Yang dimaksud dengan ibadah empat puluh hari dalam sair dan suluk irfani (pelancongan ruhani) adalah menjaga diri selama empat puluh hari, sedemikian sehingga dengan cara ini batin seseorang memiliki kesiapan yang diperlukan untuk memperoleh hikmah dan ilmu-ilmu Ilahi.
Banyak dari kalangan para arif dan ulama Syiah yang memberikan perhatian terhadap ibadah arba’in ini dengan bersandar pada ayat-ayat dan riwayat dan mewajibkan diri untuk mengamalkannya.
Oleh karena itu ibadah dan keikhlasan dalam penghambaan kepada Allah dalam waktu empat puluh hari termasuk merupakan amal yang terbaik, akan tetapi hal yang juga disinggung oleh para arif adalah bahwa jangan sampai ibadah empat puluh hari ini dijadikan sebagai perantara untuk menghindarkan diri dan mengisolasi diri dari masyarakat.
Yang dimaksud dengan ibadah empat puluh hari dalam sair dan suluk irfani (pelancongan ruhani) adalah menjaga diri selama empat puluh hari, sedemikan sehingga dengan cara ini batin seseorang memiliki kesiapan yang diperlukan untuk memperoleh hikmah dan ilmu-ilmu Ilahi.
Urgensitas dari ibadah ini yang terletak pada angka empat puluh dikarenakan rahasia dan khasiat yang terdapat dalam angka ini dimana bisa memunculkan potensi-potensi dan mengantarkan kepada kesempurnaan spiritual. Sebagaimana halnya, manusia pada empat puluh tahun akan sampai pada kesempurnaan dan kedewasaan akal, “Dan karena manusia telah sampai pada usia empat puluh tahun, maka ia mengatakan, “Ilahi, berikanlah taufik kepadaku dan aku bersyukur atas nikmat yang Engkau berikan kepadaku dan kepada ayah ibuku.”[1]
Ibadah empat puluh hari juga dijelaskan dalam al-Quran, dimana Allah Swt memberikan janji-Nya kepada Nabi Musa As dan mengundangnya selama empat puluh hari ke miqat-Nya, “Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhan-nya empat puluh malam.”[2]
Ibadah dan penjagaan ‘arbain ini telah menjadi perhatian para ahli suluk dan juga disinggung dalam berbagai riwayat. Di antaranya adalah, “Barang siapa yang mengikhlaskan diri selama empat puluh hari untuk Allah, maka air mata hikmah dari kalbunya akan mengalir melalui lisannya.”[3] Demikian juga riwayat dari Imam Baqir As yang bersabda, “Tidak ada seorang hambapun yang mengikhlaskan imannya kepada Tuhan selama empat puluh hari, kecuali Tuhan akan mengurangkan perhatiannya terhadap dunia, dan menunjukkan penyakit-penyakit dan pengobatan-pengobatannya. Maka, hikmah akan menetap dalam kalbunya dan lisannya pun akan terbuka dengan hikmah.”[4]
Untuk memperhatikan penjagaan yang dibutuhkan selama waktu empat puluh hari, para arif harus memperhatikan aturan-aturan tertentu yang disarankan yang secara umum termasuk sangat menghindarkan diri dari makan, tidur, bercakap, dan meletakkan kepeduliannya selama masa ini untuk melakukan dzikir dan ibadah secara kontinu. Tentunya kita mengetahui bahwa berdasarkan ajaran-ajaran agama, seluruh perilaku ini harus diamalkan dalam seluruh tahapan usia insan, dan membatasinya hanya pada empat puluh hari, hanyalah sebagai ajang latihan dan memperkuat jiwa.
Kadangkala dalam opini umum disimpulkan bahwa ‘arbain juga memiliki syarat-syarat ‘uzlah (seklusi) lahiriah dan sang pesuluk (salik) pasti harus mengasingkan diri pada tempat tertentu dan menghindarkan diri dari keberbaurannya dengan masyarakat untuk menyibukkan diri dengan ibadah, dimana dalam masalah ini harus dikatakan bahwa tidak ada keniscayaan seperti ini, bahkan jika seorang pesuluk mampu melakukan perbuatannya dengan ikhlas di tengah-tengah kehadirannya dalam masyarakat, maka sudah pasti nilai dari perbuatan ini akan menjadi semakin membumbung tinggi.
