Kode Site
id24620
Kode Pernyataan Privasi
73720
Tema
Sejarah
Ringkasan Pertanyaan
Bagaimana kedudukan Abdullah bin Abbas dalam masyarakat Islam dan bagaimana pula hubungannya dengan Imam Ali As?
Pertanyaan
Mohon Anda jelaskan tentang sejarah dan kedudukan Ibnu Abbas dalam menolong dan kecintaannya kepada Ahlulbait As!
Jawaban Global
Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib lahir ketika Kaum Muslimin dikepung di Syi’ib Abu Thalib. Ia bersama ayahandanya, masuk Islam beberapa waktu sebelum Fathu Makkah. Sebagian literatur menyebutkan tentang doa-doa yang dipanjatkan Nabi Muhammad Saw untuk Abdullah bin Abbas. Bagaimanapun, ia adalah sosok penting dalam sejarah Islam. Abdullah bin Abbas dengan berbagai alasan menjadi tokoh yang diterima dan memiliki kedudukan tinggi yang diterima baik oleh Syiah maupun Ahlusunah.
Keunggulan personal Ibnu Abbas dapat dilihat dari sisi bahwa ia seorang sahabat, memiliki hubungan kekeluargaan dengan Nabi Muhammad Saw, doa Nabi Saw untuknya, memperoleh ilmu dari Imam Ali, menyebarkan ilmu itu dan lain sebagainya.
Dua mazhab besar Islam, banyak menggunakan nukilan-nukilan dan pendapat-pendapat Ibnu Abbas. Ibnu Abbas diangkat Imam Ali As untuk menjadi gubernur di beberapa kota. Ia juga menyertai Imam Ali As dalam beberapa keterangan dan berdialog dengan para penentang kebenaran Imam Ali As.
Namun demikian, persoalan yang sangat penting dalam sejarah Islam tentang kekesalan Imam Ali As terhadap Ibnu Abbas. Persoalan ini timbul ketika Ibnu Abbas, setelah mengambil uang dari baitulmal, meninggalkan rumah dinas kegubernurannya di Basrah. Ibnu Abbas meskipun hatinya bersama dengan Imam Hasan As dan Imam Husain As, namun ia bukan termasuk penolong Imam Husain As di Karbala. Pada akhirnya Ibnu Abbas meninggal pada tahun 68 H pada usia 71 tahun di kota Thaif.
Keunggulan personal Ibnu Abbas dapat dilihat dari sisi bahwa ia seorang sahabat, memiliki hubungan kekeluargaan dengan Nabi Muhammad Saw, doa Nabi Saw untuknya, memperoleh ilmu dari Imam Ali, menyebarkan ilmu itu dan lain sebagainya.
Dua mazhab besar Islam, banyak menggunakan nukilan-nukilan dan pendapat-pendapat Ibnu Abbas. Ibnu Abbas diangkat Imam Ali As untuk menjadi gubernur di beberapa kota. Ia juga menyertai Imam Ali As dalam beberapa keterangan dan berdialog dengan para penentang kebenaran Imam Ali As.
Namun demikian, persoalan yang sangat penting dalam sejarah Islam tentang kekesalan Imam Ali As terhadap Ibnu Abbas. Persoalan ini timbul ketika Ibnu Abbas, setelah mengambil uang dari baitulmal, meninggalkan rumah dinas kegubernurannya di Basrah. Ibnu Abbas meskipun hatinya bersama dengan Imam Hasan As dan Imam Husain As, namun ia bukan termasuk penolong Imam Husain As di Karbala. Pada akhirnya Ibnu Abbas meninggal pada tahun 68 H pada usia 71 tahun di kota Thaif.
