Bangunan wujud manusia terkerangka dari dua kekuatan besar dan agung, yaitu kekuatan akal dan cinta. Masing-masing dari kedua kekuatan ini memiliki peran penting dalam kehidupan manusia. “Akal” laksana pelita yang sarat dengan cahaya yang memendarkan cahaya pada kehidupan penuh liku dan mendaki manusia. "Akal" bukan dari jenis kecendrungan dan minat, melainkan berfungsi mengarahkan pelbagai kecendrungan dan minat yang terdapat pada diri manusia dan dari performa akal semacam ini bersifat kalkulatif. Meski dalam terminologi Barat performa akal seperti ini memiliki makna yang lain.
Akal dalam pandangan Barat tidak digunakan kecuali kalkulasi angka, penambahan dan pengurangan, untung dan rugi. Fungsi akal dalam pandangan Barat pada tataran melayani syahwat dan pelbagai kehendak rendah manusia serta semata-mata dalam koridor duniawi.
"Isyq" (cinta ekstrem) adalah kecendrungan, inklinasi dan daya tarik yang terdapat pada diri manusia dalam kaitannya dengan sesuatu yang lain. "Iman" adalah pengakuan hati dan mengamini dalam batin dimana terealisirnya iman ini bergantung pada terealisirnya dua unsur asasi; yaitu isyq (cinta) dan terpuaskannya akal manusia.
"Qalbu" (hati) pada pemahaman umum masyarakat dan pada tulisan-tulisan para arif bermakna kebalikan dari "akal." Artinya bahwa akal yang dimaksud di sini adalah akal partikulir (aql juz'I) bukan akal universal (aql kulli,). Akan tetapi dengan merujuk pada ayat-ayat al-Qur'an, kita jumpai bahwa qalbu dalam terminologi al-Qur'an merupakan sentral pencerapan ilmu hushuli dan ilmu hudhuri dan juga merupakan sentral pelbagai afeksi. Karena itu yang dimaksud dengan kalbu dalam redaksi al-Qur'an adalah ruh dan nafsu manusia yang menjadi sumber kehidupan insani bukan kehidupan nabati dan hewani.
Dan yang dimaksud dengan "hati" yang maknanya merupakan kebalikan dari "akal" adalah dimensi ruh manusia yang melahirkan pencerapan syuhudi, hudhuri, afeksi dan cinta.
Manusia merupakan entitas yang memiliki pelbagai Manusia merupakan entitas yang memiliki pelbagai kecendrungan, minat, inklinasi dan kemampuan yang beragam. Perbuatannya terkadang bersumber dari instingnya seperti makan makanan dan sebagainya. Terkadang berasal dari pengaruh-pengaruh mental seperti merasa takut, cemas dan sebagainya. Dan terkadang juga bersumber dari kecendrungan transendental manusia seperti mencari kebenaran dan menuntut kesempurnaan demikian juga inklinasi terhadap keutamaan-keutamaan akhlak. Terkadang berasal dari pelbagai perasaan dan afeksi yang sebagiannya bersifat positif seperti senang dan cinta. Dan sebagian lainnya bercorak negatif seperti memendam hasud dan dengki.[1] Dalam bahasa al-Qur'an dan riwayat bahwa sumber dan titik-tolak pelbagai kecendrungan ini adalah disebut sebagai nafs.[2] Nafs berdasarkan pelbagai kondisi yang berbeda-beda yang dialaminya dan pelbagai aktivitas yang dilakukannya serta pelbagai ragam pemberdayaan yang dikerjakannya, maka terkadang nafs itu disebut "ammarah". Suatu waktu "lawwamah" dan lain waktu dinamai "muthmainnah." Kemudian mengikuti pelbagai kecendrungan instingtif dan minat, tanpa berpikir tentang akhir dan hasil dari perbuatannya, disebut sebagai "hawa nafsu." Banyaknya aktivitas ikhtiari manusia berasal dari dua sumber nafsani (mental): 1. Pelbagai pandangan dan pengenalan. 