Para filosof dan arif membagi cinta (isyq) dalam beberapa bagian beragam. Namun dalam sebuah klasifikasi global cinta terbagi menjadi dua bagian:
- Cinta hakiki (sejati) yaitu cinta kepada Allah Swt, sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya.
- Cinta majasi (kiasan). Jenis cinta ini skopnya sangat luas dan dapat dikatakan bahwa cinta majasi tidak terbatas antara manusia kepada manusia lainnya saja, melainkan mencintai segala jenis orang dicintai selain Allah Swt disebut sebagai cinta majasi.
Adapun sekaitan dengan apa hukumnya cinta itu? Apa yang dapat dikatakan dalam masalah ini adalah bahwa cinta jika ia merupakan cinta sejati dan sebagian jenis majasinya; seperti cinta rasional dan cinta spiritual, bukan hanya tidak tecela bahkan boleh jadi termasuk sebagai bagian dari kesempurnaan. Namun apabila dari jenis cinta hewani yang merupakan tingkatan terendah jenis cinta, cinta seperti ini apabila disertai dengan kesucian dan ketakwaan serta tidak keluar dari domain kesucian maka hal itu diperbolehkan.
Jenis cinta seperti ini datang dengan cepat dan juga pergi dengan cepat. Cinta seperti ini tidak dapat diandalkan. Membunuh kemuliaan manusia. Hanya dengan bantuan menjaga kesucian (ifaf), ketakwaan dan tidak tunduk di hadapan orang-orang yang mendapatkan keuntungan darinya; yaiatu tatkala terjadi perpisahan dan tidak bersua satu sama lain, dan kesucian dari sisi lain, maka segala duka dan nestapa, pelbagai tekanan dan kesusahan yang menguasai jiwa seorang pecinta akan menjadi ringan tatkala disertai dengan kesucian dan ketakwaan.
Para arif dalam hal ini berkata, “Cinta majasi dapat menjelma menjadi cinta hakiki; artinya cinta mengarah kepada Allah Swt dan manusia dapat mengambil keuntungan dari kecintaan seperti ini. Di samping itu, memiliki banyak pengaruh dan manfaat seperti cinta kepada manusia memberikan energi, daya dan kekuatan serta menghilangkan ketakutan kemudian memberikan manusia keberanian dan keprawiraan. Cinta akan mencetak manusia bakhil menjadi manusia dermawan. Cinta menyempurnakan jiwa dan pelbagai potensi menakjubkan dan bakat terpendam akan bersemi dengan cinta.
Cinta adalah penyuling dan akan menyuling segala noda yang terdapat dalam jiwa manusia menjadi suci.
Karena itu, cinta apabila ia merupakan cinta sejati (hakiki) tentu saja merupakan suatu hal yang terpuji dan apabila merupakan cinta majasi, dengan syarat disertai dengan ketakwaan dan kesucian, maka tentu cinta seperti ini bukan cinta yang tercela.
Redaksi kata “isyq” didefenisikan dalam kamus-kamus Irfan dan Filsafat sebagai berikut:
Isyq adalah cinta ekstrem dan kecendrungan hebat terhadap sesuatu. Isyq derivasinya dari kata ‘a-sya-qa-h yang merupakan sebuah tumbuhan yang melilit setiap pohon kemudian mengeringkannya dan ia tetap tinggal dengan baunya yang semerbak. Karena itu, setiap cinta yang bersemi pada setiap manusia hanya akan mengeringkan sosok yang dicintainya dan melenyapkannya. Ia akan melemahkan badan dan mencahayai ruh dan jiwa.[1]
Isyq dan mahabbah merupakan kondisi terpenting dan salah satu kondisi tertinggi manusia arif dan tergolong salah satu fondasi dan prinsip penting dalam dunia Irfan. Dalam padangan Irfan, cinta adalah anugerah Ilahi dan pemberian Tuhan bukan hasil kreasi manusia kendati pendahuluan-pendahuluan cinta harus diperoleh.[2]
Syaikh al-Rais (Ibnu Sina) memandang isyq sebagai sebab adanya seluruh keberadaan dan meyakini cinta adalah anugerah yang tidak terkhusus pada manusia dan seluruh entitas pernah merasakan cinta.[3]
Mulla Sadra juga menilai bahwa cinta merupakan sebuah realitas yang mengalir dan berputar pada setiap entitas dan meyakini bahwa tiada satu pun entitas yang tidak pernah merasakan cinta.”[4]
Para arif dan filosof mengklasifikasi cinta menjadi beberapa bagian. Namun dalam satu klasifikasi global cinta (isyq) terdiri dari dua bagian:
- Cinta sejati: Cinta sejati yaitu cinta kepada Allah Swt, segala sifat dan perbuatannya. Cinta murni dan sejati kepada Allah Swt disebut sebagai cinta tatkala tidak ada tamak terhadap surga atau takut terhadap neraka, melainkan cinta semata-mata gambaran keindahan dan kesempurnaan pada Allah Swt. Kesempurnaan cinta kepada Allah Swt adalah bahwa seluruh hati bergantung sepenuhnya kepada Allah Swt dan jiwa suci dari segala kecendrungan selain Allah Swt.