Jawaban Detil
Abdullah adalah anak laki-laki Abbas bin Abdul Muthalib dan Lubabah binti Hatits bin Hazan.[1] Ia lahir ketika Bani Hasyim dan kaum Muslimin dikepung di Syi’ib Abi Thalib (kira-kira pada tahun ke-3 sebelum Hijrah).[2]
Abdullah seperti ayahandanya, Abu Thalib dan bersama dengan ayahandanya, masuk Islam beberapa waktu sebelum Fathu Makkah dan setelah Fathu Makah ia bersama dengan Nabi Muhammad Saw ikut serta dalam perang Hunain dan Thaif.[3] Sebagian literatur, khususnya Ahlusunah sangat banyak menukil riwayat dari Ibnu Abbas. Nukilan ini sebagian besarnya merupakan doa-doa yang dipanjatkan Nabi Muhammad Saw untuk Abdullah bin Abbas, seperti ketika Abdullah bin Abbas lahir, ayahandanya membawanya ke hadapan Nabi Muhammad Saw. Nabi-pun mencium anak itu dan mengusapnya di bagian wajah dan tangannya kemudian berdoa: “Tuhanku, penuhilah ia dengan ilmu dan pemahaman dan jadikan ia termasuk hamba-hamba yang saleh.”[4]
Dalam riwayat yang lain, disebutkan bahwa Nabi Muhammad Saw berdoa: “Anugerahkanlah ilmu dan hikmah kepada Ibnu Abbas.”[5] Karena berbagai sebab ia menjadi sosok yang diterima dan luar biasa yang dapat diterima baik oleh Syiah maupun Ahlusunah. Keunggulan pribadi Ibnu Abbas dapat dilihat dari sisi bahwa ia seorang sahabat, memiliki hubungan kekeluargaan dengan Nabi Muhammad Saw, doa Nabi Saw untuknya, memperoleh ilmu dari Imam Ali, menyebarkan ilmu itu dan lainnya.
Dua mazhab besar Islam, banyak menggunakan nukilan-nukilan dan pendapat-pendapat Ibnu Abbas. Sumber-sumber riwayat dan tafsir Syiah[6] dan juga Ahlusunah[7] sangat banyak menukil riwayat-riwayat dari Ibnu Abbas dan hal ini menunjukkan kedalaman ilmunya. Dengan dalil ini sebagian kaum muslimin mengenalnya sebagai “tinta umat”.
Meskipun ia sangat dikenal dalam aspek ilmiah, namun kehidupan politiknya patut dipertimbangkan. Ia selama masa tiga kekhlaifahan pertama, karena umurnya yang masih muda, tidak memiliki kesempatan untuk berbuat banyak guna menunjukkan kemampuannya namun pada tahun-tahun kekhalifahan Usman, ia bertanggung jawab terhadap urusan haji.[8] Puncak keterlibatan Ibnu Abbas pada urusan politik terjadi pada masa kekhilafahan Imam Ali.
Ibnu Abbas dan Imam Ali As
Setelah Imam Ali menjabat sebagai khalifah, Abdullah bin Abbas terpilih sebagai gubernur Syam dan Imam Ali memerintahkan supaya menjadi pemimpin di daerah itu. Namun Ibnu Abbas tidak mengabulkan permintaan Imam Ali dan kepada beliau ia berkata: “Dari sisi bahwa Muawiyah merupakan bagian dari Bani Umayah dan keponakan Utsman serta menjadi penguasa di Syria, maka aku tidak akan pernah merasa aman. Meskipun ia tidak membunuhku maka ia akan memenjarakanku.”[9]
Setelah itu, Imam Ali As memerintahkan Ibnu Abbas menjadi gubernur di Yaman.[10] Dengan meletusnya peperangan yang dipaksakan atas Imam Ali As, Ibnu Abbas pun dengan cekatan menolong Imam Ali dan ia turut serta dalam tiga peperangan: Jamal, Shiffin dan Nahrawan.[11]
Pada perang Jamal, ia berdialong dengan pihak lawan dan juga membawa pesan Imam Ali As kepada Zubair.[12] Setelah perang selesai, sesuai dengan perintah Imam Ali As, ia menjadi gubernur di Basrah.[13] Dengan semakin nyatanya perbedaan antara Imam Ali dan Muawiyah, Muawiyah dan Umar bin Ash menulis surat kepada Ibnu Abbas yang berisi ajakan Muawiyah dan Umar bin Ash untuk bergabung. Ibnu Abbas pun memperlihatkan surat itu kepada Imam Ali As dan ia pun memberikan jawaban secara tegas kepada mereka.[14]
Ibnu Abbas merupakan pengikut dan murid Imam Ali. Ia melakukan sangat banyak dialog dalam menghadapi pihak musuh. Di sini kita akan menuliskan tentang dialog Ibnu Abbas dan Aisyah, istri Nabi yang memiliki kedudukan yang sangat terhormat di antara kebanyakan kaum Muslimin sehingga akan membantu kita untuk mengenal lebih jauh tentang kepribadian dan integritasnya.
