Terdapat beberapa riwayat dari para Imam Syiah yang menjelaskan secara logis ihwal absurdnya keyakinan terhadap turunnya Tuhan ke muka bumi. Riwayat-riwayat tersebut tidak menyinggung tentang kekufuran bagi orang yang berpandangan sedemikian. Keyakinan terhadap turunnya Tuhan ke muka bumi merupakan hasil dari kesimpulan keliru atas riwayat yang telah mengalami distorsi dan konsekuensinya penjasadan Allah Swt, dan memandang Tuhan sebagai benda dan jasmani dalam pandangan ulama Syiah dan Sunni—yang menimbang konsekuensi logis dari keyakinan seperti—ini dapat berujung kepada kekufuran.
Di antara beberapa perbedaan dan perdebatan antar firkah dan mazhab teologis semenjak awal penyebaran Islam hingga kini adalah pembahasan sifat Allah Swt baik sifat dzati atau sifat khabari. Namun perdebatan teologis ini umumnya lebih terkait pada sifat-sifat khabari yang terkadang menjadi sebab pengkafiran orang lain.
Pada masa-masa penaklukan, kaum Muslimin secara perlahan mengenal pelbagai pikiran, keyakinan, kebiasaan dan ajaran kaum yang dikalahkan (dalam penaklukan). Pada sebagian hal, hubungan-hubungan ini telah banyak memengaruhi sebagian ulama atas beberapa pemikiran dan pandangan kaum-kaum dan bangsa-bangsa ini. Dengan mengamati secara seksama terhadap pelbagai pandangan sebagian firkah dan mazhab, kita jumpai kadar pengaruh tersebut pada ragam bidang kosmologi dan agamalogi atas pemikiran-pemikiran Neoplatonis, Yahudi, Zaratustra dan sebagainya. Dalam pembahasan ideologi dalam bentuk umum dan dalam pembahasan sifat-sifat Tuhan secara khusus, kaum Muslimin senantiasa didera kesalahan atas ulah sebagian ulama yang terpengaruh oleh pikiran-pikiran agama-agama lainnya.
Dalam suasana perdebatan tentang sifat-sifat khabari yang di dalamnya Allah Swt, dalam al-Qur’an, dicirikan dan disifatkan sedemikian, sebagian (ahli hadis) berdebat satu dengan yang lainnya sebagai kesimpulan eksoteris atas sifat-sifat khabari beberapa ayat al-Qur’an seperti, “Yadulllah fawqa aydihim,” “wa yabqa wajhuhu Rabbuka,” dan sebagainya serta pada sebagian riwayat seperti, “Yanzilu ilaa al-samaa al-dunya” atau “qalbu mu’min baina ashba’in min…” Tentu saja hal ini berujung pada penjasadan (antropomorfis) dan penyerupaan Tuhan dengan benda dan mahkluk.
Sebagai akibatnya, golongan Asy’ariah, untuk keluar dari penjasadan Tuhan ini, menyampaikan penafsiran ringkas yang berbeda dengan penjasadan Tuhan dan menjelaskan keyakinan dengan menetapkan (itsbat) sifat-sifat ini tanpa kualitas (kaifiyat) sehingga, menurut mereka, terlepas dari penjasadan ini. Akan tetapi mereka telah terjebak dalam pembahasan penuh enigma dan teka-teki. Sebagian lainnya juga dalam menolak dua pandangan belakangan, dengan menakwil tidak berdasarnya sifat khabari.
Dalam sifat-sifat seperti ini, para Imam Syiah juga memerikan dengan jelas pandangan mereka terkait dengan persoalan ini sehingga dapat mencegah penyimpangan orang-orang Syiah dalam masalah keyakinan. Karena itu, dalam berbagai kesempatan, mereka menjawab pertanyaan-pertanyaan dan keraguan terkait dengan persoalan ini secara argumentatif.
Meski dengan merujuk pada referensi yang Anda sebutkan dalam pertanyaan, kami tidak menjumpai riwayat semacam ini, akan tetapi disebutkan dalam Ushûl al-Kâfî yang menjelaskan usaha para Imam dalam menjabarkan persoalan ini.[1]
Imam Shadiq, Imam Kazhim dan Imam Hadi As dalam menghadapi persoalan turunnya Tuhan ke langit dunia atau ke muka bumi, menantang bentuk penalaran (istidlâl) ucapan ini dan menjauhkan para penanya bahwa ucapan seperti ini meniscayakan batasan bagi Tuhan dan memberikan cela bagi-Nya dan serupa dengan makhluk. Perlu diingat bahwa dalam riwayat-riwayat ini tidak disinggung masalah kekufuran bagi mereka yang meyakini penjasadan ini.
Namun persoalannya adalah bahwa riwayat ini, yaitu turunnya Tuhan ke langit dunia atau ke muka bumi, apakah merupakan sebuah riwayat yang valid dan sahih atau tidak? Harus dikatakan bahwa dengan dalil-dalil rasional dan referensial (naqli) riwayat seperti ini tidak dapat diterima.
1. Sebagaimana yang Anda tahu bahwa dalil-dalil rasional mengingkari sifat jasmani Allah Swt dan turunnya sesuatu dari atas ke bawah meniscayakan anggapan bahwa Tuhan itu benda dan berbentuk jasmani, dan memandang adanya kekurangan pada Tuhan serta menganggap bahwa Tuhan mendiami sebuah ruang. Demikian juga, keniscayaan adanya gerakan dari satu tempat ke tempat lain, menetapkan batasan dan penggerak bagi Tuhan yang kesemua ini merupakan tipologi makhluk yang disinggung secara tersirat dari riwayat tersebut.
