Please Wait
21719
Untuk menjelaskan duduk persoalannya kiranya kita perlu memperhatikan beberapa poin berikut ini:
1. Para nabi dan wali Allah Swt memiliki maqam-maqam tinggi ruhani dan takwini di alam eksistensi ini. Mereka merupakan cahaya-cahaya kegaiban Ilahiyah, bentuk manifestasi sempurna dan ayat-ayat gemilang dari sifat jalâl dan jamâl Allah Swt. Tanah badan-badan dan proses penciptaan ruh-ruh mereka itu dikelola langsung dengan kekuatan jamâl dan jalâl Ilahi dan mereka telah memperoleh hakikat dan kebenaran nama-nama dan sifat-sifat (Allah Swt). Berada di bawah naungan wilâyat Allah Swt membuat mereka sentiasa merasa hadir di depan Allah Swt. Maqam dan kedudukan para nabi dan wali inilah, di alam wujud, yang menjadi sebab keterjagaan secara mutlak serta menjadi penghalang munculnya perbuatan dosa dari mereka, kendatipun kemungkinan dan kemampuan serta ikhtiar untuk melakukan dosa tidak hilang dan tercerabut dari diri mereka itu.
2. Terkait dengan kemaksuman atau keterjagaan para nabi, terdapat banyak dan ragam pandangan. Misalnya bahwa mereka itu tidak hanya melakukan dosa besar, tapi bagi mereka juga boleh melakukan dosa kecil dan atau mereka juga melakukan dosa besar dan juga dosa kecil, dengan catatan tidak sengaja dan bukan sengaja. Namun menurut pandangan Syi’ah yang merupakan pandangan yang sahih dan hak, adalah bahwa sangat mustahil para nabi tersebut melakukan perbuatan dosa, tentunya dengan berbagai alasan dan dalil. Di antaranya adalah seumpama para nabi tersebut melakukan perbuatan dosa maka hal ini sangat bertentangan dan kontra dengan tujuan diutusnya mereka; karena kalau mereka berbuat dosa maka kepercayaan orang-orang terhadap mereka pun otomatis akan hilang dan orang-orang pun pasti tidak akan mengikuti mereka dan bagi Allah Swt, Tuhan yang Maha Bijak, perbuatan yang bertentangan dengan tujuan (naqdh garadh) merupakan hal yang tidak baik dan tidak pantas.
3. Sumber keterjagaan para nabi dan para Imam Maksum As dari melakukan dosa adalah ilmu dan penyaksian-penyaksian (syuhud) sempurna mereka atas akibat dari ketaatan dan dosa, halal dan haram, baik dan buruk serta kesucian dan ketidaksucian (akal teoritis) yang mencegah mereka dari melakukan perbuatan dosa (akal praktis).
4. Poin kedua tentang tempat tinggal Nabi Adam As sebelum turun (ke bumi) dengan berbagai macam dalil, bukanlah surga dan akhirat yang dijanjikan itu, seperti bahwa keluar dari surga yang telah dijanjikan merupakan hal yang tidak mungkin dan atau setan tidak mungkin bisa masuk ke dalam surga dan atau tidak mungkin di dalam surga itu ada aturan pelarangan memakan buah-buahan.
5. Poin terakhir adalah bentuk dosa yang dilakukan Nabi Adam As hanya berupa meninggalkan keutamaan (tarkul aula’); karena pertama: berbuat dosa bagi para nabi adalah sesuatu yang tidak boleh. Kedua: dengan sebab maqam dan kedudukan para nabi, maka tidak apa-apa menganjurkan untuk meninggal hal keutamaan, karena “amal baik orang-orang yang saleh merupakan amal buruk bagi orang-orang yang dekat (muqarrabin)”. Ketiga: meninggalkan keutamaan terjadi pada sebagian nabi, seperti pada Nabi Yunus As.