Setelah selesai perang Jamal, Imam Ali mengutus Ibnu Abbas untuk menemui Aisyah supaya kembali ke Madinah dan tidak tinggal di Basrah. Ibnu Abbas untuk menemui Aisyah minta ijin darinya, namun Aisyah tidak mengiyakan. Karena telah ditugaskan oleh Imam Ali maka Ibnu Abbas langsung memasuki rumah Aisyah dan mengambil sandaran yang ada di sana dan duduk di atasnya! Aisyah kepada Ibnu Abbas berkata: Wahai anak Abbas! Anda telah merusak sunnah dan kebiasaan yang ada dan masuk ke rumahku tanpa ijin!
Ibnu Abbas: Apabila Anda berada di rumah dimana ada Nabi Muhammad Saw di dalamnya, pasti aku tidak akan masuk tanpa ijin. Namun Anda telah membangkang Allah Swt dan Nabi-Nya dan telah keluar dari rumah itu! Bagaimanapun, Amirul Mukminin telah memerintahkan Anda untuk pulang ke Madinah dan jangan membangkang!
Aisyah: Semoga Allah Swt merahmati Amirul Mukminin! Gelar ini hanya untuk Umar bin Khatab!.
Ibnu Abbas: Aku bersumpah demi Tuhan! Bahkan jika hal ini tidak menyenangkan Anda, tetap saja Ali adalah Amirul Mukminin!
Aisyah: Aku tidak sudi mengikuti perintahmu.
Ibnu Abbas: Masa Anda berkuasa telah berakhir.
Aisyah terdiam dan menangis: Baiklah, aku akan meninggalkan kota ini, tidak ada tempat bagiku yang lebih buruk dari pada tempat dimana ada Anda, wahai Bani Hasyim!
Ibnu Abbas: Mengapa Anda berkata demikian? Segala keberkahan yang Anda miliki berasal dari kami.
Aisyah: Dengan mengatasnamakan Nabi Saw (Bani Hasyim) engkau ingin memberati aku?
Ibnu Abbas: Tentu tidak demikian. Kenapa harus mengatasnamakan beliau kami membuat Anda berat?”[15]
Pada malam syahadah Amirul Mukminin, Ibnu Abbas memiliki anak dan menamakan anaknya seperti tuannya, dengan nama “Ali.”[16] Para khalifah Bani Abbasiyah berasal dari keturunan anak ini.[17]
Ibnu Abbas merupakan murid khusus Imam Ali As dan orang-orang mengenal Ibnu Abbas juga dengan ciri ini.[18] Ia tidak pernah lupa untuk bertawadhu terhadap gurunya dan ketika orang-orang bertanya kepadanya, berapakah jarak antara ilmumu dan ilmu anak lelaki pamanmu (Imam Ali As)? Maka Ibnu Abbas menjawab: “Perumpamaannya bagaikan setetes air di hadapan laut.”[19]
Demikian juga sejauh mana kepercayaan Imam Ali kepada Ibnu Abbas dalam peristiwa arbitrase (hakamiyat) antara Imam Ali As dan Muawiyah, ia adalah salah satu kandidat Imam sebagai delegasinya.[20] Namun karena sebagian orang tidak setuju dengan keputusan Imam Ali tersebut, maka Imam Ali As terpaksa memilih Abu Musa ‘Asy’ari.
