanmu ketika berkata “kun” kepada sesuatu maka jadilah ia (fayakun).”[19]
Keempat, terdapat perbedaan mencolok antara maqam wilâyah dan maqam kenabian. Maqam wilâyah dari satu sisi lebih tinggi daripada maqam kenabian (nubuwwah).
Penjelasan: “Wali” pada maqam “fana fillah” mengetahui hakikat-hakikat Ilahiah dan identitas ghaibi (huwiyat ghaibi) kemudian mengabarkan hakikat-hakikat tersebut. Pengetahuan ini terkadang disebut sebagai “kenabian umum” (nubuwwah amah) dan terkadang “kenabian maqami.” Terkadang disebut “kenabian ta’rifi” sebagai lawan dari “kenabian tasyri'i (kenabian syariat). “Nabi” dari sisi “kenabian ta’rifi” memberikan berita tentang Zat, Sifat dan Perbuatan-perbuatan Tuhan. Dari sisi “kenabian tasyri’i’” menjalankan fungsi menyampaikan hukum-hukum (ahkam), mengajarkan akhlak, hikmah dan politik. Al-Qur’an menyatakan, “Wa lamma balagha asyaddahu Atainahu hukma, wa ‘ilma wa kadzalika najzi al-muhsinin.” (Dan tatkala dia cukup dewasa, Kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik, Qs. Yusuf [12]:22). Artinya manusia yang sampai pada domain ihsan maka ia telah sampai pada domain kenabian maqâmi meski ia belum berhasil mencapai kenabian syariat. Karena itu, kendati kita tidak dapat sampai pada tingkatan kenabian (nubuwwah), risalah syariat, namun kita dapat, dengan mengerjakan ibadah-ibadah Ilahi dan melintasi tingkatan-tingkatan kesempurnaan, sampai pada qurb nawâfil dan bahkan qurb farâidh, dan menjadi pemilik kenabian maqami dan maqam wilâyah.[20]
Bagaimanapun beberapa perbedaan antara maqam wilâyah dan maqam kenabian dapat diringkas sebagaimana berikut ini:
1. Wilâyah memiliki sisi haqqâni dan kenabian mempunyai sisi khalqi. Dengan kata lain, kenabian sisi lahir wilâyah dan wilâyah sisi batin kenabian.
2. Kenabian karena telah lebur (fana) dalam ahadiyat maka ia memiliki informasi atas pelbagai hakikat maknun pada ghaib wujud. Dengan kata lain, baqa (kekal) setelah fana (lebur). Shaw pasca al-mahw[21] kemudian diutus (bi’tsat) dan mengabarkan hakikat-hakikat tersebut. Bagaimanapun sumber para nabi adalah lantaran sisi haqqi dan wilâyah mereka.
3. Wali mengetahui (alim terhadap) syariat dan hakikat; artinya ia mengetahui lahir dan batin. Namun domain pengutusan para nabi dan rasul hanya pada wilâyah syariat dan lahir saja.
4. Wali mengetahui perbuatan-perbuatan esoterik dan batin manusia. Karena itu, ia harus ditaati tanpa reserved.
5. Nabi dan rasul menerima ilmunya melalui malaikat dan faktor-faktor wahyu lainnya dari Allah Swt. Namun ilmu seorang wali secara langsung diemanasikan dari batin hakikat Muhammadiyah.[22]
6. Kenabian dan risalah terbatas pada suatu masa dan waktu tertentu, karena itu terputus. Namun wilâyah tidak demikian adanya. Karena wali berasal dari nama-nama Allah Swt[23] dan nama-nama Allah Swt akan abadi dan lestari.[24] Kesimpulannya nama-nama ini senantiasa memerlukan jelmaan (mazhar), karena itu wilâyah tidak akan terputus[25] dan manusia sempurna (insan kamil) merupakan jelmaan sempurna dan lengkap nama-nama mulia ini demikian juga merupakan pemilik wilâyah secara totalitas. Namun rasul dan nabi tidak berasal dari nama-nama Allah. Risalah dan kenabian dari sifat seluruh entitas (kauniyah) yang terputus dengan terputusnya waktu (zamaniah).