2. Pelbagai kecendrungan dan inklinasi. Yang pertama memberikan pencerahan dan hasilnya adalah penyingkapan pelbagai realitas. Dan yang lainnya adalah memprovokasi manusia untuk melakukan pekerjaan. Akal "Akal" merupakan sebuah fakultas yang berada pada diri manusia dan tidak berasal dari golongan kecendrungan dan inklinasi. Akal merupakan pelita yang memberikan cahaya dan kalkulator yang menghitung dan menimbang pelbagai pekerjaan yang hendak dilakukan manusia. Akal dalam hal ini mengkalkulasi bahwa apa pengaruhnya pekerjaan yang hendak dilakukan itu terhadap masa depan, nasib dan akhirat kita. Di antara kecendrungan-kecendrungan yang terdapat pada nafs sebagiannya mendapatkan pembenaran, kesepakatan, pencerahan dan pertimbangan akal. Dan sebagian pelepasan nafs mungkin meski tidak sesuai dan sejalan dengan petunjuk dan pencerahan akal.[3] Bagaimanapun akal memiliki dua produk: Terkadang memberikan peniliaian pada wilayah ada (being) dan tiada (nothing), yakni wilayah ontologi. Terkadang pada ranah harus (must) dan tidak boleh (must not), yakni wilayah etika dan akhlak. Produk akal yang pertama disebut sebagai akal teoritis (aql nazhari) dan kedua dinamakan dengan akal praktis (aql 'amali). Akal teoritis pada jihad intelektual memisahkan batasan delusi dan fantasi sehingga manusia tidak terpuruk pada kubangan keraguan, kekaburan, kesalahan, dan mugalatha (fuzzy logic, salah menempatkan premis-premis proposisi) dalam masalah-masalah teoritis dan ilmiah. Akal praktis menetralisir pelbagai kecendrungan moral. Merangsek masuk ke dalam medan amal untuk menata pelbagai keinginan, kecendrungan dan inklinasi manusia dan sejalan dengan jenis kinerjanya maka ia disebut sebagai "akal kalkulatif."[4] Syahid Muthahhari terkait dengan hal ini berkata: Manusia dari dua sisi memiliki kemampuan yang tidak dimiliki makhluk lainnya. 1. Pada diri manusia terdapat satu silsilah kecendrungan dan daya tarik maknawi seperti perasaan moral, perasaan kuriositas, perasaan estetika, terdapat perasaan suka dan perasaan untuk beribadah yang tidak terdapat pada makhluk-makhluk lainnya. Daya tarik ini pada diri manusia memberikan kepadanya kemampuan sehingga daur kegiatannya meluas membentang dari demarkasi materi-materi hingga ufuk tertinggi maknawiyat. 2. Manusia dibekali dengan fakultas akal dan kehendak. Akal menentukan dan kehendak mengamalkan keputusan akal tersebut, manusia memiliki kemampuan menghitung dan berpikir dalam memilih sisi pelbagai kecendrungan atau sisi perkara aktual yang tidak menyokong akal, dan semata-mata berpikir jauh. Demikian juga ia memiliki anugerah untuk memberdayakan kemampuan menghitung dan resisten di hadapan pelbagai kecendrungan esoterik. Manusia dapat menempatkan nasibnya di luar fakultas-fakultas luaran dan menyelamatkan dirinya dari pengaruh pelbagai daya tarik kekuatan-kekuatan luar, menjadi pemilik dirinya, mencapai kebebasan maknawi dan mendominasi seluruh kecendrungannya.[5] Ustadz Muthahhari di tempat lain menuturkan, "Watak dan insting yang menentukan kelezatan dan akal yang mendeterminasi kemaslahatan. Kecendrungan yang membangkitkan kelezatan kecendrungan dan kehendak yang memunculkan kemaslahatan. Manusia segala aktivitas managerialnya dikerjakan dengan fakultas akal dan kehendak. Sementara pekerjaan-pekerjaan yang mendatangkan kelezatan dilakukan oleh afeksi dan kecendrungan. Makna bahwa segala aktivitas managerial dilakukan melalui hukum akal adalah bahwa fakultas kalkulatif akal menyingkap kebaikan dan kesempurnaan atau mengemukakan solusi untuk sampai kepada kelezatan yang dilihatnya dari jauh dan jalan untuk sampai kepadanya yang terkadang sukar dilalui. Makna (aktivitas managerial) yang dilakukan dengan fakultas kehendak adalah bahwa pada diri manusia terdapat satu fakultas yang tergantung pada fakultas akal dimana perannya adalah mengimpelementasi segala keputusan akal. Dan terkadang bertentangan dengan segala kecendrungan dan segala ketertarikan natural, keputusan-keputusan rasional