Meskipun semua kebaikan-kebaikan Ibnu Abbas telah dipaparkan, namun terdapat peristiwa yang menyebabkan ia dikritik dan hal itu terjadi ketika Ibnu Abbas mengambil sebagian harta dari baitul mal dari tempat pemerintahannya (Basrah) ia kemudian pergi ke Mekkah. Perbuatan ini membuat Imam Ali As sedih dan mengkritik keras atasnya.[21]
Dalam peristiwa ini terdapat hubungan surat menyurat antara ia dan Imam Ali As yang menjadi perbedaan dalam sejarah dan bukan tempatnya di sini untuk mengurainya lebih jauh.
Ibnu Abbas setelah syahadah Imam Ali As
Dengan syahadahnya Imam Ali As, kekuatan Syiah mengalami penurunan sehingga putra-putra Imam Hasan As terpaksa harus berdamai dengan Muawiyah dan mengalihkan kekhilafahannya. Setelah peristiwa ini, Ibnu Abbas juga seperti pembesar-pembesar Syiah lainnya hadir di Hijaz, tidak melakukan perlawanan terhadap Muawiyah. Ia juga tidak memberikan pelayanan kepada Muawiyah dan tidak memikul tanggung jawab sebagai apa pun. Pada masa itu, Ibnu Abbas sibuk menyebarkan ilmu-ilmu yang sebagian besarnya ia pelajari dari imamnya. Dalam peristiwa revolusi Imam Husain As, ia memperingatkan ketidaksetiaan kaum Kufah dan mengingatkan Imam Husain tentang perjalanan ini. Meskipun ia mencintai Imam Husain dalam hatinya, namun ia tidak menyertai beliau ke Karbala.[22]
Setelah syahadah Imam Husain dan kematian Yazid, Ibnu Zubair mengambil kekuasaan di Mekah. Ia menekan Ibnu Abbas dan Muhammad bin Hanafiyah supaya mengambil baiat dari mereka. Namun keduanya meminta pertolongan beberapa orang Syiah Irak untuk membebaskan diri mereka dan pada akhirnya Ibnu Abbas berhasil pergi ke Thaif dan tidak memberikan baiat kepada Zubair.[23]
Ibnu Abbas di penghujung usianya menderita buta.[24] Sebagian literatur menyatakan bahwa sebab kebutaan Ibnu Abbas di akhir kehidupannya. Literatur ini memuat hadis yang perlu diteliti kembali dan dapat dikritik dimana berdasarkan hadis ini disebutkan bahwa Ibnu Abbas pada masa mudanya melihat malaikat Jibril dan Nabi Muhammad Saw dan Nabi Muhammad berkata karena ia melihat mata malaikat Jibril maka ia akan buta pada akhir kehidupannya.[25]
Ibnu Abbas akhirnya pada tahun 68 H pada usia 71 tahun meninggal dunia di Haif[26] dan Muhammad bin Hanafiyah menyolati jenazahnya.[27] [iQuest]
Abdullah seperti ayahandanya, Abu Thalib dan bersama dengan ayahandanya, masuk Islam beberapa waktu sebelum Fathu Makkah dan setelah Fathu Makah ia bersama dengan Nabi Muhammad Saw ikut serta dalam perang Hunain dan Thaif.[3] Sebagian literatur, khususnya Ahlusunah sangat banyak menukil riwayat dari Ibnu Abbas. Nukilan ini sebagian besarnya merupakan doa-doa yang dipanjatkan Nabi Muhammad Saw untuk Abdullah bin Abbas, seperti ketika Abdullah bin Abbas lahir, ayahandanya membawanya ke hadapan Nabi Muhammad Saw. Nabi-pun mencium anak itu dan mengusapnya di bagian wajah dan tangannya kemudian berdoa: “Tuhanku, penuhilah ia dengan ilmu dan pemahaman dan jadikan ia termasuk hamba-hamba yang saleh.”[4]
Dalam riwayat yang lain, disebutkan bahwa Nabi Muhammad Saw berdoa: “Anugerahkanlah ilmu dan hikmah kepada Ibnu Abbas.”[5] Karena berbagai sebab ia menjadi sosok yang diterima dan luar biasa yang dapat diterima baik oleh Syiah maupun Ahlusunah. Keunggulan pribadi Ibnu Abbas dapat dilihat dari sisi bahwa ia seorang sahabat, memiliki hubungan kekeluargaan dengan Nabi Muhammad Saw, doa Nabi Saw untuknya, memperoleh ilmu dari Imam Ali, menyebarkan ilmu itu dan lainnya.
