Manusia dapat mengenal Tuhan melalui beragam jalan. Pengenalan ini dapat dicapai dengan jalan akal atau jalan hati. Terkadang sebagaimana yang dilakukan para filosof melalui jalan ilmu hushuli dan berargumentasi dengan menggunakan media indra empirik dan akal untuk mencapai tujuannya. Terkadang sebagaimana para urafa, melalui jalan ilmu hudhuri meretas jalan menuju Sang Kinasih dan menyaksikan-Nya (syuhud). Misalnya untuk memahami wujud api, terkadang mungkin melalui asap yang membumbung dari api tersebut sehingga wujud api dapat dipahami. Dan tatkala dengan menyaksikan api itu sendiri ia akan mengetahui (âlim) wujud api itu dan dengan membakar sebagian badannya pada api ia menemukan dan merasakan wujudnya.
Bagaimanapun, dalam dua metode ini, pengenalan hushuli (penggambaran lewat pikiran) dan pengenalan hudhuri (kehadiran eksistensial), terkadang jalan dan proses serta tujuan adalah satu seperti seseorang dengan menelaah pada ayat-ayat Ilahi dan sistem yang berlaku pada ayat-ayat (baca semesta) tersebut ia sampai kepada Tuhan. Dan terkadang tidak demikian, proses dan jalan yang satu atau jalan dan tujuan yang satu.
Ketika seseorang dengan mengenal dirinya kemudian sampai kepada Tuhan maka pengenalan ini termasuk pengenalan jenis kedua (hudhuri). Dan tatkala ia dengan merenungi nama-nama dan sifat-sifat Ilahi kemudian mengenal-Nya maka pengenalannya ini adalah tergolong pengenalan syuhudi.
Dari tiga jenis pengenalan ini, terkait dengan jalan dan tujuan yang satu dan manusia menyaksikan temuan-temuannya, pengenalan yang diraupnya ini merupakan pengenalan yang bernilai sangat tinggi. Karena ia melihat dan mencicipi tujuan. Pada banyak ayat dan riwayat, ketiga jalan ini dijelaskan. Khususnya yang ditegaskan bahwa tiada yang lebih jelas dan benderang dari wujud Tuhan dan melalui-Nya sampai kepada-Nya. Dia adalah cahaya dimana untuk mencerap, memahami dan melihat-Nya tidak memerlukan selain-Nya. Dan apabila kita tidak dapat menyaksikan-Nya, hal itu dikarenakan tirai kelalaian yang telah menghalangi kita pada ranah pengenalan hushuli dan hudhuri.
Kita tidak memiliki ilmu terhadap ilmu. Dan untuk mencapai pada ilmu rangkapan ini, maka kita harus menjauhkan segala tirai kegelapan (zhulmani) dan cahaya (nurani). Dan atas alasan ini disebutkan bahwa mengenal Tuhan merupakan perkara fitri dan dalil yang ditegakkan untuk menetapkan keberadaan dan mengenal Tuhan semata-mata suatu peringatan bukan suatu pengetahuan yang diawali dengan ketidaktahuan dan kebodohan. Namun harus diperhatikan bahwa Dzat Tuhan, adalah sesuatu yang bukan menjadi obyek pemahaman rasio para filosof dan juga bukan obyek penyaksian kalbu (syuhud) para arif. Selain itu ,dzat Ilahi, di samping ia dapat dipahami juga dapat disaksikan.
Untuk menjawab pertanyaan ini, dua perkara media pengenalan harus diperkenalan:
Media-media pengenalan antara lain, indra (empirik), akal (rasio), dan hati (kalbu).
Panca indra semata-mata berurusan dengan hal-hal lahir dan tidak menyelam hingga ke dasar segala sesuatu. Dan meski dengan pesatnya dan majunya seluruh pengetahuan yang diberikan kepada manusia, ia memiliki keterbatasan dari sisi ruang dan waktu.
Akal merupakan kekuatan khusus yang inti pekerjaannya adalah mencerap pahaman-pahaman universal dan dengan makna ini, derajat dan perannya sangat banyak di antaranya adalah menalar dan beragumentasi.