7. Wilâyah mencakup risalah dan kenabian syariat serta kenabian umum non-syariat. Karena itu orang-orang menyebutnya sebagai falak muhith ‘âm.
8. Pemberi kenabian dan risalah adalah nama lahir yang hukum-hukumnya bergantung pada tajliyah (pembentukan). Pemberi wilâyah adalah nama batin yang berguna untuk tahliyah (pengelokan).
9. Wilâyah adalah batin kenabian dan risalah. Untuk sampai pada dua hal ini bersandar pada wilâyah.[26]
Kesimpulan
Dari apa yang telah dijelaskan menjadi terang bahwa pertama, wilâyah rasul lebih tinggi dari risalahnya. Wilâyah nabi lebih tinggi dari wilâyah kenabiannya. Kedua, boleh jadi seorang wali itu keutamaannya bukan kenabian namun berdasarkan wilâyahnya lebih alim dan utama dari seorang nabi. Karena itu, Hadhrat Khidir dapat berkata, “Annaka lan tastathi’ ma’ai shabra.” (Engkau sekali-kali tidak akan dapat bersabar denganku) dan menegur Nabi Musa, “Alam aqul annak lan tastathi’ ma’ai shabra.” (Bukankah aku telah berkata bahwa engkau tidak akan dapat bersabar denganku?). Dan bahkan ucapan lebih keras dari itu, “Hadza firaqun baini wa bainak” (Tibalah kini masa perpisahan antara aku dan engkau).[27] Dan tepat atas dasar ini, setelah kemunculan Imam Mahdi Ajf, Nabi Isa As akan mengikut kepada beliau[28] meski Nabi Isa As tergolong sebagai nabi ulul azmi. Kesimpulannya adalah bahwa meski Hadhrat Khidir As dan Imam Mahdi Ajf tidak memiliki keutamaan kenabian dan maqam syariat, namun dari sisi wilâyah takwini, Hadhrat Khidir dan Imam Mahdi Ajf lebih terdepan dan utama daripada Nabi Isa As. Karena itulah, Imam Ali As bersabda, “Aku melihat cahaya wahyu dan risalah. Dan aku mencium semerbak kenabian. Tatkala wahyu diturunkan kepadanya (Rasulullah Saw) aku mendengar jeritan setan.” Rasulullah Saw bersabda ihwal Imam Ali As, “Sesungguhnya engkau mendengar apa yang aku dengar. Dan melihat apa yang aku lihat hanya saja engkau bukan seorang nabi.”[29]
Demikian juga, Imam Hasan As, pasca kesyahidan Baginda Ali As, bersabda, “Demi Allah! Telah pergi seorang dari kalian yang tiada seorang pun melebih keutamaannya kecuali Rasulullah Saw dan orang lain tiada akan dapat sampai kepadanya.”[30] Atau sabda Rasulullah Saw, “Sesungguhnya bagi Tuhan terdapat hamba-hamba bukan dari golongan para nabi namun dicemburui oleh para nabi atas maqam-maqam mereka dan kedekatan mereka kepada Allah Swt.”[31] Dalam riwayat akhir ini, di samping disebutkan keutamaan orang-orang yang bukan dari golongan para nabi atas para nabi juga disebutkan rahasia keutamaan mereka. Lantaran redaksi kalimat “dan kedekatan mereka kepada Allah Swt” merupakan penjelas rahasia keutamaan mereka atas para nabi. Demikian juga sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa kesempurnaan kedekatan ini tidak lain kecuali melalui wilâyah takwini.
