Salah satu cara salah satu bagian dari definisi (ta’rif) adalah ta’rif bil mitsal atau mendefinisikan sesuatu dengan menyampaikan contoh-contoh yaitu menjelaskan hakikat yang rasional dengan cerita-cerita penjelasan yang tidak abstrak, bisa disentuh, metode ini digunakan agar mudah dipahami untuk sebagian besar manusia. Sebab manusia umumnya lebih akrab dengan hal-hal yang dekat dengan kehidupan mereka dan cara seperti ini juga dipakai oleh al-Quran dalam menyampaikan penjelasan-penjelasan tertentu lewat bahasa yang mudah difahami oleh para pembacanya.
Kisah Iblis dalam al-Quran juga adalah bagian dari cara yang dipakai oleh al-Quran untuk menjelaskan tujuannya. Ada dua pendapat terkait dengan itu apakah cerita-ceita itu dalam al-Quran itu kenyatan atau fiktif belaka.
Pandangan pertama mengatakan, bahwa kisah-kisah ini hanyalah simbol dan sama sekali tidak ada faktanya di luar. Kisah-kisah seperti itu disampaikan untuk menjadi jalan yang mudah dicerna oleh para pendengarnya. Agar mereka bisa menangkap benang merah dan kandungan makna yang mendalam dan rahasia-rahasia yang dibalut oleh kata-kata tertentu. Sebagian lain berpandangan bahwa kisah-kisah ini memiliki kenyataan di luar dan bukan lagi sekedar dongeng belaka.
Ada kemungkinan bahwa kisah Iblis adalah kisah simbolis saja yaitu simbolis takwini karena sulit untuk menerima itu sebagai sebuah hakikat yang real sebab perintah tuhan ini bisa dalam format amr maulawi/amr tasyri atau amr takwini. Jika dipahami sebagai amr maulawi/tasyri’i (perintah yang berkonsekuensi hukum) maka ini juga sulit diterima sebeb perintah sujud tidak hanya berlaku untuk Iblis tapi juga untuk malaikat sementara malaikat tidak mungkin menjadi objek taklif dan perintah sujud juga tidak mungkin terbagi menjadi dua kategori agar bisa tasyri’i dan tamstili.
Jika perintah itu bagian dari amr takwini maka itu adalah takwini (tata-cipta) dari Allah Swt, dan tidak mungkin tidak terealisasi dan secara mesti, harus ada. Tidak mungkin ada penentangan sementara Iblis pada kenyataanya tidak sujud. Ia menentang perintah itu, jadi tidak ada jalan lain selain menafsirkannya sebagai kisah tamtsili saja, hanya saja kisah tamtsili tidak selalu fiktif dan tidak berarti tidak ada peristiwa aslinya. Artinya itu adalah sebuah kenyataan dalam kategori akal yang diekspresikan dalam bahasa yang bisa dicerap inderawi. Dan jangan sekali–kali ada anggapan bahwa peristiwa besar dan merupakan bagian dari sebuah penjelasan agama ini tidak memiliki bukti-bukti eksternal.
Denga penjelasan di atas kita segera ingin mengetahuki hakikat iblis itu sendiri.
1. Pengertian Iblis dan tamtsil.
Iblis yang diceritakan ayat al-Quran adalah sebuah makhluk yang hidup, memiliki kesadaran dan kecerdasan, mendapatkan tugas, tidak terlihat dan pandai menipu.Ia menentang perintah tuhan untuk bersujud sehingga terusir dan mendapatkan ancaman siksaan. Di sebagian ayat ia lebih sering disebut sebagai setan dan hanya ada di dalam sebelas ayat ia disebut sebagai Iblis.[1]
Menurut Lisân al-‘Arab, Iblis diartikan sebagai sosok yang putus asa dari rahmat Tuhan dan yang menyesali. Al-Quran juga menyinggung identitas Iblis yaitu, Kana min al-jinn (ia bagian dari golong jin).[2] Berbagai nama Iblis tidak mengubah identitas Iblis yang sejati dan tentang redaksi Iblis sendiri ada yang meragukan apakah ia berasal dari bahasa Arab atau tidak.[3]
Tamtsil artinya membuat misal, contoh, perumpamaan. Raghib Isfahani penulis kitab Mufradât al-Qur’ân, mengatakan demikian, “Matsal adalah menjelaskan sesuatu kata dengan perumpamaan.”
