Sebagian kelompok Ahlusunnah (seperti Haswiyyah dan Salafi) berpendapat bahwa para nabi itu maksum hanya ketika menerima wahyu dan menyampaikan risalah. Mereka bersandar dengan dalil-dalil yang bersumber dari al-Quran seperti ayat-ayat tentang Nabi Adam dan terusirnya dari surga. Mereka menyakini bahwa dalam kondisi-kondisi lainnya (selain menerima wahyu dan menyampaikan risalah) para nabi melakukan dosa dan kesalahan.
Di antara orang-orang yang mengakui tiadanya kemaksuman para nabi dan sebagai ikutannya para Imam Maksum As adalah orang-orang Salafi. Sesuai dengan pernyataan ulama besar Salafi, mereka tidak mengakui kemaksuman para nabi dan para imam. Tokoh Salafi misalnya Ibnu Taimiyah dalam salah satu ucapannya yang mengklaim bahwa tiada seorang pun yang maksum, tidak nabi juga tidak selain nabi.
Sebagian kelompok Ahlusunnah (seperti Haswiyyah[1] dan Salafi) dengan dalil-dalil yang bersumber dari al-Quran seperti ayat-ayat tentang Nabi Adam dan terusirnya dari surga berpendapat bahwa para nabi itu maksum hanya ketika menerima wahyu dan menyampaikan risalah. Selebihnya pada kondisi-kondisi lainnya mereka melakukan dosa dan kesalahan. Mereka bersandar pada ayat-ayat al-Quran seperti surah Thaha ayat 121 dan surah Yusuf ayat 109 dan 110.[2]
Seluruh teolog Islam, dari kelompok Syiah dan Sunni meyakini kemaksuman para nabi dalam menerima dan menyampaikan wahyu. Kedua mazhab besar Islam ini bersepakat dalam masalah ini; kecuali bahwa Ahlusunnah meyakini bahwa para nabi dapat melakukan kesalahan dalam menyampaikan risalah disebabkan oleh lalai dan lupa. Pendapat ini disandarkan kepada Abu Bakr Baqalani,[3] dan dalil-dalil yang mereka kemukakan dalam masalah ini mirip-mirip satu sama lain.[4]
Di antara orang-orang yang mengakui tiadanya kemaksuman para nabi dan sebagai ikutannya adalah para Imam Maksum As adalah orang-orang Salafi (Wahabi). Sesuai dengan pernyataan ulama besar Salafi, mereka tidak mengakui kemaksuman para nabi dan para imam. Tokoh Salafi misalnya Ibnu Taimiyah dalam salah satu ucapannya yang mengklaim bahwa tiada seorang pun yang maksum, tidak nabi juga tidak selain nabi.[5]
Karena kemaksuman nabi tidak dapat ditetapkan maka tiada satu pun kemaksuman selain nabi yang dapat ditetapkan. Ia berkata, “Sesungguhnya tiada seorang pun yang maksum setelah Rasulullah dan tiada seorang pun yang wajib ditaati setelah Rasulullah.”[6]
Berikut ini, secara ringkas, kami akan menyebutkan dua ayat yang dijadikan sandaran oleh Ibnu Taimiyah:
- “Maka mereka berdua memakan dari buah pohon itu, lalu nampaklah bagi mereka aurat-aurat mereka dan mulailah mereka menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga. (Ya), Adam tidak menaati Tuhan-nya dan ia terhalangi dari anugerah pahala-Nya.” (Qs. Thaha [20]:121)
Pada ayat ini dan ayat-ayat sebelumnya berkisah tentang masuknya Adam dan istrinya ke dalam surga, dan keluarnya mereka dari surga akibat was-was setan. Kondisi ini adalah sebuah hukum yang disyariatkan Allah Swt tatkala mereka diusir dari Surga yang menyangkut kebahagiaan anak-anak Adam bahwa apabila mereka mengikuti jalan petunjuk dan penderitaan yang menantikan mereka apabila berpaling dari jalan petunjuk.