Namun media pengenalan tidak terbatas pada dua media ini. Manusia dapat meraup pengetahuan yang menukik dan menjulang melalui jalan hati dan kalbu. Dan menyaksikan apa yang dicapai oleh orang lain melalui argumentasi. Orang-orang arif mengenal Tuhan melalui jalan ini.[1]
Dengan kata lain, dalam sebuah klasifikasi universal, makrifat, pengenalan atau pengetahuan terbagi menjadi tiga antara lain, pengetahuan hushuli, atau pengetahuan hudhuri, dan pengetahuan syuhudi.
Pengetahuan hushuli diperoleh melalui pahaman-pahaman pikiran dengan memperhatikan argumentasi-argumentasi rasional dan filosofis. Pengetahuan hudhuri adalah pengetahuan tanpa media untuk mencerap pahaman dan merupakan bentuk mental yang hadir di sisi pencerap. Pengetahuan hudhuri adalah tergolong sebagai salah satu pengetahuan irfani dan syuhudi dimana realitas luaran sesuatu tersaksikan oleh sang penyaksi.
Namun dalam pengenalan hushuli atau rasional yang digunakan adalah pendahuluan-pendahuluan indrawi dan empirik. Misalnya dengan jalan berpikir pada tanda-tanda Tuhan atau sistem yang berlaku di alam semesta, ia mengenal Tuhan dengan mengusung argumen-argumen sederhana. Akan tetapi jika manusia ingin mengenal lebih jauh, maka ia harus memanfaatkan pendahuluan-pendahuluan yang murni akal (pure reason).
Bagaimanapun, harus diperhatikan bahwa pertama, sesuai dengan riset laboratorium dan produk-produk ilmu murni empirik menegaskan bahwa keberadaan Tuhan tidak dapat dibuktikan juga tidak dapat ditetapkan.[2] Hal itu dikarenakan tangan empirik indrawi sangat pendek untuk dapat mencapai domain metafisika. Oleh karena itu, pengenalan empirik semata tidak dapat menyelesaikan persoalan, melainkan harus menggunakan pendahuluan-pendahuluan penalaran rasional. Kedua, kendati dalam teks-teks Islami dianjurkan untuk menelaah ayat-ayat afaqi.[3] Dan dari sisi lain, lantaran argumentatifnya metode ini, maka ia dipandang sebagai pengenalan rasional. Namun kita tidak boleh melalaikan poin ini bahwa telaah dan berpikir pada makhluk-makhluk dan karya-karya ciptaan serta kebijaksanaan Ilahi, hanya menunjukkan pada sosok yang tahu dan mampu memutar semesta ini. Namun Dia bagaimana sifatnya, apakah Dia mandiri pada dzat-Nya atau …diperoleh dengan jalan ini.
Adapun pengenalan hudhuri dapat diklasifikasikan ke dalam tiga jenis:
A. Ilmu hudhuri suatu sebab kepada akibat;
B. Ilmu hudhuri suatu maujud nonmateri (mujarrad) kepada dzatnya;
C. Ilmu hudhuri suatu akibat kepada sebab.
Ilmu hudhuri seluruh maujud kepada Tuhan tidak termasuk pada dua jenis pertama dan termasuk pada jenis ketiga. Dan manusia sesuai dengan keterbatasannya tidak dapat mencerap Tuhan, dan kendati Allah Swt dekat kepada segala sesuatu, namun yang lain karena keterbatasan dan kekurangan yang dimilikinya, tingkat kedekatan dan kejauhan kepadanya beragam.
Syaikh Nashiruddin Thusi Ra menyebutkan sebuah contoh menarik terkait dengan tingkatan pengenalan, tingkatan pengenalan Tuhan laksana tingkatan pengenalan api dimana tingkatan terendah ilmu tentang api adalah mendengar sifat-sifat api dari seseorang, dan tingkatan kedua adalah ilmu yang didapatkan dari asap api, tingkatan ketiga perasaan panas dan cahaya api; dan tingkatan terakhir, terbakar dan lebur menjadi debu dalam api.[4]
Poin yang perlu disebutkan di sini adalah bahwa dalam pembahasan pengenalan dari sudut pandang ketergantungan, terkadang terkait dengan pembuktian keberadaan Tuhan dan terkadang bertaut dengan tipologi wujud-Nya, dan pada keduanya manusia juga dapat menggunakan pemikiran dan juga dari kalbu, ia dapat menggunakan ilmu hushuli dan juga menyaksikannya dengan ilmu hudhuri. Yang pertama disebut sebagai “burhan” (argumen) dan yang kedua dinamai “irfan” (gnosis), akan tetapi argumen filosofis yang banyak digunakan tidak sepadan dan senilai dengan temuan-temuan irfani.