2- Pendefinisian dengan contoh dan metode tamtsil versi al-Quran:
Definisi itu ada yang menggunakan had, rasm (desription) atau dengan contoh (matsal). Sebab tidak semua orang bisa mencerap definisi dengan had atau dengan rasm, lantaran untuk menyoroti genus (jins) setiap terma bukanlah pekerjaan yang mudah. Berbeda dengan penjelasan lewat contoh, cerita atau perumpaman. Sebab yang dibidik oleh definisi dengan tamtsil adalah hal-hal yang akrab dan dekat dengan daya dan wawasan obyek bicara.
Dari satu sisi, tamtsil memang mendekatkan kata-kata dengan pikiran obyek bicara (mukhatab) tapi dari sisi lain ada hal-hal yang mungkin direduksi dari definisinya. Contohnya saat harus dijelaskan tentang hubungan antara badan dan ruh. Bisa dijelaskan lewat perumpamaan bahwa badan itu seperti kapal dan ruh itu seperti nakhoda, atau seperti penguasa dengan kota. Jadi ruh di dalam badan seperti seseorang yang berkuasa di dalam sebuah kota atau layaknya seorang nakhoda dan bahteranya.[4]
Imam Husain As dan Imam Shadiq As bersabda, “Ilmu pengetahuan (ma’arif ) al-Quran terbagi dalam empat bagian, sebab daya tampung manusia juga berbeda satu sama lain; yaitu ibârah, isyârah, lathâif dan haqâiq. Ibârah untuk orang-orang awam, isyârah untuk orang-orang khusus, dan lathâ’if untuk para auliya dan haqâ’iq untuk para nabi.”[5]
Meskipun berbeda-beda tapi semua adalah obyek bicara al-Quran; semuanya sama untuk memahami pesan-pesan dari langit.
Inti dari matsal adalah adanya kesamaan antara definisi dengan perumpamaan tersebut, mempermudah penjelasan konsep dan karena itu jarang yang mempermasalahkan perumpamaan.
Mengumpamakan al-Hak dengan cahaya dan kebatilan dengan kegelapan adalah salah satu matsal yang sangat populer di kalangan masyarakat arab dan juga non arab seperti yang bisa dilihat dalam kitab-kitab Taurat dan Injil.[6]
Ada dua pendapat tentang tamtsil (alegoris) dalam al-Quran yaitu bahwa pertama bahwa tamtsil itu sekedar perumpaan belaka (fiktif) dan demi untuk menurunkan konsep-konsep yang berat sementara pendapat kedua mengatakan bahwa tamtsil di dalam al-Quran memang berbicara tentang suatu fakta yang ada.
Perbedaan ini misalnya bisa dilihat ketika Allah menyerupakan manusia dengan keledai, atau anjing menurut pendapat yang pertama bahwa manusia bukanlah benar-benar keledai atau anjing. Tapi memiliki kesamaan dari sisi tidak mau menerima kebenaran. Sementara dalam pandangan kedua memang manusia itu hakikatnya adalah keledai atau anjing dan bentuknya yang asli tersebut akan muncul di dalam hakikat. Karena itu di dalam ayat al-Quran ada kalimat wa idza al-wuhusyu husyirat (saat binang-binatang buas dikumpulkan).[7]
Apakah kisah tentang Iblis tidak mau bersujud itu kisah fiktif atau real?
Untuk menjawabnya, ada hal-hal yang perlu dijelaskan terlebih dahulu bahwa perintah sujud itu tidak mungkin sebuah perintah yang hakiki sebab ada dua jenis perintah pertama perintah tarsyri’i seperti “Dan rukulah bersama orang-orang yang ruku! (Qs. Al-Baqarah [2]: 43) dan kedua perintah takwini, seperti “Datanglah kamu berdua menurut perintah-Ku dengan patuh atau terpaksa,” Keduanya menjawab, “Kami datang dengan patuh,” (Qs. Fushshilat [41]:11) dua perintah ini adalah dua perintah yang tidak dapat dihindari. “Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, “Jadilah!” Maka terjadilah ia.” (Qs. Yasin [36]:82)
Menukil sabda Imam Ali bahwa firman Allah Swt itu, bukanlah suara atau sahutan yang terdengar bunyinya, melainkan khalq dan ijad (penciptaan).
Dan kedua perintah itu sulit terjadi dalam kisah iblis, sebab jika itu takwini maka artinya sujud tidak boleh dilanggar sebab perintah takwini artinya perintah yang berurusan dengan penciptaan (khalq dan I’jâd) adalah perintah yang pasti terlaksana. Adapun keberatan perintah itu tasyri’i karena malaikat bukan makhluk yang pantas mendapatkan perintah tasyri. Makhluk-makhluk suci tidak mungkin melanggar perintah Allah, ketaatan adalah keniscayaan (dharuri) karena itu tidak ada pada tempatnya mengeluakan perintah dalam bentuk tasyri’i terhadap mereka.