dan solusi-solusi pemikiran diekspresikan dalam bentuk perbuatan. Misalnya hal ini terjadi pada seeorang yang menderita sakit. Seorang sakit yang ingin mengkonsumsi makanan-makanan favoritnya dan benci terhadap obat-obatan dan menderita dari pahitnya obat, akan tetapi sesuai dengan hukum akal yang berpikir maslahat dan fakultas kehendak yang berkuasa atas pelbagai kecendrungan obat pahit dan kecut itu dimakan olehnya. Apabila aktivitas-aktivitas perencanaan, pekerjaan-pekerjaan yang mendatangkan kelezatan merupakan bagian sari solusi universal dan agenda umum managerial kehidupan, maka watak dan akal, kecendrungan dan kehendak akan mendapatkan kecocokan. Dari satu sisi, manusia dalam segala aktivitas perencanannnya, mau-tak-mau membutuhkan agenda, program, metode dan memilih media untuk sampai kepada tujuan. Lantaran segala aktivitas perencanaan yang dilakukan berporos pada satu silsilah tujuan dan sasaran yang jauh. Segala aktivitas ini tidak boleh berseberangan dengan pelbagai kecendrungan transendental manusia dan kalau berseberangan maka segala aktivitas yang mendatangkan kelezatan hewani sangat berbahaya baginya. Dari sisi lain, akal, secara pasti, pada lingkaran partikular dan terperinci tidak dapat menyediakan solusi dan program yang menyeluruh, komprehensif, atau all-inclusive yang menjamin seluruh sisi kebahagiaan manusia; karena akal tidak mengetahui dan menguasai seluruh dimensi kemaslahatan hidup manusia secara mendetail. Atas alasan ini, manusia membutuhkan adanya ideologi (maktab) dan hal ini adalah ufuk wahyu yang menentukan titik-titik universal jalan mencapai kebahagiaan. Pekerjaan akal dan pengetahuan adalah bergerak di atas titik-titik universal ini. Terkaitnya seseorang dengan ideologi akan terwujud tatkala iman terajut indah dalam dirinya. Ideologi yang produktif harus bersandar pada sebuah pandangan dunia yang dapat memuaskan akal dan pikiran. Dan dari sisi lain, ia dapat mencanangkan secara logis tujuan-tujuan dari pandangan dunia tersebut yang menarik dan atraktif. Dalam kondisi sedemikian, "isyq" dan "iqna" yang merupakan dua unsur asasi iman yang saling menguatkan dan akan membangun dunianya.[6] Dengan demikian terkait dengan definisi iman dapat dikatakan bahwa iman adalah pembenaran dan pengakuan kalbu yang merupakan jenis sifat dan kondisi mental terhadap sebuah perkara yang berbeda dengan sekedar pengenalan dan makrifat.[7] Medan tempat terealisirnya iman adalah pada nafs, kalbu dan hati. Dan meski memiliki pengaruh pada ucapan dan tindakan akan terealisirnya hakikat iman tidak bergantung pada ucapan dan tindakan bergantung. Karena itu, hubungan logis yang terajut antara Islam dan iman adalah hubungan umum dan khusus mutlak (beririsan); artinya bahwa setiap mukmin adalah muslim akan tetapi tidak setiap muslim itu adalah orang yang beriman. Karena boleh jadi sebagian Muslim secara lahir berserah diri kepada Allah Swt tapi batinnya tidak demikian.[8] Iman Iman adalah sebuah amalan yang bersumber dari kalbu dan tergolong dari perbuatan-perbuatan kalbu dan ikhtiari. Dan berbeda dengan ilmu dan ideologi. Karena ilmu dan ideologi dapat diperoleh tanpa ikhtiar dan mengikut pada fondasi-fondasi dan pendahuluan-pendahuluannya.[9] Iman adalah berserah hati dan melabuhkan hati. Dan hal ini akan terwujud apabila hati tidak condong pada yang lain. Iman adalah penerimaan dan keharusan pengalaman pada satu realitas dan tidak tergolong pada kategori pemahaman dan pengetahuan. Ilmu bertalian dengan benak dan pikiran. Dan iman adalah pekerjaan hati. Akan tetapi ilmu merupakan media bagi berseminya iman dan merupakan syarat yang diperlukan bagi iman.