Demikian juga, al-Qur’an menyatakan, “Wa yaqulu alladzina kafaru lasta mursala qul kafa billahi syahidah baini wa bainakum wa man ‘indahu ‘ilmu al-kitab.” (Orang-orang kafir berkata, “Kamu bukanlah seorang utusan.” Katakanlah, “Cukuplah Allah dan orang yang mempunyai ilmu al-Kitab menjadi saksi antara aku dan kamu.”)[32]
Pada ayat ini, Allah Swt memperkenalkan dua bukti dan saksi, pertama Allah Swt sendiri dan kedua seseorang yang ada padanya ilmu al-kitab. Kesaksian Allah Swt dengan pelbagai mukjizat dimana salah satu mukjizat tersebut adalah al-Qur’an. Akan tetapi siapakah gerangan yang dimaksud "Dan orang yang mempunyai ilmu al-kitab” dan tipologi apa saja yang dimilikinya yang kesaksiannya menjadi bukti kebenaran risalah Rasulullah? Dengan satu kata harus dikatakan bahwa yang dimaksud dengan redaksi kalimat di atas adalah Baginda Ali As dan para Imam Maksum As yang memiliki maqam wilâyah takwini.
Untuk menjelaskan masalah ini, kami akan menukil kisah Nabi Sulaiman As dan singgasan Ratu Bilqis yang disebutkan pada surah al-Naml ayat 20 hingga 40: Hud-hud menyampaikan berita ihwal negeri Saba kepada Nabi Sulaiman As bahwa terdapat seorang wanita yang memerintah negeri tersebut yang segala sesuatunya berada di tangannya dan memiliki singgasana yang agung! Kaum negeri ini bersujud kepada – matahari – selain Tuhan. Nabi Sulaiman menulis surat kepada Ratu Saba bahwa engkau datang kepadaku dalam keadaan orang yang berserah diri kepada Kebenaran! Namun Ratu Saba menjawab surat ini dengan mengirim aneka ragam hadiah. Hadiah-hadiah ini ditolak oleh Nabi Sulaiman dan…. Sulaiman berkata, “Hai pembesar-pembesar, siapakah di antara kamu sekalian yang sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri?” ‘Ifrit dari golongan jin berkata, “Aku akan mendatangkan singgasana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya.” (Tetapi) seseorang yang mempunyai sebuah ilmu dari kitab (samawi) berkata, “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip.” Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, ia pun berkata, “Ini termasuk karunia Tuhan-ku untuk mencobaku apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya). Dan barang siapa yang bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barang siapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhan-ku Maha Kaya lagi Maha Mulia.”[33] Redaksi kalimat al-Qur’an pada ayat 40 surah al-Naml ini adalah, “Qala alladzina ‘indahu ‘ilmu min al-kitab ana atika bihi qabla yartadda ilaika tharfuk falamma raahu mustaqirran ‘indahu qala hadza min fadhli rabbi.”
Karena itu, seseorang dengan satu kedipan mata mampu memindahkan singgasan Bilqis dari Yaman ke Palestina dan menunjukkan kekuasaannya atas semesta. Ia adalah orang yang memiliki maqam wilâyah takwini. Meminjam penjelasan riwayat mereka adalah pemilik ism a’zham Ilahi (nama teragung Tuhan). Dan sesuai dengan redaksi al-Qur’an mereka memiliki tingkatan ilmu dari al-Kitab yaitu sebagian dari ilmu kitab. Dengan kata lain, penjelasan al-Qur’an menunjukkan bahwa orang ini memiliki akses terhadap sebagian ilmu kitab dan memiliki sebuah tingkatan dari maqam wilâyah takwini mampu menunjukkan kekuasaannya atas alam semesta. Rasulullah Saw dalam sebuah hadis bersabda kepada Abu Said al-Khudri, “Yang dimaksud “alladzi ‘indahu ilmun min al-kitab” adalah washi saudaraku Sulaiman bin Daud (Ashif bin Barkhiyyah, kemenakan Nabi Sulaiman). Dan yang dimaksud “wa man ‘indahu ilmu al-kitab” adalah saudaraku Ali bin Abi Thalib.