Ada beberapa pendapat lain tentang hal tersebut :
Pertama, bahwa perintah tasyri ini itu bisa berlaku untuk Iblis sebab ia adalah dari golongan jin dan ia juga seperti manusia mendapatkan taklif dari Tuhan.
Kedua, Iblis dari golongan jin.
Ketiga, Iblis mendapatkan perintah tasyri’i untuk sujud karena itu ia juga bisa melanggar atau mematuhinya. Keempat, malaikat dan Iblis sama-sama mendapatkan perintah sujud itu berlaku untuk malaikat dan juga untuk Iblis
Dengan keempat mukadimah itu bagaimana mungkin terjadi dua perintah yaitu bahwa yang satu perintah tasyrii untuk Iblis dan satu lagi perintah takwini untuk malaikat?
Dalam menjawab pertanyaan ini harus dikatakan bahwa, Pertama, perintah itu pada awalnya hanya ditujukan untuk malaikat tapi kemudian Iblis juga dimasukan di dalamnya. Jadi hakikatnya bukan perintah tasyri’i.
Kedua, adanya dugaan bahwa Iblis mendapat perintah tasyri tidak mengubah perintah takwni itu menjadi perintah tasyri’i.
Ketiga, adanya dua perintah terhadap Iblis memerlukan dukungan argumen yang kuat – namun sebagian menyataka kemungkinan ada dua perintah itu dengan bersandar pada teks ayat idz ammartuka.
Keempat, adanya dua perintah karena ada perbedaan sasaran perintah juga memerlukan justifikasi dan sampai sekarang belum ada penjelasan seperti itu.
Kesimpulan
Atas dasar asumsi-asumsi di atas maka bisa disimpulkan bahwa perintah sujud itu bukan tasyri dan bukan takwini dan dan juga tidak mungkin bisa dibayangkan ada bentuk ketiga atau perintah lain karena kedua-duanya tidak bisa disatukan. Satu-satunya jalan adalah bahwa perintah sujud itu diinterpretasikan sebagai perintah tamtsil yaitu perintah dalam bentuk metaforis atau alegoris. Meskipun tamtsili (alegoris) bukan berarti perintah sujudnya tidak ada alias tidak real atau dengan artian itu adalah sebuah kenyataan dalam kategori akal yang diekspresikan dalam bahasa yang bisa dicerap inderawi. Seperti yang terjadi di dalam surah al-Hasyr perihal turunnya al-Quran di atas gunung yang berbunyi “Sekiranya kami menurunkan al-quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabka takut kepada Allah, Dan itu tamtsil (perumpaman-perumpamaan ) kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir (Qs. al-Hasyr [59]: 21).[8]
Adanya perintah untuk besujud kepada Adam bukanlah perintah takwini dan juga bukan perintah tasyri’i tapi sebuah tamtsil dari sebuah realitasnya yaitu maqam yang paling agung di dunia adalah maqam kemanusiaan (insaniah); deraja khalifatuLlah manusia , sehingga para malaikat bersujud sementara Iblis memberontaknya. [9]
Tujuang penggunaan matsal dalam bahasa al-Qur’an
Pelbagai matsal yang digunakan dalam al-quran mengandung beberapa tujuan di antaranya yaitu :
1. Untuk memberi peringatan tentang kebenaran risalah para nabi;
2. Untuk menjadi bahan refleksi tentang segala sesuatu;
3. Untuk memahami segala sesuatu;
4. Dan tujuan-tujuan ini adalah fase-fase perjalanan kesempurnaan, pengetahuan dan persepsi manusia. Yang sudah disinyalir di dalam surah Ibrahim ayat 25, surah Al-Hasyr ayat 21 dan surah al-‘Ankabut ayat 43. [10]
[1]. Sayid Ali Akbar Quraisyi, Qamus al-Quran klausul Iblis
[2]. Indeks: Syaitan, Malaikat atau Jin?, pertanyaan 857
[3]. Ayatullah Jawadi Amuli, Tasnim, jil. 3 , 318.
[4]. Ibid, jil. 2, hal. 525.
[5]. Bihârul Anwâr, jil. 75, hal. 278
[6]. Tasnim, jil. 2, hal. 509.
[7] Ibid, hal. 231.
[8]. Ayatullah Abdullah Jawadi Amuli, Tafsir Mau’dhui, jil. 6, hal. 183.
[9] Tamtsil itu dapat berlaku jika mendapat dukungan naqli dan akli , jadi akidah dan yang lain tidak dapat menjustifikasi adanya tamtsil.
[10] Ayatullah Makarim Shirazi, Mitsalhâ-ye Zibâ-ye Qur’ân, hal. 15.