- Cinta majasi: Cinta majasi skopnya sangat luas dan dapat dikatakan bahwa cinta majasi tidak terbatas antara manusia kepada manusia lainnya saja, melainkan mencintai segala jenis orang dicintai selain Allah Swt disebut sebagai cinta majas. Cinta majasi menjadi beragam dengan keragaman sosok yang dicintai. Seperti cinta manusia pada pemandangan-pemandangan indah, cinta kepada istri dan anak, cinta kepada harta dan kekayaan, cinta kepada keindahan dan kerupawanan, cinta kepada popularitas dan lain sebagainya. Karena itu, cinta majasi merupakan ragam jenis kecintaan manusia terhadap sesuatu yang terdapat di sekellilingnya; artinya pecinta senantiasa manusia namun sosok yang dicintai tidak mesti harus manusia.
Berikut ini kami akan menjelaskan secara ringkas beberapa bagian cinta majasi:
- Cinta rasional: Cinta rasional dalam terma filsafat adalah cinta yang sumbernya adalah perhatian kepada Zat Allah Swt dan terkhusus orang-orang yang dekat di sisi-Nya. CInta rasional muncul buah dari perjalanan akal universal pada jiwa rasional di alam malakut, dari lapisan-lapisan penyaksian jabarut.
Cinta rasional terkait dengan kesempunaan dan kebaikan maknawi (terhadap para wali Allah dan pelbagai kemuliaannya yang bersambung dengan alam jabarut dan di atasnya). Sumber kecintaan terhadap kesempurnaan mutlak dan keindahan murni serta pelbagai manifestasinya yang bersemayam di hati dan kalbu berhubungan dengan para wali Allah dan ahli makrifat.[5]
- Cinta spiritual: terhadap sosok yang mutlak indah (baik dari bentuk lahir yang berautan dengan apa yang dilihat atau apa yang didengar dan menjadi sumber kecintaan terhadap kesempurnaan dan keindahan yang senantiasa disertai dengan kelezatan rasional. Dalam jenis cinta ini, pecinta (‘âsyiq) mencintai sosok yang dicintai (ma’syûq) karena keindahan dan kesempurnaan yang dimilikinya, bukan demi keuntungannya. Jenis cinta ini terkhusus pada orang-orang tertentu saja.
- Cinta natural insaniah: Cinta kepada keindahan bentuk dan rupa orang yang dicintai (terlepas dari adanya kecendrungan sensual) demi keseimbangan dan kebaikan serta rangkapan keindahan padanya.
Ibnu Sina berkata, “Cinta seperti ini terbatas pada manusia dan tidak dapat ditemukan pada dunia hewan. Ia melanjutkan, “Kecendrungan jiwa terhadap keindahan eksoterik di antaranya wajah yang rupawan dapat diperoleh melalui dua jalan: Pertama: melalui jalan hewani. Kedua melalui jalan rasional.” Sehubungan dengan cinta natural-rasional (kejiwaan), Ibnu Sina berkata, “Pecinta (‘âsyiq) mencintai sosok yang dicintai (ma’syûq) karena bentuk yang indah dan rupawan karena dorongan rasional terhadap keseimbangan dan ekuilibrumnya orang yang dicintai. Jenis cinta ini yang tidak dihinggapi oleh sifat-sifat hewani merupakan media untuk menanjak, meninggi dan menyempurna.[6] Sumber cinta seperti ini adalah fitrah kecintaan terhadap keindahan yang tertanam dalam diri manusia dan bertautan dengan fakultas pencerap keindahan jiwa manusia dan afeksinya. Cinta kepada keindahan lahir ma’syuq (yang dicinta) adalah sosok yang diinginkan oleh asyiq (pecinta).