Dua mazhab besar Islam, banyak menggunakan nukilan-nukilan dan pendapat-pendapat Ibnu Abbas. Sumber-sumber riwayat dan tafsir Syiah[6] dan juga Ahlusunah[7] sangat banyak menukil riwayat-riwayat dari Ibnu Abbas dan hal ini menunjukkan kedalaman ilmunya. Dengan dalil ini sebagian kaum muslimin mengenalnya sebagai “tinta umat”.
Meskipun ia sangat dikenal dalam aspek ilmiah, namun kehidupan politiknya patut dipertimbangkan. Ia selama masa tiga kekhlaifahan pertama, karena umurnya yang masih muda, tidak memiliki kesempatan untuk berbuat banyak guna menunjukkan kemampuannya namun pada tahun-tahun kekhalifahan Usman, ia bertanggung jawab terhadap urusan haji.[8] Puncak keterlibatan Ibnu Abbas pada urusan politik terjadi pada masa kekhilafahan Imam Ali.
Ibnu Abbas dan Imam Ali As
Setelah Imam Ali menjabat sebagai khalifah, Abdullah bin Abbas terpilih sebagai gubernur Syam dan Imam Ali memerintahkan supaya menjadi pemimpin di daerah itu. Namun Ibnu Abbas tidak mengabulkan permintaan Imam Ali dan kepada beliau ia berkata: “Dari sisi bahwa Muawiyah merupakan bagian dari Bani Umayah dan keponakan Utsman serta menjadi penguasa di Syria, maka aku tidak akan pernah merasa aman. Meskipun ia tidak membunuhku maka ia akan memenjarakanku.”[9]
Setelah itu, Imam Ali As memerintahkan Ibnu Abbas menjadi gubernur di Yaman.[10] Dengan meletusnya peperangan yang dipaksakan atas Imam Ali As, Ibnu Abbas pun dengan cekatan menolong Imam Ali dan ia turut serta dalam tiga peperangan: Jamal, Shiffin dan Nahrawan.[11]
Pada perang Jamal, ia berdialong dengan pihak lawan dan juga membawa pesan Imam Ali As kepada Zubair.[12] Setelah perang selesai, sesuai dengan perintah Imam Ali As, ia menjadi gubernur di Basrah.[13] Dengan semakin nyatanya perbedaan antara Imam Ali dan Muawiyah, Muawiyah dan Umar bin Ash menulis surat kepada Ibnu Abbas yang berisi ajakan Muawiyah dan Umar bin Ash untuk bergabung. Ibnu Abbas pun memperlihatkan surat itu kepada Imam Ali As dan ia pun memberikan jawaban secara tegas kepada mereka.[14]
Ibnu Abbas merupakan pengikut dan murid Imam Ali. Ia melakukan sangat banyak dialog dalam menghadapi pihak musuh. Di sini kita akan menuliskan tentang dialog Ibnu Abbas dan Aisyah, istri Nabi yang memiliki kedudukan yang sangat terhormat di antara kebanyakan kaum Muslimin sehingga akan membantu kita untuk mengenal lebih jauh tentang kepribadian dan integritasnya.
Setelah selesai perang Jamal, Imam Ali mengutus Ibnu Abbas untuk menemui Aisyah supaya kembali ke Madinah dan tidak tinggal di Basrah. Ibnu Abbas untuk menemui Aisyah minta ijin darinya, namun Aisyah tidak mengiyakan. Karena telah ditugaskan oleh Imam Ali maka Ibnu Abbas langsung memasuki rumah Aisyah dan mengambil sandaran yang ada di sana dan duduk di atasnya! Aisyah kepada Ibnu Abbas berkata: Wahai anak Abbas! Anda telah merusak sunnah dan kebiasaan yang ada dan masuk ke rumahku tanpa ijin!