Dalam menjawab pertanyaan ihwal mengapa setelah Nabi Adam As dan Hawa turun ke bumi, mereka tidak dilarang untuk mendekat darinya (pohon dan lain-lain)? Terdapat banyak kemungkinan yang bisa menjelaskan dan menerangkan maksud dari “pohon” (syajarah) tersebut. Singkatnya dapat dikatakan bahwa: pohon terlarang atau pohon lahiriah (sejenis tumbuhan yang memakannya itu dapat mengeluarkan dari surga dan hidup serta tinggal di atas bumi, jadi tidak punya makna kalau di atas bumi juga dilarang. Selain itu bahwa hukum-hukum menjadi berbeda sesuai dengan tempat dan masa serta kondisi-kondisi seseorang). Atau pohon maknawiyah, dalam hal ini yang dimaksud dengan pohon adalah pertama “ilmu” (pengetahuan) yang bertentangan dengan ayat-ayat dan riwayat-riwayat yang qat’i dan pasti serta banyak, karena Nabi Adam As tidak hanya dilarang dari ilmu, tapi bahkan diajarkan kepadanya asma-asma (nama-nama) dan juga menjadi pengajar para malaikat.
Kedua yang dimaksud dengan pohon adalah “hasud” yang terkait dengan Nabi Adam As karena maqam kenabiannya. Yang diinginkan dan dimaksudkan di sini adalah makna ghibtah (hasud positif) dan hasud positifnya kepada maqam dan kedudukan yang dimiliki Rasulullah Saw, Imam Ali As, Sayidah Fathimah As dan Imam Hasan As serta Imam Husein As dan juga dilarangnga hasud dalam kehidupan duniawi seperti sebelum kedatangannya ke bumi.
Untuk menjawab pertanyaan di atas, ada tiga poin yang harus dikaji dan dipelajari terlebih dahulu, namun sebelum menjelaskannya, perlu dicamkan baik-baik hal berikut ini:
Kemaksuman mutlak (absolut) para nabi dan Imam Maksum As, merupakan hasil dari ketinggian maqam nurani dan ruhani serta takwini mereka di alam wujud ini. Mereka merupakan cahaya-cahaya kegaiban Ilahiyah, bentuk manifestasi sempurna dan ayat-ayat gemilang dari sifat jalâl dan jamâl Allah Swt. Tanah badan-badan dan penciptaan ruh-ruh mereka itu langsung diramu dan dikelola oleh tangan kekuasan sifat jalâl dan jamâl Allah Swt, dan mereka telah menemukan dan memperoleh hakikat asma-asma serta sifat-sifat di alam gaib (non-materi). Berada di bawah wilayat Allah Swt membuat sentiasa merasa diri sedang bertatapan langsung dengan Yang Maha Hak, dan penyaksian-penyaksian dan rasa kehadiran seperti ini mencegah dari melakukan dosa dan kesalahan. Meskipun unsur kemungkinan, kemampuan serta ikhtiar berbuat dosa tidak dicabut dan dihilangkan dari diri mereka.[1]
Poin pertama: Terkait dengan kemaksuman para nabi: pada masalah ini terdapat ragam pandangan di kalangan pengikut aliran-aliran Islam yang seluruhnya kira-kira lima pandangan:
1. Para nabi itu terhindar dan terjaga dari melakukan dosa besar, akan tetapi mereka bisa saja melakukan dosa kecil dan mereka mulai maksum ketika menginjak usia balig. (pandangan mayoritas Muktazilah).
2. Para nabi itu tidak melakukan dosa besar maupun kecil dengan cara sengaja, namun sebaliknya mereka bisa saja berbuat dosa dalam keadaan tidak sengaja. (pandangan Abu Ali Jabbai). Ia berkeyakinan bahwa para nabi itu menjadi maksum sejak menjadi nabi, akan tetapi sebelum ia memperoleh maqam kenabian maka ia bisa saja berbuat dosa.
3. Para nabi itu tidak melakukan dosa, kecuali tidak sengaja dan atas dasar kesalahan dan dengan alasan kesalahan ini juga mereka itu diprotes, kendati kalangan umum tidak mendapat siksaan akibat dosa yang dilakukan dengan tidak sengaja dan lupa dan perbedaan ini ada karena ketinggian makrifat (pengetahuan) dan derajat para nabi. (pandangan Nizham dan pengikutnya).