Ayat ini dan ayat-ayat lain yang terkait dengan Nabi Adam As dan istrinya Hawa dijelaskan tentang terusirnya mereka dari surga. Ayat-ayat ini menjadi dalil terpenting sebagian Sunni untuk menafikan kemaksuman para nabi dalam masalah selain wahyu dan mereka memandang bahwa mungkin saja para nabi dan rasul itu melakukan maksiat.[7]
Namun dalam menolak model argumentasi seperti ini, para ahli tafsir dan peneliti besar Syiah menyodorkan jawaban-jawaban kokoh dan ampuh dengan bersandar pada ayat-ayat dan riwayat-riwayat.[8] Pada kesempatan ini kami akan menyebutkan salah satu dari jawaban tersebut sebagai berikut:
Sebelum mengkaji dan menganalisa ayat-ayat ini, kiranya kita perlu menyebutkan bahwa perintah dan larangan terdiri dari dua jenis:
Pertama: Perintah dan larangan taklifi: Dalam jenis perintah dan larangan ini, Maula (Allah Swt) pada posisi wilâyah yang dimiliki-Nya (kekuasaan dan kewenangan) mengeluarkan instruksi kepada para hamba-Nya untuk tidak melakukan sesuatu atau melakukan sesuatu. Para hamba harus mematuhi dan menaati perintah-perintah dan larangan-larangan seperti ini. Mereka harus menjalankan seluruh perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya.
Kedua: Perintah dan larangan irsyâdi: Dalam jenis perintah dan larangan ini, Allah Swt (Maula) tidak bersandar pada kekuasaan dan kewenangan-Nya tatkala mengeluarkan instruksi ini, melainkan semata-mata bertitik tolak pada kemaslahatan hakiki manusia dan memberikan solusi serta menunjukkan perhatian kepada manusia supaya mengerjakan sesuatu atau meninggalkan sesuatu; namun tentu saja perintah dan larangan irsyadi ini terdiri dari dua bagian: 1. Murni irsyadi yang pelaksanaannya tidak mengacu pada niat untuk beribadah. 2. Irsyadi yang disertai dengan adanya kekuasaan; misalnya amalan-amalan mustahab yang di samping memiliki dimensi irsyadi, secara implisit juga mengandung dimensi maulawi yang membutuhkan niat beribadah dan tanpa niat ibadah sama sekali tidak memiliki pengaruh (tidak memperoleh pahala).
Setelah menjelaskan hal ini kita nyatakan bahwa larangan yang disampaikan Allah Swt Yang Mahabijaksana kepada Nabi Adam adalah larangan yang murni irsyâdi yang semata-mata seperti orang-orang baik yang menginginkan kebaikan, menunjukkan kepedulian, menghendaki kemaslahatan, sebagai konsekuensi dari perbuatannya sehingga apabila Nabi Adam As menaati perintah Allah Swt dan tidak memakan buah terlarang itu, maka ia akan memperoleh manfaat dan kemaslahatan bagi dirinya. Namun ia tidak memenuhi perintah itu, mengingat Allah Swt memerintahkan sesuatu yang maka tidak wajib bagi Nabi Adam untuk menaatinya. Hadiah pertama berupa ketaatan terhadap perintah Tuhan bagi Nabi Adam As yang dapat diperoleh adalah bahwa ia di surga menikmati segala kemudahan dan kesejahteraan. Tetapi dengan mengabaikan perintah Tuhan, Nabi Adam As tidak lagi menikmati posisi tersebut. Dalam hal ini, Adam tidak melakukan pembangkangan terhadap Allah Swt (Maula) sehingga perbuatannya dapat dinilai sebagai perbuatan maksiat. Dimensi irsyâdi yang terkandung pada ayat-ayat ini dapat dipahami dengan mencermati ayat-ayat sebelumnya;[9] karena ayat-ayat ini sama sekali tidak menjelaskan hukuman, melainkan berada pada tataran reaksi natural akibat memakan buah terlarang yaitu terlemparnya mereka dari surga yang mengandung anugerah yang melimpah.