Ibnu Abbas: Apabila Anda berada di rumah dimana ada Nabi Muhammad Saw di dalamnya, pasti aku tidak akan masuk tanpa ijin. Namun Anda telah membangkang Allah Swt dan Nabi-Nya dan telah keluar dari rumah itu! Bagaimanapun, Amirul Mukminin telah memerintahkan Anda untuk pulang ke Madinah dan jangan membangkang!
Aisyah: Semoga Allah Swt merahmati Amirul Mukminin! Gelar ini hanya untuk Umar bin Khatab!.
Ibnu Abbas: Aku bersumpah demi Tuhan! Bahkan jika hal ini tidak menyenangkan Anda, tetap saja Ali adalah Amirul Mukminin!
Aisyah: Aku tidak sudi mengikuti perintahmu.
Ibnu Abbas: Masa Anda berkuasa telah berakhir.
Aisyah terdiam dan menangis: Baiklah, aku akan meninggalkan kota ini, tidak ada tempat bagiku yang lebih buruk dari pada tempat dimana ada Anda, wahai Bani Hasyim!
Ibnu Abbas: Mengapa Anda berkata demikian? Segala keberkahan yang Anda miliki berasal dari kami.
Aisyah: Dengan mengatasnamakan Nabi Saw (Bani Hasyim) engkau ingin memberati aku?
Ibnu Abbas: Tentu tidak demikian. Kenapa harus mengatasnamakan beliau kami membuat Anda berat?”[15]
Pada malam syahadah Amirul Mukminin, Ibnu Abbas memiliki anak dan menamakan anaknya seperti tuannya, dengan nama “Ali.”[16] Para khalifah Bani Abbasiyah berasal dari keturunan anak ini.[17]
Ibnu Abbas merupakan murid khusus Imam Ali As dan orang-orang mengenal Ibnu Abbas juga dengan ciri ini.[18] Ia tidak pernah lupa untuk bertawadhu terhadap gurunya dan ketika orang-orang bertanya kepadanya, berapakah jarak antara ilmumu dan ilmu anak lelaki pamanmu (Imam Ali As)? Maka Ibnu Abbas menjawab: “Perumpamaannya bagaikan setetes air di hadapan laut.”[19]
Demikian juga sejauh mana kepercayaan Imam Ali kepada Ibnu Abbas dalam peristiwa arbitrase (hakamiyat) antara Imam Ali As dan Muawiyah, ia adalah salah satu kandidat Imam sebagai delegasinya.[20] Namun karena sebagian orang tidak setuju dengan keputusan Imam Ali tersebut, maka Imam Ali As terpaksa memilih Abu Musa ‘Asy’ari.
Meskipun semua kebaikan-kebaikan Ibnu Abbas telah dipaparkan, namun terdapat peristiwa yang menyebabkan ia dikritik dan hal itu terjadi ketika Ibnu Abbas mengambil sebagian harta dari baitul mal dari tempat pemerintahannya (Basrah) ia kemudian pergi ke Mekkah. Perbuatan ini membuat Imam Ali As sedih dan mengkritik keras atasnya.[21]
Dalam peristiwa ini terdapat hubungan surat menyurat antara ia dan Imam Ali As yang menjadi perbedaan dalam sejarah dan bukan tempatnya di sini untuk mengurainya lebih jauh.