Naraqi dalam Mi’râj al-Sa’âdah berkata, “Cinta tidak akan pernah diperoleh kecuali melalui sebab dan mengingat bahwa untuk cinta terdapat banyak dan ragam sebab, karena itu cinta juga terbagi menjadi beberapa bagian.” Menurut Naraqi, salah satu bagian cinta adalah cinta terhadap wajah-wajah cantik nan rupawan.” Naraqi berkata, “Jangan berpikir bahwa kecintaan terhadap wajah-wajah cantik hanya karena ingin mendapatkan kelezatan sensual, melainkan merupakan pencerapan jiwa terhadap kesempurnaan dan keindahan karena esensinya dan tanpa memperhatikan masalah-masalah kelezatan lainnya; kelezatan spiritual yang secara otomatis menjadi obyek kecintaan. Dan karena itu, terkadang manusia mencintai segala yang hijau dan air mengalir, bukan karena ingin memakan hijau-hijauan dan meminum airnya, atau selain melihat ia memperoleh manfaat lainnya.” Naraqi mengimbuhkan, “Rasulullah Saw tatkala melihat air dan hijau-hijauan, (hal itu) memberikan rasa takjub dan keceriaan pada beliau.” Dan siapa yang memiliki jiwa yang sehat akan merasakan kelezatan tatkala melihat sekuntum bunga, hijau-hijauan dan lain sebagainya dan mencintainya, bahkan boleh jadi akan meringankan gundah gulana yang dimilikinya.[7]
- Cinta natural hewaniah: Cinta natural hewaniah (wadhi’) sebagai lawan dari cinta ‘afif yang tujuan utamanya adalah pelampiasan syahwat hewaniah.[8] Syaikh Rais sehubungan dengan jenis cinta seperti ini berkata, “Dalam cinta jenis ini, paras cantik disukai karena adanya kelezatan hewaniah di dalamnya. Cinta seperti ini membahayakan jiwa rasional manusia; karena tuntutan jiwa rasional (nafs natiqah) mengurusi hal-hal universal dan posisi universal juga adalah keabadian dan menyeluruh. Karena itu, jenis cinta seperti ini layak mendapat celaan dan cemooh dari jiwa rasional.[9]
Ustad Muthahhari juga terkait dengan cinta seperti ini berkata, “Jenis cinta-cinta seperti ini akan datang secepat kilat dan pergi secepat kilat. Cinta seperti ini tidak dapat diandalkan dan tidak mendapat anjuran karena akan membunuh kemuliaan dan keutamaan. Hanya dengan bantuan kesucian (ifaf), ketakwaan dan tidak tunduk di hadapannya maka orang-orang mendapatkan manfaat darinya”;[10] artinya dari satu sisi, tatkala terjadi perpisahan dan tidak bersua satu sama lain, dan kesucian dari sisi lain, maka segala duka dan nestapa, pelbagai tekanan dan kesusahan yang menguasai jiwa seorang pecinta akan menjadi ringan tatkala disertai dengan kesucian dan ketakwaan.
Para arif dalam hal ini berkata, “Cinta majasi (seperti ini) dapat menjelma menjadi cinta hakiki; artinya tatkala cinta mengarah kepada Allah Swt dan manusia dapat mengambil keuntungan dari kecintaan seperti ini.”[11]
Cinta hewani terkait dengan segala jenis yang mendatangkan kelezatan dan kepuasan seperti makanan-makanan. Sumber insting dan kecendrungan seperti ini berkaitan dengan nafs ammarah manusia. Dalam cinta ini, antara pecinta dan yang dicinta masing-masing ingin memperoleh keuntungan timbal-balik.
Adapun yang terkait apa hukumnya cinta sejenis ini? Filosof berbeda pendapat dalam masalah ini. Apakah jenis cinta seperti ini termasuk cinta yang baik dan patut mendapat pujian, atau buruk dan tercela sebagaimana sebagian filosof mencelanya dan sebagian lainnya memujinya.
Mulla Sadra berkata, “Jenis cinta ini yang tujuannya adalah untuk memperoleh kenikmatan atas kecantikan dan kecintaan ekstrem terhadapnya dapat dijumpai pada kebanyakan orang meski sumber kecintaan ini adalah Ilahi yang mengikut pada masâlih dan mafâsid hukum khusus. Dalam sudut pandang ini, cinta hewani adalah baik dan terpuji. Jenis cinta ini kebanyakan menjadi sumber munculnya kemakmuran dan pembangunan. Ia berkata, “Cinta kepada kecantikan dan keindahan adalah sumber motivasi orang menikah dan pada akhirnya kelestarian keturunan.