[10] Syahid Muthahhari terkait dengan perbedaan antara ilmu dan iman menuturkan demikian, "Ilmu memberikan kepada kita kemampuan dan pencerahan. Dan iman menganugerahkan cinta, kehangatan dan harapan. Ilmu menkonstruksi media dan iman adalah tujuan. Ilmu mengakselerasi. Iman mengarahkan. Ilmu adalah kemampuan dan iman adalah keinginan terhadap yang baik. Iman menunjukkan apa yang ada. Dan iman menginspirasi dan mengilhami apa yang harus dikerjakan. Ilmu adalah keindahan akal dan iman adalah pesona ruh. Ilmu adalah keindahan pikiran dan iman keindahan perasaan.[11] Isyq Isyq secara leksikal bermakna "cinta ekstrem."[12] dan disebutkan derivatnya dari "a-sya-qa." Isyq adalah tumbuhan mejalar yang melilit pohon dan pada akhirnya menutup ruang nafas baginya dan membuat pohon menjadi menguning.[13] Tentang orang yang asyik beribadah dan sebagainya dapat dikatakan bahwa mereka yang terjalari ibadah dan demikian ia menguning dan menjadi kerempeng.[14] Abu Sa'id Abulkhair menyampaikan kondisi ini kepada dedaunan kuning di musim gugur. Ia berkata lirih: Engkau menguning aku menguning Engkau dari pendaran bulan dan aku dari pendaran purnama Bagaimanapun, isyq merupakan salah satu sifat dan kondisi batin manusia dan adalah salah satu jenis kecondongan, kecendrungan dan merupakan afeksi yang bersifat esoterik yang yang disandarkan pada "kalbu dan hati."[15] Kita meyakini bahwa asas dan dasar semesta ini berpijak di atas cinta. Artinya cintalah yang menjadi sebab terciptanya semesta. Dzat Hadrat Hak, adalah khazanah tersembunyi sebelum penciptaan semesta, Dia adalah Pecinta (â'syiq) sekaligus Kinasih (ma'syuq), Dia hendak menampakkan keindahan diri-Nya, kemudian menjadikan penciptaan sebagai penampakan dan cermin bagi diri-Nya.[16] Jami pada Muqaddimah Yusuf dan Zulaikha berkata demikian: Pada waktu itu tempat kosong tiada wujud padanya Alam tersembunyi pada sudut ketiadaan Ada sebuah wujud yang tiada taranya Tiada aku dan kau padanya Keindahan mutlak tanpa citra wujud Keindahan mutlak tanpa rupa Dengan cahaya-Nya Dia menampakan dirinya Pecinta rupawan menyaksikan kamar pengantin yang tersembunyi Kinasih yang rupawan itu suci dari segala cela Tidak cermin yang kuasa menampakkan keindahannya Tidak satu pun tangan yang dapat menata rambutnya yang menawan Menggubah kidung yang melenakan dirinya Dadu cinta ia mainkan seorang diri Sesiapa yang memiliki keindahan maka ia akan tampakkan kepada orang lain Keindahan yang ada di balik tirai akan membuat dirinya bersedih karena berada di balik tirai Keindahan tidak kuasa berada di balik tirai Sekiranya ia tertawan di balik jeruji sel dari celah jeruji ia akan tampakkan dirinya Dimana pun ada keindahan tuntutannya adalah terlihat Asal keindahan dan suka untuk menampilkan keindahan ini adalah bersumber dari Tuhan Dari khazanah ketersembunyiaan Tuhan keluar Mencipta semesta sebagai cermin bagi diri-Nya Pada setiap entitas Dia menebarkan citra diri-Nya Dimanapun ada keindahan maka keindahan itu adalah cermin diri-Nya Seluruh pecinta mundur teratur dengan keindahan-Nya Cinta kepada-Nya menghidupkan hati Rindu kepada-Nya membangkitkan jiwa Setiap hati dimana pun berada yang mecinta keindahan Tahu atau tidak tahu ia sejatinya adalah pecinta-Nya. Dari sisi lain, setiap entitas adalah pencari kesempurnaan baginya dirinya. Kesempurnaan eksistensial setiap akibat terletak pada tingkatan wujud sebabnya. Karena itu, setiap akibat mencintai sebabnya sendiri. Lantaran setinggi-tinginya tingkatan wujud adalah Dzat Hadrat Hak maka dari itu Sang Kinasih sejati silsilah keberadaan adalah Dzat Muqaddas Allah Swt.