[34] Jelas bahwa antara “man ‘indahu ‘ilmu al-kitâb” dan “qala alladzi ‘indahu ‘ilmun min al-kitâb” terdapat perbedaan yang tajam. Karena yang kedua adalah ilmu partikular dan yang pertama adalah ilmu universal.[35]
Dalam sebagian riwayat juga disebutkan bahwa ism ‘azham Ilahi terdiri dari tujuh puluh tiga huruf. Salah satu huruf tersebut terdapat pada Ashif bin Barkhiyyah. Tujuh puluh dua huruf lainnya terdapat pada para Imam Ahlulbait As dan satu huruf tersebut adalah terkhusus bagi Allah Swt.[36]
Dengan demikian, Imam Shadiq As terkait dengan ayat yang menyebutkan kisah Ashif bin Barkhiyyah, bersabda, “Wa ‘indanâ wallahi ‘ilmu al-Kitâb kulluh.” Dan di sisi kami, demi Allah, terdapat seluruh ilmu al-Kitab.” Artinya apabila pada Ashif bin Barkhiyya terdapat sebagian ilmu kitab dan pada kami Ahlulbait terdapat seluruhnya. Dari apa yang telah dijelaskan bahwa di antara orang-orang yang memiliki ismu ‘azham Ilahi (para pemilik wilâyah takwini) terdapat perbedaan. Sebagian memiliki satu huruf dan sebagian lainnya tujuh puluh dua huruf. Namun apakah antara pemilik tujuh puluh dua huruf ini juga terdapat perbedaan? Imam Shadiq As terkait dengan ayat 43 surah al-Ra’ad bersabda, “Iyyana ‘ana wa ‘Aliyyun awwaluna wa afhdaluna wa khairun ba’da al-nabi Saw.”[37] Bahwa yang dimaksud oleh ayat ini adalah kami dan yang pertama, utama dan terbaik kami setelah Rasulullah Saw adalah Ali As.
Sebagai akhir kami sarankan untuk mendapatkan penjelasan seluruh dimensi dari pembahasan ini dan untuk telaah lebih jauh, kami persilahkan Anda untuk merujuk pada buku, “Negâresy-e ‘Irfâni, Falsafi, wa Kalâmi be Syakhshiyat-e wa Qiyâm-e Imâm Husain As.”[38] [IQuest]
[1]. Tsiqat al-Islam, Kulaini, al-Kâfi, jil. 1, hal. 420, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran.
[2]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil.36, hal. 216.
«یَا مُحَمَّدُ إِنِّی خَلَقْتُکَ وَ خَلَقْتُ عَلِیّاً وَ فَاطِمَةَ وَ الْحَسَنَ وَ الْحُسَیْنَ مِنْ سِنْخِ نُورِی وَ عَرَضْتُ وَلَایَتَکُمْ عَلَى أَهْلِ السَّمَاوَاتِ وَ الْأَرَضِینَ فَمَنْ قَبِلَهَا کَانَ عِنْدِی مِنَ الْمُؤْمِنِینَ وَ مَنْ جَحَدَهَا کَانَ عِنْدِی مِنَ الْکَافِرِینَ یَا مُحَمَّدُ لَوْ أَنَّ عَبْداً مِنْ عِبَادِی عَبَدَنِی حَتَّى یَنْقَطِعَ أَوْ یَصِیرَ کَالشَّنِّ الْبَالِی ثُمَّ أَتَانِی جَاحِداً لِوَلَایَتِکُمْ مَا غَفَرْتُ لَهُ أَوْ یُقِرَّ بِوَلَایَتِکُم...»
[3]. Ibid, hal. 281 dan 223.
«یَا مُحَمَّدُ إِنِّی خَلَقْتُ عَلِیّاً وَ فَاطِمَةَ وَ الْحَسَنَ وَ الْحُسَیْنَ وَ الْأَئِمَّةَ مِنْ نُورٍ وَاحِدٍ ثُمَّ عَرَضْتُ وَلَایَتَهُمْ عَلَى الْمَلَائِکَةِ فَمَنْ قَبِلَهَا کَانَ مِنَ الْمُقَرَّبِینَ وَ مَنْ جَحَدَهَا کَانَ مِنَ الْکَافِرِینَ یَا مُحَمَّدُ لَوْ أَنَّ عَبْداً مِنْ عِبَادِی عَبَدَنِی حَتَّى یَنْقَطِعَ ثُمَّ لَقِیَنِی جَاحِداً لِوَلَایَتِهِمْ أَدْخَلْتُهُ النَّار...»