Apabila larangan Allah Swt bersifat maulawi, maka akibat-akibat dan kemestian-kemestiannya, akan hilang dengan perantara taubat; tatkala kita saksikan Adam dan Hawa bertaubat dan taubat mereka diterima, namun akibat-akibat dari perbuatan itu tetap ada karena mereka dikeluarkan dari surga. Sementara seharusnya Adam dan Hawa harus tetap tinggal di surga karena taubat mereka diterima.
Karena itu, tergelincirnya[10] seseorang sama sekali tidak meniscayakan dosa dan maksiat mengingat segala jenis penentangan dan perbuatan tidak menuruti tidak serta merta bermakna maksiat[11] dan tidak taat sebagaimana yang dikenal secara terminologis (dosa dan kejahatan). Tatkala manusia tidak mendengarkan nasihat-nasihat dan menjumpai kesulitan serta terjerembab dalam kesusahan hidup maka hal tersebut dapat disebut sebagai “tergelincir.”
Demikian juga tergelincir dalam hidup, tidak terbatas pada penentangan terhadap perintah-perintah maulawi, melainkan tatkala perintah yang lebih besar yang memiliki dimensi irsyadi dan dinyatakan dalam bentuk nasihat dan wejangan, apabila nasihat dan wejangan tersebut tidak didengarkan sebagai akibatnya manusia menjumpai pelbagai kerugian maka hal ini juga dapat disebut sebagai maksiat dan tergelincir. [12]
Terdapat beberapa bantahan lainnya atas tiadanya kemaksuman nabi selain dalam menyampaikan wahyu yang telah dijadikan sebagai sandaran (oleh ulama Syiah) mengikut pada ayat-ayat al-Quran. [13]
Pendeknya, kami meyakini bahwa para nabi tidak meninggalkan hal-hal yang wajib dan tidak akan pernah melakukan perbuatan haram; karena hal tersebut bertentangan dengan kemaksuman mereka. Namun meninggalkan yang utama (tark aula) yaitu meninggalkan hal-hal yang dianjurkan atau melakukan perbuatan makruh dapat dibenarkan pada perbuatan mereka. Lantaran kedudukan mereka di sisi Allah Swt berada pada posisi tertinggi, sehingga adanya permintaan ampunan dari mereka bermakna bahwa jangan sampai mereka tergelincir dari kedudukan tinggi mereka dan turun dari tingkatan yang lebih rendah yang tentunya menyusahkan bagi mereka. Karena barang siapa yang turun dari satu derajat meski tidak mengalami siksaan (azab) tentu saja sangat sulit bagi mereka.[14]
- “Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang-orang lelaki di antara penduduk negeri yang Kami berikan wahyu kepadanya. Maka tidakkah mereka (para penentang dakwahmu) bepergian di muka bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan rasul)? Dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu berpikir?” “Sehingga apabila para rasul tidak mempunyai harapan lagi (tentang keimanan mereka) dan telah meyakini bahwa mereka telah didustakan, datanglah kepada para rasul itu pertolongan Kami, lalu diselamatkan orang-orang yang Kami kehendaki. Dan tidak dapat ditolak siksa Kami dari orang-orang yang berdosa.”[15]
Orang-orang yang meyakini tiadanya kemaksuman para nabi bersandar pada ayat ini (ayat 100); karena mereka menyatakan bahwa kata ganti-kata ganti pada redaksi ayat “wa zhannu annahum qad kudzibu” itu kembali pada “al-rasul”, yang dalam hal ini kandungan ayat akan bermakna bahwa para rasul dan nabi Ilahi, mengingatkan kaum mereka, namun kaumnya menentang mereka dengan sengit. Para rasul ini, tetap mendakwahi kaum mereka dan kaumnya tetap saja bersikap keras kepala menolak seruan para rasulnya; para rasul tersebut mengingatkan mereka tentang azab Tuhan dan mereka tidak menerimanya, hingga para rasul putus asa (atau hampir putus asa) karena mereka tidak akan beriman kepada Allah Swt
“Para rasul mengira bahwa mereka berkata dusta dalam pertolongan dan bantuan yang datang dari Allah Swt kepada orang-orang beriman dan menjanjikan orang-orang kafir kehancuran dan kebinasaan.” Yaitu makna ayat “zhanna al-rasul annahum qad kudzibu.” (telah meyakini bahwa mereka telah didustakan) dan anggapan seperti ini yang disandarkan kepada Allah Swt merupakan keyakinan yang batil dan tidak sesuai dengan konsep kemaksuman.[16] Pembahasan yang mengemuka pada ayat mulia ini menyangkut seluruh nabi termasuk Nabi Saw. Mereka memandang bahwa para nabi itu hanya maksum dalam menerima wahyu.