[17] Sebagaimana yang tampak dari penjelasan Jami dalam bahasa syairnya. Dengan demikian cinta kepada selain Allah Swt adalah cinta kiasan (majâzi). Dengan bersandar kepada ayat suci "yuhibbuhum wa yuhibbunah."[18] dapat diambil kesimpulan bahwa cinta memiliki dua sayap. Cinta tingkatannya sangat tinggi. Terdapat pada mabda dan ma'ad, pada saat menaik dan menurun; Bunga yang jauh dari Bul-bul dan Bul-bul yang jauh dari bunga Setiap detik di taman masing-masing dengan cintanya diuji.[19] Hubungan antara Akal, Cinta, dan Iman Dengan memperhatikan masalah yang disebutkan di atas: Akal dalam kehidupan manusia laksana lampu mobil di samping memiliki tugas menyinari jalan mobil sebagaiman rem, ia juga mengendalikan pelbagai perasaan, pembangkangan dan mencegahnya untuk tidak menyimpang.[20] Cinta laksana mesinnya yang menyalakan dan mengerakkan mobil. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa mesin tanpa lampu adalah cinta buta, berbahaya, menyimpangkan dan beresiko. Dan lampu tanpa mesin adalah mobil tanpa daya dan spirit, dingin dan diam. Karena itu keduanya tidak akan menjadi rival atas yang lainnya berbeda dengan apa yang diklaim oleh para sufi.[21] Cinta dan akal merupakan unsur asasi iman. Akan tetapi, dalam bahasa Irfan, akal terdiri dari dua jenis: akal partikulir dan akal universal. Akal partikulir berhadap-hadapan dengan cinta mutlak dan terheran-heran pada domain cinta dan sebagainya. Sebagaimana lapar dengan makanan terlepas laparnya seorang pecinta akan terlepas dahaganya dengan cinta kepada-nya. Akal tidak memiliki kemampuan untuk memahami makna ini wahai sobat! Akal partikular mengingkari cinta Meski secara lahir akal adalah pemilik rahasia.[22] Dengan demikian akal partikulir (praktis) berurusan dengan untung-rugi duniawi dan alam natural. Akal partikulir (praktis) ini dapat dinamakan sebagai "akal kalkulatif." Adapun akal universal berada dalam kondisi aman dari pelbagai syak, delusi dan syahwat. Akal universal (teoritis) berurusan dengan akhirat dan pencerapan alam ghaib. Akal partikular terkadang menang terkadang tumbang Akal universal terjaga dari keraguan Juallah akal dan seni dan belilah keheranan Menghadaplah pada Khari (keharibaan Tuhan) bukan pada Bukhara wahai belia.[23] Akal universal berada di atas akal partikulir dan menjadi landasan kebahagiaan: Pada cinta terdapat akal yang cantik dan berharga Anda akan jumpai Bukan akal yang ada di dunia. Selain (menciptakan) akal untuk membimbig manusia Tuhan banyak menciptakan akal untuk mengatur tujuh petala langit dan bumi. Dengan akal yang dimiliki manusia dapat menghasilkan rezeki Dengan akal yang lain engkau perelok duniamu.[24] Dan akal merupakan pembimbing manusia menuju keabadian. Akhir kata, sebuah aporisme dari pelipur lara para pecinta, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As akan kami persembahkan kepada Anda dimana beliau bersabda: HubbuLlah Narun la yamurru 'ala syain illa ihtaraqa.." (Cinta kepada Allah adalah api. Ia tidak akan melewati sesuatu kecuali membakarnya).[25] Barangkali dengan inspirasi dengan ucapan-ucapan seperti ini Syaikh Fakhruddin Iraqi dalam mendefinisikan cinta berkata: Cinta (isyq) adalah sebuah api yang jatuh ke dalam hati. Ia membakar apa pun yang terdapat di dalamnya. Sedemikian sehingga potret sang kekasih terhapus dari dalam hati. Tatkala Majnun bersedih hati. Orang-orang berkata (kepadanya untuk menghiburnya): "Laila datang." Katanya (Majnun kepada khalayak): "Aku adalah Laila," lalu menunduk dalam. Laila berkata: "Angkatlah kepalamu. Aku adalah kinasihmu yang engkau cari. Hingga kapan engkau ingin lalai dariku." Majnun berkata: "Karena cintaku kepadamu telah menyibukkan aku dari mengingatmu." Atas