Poin yang Anda kemukakan dalam pertanyaan adalah bahwa Anda saling mencintai satu sama lain dan Anda ingin menjadi istri terbaik bagi suami Anda, Anda harus senantiasa berlaku demikian sehingga urusan-urusan lainnya mengikut nantinya.
Dalam kehidupan rumah tangga, atmosfer yang mendominasi haruslah ketenangan, ketulusan, persahabatan, kecintaan, bukan ego dan merasa lebih superior. Karena itu banyak hal yang nampak sebagai sebuah masalah sebenarnya dapat dengan mudah dipecahkan.
Boleh jadi kita memandang sesuatu sebagai aib tapi sebenarnya bukan aib. Karena itu kita harus terlebih dahulu mengenal aib dan merasa yakin bahwa apa yang kita pandang aib benar-benar aib untuk kemudian diobati.
Nampaknya sebaik-baik kriteria untuk mengingatkan orang lain adalah bahwa kita menempatkan diri kita pada tempat orang lain, kita berpikir bahwa apabila seseorang ingin memprotes pekerjaan kita dan bagaimana baiknya bagaimana hal itu dikomunikasikan maka kita juga melakukan hal yang sama.
Mengingat bahwa usia pernikahan Anda masih tergolong belia dan masih banyak hal-hal misalnya tipologi moral yang Anda dan pasangan Anda belum lagi kenali! Karena itu janganlah terburu-buru untuk menilai karakter moral masing-masing. Dengan demikian, Anda dapat memperoleh apa yang Anda inginkan tanpa menimbulkan ketegangan yang tidak perlu.
Terdapat poin postif pada pertanyaan Anda bahwa Anda masing-masing mencintai satu sama lain dan menginginkan istri Anda sebagai istri yang terbaik bagi Anda. Sepanjang perjalanan hidup Anda harus senantiasa menonjolkan tipologi ini untuk dapat membantu Anda menemukan jawaban yang Anda cari. Nampaknya untuk memperoleh jawaban tepat pertama-tama kita harus mengajukan beberapa pertanyaan kemudian mendapatkan jawabannya.
- Pertama kita harus melihat bagaimana kita dapat menjadi istri yang baik?
- Kriteria-kriteria yang dijelaskan Islam terkait dengan istri yang baik?
- Harap diperhatikan apakah yang kita pandang sebagai sebuah aib benar-benar merupakan sebuah aib?
- Anggaplah ia merupakan aiib tapi apakah kita dapat seenaknya menyampaikan aib tersebut atau ia memiliki syarat-syarat?
Atas dasar itu mari kita jawab pertanyaan di atas secara runut sebagai berikut:
Pertama: Dengan memperhatikan ajaran-ajaran Islam dan teladan dari para imam kita dapat disimpulkan bahwa dalam kehidupan rumah tangga yang harus bertakhta pada lingkungan keluarga adalah kemesraan, ketulusan, kecintaan dan kebersamaan bukan keakuan, egoisme, memandang diri yang paling unggul. Karena itu, apabila suami dan istri satu sama lain adalah sahabat karib maka kebanyakan urusan yang sepintas terlihat rumit dapat dipecahkan dengan mudah. Namun patut untuk diingat bahwa manajemen rumah tangga berada di pundak suami – bukan sebagai keunggulan – yang harus diperhatikan dan dilaksanakan oleh setiap anggota keluarga karena akan mengukuhkan dan menguatkan fondasi rumah tangga.
Kedua: Untuk menerima jawaban ini kami persilahkan Anda menelaah indeks “Kriteria-kriteria Istri Idaman” No. 7980 yang terdapat pada site ini.
Ketiga: Sehubungan dengan mengenal aib dan cela pertama-tama kita harus melihat bahwa aib tersebut dianggap aib dari sisi mana? Apakah bersumber dari syariat atau tradisi dan sosial atau semata-mata pandangan pribadi? Dua bagian pertama harus dicari jawabannya dari para pakar agama dan sosilogi. Benar kita juga menerima bahwa dalam masalah ini terkadang memandang sesuatu sebagai aib merupakan hal yang jelas dan gamblang yang diketahui oleh semua orang. Namun biasanya tidaklah demikian. Boleh jadi kita menganggap sesuatu sebagai aib namun pada hakikatnya bukanlah aib.[1]
Poin keempat: Anggaplah kita menerima terdapat sesuatu yang benar-benar mengandung aib dan memang termasuk sebagai aib. Dalam kondisi seperti ini, apakah kita boleh menyampaiknya pada setiap saat, setiap tempat dan terlepas apa pun kondisinya?