4. Secara mutlak para nabi tersebut bisa saja melakukan dosa, kecil atau pun besar, sengaja atau tidak sengaja, dan atas dasar salah. (pandangan Hasywiyah dan sebagian besar ahli hadis).[2]
5. Secara mutlak para nabi tersebut tidak mungkin melakukan perbuatan dosa, baik itu kecil atau pun besar, sengaja atau tidak sengaja atau atas dasar salah. (pandangan Syi’ah Imamiyah) dan kemaksuman para nabi itu sudah ada, baik sebelum diangkat sebagai nabi atau pun sesudahnya). Hal yang boleh jadi mereka lakukan adalah meninggalkan hal keutamaan dan hal yang mustahab (sunnah). Syi’ah Imamiyah memiliki dalil dan argumen guna mendukung pandangan mereka dan di sini hanya akan disebutkan tiga dalil dalam rangka menyingkat waktu:
Dalil pertama: Kalau para nabi tersebut melakukan perbuatan dosa maka kedudukannya akan jatuh dan bahkan lebih hina dari kalangan umum, karena ia memiliki makrifat dan pengetahuan yang tidak dimiliki oleh selainnya, jadi kalau dengan makrifat dan pengetahuannya tentang Allah Swt dan hakikat dari dosa dan menentang dari perkara meninggalkan hal keutamaan, ia melakukan perbuatan dosa, maka kedudukannya lebih rendah dari para pendosa.
Dalil kedua: Sekiranya para nabi tersebut melakukan dosa, maka dari satu sisi ia harus diikuti karena ia adalah nabi dan disisi lain karena ia melakukan perbuatan dosa maka haram mengikutinya, oleh karenanya, terhadap satu amal perbuatan itu memiliki dua unsur; yaitu juga wajib dan juga haram dan menyatunya dua hal yang kontrari adalah sesautu yang mustahil dan ini bisa membuat umat menjadi bingung.
Dalil ketiga: Tujuan dari diutusnya para nabi tersebut supaya orang-orang mengikutinya, mendidik masyarakat, dan mencegah serta menjauhkan mereka dari berbuat dosa. Jadi kalau para nabi tersebut boleh dan melakukan perbuatan dosa maka orang-orang pun akan kehilangan kepercayaan kepada mereka dan pada akhirnya terjadi ketimpangan antara tujuan dari pengutusan para nabi dengan realitas diri mereka, dengan kata lain bertentangan dengan tujuan dasar dari proses pengutusan tersebut. Dan hal seperti ini (naqd garadh) di sisi Allah Swt Yang Maha Bijak merupakan hal yang tidak baik (jelek) dan tidak boleh.[3]
Tentunya kemaksuman para nabi dan Imam Maksum As itu bersumber dari ilmu dan penyaksian-penyaksian sempurna mereka (akal praktis) yang dengannya mereka terhindar dari melakukan dosa dan menghindar dari melakukan dosa itu disebut akal teoritis. Dengan demikian, pengetahuan atas halal dan haram, suci dan tidak suci, baik dan buruk menjadi sumber kemaksuman perbuatan mereka (yang merupakan perkara ikhtiari dan manusia bebas memilih).[4]
Poin kedua: Terkait dengan tempat tinggal Nabi Adam As sebelum turun ke bumi. Apakah tempat tinggalnya itu adalah surga yang telah dijanjikan dan betul-betul di alam akhirat atau surga duniawi?