alasan ini aku ingin bersua denganmu Tiada lagi yang aku takutkan karena dasar cinta kepadamu[26] Makna Kalbu dan Hati Secara fisiologi dan urf masyarakat umum, qalbu adalah hati itu sendiri. Dan hati adalah anggota bagian badan yang terletak pada sisi kiri dada. Akan tetapi dari sudut pandang terminology al-Qur'an, riwayat dan akhlak. Qalbu adalah ruh non-materi manusia. Karena memiliki tingkatan yang beragam, dengan redaksi yang beragam, qalbu memiliki nama-nama yang beraneka macam: Shadr (dada), nafs (jiwa), qalb (hati), fuad, ruh, dan lub. Kesemua redaksi ini merupakan cermin kelembutan Ilahi yang dalam sastra Persia disebut "Del wa Jan Insani". Dalam al-Qur'an disebutkan tiga jenis aktivitas dan tipologi qalbu: 1. Tipologi yang berkenaandengan jenis-jenis pengenalan, misalnya pencerapan-pencerapan hushuli seperti inteleksi, kontemplasi dan tafaqquh (mencari pemahaman).[27] Pencerapan-pencerapan hudhuri (rukyat hudhuri) baik yang bersifat umum atau khusus (wahyu adalah sejenis pencerapan formulatif yang disandarkan kepada qalbu dalam al-Qur'an).[28] 2. Tipologi-tipologi yang bertautan dengan sisi kecendrungan, misalnya rasa takut, stress, keras kepala, keras hati, iman, takwa, syauq (isyq) dan inklinasi. Dan apa yang berkenaan dengan niat, kehendak dan maksud manusia. [29] Karena itu qalbu adalah entitas yang melakukan aktivitas sedemikian; yaitu mencerap, sentral afeksi, mengambil keputusan, membenci, mencintai dan membenci. Atas alasan ini dapat disebutkan bahwa yang dimaksud dengan qalbu adalah ruh dan jiwa manusia. Apabila kita menerima paradigma ini bahwa manusia hanya memiliki satu ruh dan ruh ini merupakan sumber kehidupan nabati, hewani dan insani. Dengan demikian qalbu adalah salah satu dimensi ruh manusia (yaitu sisi yang menjadi sumber kehidupan tipologi dan karakteristik insani). Dengan kata lain, qalbu dalam terminologi al-Qur'an adalah sumber kehidupan (hayat) dan bukan sumber kehidupan hewani dan nabati manusia.[30] Benar, terkait dengan tulisan-tulisan dalam Irfan, yang menempatkan "qalbu" dan hati berhadap-hadapan dengan "akal" yang dimaksud adalah sisi ruh dan jiwa yang merupakan sentral afeksi manusia dan cinta. Kendati qalbu merupakan sumber pencerapan namun pencerapan-pencerapan hushuli tidak dapat disandarkan kepadanya. Dan satu-satunya sentral sedemikian yang dapat menjadi media untuk syuhud dan ilmu hudhuri.[] [1]. Ali Syirwani, Akhlâq-e Islâmi, hal. 116-117. [2]. Nafs bermakna "diri" dan "aku" dan hal ini adalah makna leksikal yang disebutkan dalam al-Qur'an , lihat Ayatullah Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Akhlâk dar Qur'ân, jil. 1, hal. 243-244. Untuk telaah lebih jauh terkait penggunaan redaksi nafs dalam al-Qur'an silahkan lihat, al-Mizân, jil. 14, hal. 285-287. [3]. Silahkan lihat, Ayatullah Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Akhlâq-e Islâmi, jil. 1, hal. 195. [4]. Dalam kebudayaan Barat akal kalkulatif ini acapkali disebut sebagai akal mediatif, kal partikulir, akal penalar. Munculnya peristilahan rasionalitas mediatif dan kalkulatif dalam terminologi ini adalah karena dominasi manusia atas tabiat. Akal mediatif mengikut pada lingkup hidup manusia dan secara umum bermakna kekuatan dan pikiran yang digunakan manusia sehingga ia dapat mengatur hidupnya dan menggapai kehidupan yang ideal. Akal ini memberikan kemampuan kepada manusia untuk berkreasi dan berkalkulasi sehingga ia dapat memprediksi pelbagai peristiwa yang akan terjadi di masa mendatang. Hadis-hadis yang diriwayatkan dalam sumber-sumber Islam meski menerima pemberdayaan akal mediatif dan akal ma'asy, namun interpretasi akal praktis yang