2. Al-Qur’an juga dengan tegas menolak persoalan ini lantaran Allah Swt adalah Pencipta dan Penguasa atas seluruh alam kontingen (imkan). Ayat-ayat yang menafikan kejasmanian Tuhan seperti, “Wahuwa ma’akum aina ma kuntum wallahu bima ta’maluna bashir”[2] dan “Wa laqad khalaqna al-insan wa na’lamu ma tuwaswisu bihi nafsuhu wa nahnu aqrabu ilaihi min habl al-warid.”[3] dan “Wa huwalladzi fi al-sama ilahun wa fi al-ardh ilahun wa huwa al-hakîm al-‘alîm”[4] dan sebagainya. Karena itu, tidak pantas kiranya kita menganggap Tuhan mendiami suatu tempat dan pada suatu kondisi tertentu berpindah tempat, dari atas ke bawah.
Namun bagaimana riwayat ini mengemukakan turunnya Tuhan ke langit dunia dalam kitab riwayat dan mengedepan di kalangan awam?
Menurut Imam Ridha As, riwayat ini riwayat yang telah mengalami distorsi. Lantaran yang dimaksud pada “nuzul” (turun) adalah turunnya urusan (amr) Tuhan yang kemudian redaksi urusan dalam riwayat ini dihapus.[5]
Kini terkait jawaban dengan pertanyaan yang mengemuka, sesuai dengan keyakinan sebagian ulama Syiah dan Sunni, mereka yang menyebutkan sifat-sifat khabari Tuhan dalam al-Qur’an atau riwayat-riwayat yang menjelaskan sifat-sifat ini bagi Tuhan, telah memilih penafsiran yang berujung pada kejasmanian dan kekurangan Tuhan. Apabila diperhatikan dan diyakini masalah ini, maka tergolong sebagai kafir.
Di sini, kami akan menyebutkan dua pandangan dari dua ulama Sunni yang menjadi bukti atas kenyataan ini .
1. Abu Hamid Ghazali dalam pembahasan “yadullah” (tangan [kekuasaan] Tuhan) berkata, “Barangsiapa menggambarkan bahwa Tuhan adalah benda dan terangkai dari bagian-bagian, maka ia adalah seorang penyembah berhala; karena setiap benda (jism) adalah makhluk dan ibadah kepada makhluk adalah bentuk kekufuran.”[6]
2. Ibnu Hazm Andalusi juga dalam kitab al-Fashl menjelaskan demikian, “Barangsiapa berkata bahwa Tuhan itu adalah benda dari benda-benda, apabila ia adalah seorang jahil atau penakwil maka ia dimaafkan dan ia harus diberikan pelajaran. Karena itu, apabila telah dijelaskan argumen (hujjah) dari al-Qur’an dan Sunnah namun dia menolak penjelasan ini karena kebencian, maka ia adalah kafir.”[7]
Dengan seluruh kondisi seperti ini (ragam penafsiran sifat-sifat di kalangan kaum Muslimin), para Imam Syiah memerintahkan untuk berinteraksi dengan seluruh kaum Muslimin, turut serta dalam prosesi pemakamannya, dan menganjurkan (orang-orang Syiah untuk) hadir di masjid-masjid mereka dan hal ini merupakan bukti bahwa para Imam Syiah memandang mereka sebagai Muslimin bukan kafir.[8]
Selama masa kepemimpinan mereka, para Imam Syiah senantiasa mengoreksi keyakinan-keyakinan kaum Muslimin bahkan mengingatkan orang-orang yang condong pada penjasadan Tuhan kemudian membimbing dan mengajarkan mereka. Demikian juga para fukaha dan para marja (maraji) Syiah menyebutkan definisi yang jelas tentang kekufuran. Mereka memandang orang yang tidak meyakini adanya sekutu bagi Tuhan dan beriman kepada Nabi Saw sebagai Muslim.[9] [IQuest]
[1] Muhammad bin Ya’qub Kulaini, al-Kâfi, jil. 1, hal. 125-126, Bab al-Harakah wa al-Intiqal, Dar al-Kitab al-Islamiyah, cetakan keempat, Teheran, 1365 S.
[2] Dan Dia bersamamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan (QS. Al-Hadid [57]:4)
[3] Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat nadinya (QS. Qaf [50]:16)
[4] Dan Dialah Tuhan (yang disembah) di langit dan Tuhan (yang disembah) di bumi, dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui (QS. Az-Zukhruf [43]:84)
[5] Muhammad bin Ali Ash-Shaduq, Man Lâ Yahdhûruh al-Faqih, jil. 1, hal. 421, Muassasah Intisyarat Islami, cetakan ketiga, Qum, 1413 H.
[6] Sesuai nukilan dari Ja’far Subhani, Muhadhârât fi al-Ilahiyyât, hal. 133, cetakan kedelapan, Muassasah Imam Shadiq, Qom 1426 H.
[7] Ali bin Ahmad Andalusi, al-Fashl fi al-Milal wa al-Hawa wa al-Nihal, jil. 2, hal. 269.