Ibnu Abbas setelah syahadah Imam Ali As
Dengan syahadahnya Imam Ali As, kekuatan Syiah mengalami penurunan sehingga putra-putra Imam Hasan As terpaksa harus berdamai dengan Muawiyah dan mengalihkan kekhilafahannya. Setelah peristiwa ini, Ibnu Abbas juga seperti pembesar-pembesar Syiah lainnya hadir di Hijaz, tidak melakukan perlawanan terhadap Muawiyah. Ia juga tidak memberikan pelayanan kepada Muawiyah dan tidak memikul tanggung jawab sebagai apa pun. Pada masa itu, Ibnu Abbas sibuk menyebarkan ilmu-ilmu yang sebagian besarnya ia pelajari dari imamnya. Dalam peristiwa revolusi Imam Husain As, ia memperingatkan ketidaksetiaan kaum Kufah dan mengingatkan Imam Husain tentang perjalanan ini. Meskipun ia mencintai Imam Husain dalam hatinya, namun ia tidak menyertai beliau ke Karbala.[22]
Setelah syahadah Imam Husain dan kematian Yazid, Ibnu Zubair mengambil kekuasaan di Mekah. Ia menekan Ibnu Abbas dan Muhammad bin Hanafiyah supaya mengambil baiat dari mereka. Namun keduanya meminta pertolongan beberapa orang Syiah Irak untuk membebaskan diri mereka dan pada akhirnya Ibnu Abbas berhasil pergi ke Thaif dan tidak memberikan baiat kepada Zubair.[23]
Ibnu Abbas di penghujung usianya menderita buta.[24] Sebagian literatur menyatakan bahwa sebab kebutaan Ibnu Abbas di akhir kehidupannya. Literatur ini memuat hadis yang perlu diteliti kembali dan dapat dikritik dimana berdasarkan hadis ini disebutkan bahwa Ibnu Abbas pada masa mudanya melihat malaikat Jibril dan Nabi Muhammad Saw dan Nabi Muhammad berkata karena ia melihat mata malaikat Jibril maka ia akan buta pada akhir kehidupannya.[25]
Ibnu Abbas akhirnya pada tahun 68 H pada usia 71 tahun meninggal dunia di Haif[26] dan Muhammad bin Hanafiyah menyolati jenazahnya.[27] [iQuest]
[1] Ibnu Jauzi, Abdurrahman bin Ali, Al-Muntazham, Riset: ‘Atha, Muhammad Abdul Qahir, ‘Atha Musthafa Abdu Qadir, jil. 6, hal. 72, Beirut, Dar al-Kitab Ilmiyah, cet. 1, 1412 H.
[2] Ibnu Abdul Barr, Yusuf bin Abdullah, Al-Isti’āb fi Ma’rifah al-Ashāb, Riset: Bijawi, Ali Muhammad, jil. 1, hal. 37, Beirut, Dar al-Jabil, cet. 1, 1412 H.
[3] Ibnu Katsir Damisyqi, Ismail bin Umar, Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jil. 8, hal. 296, Beirut, Dar al-Fikr, 1407 H.
[4] Baladzuri, Ahmad bin Yahya, Ansāb al-Asyrāf, Riset: Zakar, Suhai, Zarkili, Riyadh, jil. 4, hal. 27 Beirut, Dar al-Fikr, Cet. 1, 1417 H.
[5] Kesyi, Muhammad bin Umar, Ikhtiyār Ma’rifah al-Rijāl, Riset: Syaikh Thusi, Muhammad bin Hasan Musthafawi, Hasan, jil. 1, hal. 273, Muasasah Nasyar Danesygah Nasyar Danesygah Masyhad, Riset: Abdul Qadir ‘Atha, Musthafa, jil, 3 hal. 617, Beirut, Dar al-Kitab al-Ilmiyah, cet. 1 1411 H.
[6] Silahkan lihat: Syaikh Thusi, Muhammad bin Hasan, Al-Tebyān fi Tafsir al-Qurān, Mukaddimah, Syaikh Agha Buzurg Tehrani, Riset: Qashir Amili, Ahmad, jil. 1, hal. 479, Beirut, Dar Ihya al-Tsurats al-Arabi, tanpa tahun; Syaikh Shaduq, Man Lā Yahdhuruhu al-Faqih, Riset: Ghifari, Ali Akbar, jil. 4, hal. 399, Qum, Daftar Intisyarat Islami, cet. 2, 1413 H.