Karan itu, cinta natural hewani yang merupakan derajat cinta terendah dan tujuan utamanya adalah pelampiasan syahwat hewani, meski dari sudut pandang sebagaian arif dan filosof telah mendapat celaan, namun apabila disertai dengan ketakwaan dan kesucian, manusia dapat mengambil keuntungan darinya. Apabila tidak melanggar batasan syariat cinta seperti ini tentu saja akan mendatangkan manfaat bagi manusia; karena menurut Mulla Sadra cinta seperti ini menjadi dasar manusia ingin menikah dan melanjutkan keturunannya dan seterusnya.
Mulla Sadra adalah di antara filosof dan arif yang membagi dua jenis kecintaan: cinta hakiki atau majasi. Cinta hakiki adalah cinta kepada Allah, sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya. Cinta majasi sendiri terdiri dari dua bagian, cinta nafsani dan cinta hewani.
Mulla Sadra meyakini bahwa seluruh entitas di alam semesta dengan perantara cinta hakiki cinta kepada Allah Swt dan berharap bersua dengan-Nya dan Allah Swt telah menempatkan cinta khusus ini pada seluruh entitas alam semesta.[12]
Pengaruh Umum Cinta
Tentu saja cinta sejati memiliki pengaruh dan keberkahan yang sangat banyak yang tentu berbeda dengan pengaruh dan keberkahan yang didapatkan pada cinta majasi. Namun sebagian pengaruh dan tipologi antara cinta hakiki dan cinta majasi bersifat common. Artinya bahwa cinta, terlepas dari apa pun jenisnya, hakiki atau majasi, atau majasi nafsani atau majasi hewani, dan terlepas siapa obyek kecintaannya, memilik sejumlah manfaat dan pengaruh positif. Misalnya:
- Melenyapkan egoisme, indiviualisme dan kesombongan pada manusia pecinta.
- Melahirkan energi dan kekuatan.
- Melalaikan segala cela dan aib sosok yang dicintai dan menampakkan hanya keindahannya saja.
- Melenyapkan ketakutan pada diri seorang pecinta dan menumbuhkan keberanian dan kelancangan.
- Menciptakan kekuatan untuk memberi dan berderma pada seorang manusia kikir.
- Menyempurnakan jiwa dan berseminya pelbagai potensi yang menakjubkan secara esoterik dan eksoterik ketika kuntum cinta bermekaran.
Kesimpulannya apa yang dapat dipetik dari untaian tuturan para arif dan filosof dalam masalah cinta adalah bahwa cinta apabila merupakan jenis hakiki dan sebagian cinta majasi; seperti cinta rasional dan cinta spiritual, bukan hanya tidak tercela bahkan boleh jadi termasuk tangga-tangga menuju kesempurnaan. Namun apabila cinta merupakan jenis cinta hewani yang merupakan derajat terendah jenis cinta, maka hal ini tidak bermasalah apabila disertai dengan ketakwaan dan kesucian dan tidak keluar dari batasan kesucian. [iQuest]
[1]. Muhamma A’la bin Ali, Kasyyâf Ishthilahât al-Funûn, jil. 2, hal. 1012; Sayid Ja’far Sajjadi, Farhang Ishthilahât wa Ta’bir ‘Irfâni, klasul ‘i-sy-q; Sayid Ja’far Sajjadi, Farhanggi ‘Ulum ‘Aqli, hal. 357.
[2]. Atthar Naisyaburi, Tadzkirat al-Auliyâh, hal. 328.
[3]. Ibnu Sina, al-Rasâil, hal. 375.
[4]. Mullah Sadra, al-Hikmah al-Muta’âliyah, jil. 7, hal. 149.
[5]. Sa’id Rahimiyan, Hubb wa Maqâm Mahabat dar Hikmat wa ‘Irfân Nazhari, hal. 152.
[6]. Ibnu Sina, Risalah ‘Isyq, nukilan dari Hubb wa Maqâm Mahabat dar Hikmat wa ‘Irfân Nazhari, hal. 139 dan 140.
[7]. Mullah Ahmad Naraqi, Mi’râj al-Sa’âdah, hal. 529.
[8]. Sayid Ja’far Sajjadi, Farhanggi ‘Ulum ‘Aqli, hal. 139-140.
[9]. Ibnu Sina, Risâlah ‘Isyq, nukilan dari Hubb wa Maqâm Mahabat dar Hikmat wa ‘Irfân Nazhari, hal. 140 dan 141.
[10]. Murtadha Muthahhari, Majmu’e Atsar, jil. 16, hal. 251.
[11]. Ibid.
[12]. Sayid Ja’far Sajjadi, Mushthalahât Falsafi Shadruddin Syirâzi, hal. 153-155.