Bagaimanapun, baik melalui jalan akal atau jalan kalbu, pengenalan Tuhan dapat dicapai melalui tiga jalan. Dengan kata lain, perjalanan spiritual para salik atau pemahamam rasional kaum filosof yang sampai kepada tujuan tidak keluar dari tiga kondisi:
1. Pejalan atau pesuluk (salik) dan jalan (maslak) serta tujuan (maslukun ilaihi) terpisah dari satu dengan yang lain. Misalnya manusia dengan menelaah dan menyaksikan keteraturan dan sistem yang berlaku di alam semesta, dan bahwa seluruhnya membutuhkan dan bersandar kepada Yang Tak-Membutuhkan. Dan bahwa alam semesta memiliki permulaan, adanya tujuan serta ayat-ayat al-Qur’an mengajak manusia kepada jalan ini.[5]
2. Pesuluk adalah jalan itu sendiri, misalnya seorang manusia menelaah alam batin bertanya tentang siapa gerangan dirinya? Berasal dari mana dan mengapa segala kehendaknya tidak berada berada dalam kekuasaannya? Mengapa ia tidak dapat menundukkan taman jiwanya sehingga kenangan tidak memenuhi benaknya tanpa izinnya dan sebagainya? Ia dengan jalan ini mencapai Tuhan.
Imam Ali As menyebutkan jalan sedemikian, “Aku mengenal Tuhan dengan urungnya tekad, terpecahkannya masalah-masalah pelik, dan gagalnya segala keputusan.”[6] Atau dengan redaksi “Barang siapa mengenal dirinya mengenal Tuhannya.” [7]
Atau dalam al-Qur’an disebutkan, “Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudarat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Qs. Al-Maidah [5]:105) jalan ini lebih dalam dan berfaidah daripada jalan kalbu.
3. Jalan adalah tujuan itu sendiri. Artinya pejalan yang merupakan seorang arif, dengan ketelitian pada tujuan (maqsad), ia menemukan yang ingin ditujunya (maqsud). Jalan ini adalah merupakan jalan yang paling dalam karena telah melewati tingkatan sair afaqi dan anfusi. Dan dengan memperhatikan pada penyaksi mutlak, ia memahami bahwa penyaksi mutlak ini adalah Tuhan. Firman Allah Swt, “Dan apakah Tuhan-mu tidak cukup (bagimu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?” (Qs. Fusshilat [41]:53) Pertama, Dia yang disaksikan dan dikenal lalu kemudian segala sesuatu yang lain dan dunia tanpa tapal batas. Karena Dia adalah Cahaya tujuh petala langit dan bumi. Dzat Ahadiyat, sebaik-baik bukti dan saksi atas diri-Nya sedemikian sehingga tidak memerlukan perantara dan media untuk mengenal-Nya. “Rasul-rasul mereka berkata, “Apakah ada keragu-raguan tentang Allah, pencipta langit dan bumi?” (Qs. Ibrahim [14]:10), “Allah adalah cahaya seluruh langit dan bumi.” (Qs. Al-Nur [24]:35)
Oleh karena itu, Allah Swt berfirman kepada Nabi-Nya, “(Dikatakan kepadanya), “Sesungguhnya kamu lalai tentang (hal) ini, lalu Kami singkapkan darimu tirai (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.” (Qs. Qaf [50]:23)
Imam Husain As dalam doa Arafah menjelaskan jalan ketiga ini dan bersabda: “Tuhanku apakah selain-Mu benderang sehingga ia menerangi-Mu. Dan (apakah) Engkau tidak memiliki cahaya (zhuhur) sehingga yang lain itu menerangi-Mu. Apakah Engkau tiada sehingga membutuhkan penunjuk dan apakah Engkau jauh sehingga ciptaan dan seluruh makhluk-Mu mendekatkan kami kepada-Mu.”[8]
Engkau tidak jauh sehingga aku harus mencari-Mu
Engkau tidak gaib sehingga aku harus menampakan-MU
Sungguh buta mata yang tidak melihat-Mu.. dari-Mu wahai Tuhanku, aku ingin perjumpaan dengan-Mu, aku menginginkan wujud-Mu sebagai petunjuk bagi eksistensi-Mu.