[7] Silahkan lihat: Ibnu Katsir Damisyqi, Ismail bin Amru, Tafsir al-Quran al-Azhim, Riset: Syamsuddin, Muhammad Husain, jil. 1, hal. 99, Beirut Dar al-Kitab al-Ilmiyah, Mansyurat Muhammad Ali Baidhun, cet. 1, 1419 H; Qushairi Nisyaburi, Muslim bin Hijaj, Al-Musnad al-Shahih binaql an ‘Adl ila Rasulullah Saw (Sahih Muslim), Riset: Abdul Baqi, Muhammad Fuad, iil. 3, 1543, Dar al-Ihya al-Tsurats al-‘Arabi, Beirut, tanpa tahun.
[8] Thabari, Muhammad bin Jarir, Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh Thabari), Riset, Ibrahim Muhammad Abu Fadzl, jil. 4, hal. 448, Beirut, Dar al-Tsurats, cet. 2, 1387 H.
[9] Dzahabi, Muhammad Fuad, hal. 1543, Dar Ihya al-Tsurats al-Arabi, Beirut, tanpa tahun.
[10] Deinawari, Ahmad bin Dawud, Al-Akhbār al-Thiwāl, Riset: Abdul Mun’im Amir, Murāji’ah, Jamaluddin Syayal, hal. 141 Qum, Mansyurat al-Radhi, 1368 S.
[11] Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jil. 8, hal. 304.
[12] Syarif al-Radhi, Muhammad bin Husain, Nahj al-Balāghah, Riset: Subhi Salehi, hal. 74, Qum, Hijrat, cet. 1, 1414 H.
[13] Ibnu Qutaibah Dainawari, Abdullah bin Muslim, Al-Imāmah wa al-Siyāsah, Riset: Syiri, Ali, jil. 1, hal. 105, Beirut, Dara al-Adhwa, cet. 1, hal. 1410 H.
[14] Nashr bin Muzahim, Waqe’eh Shiffin, Riset dan editor: Harun, Abdul Salam Muhammad, hal. 412, Qum, Maktabah Ayatullah al-Mar’asyi al-Najafi, cet. 2, 1414 H.
[15] Ibnu A’tsam Kufi, Ahmad bin A’tsam, Al-Futuh, Riset: Syiri, Ali, jil. 2, hal. 486, Beirut, Dar al-Adhwa, 1411 H.
[16] Ansāb al-Asyrāf, jil 4, hal. 70.
[17] Zarkali, Khairuddin, al-I’lām, jil. 4, hal. 303 Beirut, Dar al-Ilm lil Malayin, cet. Ke-8, 1989 M.
[18] Silahkat lihat: 2676: Ibnu Abbas Salah Satu Murid Imam Ali As
[19] Ibnu Abil Hadid, Abdul Majid bin Hibatullah, Syarh Nahj al-Balāghah, Riset: Ibrahim, Muhammad Anul Fadzl, jil. 1, hal. 19, Qum, Maktabah Ayatullah Mar’asyi Najafi, cet. 1, 1404 H.
[20] Ibnu Sa”ad Katib Waqidi, Muhammad bin Sa’d, Al-Thabaqāt al-Kubra, jil. 1, hal. 177, Beirut, Dar al-Kitab al-Ilmiyah, cet. 2, 1418 H.
[21] Tārikh al-Umam wa al-Muluk (Tārikh Thabari), jil. 5, hal. 141.
[22] Silahkan lihat: 27531, Beberapa Orang yang tidak menyertai Imam Husain As di Peristiwa Karbala
[23] Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jil. 8, hal. 305-306.
[24] Ibnu Atsir Jazri, Ali bin Muhammad, Usd al-Ghābah, jil. 3, hal. 190, Beirut, Dar al-Fikr, 1409 H.
[25] Ibid, hal 189.
[26] Silahkan lihat: 25676: Ibnu Abbas menurut Murid-murid Imam Ali As
[27] Pengarang tidak dikenal, Akhbār al-Daulah al-‘Abāsiyah wa Fiihi Akhbār al-‘Abbās wa Waladuh, Al-Dauri, Abdul Aziz, Al-Mathlabi Abdul Jabbar, hal. 130, Beirut, Dar al-Thali’ah, 1391 S.