digunakan dalam hidup (aql-e ma'asy) ini sama sekali berbeda dengan interpretasi yang diberikan oleh Hume. Akal mediatif Hume terikat pada dunia dan kehidupan duniawi yang tidak berkaitan dengan akhirat sama sekali. Akal mediatif Hume adalah akal yang menjadi media untuk memuaskan pelbagai kecendrungan dan syahwat manusia. Karena itu, akal mediatif di sini berada secara vertical dan melayani segala kecendrungan dan syahwat manusia, bukan berdiri secara horizontal dan menentangnya. Akal ini bukan akal teoritis yang menetapkan Tuhan dan agama. Juga bukan akal praktis (amali) yang menentukan baik dan buruknya perbuatan serta menuntun manusia kepada perbuatan-perbuatan etis dan sarat nilai. Melainkan berseberangan dengan akal teoritis dan praktis. Akan tetapi dalam pandangan riwayat-riwayat Islam akal ma'asy merupakan media untuk sampai kepada tujuan akal teoritis dan akal praktis. Lantaran akal teoritis menetapkan Tuhan, agama dan akhirat dan akal praktis menyeru manusia untuk mengindahkan hukum-hukum Tuhan, agama dan akhirat. Akal mediatif akan melayani agama, spiritualitas dan akhirat, dan berseberangan dengan syahwat dan hawa nafsu. Karena itulah, Imam Ali As dalam sebagian sabdanya menyandingkan akal ma'asy (akal praktis) dan akal ma'ad. [5]. Silahkan lihat, Muqaddimah bar Jahân Bini-ye Islâm (edisi Indonesia, Pandangan Dunia Islam), Murtadha Muthahari, hal. 253-262. [6]. Silahkan lihat, Muqaddimah bar Jahân Bini-ye Islâm (edisi Indonesia, Pandangan Dunia Islam), Murtadha Muthahari, hal. 42-48. [7]. Sayid Murtadha, Al-Dzakhirah, hal. 536; Shadruddin Syirazi (Mulla Shadra), Tafsir al-Qur'an, jil. 1, hal. 249; Syaikh Mufid, Awâil al-Maqâlât, hal. 48; Muhsin Jawadi, Nazhariye dar Arshe Kalâm dar Qur'ân, hal. 119-158; Ahmad Dailami wa Mas'ud Azerbaijani, Akhlâk Islâmi, hal. 73. [8]. Ahmad Dailami dan Mas'ud Azerbaijani, Akhlâq-e Islâmi, hal. 73. [9]. Ali Syirwani, Akhlâq-e Islâmi, hal. 100. [10]. Ibid, hal. 103-119. [11]. Silahkan lihat, Murtadha Muthahari, Muqaddimah bar Jahân Bini-ye Islâm (edisi Indonesia, Pandangan Dunia Islam), hal. 21-23. [12]. Al-Isyq ifrath al-hubb, Aqrâb al-Mawârid, jil. 2, hal. 786. [13]. Sayid Ja'far Sajjadi, Farhangg-e Isthilahi wa Ta'birat Irfani, redaksi isyq; Hamu, Farhangg-e 'Ulum Aqli, redaksi isyq; dan boleh jadi atas alasan inilah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib mencirikan orang-orang bertakwa: "Badan dan raga mereka kurus laksana anak panah yang telah diasah dan dirampingkan, Nahj al-Balâghah, terjemahan Muhammad Dasyti, hal. 303-305. [14]. Ibid. [15]. Dalam bahasa ayat dan riwayat kondisi seperti ini disebut sebagai mahabbah. [16]. Silahkan lihat, Yahya Yatsrabi, Irfan-e Nazhari, hal. 47-53. [17]. Mulla Shadra, Asfar, jil. 7, hal. 158 dan seterusnya, cetakan baru. [18]. "Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya." (Qs. al-Maidah [5]:54) [19]. Diwân-e Imâm Khomeini Ra. [20]. Akan tetapi dalam melawan hawa nafsu, menguatkan minat-minat yang berlawanan adalah sangat penting. Misalnya melalui jalan memahami pengaruh-pengaruh segala perbuatan baik akan membangunkan kecintaan kepada Tuhan dalam diri manusia dan dengan kecintaan kepada manusia tidak lagi tersisa ruang untuk selain-Nya. Karena itu, dalam munajat Sya'baniyah disebutkan: "Ilahi! lam yakun li haul fantaqil bihi an ma'shiyatik alla fii waqtin aiqazhtani limahabbatik." (Ya Ilahi, aku tidak memiliki daya sehingga aku dapat mejauh dari bermaksiat kepada-Mu kecuali pada saat Kau sadarkan aku untuk mencintai-Mu)." Silahkan lihat Ayatullah Misbah Yazdi, Akhlâq-e Islami jil. 1, hal. 195-213. [21]. Silahkan lihat, Makarim Syirazi, Jelwe-ye Haq, hal. 