Meski berdoa tidak memiliki batasan tertentu namun terkabulkannya doa memiliki syarat-syarat. Salah satu syarat terkabulkannya doa adalah kelayakan seseorang yang ingin kita doakan. Walaupun kita dapat berdoa bagi orang kafir dan munafik serta murtad pada masa hidupnya namun tatkala ia meninggal dunia dalam keadaan kafir maka ruang bagi terkabulkannya doa telah hilang. Doa kita untuknya tidak akan terkabulkan. Karena itu, berdoa untuk mereka tidak ada artinnya (baca: sia-sia) dan Islam tidak mengizinkan hal tersebut.
Doa adalah hubungan hati seorang hamba dengan Tuhannya dan permohonan kepada-Nya. Allah Swt menyeru kepada para hamba-Nya untuk berdoa kepada-Nya dan berfirman, “’Ud’uni astajib lakum.” (Berdoalah kepada-Ku Aku akan kabulkan untukmu, Qs. Ghafir [40]:60)
Kendati dalam berdoa tidak terdapat batasan, namun terdapat beberapa syarat bagi terkabulkannya doa. Salah satu syarat terkabulkannya doa adalah kelayakan orang yang ingin kita doakan. Doa untuk orang-orang murtad yang dengan pilihannya sendiri memilih untuk kafir dan meninggalkan iman kepada Tuhan kemudian meninggal dunia dalam kondisi seperti ini. Kondisi seperti ini dengan sendirinya telah menghilangkan kelayakan terkabulkannya doa. Karena itu, al-Qur’an melarang Rasulullah Saw dan orang-orang beriman untuk tidak mendoakan dan memohonkan ampunan untuk mereka, “Tiadalah sepatutnya bagi nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (mereka), sesudah jelas bagi mereka bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahanam.” (Qs. Al-Taubah [9]:113) Berdasarkan ayat ini memohonkan ampunan untuk orang-orang musyrik tidak dibenarkan karena termasuk perbuatan sia-sia dan tiada guna. Mengingat orang yang didoakan layak mendapatkan azab dan hukuman Tuhan. Ia layak mendapatkan azab dari Tuhan, tidak keluar dari dua kondisi berikut ini, pertama Tuhan ingin menghukum dan menderanya sebagai akibat dari perbuatannya atau yang kedua hamba yang bermusuhan dengan Tuhan, apabila seorang hamba melakukan kesalahan namun tidak bermusuhan dengan-Nya melainkan mengungkapkan penghambaan dan kehinaan, dalam kondisi seperti ini karena keluasan rahmat-Nya, dan memohon kepada Tuhan untuk mengasihi hamba-Nya. Akan tetapi apabila hamba memiliki permusuhan dengan Tuhan sebagaimana orang-orang musyrik penentang – dan memandang dirinya lebih tinggi untuk tidak menundukkan kepala di hadapan Tuhan, maka dalam hal ini akal secara tegas menghukumi bahwa syafaat atau istighfar untuknya tidak memiliki makna sama sekali, kecuali sang hamba menyingkirkan penentangannya dan bertaubat kepada Tuhan dan mengenakan busana penghambaan. Kalau tidak demikian tentu merupakan sebuah perbuatan konyol seseorang yang tidak menerima rahmat dan ampunan Tuhan sama sekali kemudian kita doakan dan memohonkan ampunan baginya.
Tentu saja permintaan dan permohonan syafaat ke hadirat Tuhan merupakan sebuah perbuatan konyol dan bermain dengan makam rububiyah Tuhan yang tentu saja merupakan sebuah perbuatan tercela dan tidak dibenarkan sesuai dengan hukum fitrah manusia. Allah Swt menyebut tindakan ini sebagai “tidak dibenarkan” sebagaimana firman-Nya, “Ma kana linnabiyi walladzina amanu..” artinya Rasul dan mereka yang beriman tidak memiliki hak untuk memohonkan ampunan (istighfar) setelah menjadi maklum bagi mereka (bahwa mereka telah kafir dan musyrik)…dan dalam tafsir ayat, “ma kana lilmusyrikin an ya’maru masajidaLlah…” disebutkan bahwa hukum jawâz (kebolehan) dalam syariat datang setelah adanya penetapan Tuhan.[1]
Dari ayat ini dapat disimpulkan bahwa berdoa dan memohonkan ampunan bagi seorang murtad yang meninggal dunia dalam keadaan murtad juga merupakan perbuatan sia-sia dan tiada guna; karena mereka dengan pilihannya sendiri memilih untuk menentang dan bermusuhan dengan Tuhan. Atas alasan ini, tidak dibenarkan memohonkan ampunan bagi mereka.[IQuest]
[1]. Sayid Muhammad Baqir Musawi Hamadani, Terjemahan Persia al-Mizân, jil. 9, hal. 541, Daftar Intisyarat-e Islami Jame’e Mudarrisin Hauzah Ilmiah Qum, Qum, 1374. Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 8, hal. 154, Dar al-Kitab al-Islamiyah, Teheran, 1374, Cetaka Pertama.