Dalam ucapan ini, dijelaskan bahwa bagi pesuluk, Allah Swt lebih benderang dari tujuh petala langit dan bumi. Imam Shadiq As mengisyarahkan kepada poin ini, “Barang siapa memiliki wujud dan berada pada alam eksternal, maka pertama-tama ia harus mengetahui dirinya sendiri dan kemudian sifat-sifatnya. Akan tetapi, pengenalan sifat mendahului dzat sendirinya … sebagaimana saudara-saudara Yusuf berpikir pada Yusuf sendiri dan mengenalinya, “Mereka berkata, “Apakah kamu ini benar-benar Yusuf?” (Qs. Yusuf [12]:90) artinya mereka merenungi sifat-sifat Yusuf dan tahu bahwa dia adalah Yusuf. Mereka memahami hal ini bukan dengan bertanya dari orang lain.”[9]
Dengan memperhatikan penjelasan-penjelasan ini, telah jelaskan dengan argumentatif bahwa makhluk merupakan realitas-realitas yang bergantung secara mutlak kepada Tuhan. Apabila tidak demikian maka hal itu meniscayakan makhluk tersebut kaya (tak membutuhkan) dalam dzatnya sendiri. Dan sebagai kesimpulannya, ketidakbutuhan dan ketidakbergantungan yang ada pada dzat mereka merupakan suatu hal yang absurd. Oleh karena itu, hakikat wujud makhluk adalah bergantung mutlak kepada dzat Tuhan, dan mustahil menyaksikan adanya kebergantungan (atau hubungan) tanpa yang dihubungi (marbuth ilaih). Artinya pencerapan mandiri makhluk (yakni hanya mengetahui wujudnya sendiri sebagai suatau realitas yang bergantung kepada-Nya) adalah mustahil, dan dengan demikian setiap mudrak (obyek yang dicerap) kendati ia materi, karena pada hakikat wujudnya terdapat kebergantungan (atau lebih mendalam dapat dikatakan bahwa wujud makhluk adalah kebergantungan itu sendiri kepada wujud Tuhan) dengan sumbernya (Tuhan), maka pencerapan kepada wujudnya bersama dengan pengetahuan hudhuri kepada wujud Tuhan.”[10]
Namun ilmu terbagi menjadi dua, ilmu tunggal (basith) dan ilmu rangkap. Sebagaimana kejahilan juga terdiri dari dua jenis kejahilan tunggal (basith) dan rangkap (murakkab).
Ilmu basith adalah pengetahuan terhadap satu persoalan tanpa melalui suatu perantara. Ilmu murakkab (rangkap) adalah ilmu yang didapatkan melalui perantaraan ilmu lainnya. Artinya adalah orang ini mengetahui bahwa ia mengetahui. Dan kita yakin bahwa pengenalan kepada Tuhan bagi setiap orang memanfaatkan pencerapan, apakah pencerapan itu hushuli atau hudhuri dan terlepas bahwa ikutan pencerapan tersebut adalah sebuah perkara yang niscaya dan mesti.
Artinya tatkala manusia mencerap dan memahami sesuatu melalui ilmu hushuli atau ilmu hudhuri, sesungguhnya ia telah mencerap Tuhan Yang Maha Tinggi.[11] “Ma’ruf ‘inda kulli jahil.” (Yang dikenal diseluruh orang bodohl)[12] bahkan termasuk orang-orang yang sangsi atas wujud-Nya. Sebelum ia melihat keraguannya, ia telah melihat Tuhan, lantaran Tuhan yang menjadi sebab keraguannya. Dan keraguannya itu adalah hubungan itu sendiri (ain rabth) kepada Tuhan.