Sebagian berpandangan bahwa itu adalah surga yang dijanjikan dan surga yang dijanjikan tersebut bukanlah tempat taklif dan kewajiban syariat. Oleh itu keluarnya Nabi Adam As dari surga tersebut dianggap tidak apa-apa, karena tidak keluar –dari surga yang dijanjikan lagi abadi yang merupakan imbalan pahala akan menetap di dalamnya.[5]
Adapun kritikan-kritikan yang dapat dilontarkan atas pandangan ini adalah pertama: kalau ia bukanlah tempat taklif dan kewajiban, lalu mengapa al-Qur’an menyatakan bahwa:”Nabi Adam As melakukan dosa dan menentang”? sementara setan juga tidak melakukan penentangan. Kedua: kalau itu merupakan surga yang dijanjikan, maka tidak akan ada jalan bagi si setan untuk masuk ke dalamnya. Ketiga: di dalam surga yang dijanjikan memakan dan menikmati segala bentuk makanan adalah sesuatu yang diperbolehkan dan Allah Swt tidak akan melarang manusia dari menikmati seluruh nikmat, padahal Nabi Adam As dilarang memakan buah pohon tersebut.[6]
Oleh karena itu, pandangan yang menyatakan bahwa itu adalah surga duniawi itu lebih pas dan mengena. Selain itu, terdapat banyak riwayat yang dengan jelas menerangkan perkara ini bahwa surga merupakan salah satu kebun dari kebun-kebun di dunia ini yang disinari matahari dan bulan. Tentunya sebagian riwayat-riwayat menjelaskan bahwa surga tersebut ada di langit dan kata hubûth yang bermakna turun dan mendarat dari langit ke bumi, juga bisa dijadikan bukti dan dalil atas permasalahan ini.[7]
Poin ketiga: Terkait dengan amal perbuatan Nabi Adam As dan Hawa; apakah mereka telah melakukan dosa atau tidak? Dalam hal ini terdapat beberapa pandangan dan ungkapan dan disini kita hanya akan menyebutkan dua saja yang dianggap paling penting, yaitu:
1. Mereka telah melakukan dosa, akan tetapi pertama: dosa kecil, kedua: terjadi sebelum kenabian Nabi Adam As dan hal ini tidak kontra dan tidak bertentangan dengan maqam kenabian, dan untuk mendukung pandangan ini ada beberapa dalil yang digunakan, di antaranya adalah pertama; ayat ini dan yang sama dengannya, jika dilihat dari teksnya, membuktikan bahwa mereka (Nabi Adam As dan Hawa) telah melakukan dosa, dan kedua; bahwa dalam Al-Qur’an kata ‘ishyaan itu hanya dimaknai satu saja, yaitu dosa, serta ketiga: bahwa kita tidak menemukan sebuah dalil irsyadi (yang sifatnya hanya berupa bimbingan) pada kata larangan laa taqrabaa (janganlah kalian berdua mendekati); keempat: bahwa taubat dari sebuah perbuatan yang sifatnya berupa larangan irsyadi tidak ada bermakna dan tidak ada gunanya.[8]
2. Pandangan lain bahwa Nabi Adam As ketika melakukan perbuatan itu sudah menjadi nabi. Dalil dari pandangan ini adalah Jibril As turun kepada Nabi Adam As dan turunnya malaikat Jibril As adalah sama dengan kenabian, karena Jibril As tidak akan turun kepada selain nabi. Selain bahwa Allah Swt telah mengajarkan kepada Nabi Adam As asma-asma dan hanya dia yang punya pengetahuan tentang itu dan bahkan para malaikat tidak memiliki ilmu semacam ini. Nabi Adam As lah yang menjadi guru para malaikat dan ia mengajarkan kepada mereka (malaikat) tentang asma-asma dan seluruh kejadian ini terjadi sebelum datang perintah larangan memakan buah pohon tersebut.[9]