Jawaban dari model argumentasi seperti ini, salah satunya yang sesuai dan sejalan dengan bentuk lahir ayat adalah bahwa anggapan yang disebutkan pada ayat bukanlah urusan hati yang sampai pada hati-hati para rasul dan tersifati dengannya kemudian mereka memahaminya dengan sepenuh jiwa dan akal, dan setelah itu mereka ingin menyampaikan hal ini dengan lisannya, seperti anggapan-anggapan lainnya yang sampai pada hati-hati manusia dan dinyatakan dengan lisan dan merugikan mereka secara teoritis dan praktis.
Ayat di atas tidak bermaksud demikian. Sebaliknya yang dimaksud dari ayat di atas adalah bahwa pelbagai peristiwa dan kejadian yang menyusahkan bagi para rasul yang dilakukan oleh orang-orang kafir sedemikian intens sehingga bahasa takwini yang mengisahkan bantuan dan pertolongan yang telah dijanjikan kepada mereka itu tidak benar adanya; dan tentu berbeda antara orang-orang yang mengira janji Ilahi berupa pertolongan dan bantuan sebagai janji palsu dan orang-orang yang menyangka tidak ada berita tentang janji Allah ini karena disebabkan oleh kesusahan dan kejadian-kejadian yang menyusahkan, yang menguasai mereka.[17] [iQuest]
[1]. Ja’far Subhani, al-Ilahiyyât, jil. 3, hal. 165.
[2]. Tafsir al-Alusi, terkait dengan tafsir surah Thaha (20), pada ayat 121, berkata:
« نعم لا اشكال فيه على ما قاله القاضي أبو بكر من أنه لا يمتنع عقلاً ولا سمعاً أن يصدر من النبي عليه السلام قبل نبوته معصية مطلقاً ».
[3]. Ja’far Subhani, al-Ilahiyyât, jil. 3, hal. 183.
[4]. Ja’far Subhani, al-Ilahiyyât, jil. 3, hal. 183-189.
[5]. Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyah al-Harrani Abu al-Abbas, Minhâj al-Sunnah al-Nabawiyah, jil. 7, hal. 85, riset oleh Muhammad Rasyad Salim, Mesir, Muassasah Qurthubah, 1406, Cetakan Pertama; Jâmi’ al-Rasâil li Ibn Taimiyah, Rasyad Salim, al-Majmu’ah al-Tsâniyah:
بحث غلو الشیعة فی دعوی العصمة: وَادعوا عصمتهم من صَغِير الذُّنُوب وكبيرها غير ذَلِك وَادعوا ذَلِك فِي الْأَنْبِيَاء أَيْضا لأَنهم أفضل من الْأَئِمَّة؛ « مذهب السلف و اهل السنة هو القول بتوبة الانبیاء» و « بطلَان القَوْل بعصمة الْأَنْبِيَاء من التَّوْبَة من الذُّنُوب».