Memang, sebagian orang tidak memiliki ilmu terhadap ilmu dan lalai dari pencerapan yang mesti ini. Apabila Imam Ali bersabda: “Tiada sesuatu yang aku saksikan melainkan aku melihat Allah sebelumnya.”[13] atau “Aku tidak menyembah Tuhan yang tidak aku lihat.”[14] Maka hal itu dikarenakan Imam Ali memiliki ilmu terhadap ilmu. Imam Ali telah sampai kepada hakikat sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an “Dan hanya kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Maka ke arah mana pun kamu menghadap, di situlah terdapat “wajah” Allah” (Qs. Al-Baqarah [2]:115) wajah tidak mungkin akan dapat disaksikan tanpa menyaksikan terlebih dahulu pemilik wajah.
Dia adalah seorang arif yang dengan "kematian ikhtiari", sekarang menyaksikan bahwa segala sesuatu selain Allah adalah tersembunyi dan hanyalah Sang Pencipta yang tampak benderang. Atas alasan inilah Imam Ali bersabda, “Lau kusyif al-ghitâ maa azdadtu yaqinân” (Sekiranya tirai tersingkap maka keyakinanku tidak akan bertambah).[15]
Yang menjadi penghalang bagi kita untuk memahami dan menyaksikan disebut sebagai hijab (tirai). Dan hijab itu ada yang gelap ada yang bercahaya. Hijab yang gelap adalah hijab materi yang terdiri dari tiga hal: mahjub (yang terhijab), hijab dan mahjub ‘anhu (yang terhijab darinya). Namun pada hijab yang bercahaya tidak lebih dari dua perkara, mahjub dan mahjub ‘anhu. Dan hijab yang terakhir ini lantaran intensitas cahaya mahjub ‘anhu. Atau dengan ungkapan yang lebih baik adalah kelemahan mahjub. Misalnya terkadang seorang manusia tidak melihat matahari karena ada dinding atau tembok yang menghalangi. Dan terkadang karena intensitas cahayanya yang sangat tinggi, manusia tidak dapat melihat cahaya matahari atau karena kelemahan pandangannya.
Hijab pada dirimu di setiap keadaan
Tersembunyi dari mata semesta yang nampak benderang
Antara Pencipta dan seluruh makhluk-Nya tiada hijab selain makhluk itu sendiri.[16] Apabila manusia dapat menyingkirkan segala hijab zhulmani (kegelapan), ego, dan hawa nafsunya, maka ia masih harus berusaha menyingkap hijab nurani (cahaya). Oleh itu, dalam munajat Sya’baniyah kita memohon kepada Allah Swt untuk menyingkirkan hijab cahaya itu.[17] Dan tiada seorang pun selain Nabi Saw dan Ahlulbaitnya yang menyingkirkan seluruh hijab cahaya pada dirinya. Namun tentu saja terkait dengan kedalaman hakikat Dzat Tuhan, bahkan Nabi Saw sendiri tidak dapat sampai kepada pengetahuan tentang hakikat Dzat Ilahi ini.[18] Dan wujud Nabi saw dan Ahlulbaitnya lah yang menjadi hijab cahaya itu sendiri untuk dapat menyaksikan kedalaman hakikat Dzat Ilahi. Dan karena makhluk tidak dapat keluar dari keterbatasan wujudnya dan kelemahan esensinya, maka mereka menyaksikan Tuhan dari sudut pandang keberadaannya yang terbatas itu.
Dengan demikian, ilmu setiap manusia dalam keterbatasan wujudnya. Dan tirai dan hijab itu berasal dari dirinya sendiri. Imam Ali As dalam menjelaskan masalah sedemikian, bersabda, “Akal tidak mampu mencerap tentang hakikat dan batasan sifat-sifat-Nya, dan pada sisi yang lain, tak seorangpun terhijab untuk mendapatkan pengetahuan yang cukup tentang-Nya.[19]
Artinya dari satu sisi seluruh makhluk di dunia ini adalah ayat-ayat Ilahi dan laksana cermin[20] yang menampilkan realitas yang benar dan juga cermin ini (baca makhluk) tidak terpisah dari pemilik wajah (sosok yang berada di cermin itu). Dan cermin ini bukan suatu realitas yang mandiri, melainkan semata-mata penampakan keindahan pemilik wajah, kendati anak kecil memandang cermin itu sebagai maujud yang terpisah dan mandiri.