93-129. [22]. Matsnawi Maulawi, Daftar-e Awwal, bait-bait 1981-1982. [23]. Matsnawi Maulawi, Daftar-e Sewwum, bait-bait 1145-1146. [24]. Matsnawi Maulawi, Daftar-e Panjum, bait-bait 3232-3235. [25]. Allamah Majlisi, Bihar al-Anwar, jil. 70, hal. 22; Mahajjat al-Baidha, jil. 8, hal. 7 [26]. Faridduddin Iraqi, Diwan-e Iraqi, Lama'at, Lama'e 20 dan 30, hal. 420. [27]. "Dan sesungguhnya Kami ciptakan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari bangsa jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi mereka tidak mempergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), mereka mempunyai mata (tetapi) mereka tidak mempergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) mereka tidak mempergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai." (Qs. A'raf [7]:179); "Dan di antara mereka ada orang yang mendengarkan (ajakan)mu, padahal Kami telah meletakkan tutup di atas hati mereka (sehingga mereka tidak dapat) memahaminya dan (Kami letakkan) sumbatan di telinga mereka. Dan jika pun mereka melihat segala tanda (kebenaran), mereka tetap tidak mau beriman kepadanya. Sehingga apabila mereka datang kepadamu untuk membantahmu, orang-orang kafir itu berkata, “Al-Qur’an ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu.” (Qs. Al-An'am [6]:25); "Kami letakkan tutupan di atas hati mereka dan sumbatan di telinga mereka, agar mereka tidak dapat memahaminya. Dan apabila kamu menyebut Tuhanmu dalam Al-Qur’an dengan keesaan-Nya, niscaya mereka berpaling ke belakang karena benci." (Qs. Al-Isra [17]:46); "Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhan-nya lalu dia berpaling darinya dan melupakan apa yang telah dikerjakan oleh kedua tangannya? Sesungguhnya Kami telah meletakkan tutupan di atas hati mereka (sehingga mereka tidak) memahaminya, dan (Kami letakkan pula) sumbatan di telinga mereka; dan kendati pun kamu menyeru mereka kepada petunjuk, niscaya mereka tidak akan mendapat petunjuk selama-lamanya." (Qs. Al-Kahf [18]:57); "Apakah mereka tidak merenungkan Al-Qur’an ataukah hati mereka telah terkunci?" (Qs. Muhammad [47]:24). [28]. "Katakanlah, “Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya (Al-Qur’an) ke dalam hatimu dengan izin Allah; membenarkan kitab-kitab (samawi yang telah diturunkan) sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman." (Qs. Baqarah [2]:97); "Ar-Ruh al-Amin (Jibril) telah menurunkannya. ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan." (Qs. Syu'ara [26]:193-194)29]. "Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka, dan kepada Tuhan-lah mereka bertawakal." (Qs. Al-Anfal [8]:2); "Pada hari itu hati manusia sangat takut. pandangannya tunduk." (Qs. Al-Naziat [79]:8); "Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhan-nya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata." (Qs. Al-Zumar [39]:22); "Orang-orang Arab Badui itu berkata, “Kami telah beriman.” Katakanlah (kepada mereka), “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah, ‘Kami telah tunduk’ karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu." (Qs. Hujurat [49]:14); "Dan setan berkata tatkala perkara (hisab) telah diselesaikan, “Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang benar, dan aku pun telah menjanjikan kepadamu, tetapi aku menyalahinya. Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekadar) aku menyerumu, lalu kamu mematuhi seruanku. Oleh sebab itu janganlah kamu mencercaku, akan tetapi cercalah dirimu sendiri. Aku sekali-kali tidak dapat menolongmu dan kamu pun sekali-kali tidak dapat menolongku." (Qs. Ibrahim [22]:37) [30]. Ayatullah Taqi Misbah Yazdi, Akhlâq-e Islâmi, jil. 1, hal. 244-266