[6]. Jâmi’ al-Rasâil li Ibn Taimiyah, Rasyad Salim, al-Majmu’ah al-Ula dalam pembahasan, “La ‘Ishmah li ahadim ba’da al-Rasul” dan dalam pembahasan, “madzhab al-salaf wa Ahlusunnah huwa al-qaul bitaubati al-anbiya” demikian juga pembahasan “Buthlan al-qaul biishmati al-anbiya min al-taubah min al-dzunub.”
[7]. Ja’far Subhani, Mafâhim al-Qur’ân, jil. 5, hal. 119.
[8]. Untuk mendapatkan jawaban terhadap kritikan ini Anda dapat merujuk pada beberapa pertanyaan terkait sebagai berikut: Pertanyaan 203 (Site: 1114), Indeks: Dosa Adam dan Hawa; Pertanyaan 4438 (Site: 4808), Indeks: Kesalahan Nabi Adam dan pertanyaan lainnya yang berkaitan dengan kemaksuman para nabi.
[9]. “Maka kami berkata, “Hai Adam, sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu jatuh dalam kesengsaraan hidup. Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalam surga dan tidak akan telanjang. Dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya.” (Qs. Thaha [20]:117-119)
[10]. “Lalu setan menggelincirkan keduanya dari surga itu.” (Qs. Al-Baqarah [2]:36)
[11]. “Maka mereka berdua memakan dari buah pohon itu, lalu nampaklah bagi mereka aurat-aurat mereka dan mulailah mereka menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga. (Ya), Adam tidak menaati Tuhan-nya dan ia terhalangi dari anugerah pahala-Nya.” (Qs. Thaha [20]:121)
[12]. Ja’far Subhani, Mafâhim al-Qur’ân, jil. 5, hal. 122-126, dengan ringkasan; Sayid Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân fi Tafsir al-Qur’ân, terjemahan Persia oleh Sayid Muhammad Baqir Musawi Hamadani, jil. 14, hal. 306-309, Daftar Intisyarat Islami Jami’ah Mudarrisin Hauzah Ilmiah Qum, 1374 S; Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 13, hal. 324-323, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, Cetakan Pertama, 1374 S; Terjemahan Persia Majma’ al-Bayân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 1, hal. 133-137, Mutarjiman, Intisyarat Farahani, Teheran, Cetakan Pertama, 1360 S.
[13]. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, Tafsir al-Mizân, terjemahan Persia oleh Sayid Muhammad Baqir Hamadani, jil. 14, hal. 309.
[14]. Terjemahan Persia Majma’ al-Bayân, jil. 18, hal. 33.
[15]. (Qs. Yusuf [12]:109-110)
وَ ما أَرْسَلْنا مِنْ قَبْلِكَ إِلاَّ رِجالاً نُوحي إِلَيْهِمْ مِنْ أَهْلِ الْقُرى أَ فَلَمْ يَسيرُوا فِي الْأَرْضِ فَيَنْظُرُوا كَيْفَ كانَ عاقِبَةُ الَّذينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَ لَدارُ الْآخِرَةِ خَيْرٌ لِلَّذينَ اتَّقَوْا أَ فَلا تَعْقِلُونَ .حَتَّى إِذَا اسْتَيْأَسَ الرُّسُلُ وَ ظَنُّوا أَنَّهُمْ قَدْ كُذِبُوا جاءَهُمْ نَصْرُنا فَنُجِّيَ مَنْ نَشاءُ وَ لا يُرَدُّ بَأْسُنا عَنِ الْقَوْمِ الْمُجْرِمينَ «110»).
[16]. Ja’far Subhani, Mafâhim al-Qur’ân, jil. 5, hal.97-98.
[17]. Ja’far Subhani, Mafâhim al-Qur’ân, jil. 5, hal. 101-104, dengan ringkasan.