Dari sisi lain, sabda Imam Ali “Tidak dicapai oleh pemahaman akal para filosof, dan tidak digapai oleh penyaksian intuitif para arif.".[21] Dzat-Nya tidak menjadi obyek pemahaman rasional seorang filosof juga tidak menjadi obyek penyaksian irfani seorang arif. Oleh karena itu, pengetahuan manusia adalah senantiasa disertai dengan pengakuan ketidakmampuan.[22] Dan hal ini terkait dengan perbandingan ukuran yang tidak diketahui (majhul) kepada yang dipahami (ma’lum) atau perbandingan ukuran tak terbatas (hakikat wujud Tuhan) kepada yang terbatas.
Poin yang harus disebutkan di sini sebagai poin terakhir adalah bahwa dalam riwayat-riwayat ihwal pengenalan fitri yang merupakan jenis pengetahuan hudhuri sebagaimana yang telah dijelaskan.
Fitrah manusia terbagi menjadi dua:
A. Pengenalan-pengenalan fitri yang dimiliki manusia tanpa memerlukan pengajaran;
B. Kecendrungan dan inklinasi fitri yang merupakan tuntutan penciptaan setiap orang.
Yang pertama disebut sebagai "makrifatullah (pengenalan Tuhan) secara fitri". Dan yang kedua dinamakan sebagai "penghambaan Tuhan secara fitri. Namun sebagaimana yang telah disebutkan bahwa makrifatulah secara fitri dan penghambaan secara fitri bukan merupakan pengetahuan sistimatik sehingga setiap orang awam tidak memerlukan lagi usaha rasional untuk mengenal Tuhan. Akan tetapi, masalah makrifatullah yang karena bersifat fitrawi, maka dalil-dalil dan argumen-argumen tentang penegasan wujud Tuhan adalah bersifat peringatan (tanbih) belaka bukan ta'lil. Dalam masalah ta’lil, manusia mengetahui bahwa ia memperoleh sesuatu yang baru. Namun pada masalah tanbih, manusia ketika sampai pembuktian-pembuktian argumentatif ia kemudian menyadari bahwa apa yang ingin dibuktikannya itu sejak awal telah diketahuinya. Karena itu, dalam pelbagai redaksi al-Qur’an disebutkan tentang tersingkapnya tirai kelalaian. Dan jalan yang melepaskan manusia dari kelalaian adalah jalan peringatan (tanbih) bukan ta’lil.[]
Literatur-literatur untuk telaah lebih jauh:
A. Tahrir Tamhid al-Qawâid, Ayatullah Jawadi Amuli, hal. 722 – 785 dan 1 – 66
B. Rahiq Makhtum, Ayatullah Jawadi Amuli, bagian kedua dari jilid 1, hal. 188, 189, 193 dan 201
C. Tafsir Maudhu’i, Ayatullah Jawadi Amuli, jil. 1, hal. 162 – 175
D. Rahiq Makhtum, Ayatullah Jawadi Amuli, bagian ketiga, jilid 1, hal. 543
E. Mabâni Ma’rifat-e Dini, Muhammad Husain Zadeh, hal. 36 – 44
F. Al-Mizân, Allamah Thaba-thabai, jil. 6, hal. 86 - 105
G. Âmuzesy-e ‘Aqâid, Ayatullah Misbah Yazdi, hal. 35 – 62
H. Sairi dar Nahjul Balaghah, Syahid Muthahhari
I. Qur’ân wa Irfân wa Burhân az Hamdigar Judâi Nadârand, Ayatullah Hasan Zadeh Amuli, hal. 141 – 143
[1]. Meski berdasarkan nukilan dapat sampai pada pengenalan namun terlebih dahulu nukilan tersebut harus ditetapkan dan setelah itu bahwa nukilan tersebut datang dari para maksum, ia dapat menjadi parameter untuk menyatakan kebenaran atau kekeliruan temuan-temuan akal dan hati.