[4]. Baginda Ali bin Abi Thalib As dalam hal ini bersabda, “Wa lahum Khasâish Haqq al-Wilâyah,” Tipologi wilâyah berasal dari Keluarga Muhammad. Nahj al-Balaghah, Khutbah 2.
[5]. Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân, jil.1, hal. 275-276.
[6]. Akan tetapi dikatakan bahwa Allah Swt pada domain-domain syariat telah menganugerahkan kewenangan tasyri’i kepada Rasulullah Saw dan pada domain tersebut Rasulullah Saw telah menggunakan kewenangan tersebut. Misalnya rakaat ketiga dan keempat shalat Dhuhur dan Ashar yang merupakan penetapan syariat dari Rasulullah Saw sesuai dengan izin Allah Swt. Apabila hal ini benar adanya maka harus dikatakan bahwa hal seperti ini merupakan wilayah kekuasaan Nabi Saw dan hanya berkaitan dengannya dan tidak ada hal sedemikian yang berkaitan dengan para Imam Maksum As.
[7]. Dalam hal ini, silahkah lihat, Qs. Al-Jatsiyah (45):19; Qs. Al-Syura [42]:13 & 22; Qs. Al-Ra’ad (13):8; Qs. Al-Isra (17):106. Demikian juga Muhyiddin Ibnu Arabi, al-Futuhât (4 jilid), jil. 3, hal. 69.
[8]. Mukjizat ucapan adalah kalimat-kalimat dan penjelasan-penjelasan Tuhan, Rasulullah Saw dan para Imam Maksum As yang mengandung makrifat-makrifat dalam dan benar yang menyebabkan ketercengangan dan keheranan akal-akal seluruh penghuni semesta. Terkait dengan perbedaan antara mukjizat ucapan dan mukjizat perbuatan harus dikatakan bahwa mukjizat perbuatan terbatas pada ruang dan waktu tertentu serta pada umumnya untuk masyarakat awam mengingat mereka lebih banyak berurusan dengan indra dan perasaan. Namun mukjizat ucapan tidak terbatas pada ruang dan waktu tertentu dan akan senantiasa lestari sepanjang masa.
[9]. Di antara mukjizat Rasulullah Saw adalah membelah dua bulan.
[10]. Baginda Ali bin Abi Thalib As menjelaskan mukjizat membela pohon (syaqq al-syajar) pada Khutbah Qashi’ah dalam Nahj al-Balâgha.
[11]. “Sesungguhnya Qarun adalah termasuk kaum Musa, lalu ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya, “Janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri. Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” Qarun berkata, “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku.” Apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan (ketika azab Ilahi tiba), orang-orang yang berdosa itu tidak ditanya tentang dosa-dosa mereka. Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia berkata, “Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar.” Orang-orang yang dianugerahi ilmu berkata, “Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan pahala itu tidak diperoleh kecuali oleh orang-orang yang sabar.” Maka Kami benamkanlah Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi. Lalu tidak ada baginya suatu golongan pun yang menolongnya terhadap azab Allah, dan tidaklah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya).” (Qs. Qashash [28]:76-81)
[12]. “Dan (ingatlah) ketika Kami membelah laut untukmu, lalu Kami selamatkan kamu dan Kami tenggelamkan para pengikut Fir’aun, sedang kamu sendiri menyaksikan.” (Qs. Al-Baqarah [2]:50)