Boleh jadi apabila peringatan yang didasari oleh keinginan luhur namun ketika menyampaikan masalah tersebut syarat-syaratnya tidak dijalankan mungkin usaha kita tidak akan membuahkan hasil bahkan berberda dari apa yang diharapkan. Yang terjadi malah sebaliknya! Sepertinya jalan terbaik untuk menjaga syarat-syarat ideal adalah kita menempatkan diri kita sebagai orang tersebut, kita mengkritisi diri kita sebagaimana kita ingin menyampaik kritikan terhadapnya! Dan kita memberikan nasihat kepadanya sebagiamana kita memberikan nasihat kepada diri kita sendiri. Artinya kita memberikan peringatan dengan memperhatikan perbedaan kepribadian setiap orang, kapasitas dan daya tahan seseorang.
Mengingat bahwa usia pernikahan Anda masih tergolong belia dan masih banyak hal-hal misalnya tipologi moral yang Anda dan pasangan Anda belum lagi kenali! Karena itu janganlah terburu-buru menilai karakter moral masing-masing. Dengan demikian, Anda dapat memperoleh apa yang Anda inginkan tanpa menimbulkan ketegangan yang tidak perlu.
Akhir kata, kami ingin menyudahi pembahasan ini dengan sebuah hadis dari Imam Ali As sebagai berikut:
Imam Ali As dalam wasiatnya kepada Imam Hasan As bersabda, “Anakku! Bandingkanlah dirimu dengan orang lain. Engkau harus menghasratkan bagi orang lain apa yang engkau hasratkan bagi dirimu sendiri, dan bencikanlah untuk orang lain apa yang engkau bencikan untuk dirimu sendiri. Janganlah menindas sebagaimana engkau tak suka ditindas. Berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana engkau menghendaki perlakuan baik kepada dirimu sendiri. Pandanglah yang buruk bagi dirimu buruk bagi orang lain. Terimalah (perlakuan) dari orang lain yang engkau suka orang lain menerima darimu. Jangan berbicara tentang apa yang tidak engkau ketahui, sekalipun apa yang engkau ketahui sangat sedikit. Jangan katakan kepada orang lain apa yang engkau tak mau dikatakan kepadamu.”[2]
[1]. Dalam hal ini untuk telaah lebih jauh kami persilahkan Anda untuk membaca syarat-syarat amar makruf dan nahi mungkar yang dijelaskan dalam buku-buku fikih. Apa yang kami kutip berikut ini sini bersumber dari Taudhih al-Masail (al-Muhassya lil Imam al-Khomeini), jil. 2, hal. 765, di samping itu Risalah-risalah Ayatullah Agung Gulpaigani dan Shafi.
Syarat-syarat amar makruf dan nahi mungkar terdiri dari lima:
Pertama: Orang yang beramar (menyeru) dan bernahi (melarang) mengenal dengan baik yang makruf dan yang mungkar serta yakin terhadap kewajiban makruf dan keharamana mungkar di samping itu mengetahui kesalahan orang yang diseru atau yang dilarang.
Kedua: Memberikan kemungkinan bahwa amar makruf dan nahi mungkarnya memberikan pengaruh pada orang yang diserunya atau dilarangnya. Karena itu apabila ia memberikan kemungkinan secara rasional bahwa amar makruf dan nahi mungkarnya tidak akan memberikan pengaruh kepada orang tersebut maka kewajiban amar makruf dan nahi mungkar ini gugur.
Ketiga: Orang yang meninggalkan kewajiban atau mengerjakan perbuatan haram adalah orang yang getol dan bersikeras melakukan hal tersebut. Karena itu apabila ia mengetahui bahwa ia telah kembali dan kemudian tidak lagi melakukan perbuatan itu maka kewajiban amar makruf dan nahi mungkarnya gugur.
Keempat: Kewajiban makruf dan keharaman mungkar harus jelas bagi pelaku dan dalam meninggalkan kewajiban dan melakukan perbuatan haram ia tidak memiliki alasan syar’i. Karena itu apabila pelaku meyakini perbuatan haram sebagai mubah atau boleh meninggalkan wajib maka kewajiban amar makruf dan nahi mungkar gugur darinya. Demikian juga pada setiap hal, orang yang meninggalkan kewajiban dan mengerjakan perbuatan haram memiliki alasan (syar’i) maka dengan cara mengingatkan orang lalai dan membimbing orang jahil, peringatan dan bimbingan akan menjadi wajib baginya.
Kelima: Apa yang diperintahkan dan dilarang hendaknya tidak merugikan dirinya. Karena itu apabila terdapat kemungkinan secara rasional mengandung kerugian dan mafsadah, maka kewajiban amar makruf dan nahi mungkar akan gugur.
[2]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 72, hal. 29, Muassasah al-Wafa, Beirut, 1404 H.