Banyak dari para arif dan ulama Syiah yang memberikan perhatian pada ibadah ‘arbain ini dan mengamalkannya. Sebagai contoh bisa disebutkan Sayyid Bahrul Ulum demikian juga Majlisi Pertama dan Kedua:
Dalam kitab sair dan suluk yang dinisbatkan pada Bahrul Ulum[5] dikatakan, “Kegunaan ‘arbain dalam aktifitas dan memunculkan potensi, quwwah dan perolehan malakah merupakan sebuah persoalan yang disebutkan dalam ayat-ayat, riwayat dan pengalaman-pengalaman para ahli batin dan rahasia.”[6]
Bahrul Ulum pada tempat lain dalam kitab ini, mengenai sair dan suluk menulis, “Ketahuilah bahwa setelah berkehendak untuk melakukan suluk, langkah pertama yang aku lakukan adalah berjalan ke arah perang akbar, melangkahkan kaki ke lembah doa, bertobat terhadap apa yang telah aku lakukan dan meninggalkan kebiasaan. Dalam ibadah arbain-arbain ini aku menenggelamkan kepalaku dalam dzikir dan aku menempatkan ‘arbain dalam sebuah ‘arbain.”[7]
Sementara Mulla Muhammad Taqi Majlisi, mengenai ibadah ‘arbain menulis, “Salah satu dari protes yang mereka ungkapkan adalah bahwa ibadah ‘arbain adalah bid’ah dan batil, sedangkan bid’ahnya terletak pada disebutkannya ibadah ini dan banyaknya hadis-hadis yang menunjukkan tentang kemuliaan ibadah ‘arbain”[8]
Oleh karena itu, ibadah dan ikhlas dalam penghambaan Tuhan dalam masa empat puluh hari merupakan perbuatan dan amalan yang terbaik, akan tetapi apa yang disebutkan oleh para arif sendiri adalah bahwa jangan sampai ibadah empat puluh hari ini diubah menjadi makna ‘uzlah yang menjadi perantara untuk menghindarkan diri dan mengisolasi diri dari masyarakat.
Dalam ibadah ‘arbain, perhatian utama yang diberikan oleh para arif adalah penjagaan batini dan ‘uzlah kalbu selama masa ini dan sama sekali tidak pernah menyarankan ibadah empat puluh hari dengan syarat ‘uzlah lahiriah dan memutuskan interaksi sepenuhnya dari masyarakat, kecuali hanya dalam beberapa kasus tertentu.
Adalah Rumi dalam sebagian dari syair-syairnya memberikan penegasan utama pada ikhlas dalam perhatian batini kepada Tuhan dan para wali Allah serta mengajak para pesuluk untuk meninggalkan ibadah empat puluh hari dan meninggalkan diri dari menjauhi kalangan masyarakat:
Engkau telah menjadi tiga puluh penggal dalam telapak empat puluh
Akulah tiga puluh penggal, tinggalkan empat puluh
Jangan mengarah pada kemajhulan dan jangan bergerak dengan tipuan
Bagilah perjalanan dengan kafilah[9]
[1]. “Kami wasiatkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandung sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun, ia berdoa, “Ya Tuhan-ku, berikanlah taufik kepadaku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada-Mu dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (Qs. Al-Ahqaf [56]: 15)
[2]. (Qs. Al-A’raf [7]: 142)
[3]. Tajuddin Syu’airi, Jâmi’ al-Akhbâr, hal.. 94, Intisyarat Radhi, Qom, 1363 Hsy.
[4]. Muhammad bin Ya’qub Kulaini, al-Kâfî, jil. 2, hal. 16, hadis 6, Dar al-Kutub al-Islamiyyah, Teheran, 1365 S.
[5]. Muhammad bin Mahdi Bahrul Ulum, Risâah Seir wa Sulûk Mansûb beh Bahrul Ulûm, Intisyarat Allamah Thabathabai, Masyhad, 1417 H.
[6]. Ibid, hal.. 39.
[7]. Ibid, hal.. 211.
[8]. Muhammad Taqi Majlisi, Risâlah Tasywîq as-Sâlikîn, hal.. 21, Intisyarat Nur Fathimah, 1375 S.
[9]. Diwân Syams.