[13]. “(Kaum) Tsamud telah mendustakan (rasul mereka) karena mereka melampaui batas. ketika bangkit orang yang paling celaka di antara mereka. Lalu rasul Allah (Saleh) berkata kepada mereka, (“Biarkanlah) unta betina Allah dan minumannya.” Tetapi mereka mendustakannya dan menyembelih unta itu. Maka Tuhan mereka membinasakan mereka (dan negeri mereka) disebabkan dosa mereka, lalu Allah menyama-ratakan mereka (dengan tanah). Dan Allah tidak takut terhadap akibat tindakan-Nya itu.” (Qs. Al-Syams [91]:11-15)
[14]. “Dan (sebagai) Rasul kepada Bani Isra’il (yang berkata kepada mereka), “Sesungguhnya aku telah datang kepadamu dengan membawa sesuatu tanda (mukjizat) dari Tuhan-mu, yaitu aku membuat untukmu dari tanah seperti bentuk burung; kemudian aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan seizin Allah; dan aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahirnya dan orang yang berpenyakit sopak; dan aku menghidupkan orang mati dengan seizin Allah; dan aku memberitahukan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu adalah suatu tanda (kebenaran kerasulanku) bagimu, jika kamu sungguh-sungguh beriman.” (Qs. Ali Imran [3]:49)
[15]. Baginda Ali dalam surahnya kepada Usman bin Hanif menyinggung realitas ini. Baginda Ali As bersabda, “Wallahi! Ma qala’tu bab khaibar wa ramaitu bihi khalfa zhahri arba’ina dzira’an biquwwatin wa la harakatin ghidzaiyyah lakinni ayyadtu biquwwatin malakutiyyatin wa nafs binuri Rabbaha mudhiatin.” Silahkan lihat, ‘Imaduddin Thabari, Basyarat al-Musthafa, hal. 191. Syaikh Shaduq, al-Âmali, Majlis 77, hal. 513.
[16]. Fana terdiri dari beberapa jenis: Pertama, fana secara lahir yaitu fana dalam perbuatan-perbuatan (af’al). Kedua, fana batin yaitu fana dalam sifat-sifat. Ketiga, fana zat. Silahkan lihat, Ahmad Danesygar, Diwân-e Hafiz ba Syarh-e ‘Irfâni, hal. 144-145. Abu ‘Ali Husain bin Abdullah, Ibnu Sina, al-Isyârât wa al-Tanbihât, syarah Khaja Nashiruddin Thusi, jil. 3, Maqâmat al-‘Ârifin, hal. 390. Imam Khomeini Ra, Cihil Hadits, hal. 382.
[17]. Imam Mujtaba As bersabda, “Man ‘abadaLlah, ‘abadaLlâh lahu kulla syai.” Barangsiapa yang menjadi hamba Tuhan (yang sebenarnya) maka Tuhan akan menjadikan segala sesuatu sebagai hambanya.” Tafsir yang disandarkan kepada Imam Hasan Askari, jil. 1, hal. 327. Muhammad Baqir Majlisi, Bihar al-Anwar, jil. 68, hal. 184.
[18]. “Abdi at’hini hatta aja’aluka mitsli.” Mirza Jawad Agha Maliki Tabrizi, Asrar al-Shalat, jil. 1, hal. 4 (Mukaddimah). Mulla Mustafa Khui, Syarh Doa Shibah, Khui, jil. 1, hal. 11, Muqaddimah Musahhih. Riwayat ini juga dinukil demikian, “Ya ‘Abdi! Ajibni aj’aluka mitsli.” Sayid Haidar Amuli, Jami’ al-Asrar wa Manba’ al-Anwar, hal. 363.
[19]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihar al-Anwar, jil. 90, hal. 376. Hasan bin Abi al-Hasan Dailami, Irsyad al-Qulub ila al-Shawab, jil. 1, hal. 75, Jamaluddin Ahmad bin Muhammad Ibnu Fahad Hilli, ‘Iddat al-Da’I, hal. 310.
«یا ابن آدم أنا غنی لا أفتقر أطعنی فیما أمرتک أجعلک غنیا لا تفتقر. یا ابن آدم أنا حی لا أموت أطعنی فیما أمرتک أجعلک حیا لا تموت یا ابن آدم أنا أقول للشیء کن فیکون، أطعنی فیما أمرتک أجعلک تقول لشیء کن فیکون»
[20]. Silahkan lihat, Hasan Zadeh Amuli, Mumid al-Himâm, hal. 657.