[2]. Syaikh Shaduq, al-Tauhid, hal. 293, bab hadits itsbat huduts ‘alam, hadits awwal .
[3]. “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di egenap penjuru dunia dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. “ (Qs. Al-Fusshilat [41]:53)
[4]. Allamah Hasan Zadeh Amuli, Liqâ’ Allâh, hal. 26 & 27.
[5]. “Musa berkata, “Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada makhluk-Nya segala sesuatu (yang mereka butuhkan), kemudian memberi petunjuk kepada mereka.” (Qs. Thaha [20]:50); “Dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk.” Qs. A’la [87]:3); “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (Qs. Ali Imran [3]:190)
[6]. Nahjul Balaghah, Qishar al-Hikmah 250, terjemahan Muhammad Dasyti
[7]. Syarah Ibnu Abil Hadid, jil. 20, hal. 29; Asrar al-Balaghah, hal. 88.
[8]. Mafatih al-Jinan, hal. 496
[9]. Tuhaf al-Uqul, fii washf al-mahabbah
[10]. Asfar, jil. 1, hal. 113 – 120
[11]. Laa yudriku makhluk syaian illa bilLah wa la tudriku ma’rifatulLah illa bilLah, al-Tauhid, sifat al-Dzat wa al-af’al, hadits 7, hal. 143. Makhluk tidak mencerap sesuatu kecuali ia mencerap Tuhan, dan Tuhan tidak dapat dikenal kecuali dengan Tuhan.”
[12]. Al-Tauhid, bab al-Tauhid wa naïf al-Tasybih, hadits 15, hal. 58, “Dia dikenal oleh siapa saja meski ia adalah orang yang banyak kejahilannya.”
[13]. “Maa raitu syaian illa wa raituLlah qablah,” Asfar, jil. 1, hal. 117.
[14]. “Maa kuntu a’bud rabban lam arahu.” Kâfi, jil. 1, bab ibthal al-Ru’yah, hadits 6; al-Tauhid, bâb mâ jâ’a fii al-Ru’yah, hadits 6.
[15]. Syarah Ibnu Maitsam.
[16]. Imam Musa Kazhim As bersabda, “laisa baina subhanahu ta’ala wa baina khalqihi hijâbun ghaira khalqihi, al-Tauhid, hal. 179, bab naïf al-makan wa al-zaman wa al-harakah anhu Ta’ala, riwayat 12.
[17]. “Wa anri abshâra qulubinâ bidhi’yâi nazharihâ ilaik, hatta tahriq abshâr al-qulûb hujub al-nur.” (Dan terangkan penglihatan kalbu kami dengan dengan cahaya melihat-Mu sehingga penglihatan kalbu-kalbu itu dapat merobek-robek tirai-tirai [penghalang] cahaya).
[18]. “Dan Allah memperingatkanmu terhadap diri-Nya.” (Qs. Ali Imran [3]:30)
[19]. Nahj al-Balâghah, khutbah 49
[20]. Imam Ridha As dalam pembahasan dengan ‘Imran Shabi bersabda, “Dia tidak berada pada makhluk juga tidak makhluk berada pada-Nya. Dia laksana cermin dimana engkau tidak berada di dalamnya dan juga bukan cermin padamu. Dan cermin tidak seperti fatamorgana yang penampakannya palsu dan merupakan realitas yang tidak lain kecuali mencerminkan pemilik paras.” Al-Tauhid, hal. 434 dan 435.
[21]. Laa yudrikuhu bu’d al-himâm wa laa yanâluhu ghaush al-fithan.” Nahj al-Balâghah khutbah pertama.
[22]. Maa ‘arafnaka haqqa ma’rifatik, Bihâr al-Anwâr, jil. 71, hal. 23, riwayat awwal. Demikian juga “maa ‘abadnaka haqqa ‘ibadatik, Mir’at al-‘Uqûl, jil. 8, hal. 146.