[21]. Kurang lebih shaw pasca mahw itu sama artinya dengan baqa setelah fana.
[22]. Silahkan lihat, Yahya Yatsrabi, Falsafe-ye Irfân, hal. 181.
[23]. “Huwa al-Wali al-Hamid.” (Qs. Al-Syura [42]:181)
[24]. “Fhatir al-Samawat wa al-Ardh anta waliyy fi al-dunya wa al-akhirah.” (Qs. Yusuf [12]:101)
[25]. “Ma ‘indakum yanfad wa ma ‘indaLlah Baqin.” (Qs. Al-Nahl [16]:96)
[26]. Silahkan lihat, Hasan Hasan Zadeh Amuli, Insân Kâmil az Didgâh-e Nahj al-Balâgha, hal. 84-86.
[27]. Silahkan lihat Qs. Al-Kahf [18]:64-76).
[28]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 9, hal. 195. Nashir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 4, hal. 205. Sayid ‘Abbas Kasyani, al-Makhzân, jil. 1, hal. 286.
[29]. Nahj al-Balâgha, Khutbah 192.
[30]. Mas’udi, Murûj al-Dzahab, jil. 2, hal. 414.
[31]. Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, jil. 5, hal. 343. Sayid Ali Khan Madani Kabir, Riyâdh al-Salikin, jil. 6, hal. 393. Mulla Hadi Sabzawari, Syarh al-Asma al-Husna, hal. 552. Ibnu Arabi, al-Futuhât (14 jilid), jil. 13, hal. 137.
[32]. (Qs. Al-Ra’ad [13]:43)
[33]. Hadis ini dinukil oleh sekelompok penafsir dan ulama Ahlusunnah dengan redaksi yang sama. Untuk penjelasan lebih jauh silahkan lihat, Qadhi Nurullah Syusytari, Ihqâq al-Haq, jil.3, hal. 280-281.
[34]. Silahkan lihat, Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 15, hal. 473. Sayid Muhammad Baqir Musawi Hamadani, Terjemahan Tafsir al-Mizân, jil. 11, hal. 532.
[35]. Muhammad bin Ya’qub Kulaini, Al-Kâfi, jil. 1, hal. 230
عَنْ أَبِی جَعْفَرٍ (ع) قَالَ إِنَّ اسْمَ اللَّهِ الْأَعْظَمَ عَلَى ثَلَاثَةٍ وَ سَبْعِینَ حَرْفاً وَ إِنَّمَا کَانَ عِنْدَ آصَفَ مِنْهَا حَرْفٌ وَاحِدٌ فَتَکَلَّمَ بِهِ فَخُسِفَ بِالْأَرْضِ مَا بَیْنَهُ وَ بَیْنَ سَرِیرِ بِلْقِیسَ حَتَّى تَنَاوَلَ السَّرِیرَ بِیَدِهِ ثُمَّ عَادَتِ الْأَرْضُ کَمَا کَانَتْ أَسْرَعَ مِنْ طَرْفَةِ عَیْنٍ وَ نَحْنُ عِنْدَنَا مِنَ الِاسْمِ الْأَعْظَمِ اثْنَانِ وَ سَبْعُونَ حَرْفاً وَ حَرْفٌ وَاحِدٌ عِنْدَ اللَّهِ تَعَالَى اسْتَأْثَرَ بِهِ فِی عِلْمِ الْغَیْبِ عِنْدَه.
[36]. Muhammad bin Ya’qub Kulaini, al-Kâfi, jil. 1, hal. 229.
[37]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 1, hal. 229.
[38]. Kitab, Negâresy-e ‘Irfâni, Falsafi, wa Kalâmi be Syakhshiyat-e wa Qiyâm-e Imâm Husain As adalah karya Qasiim Turkhan, terbitan Intisyarat Cilceragh.