Jadi kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa Nabi Adam As ketika memakan buah itu, ia telah menjadi seorang nabi dan sesuai pandangan Syi’ah, secara mutlak seorang nabi tidak akan melakukan perbuatan dosa sekecil apa pun. Dengan demikian, kita harus mempredikasikan bahwa larangan tersebut sifatnya larangan irsyadi dan apa yang dilakukan Nabi Adam As tersebut adalah meninggalkan keutamaan yang mana tentunya boleh dilakukan oleh para nabi. Namun karena mereka itu memiliki kedekatan dengan Allah Swt dan derajat makrifat yang mereka miliki terhadap Sang Pencipta, ketika mereka meninggalkan hal keutamaan maka Allah Swt akan memprotes dan menegur mereka.[10] Sebagaimana yang terjadi pada sebagian nabi, seperti Nabi Yunus As yang telah merasa letih dan lelah dari kaumnya dan telah putus asa untuk memberinya bimbingan dan tanpa izin Tuhan, ia meninggalkan kaum tersebut begitu saja dan Allah Swt mengurungnya di dalam perut ikan dan berfirman yang artinya:” seandainya ia tidak beristigfar dan taubat, maka sampai hari kiamat ia akan dikurung di dalam perut ikan”.[11] Dan atau seperti nabi Yusuf As yang meninggalkan hal keutamaan berupa ber-tawassul kepada selain Allah Swt supaya dibebaskan dan dikeluarkan dari penjara, dan lain-lain sebagainya.[12] Padahal hal seperti ini –meninggalkan hal keutamaan– bagi orang-orang biasa itu tidak akan dikenakan azab dan teguran, dengan istilah lainnya adalah “amal baik orang-orang yang saleh merupakan amal buruk bagi orang-orang yang dekat (muqarrabin)” dan hal seperti inilah yang terjadi pada diri Nabi Saw, misalnya shalat malam yang diwajibkan pada Nabi Saw, namun bagia orang lain itu tidak diwajibkan (mustahab) dan atau ibadah orang-orang biasa yang mana terkadang disertai kelalaian dan memikirkan hal yang bukan ibadah, bagi para nabi hal seperti ini (lalai dan memikirkan hal yang bukan ibadah) dianggap sebagai suatu kekurangan dan kesalahan.[13]
Adapun ‘ishyaan, memiliki makna “menentang perintah sang penguasa (Allah Swt)” dan perintah sang Pencipta ini dibagi menjadi dua bagian, ada yang sifatnya wajib dan ada yang mustahab (dianjurkan). Dari sisi inilah maka, pertama: pandangan yang membolehkan menentang dan membangkan hal yang sifatnya mustahab itu dianggap tidak sahih dan tidak valid. Kedua: kalau dalam menentang hal yang sifatnya mustahab itu boleh, dengan alasan terjadinya kontradiksi antara dalil-dalil qat’iyah (pasti), maka harus dipredikasikan seperti itu.[14] Dan kata “ghawaa” yang ada dalam ayat,[15] memiliki makna kerusakan dan kerugian (dharaar) karena kalau Nabi Adam As tidak melakukan perbuatan ini, maka ia berhak mendapat imbalan pahala yang luar biasa lagi agung.[16] Dan “taubat” yang dilakukannya itu bukan karena ia melakukan maksiat, akan tetapi ia bertaubat hanya karena meninggalkan keutamaan dimana seorang nabi tidak layak dan tidak pantas melakukan hal tersebut (meninggalkan keutamaan). Selain itu, terkadang taubat itu untuk sampai pada maqam dan kedudukan tinggi serta demi meraih pahala yang baik, sekalipun tidak melakukan dosa.[17]
Adapun perkara kenapa Nabi Adam As –setelah turun ke bumi– tidak dilarang lagi dari (memakan buah) pohon tersebut dan larangan dari memakannya itu khusus pada posisi yang pertama ataukah tidak? Untuk menjawab pertanyaan di atas, pertama harus diketahui makna syajarah (pohon) itu apa? Tidak keluar dari dua hal ini bahwa artinya adalah pohon yang sifatnya lahiria dan suatu bentuk tanaman (gandum, buah ara/anjir, pohon kaafur dan yang semisalnya), atau sifatnya maknawi; yaitu pohon ilmu (namun ini bertentangan dengan ayat-ayat Al-Qur’an, karena Nabi Adam As tidak hanya memiliki ilmu, tapi bahkan ia mengajarkan asma-asma tersebut kepada malaikat). Atau maksudnya adalah pohon “hasud” yang artinya hasud positif (ghibtah), bukan sebuah makna yang langsung ditangkap dan dicerna oleh pikiran dan populer dikalangan masyarakat, karena hal itu bertentangan dengan maqam kenabian dan kehasudan Nabi Adam As juga dikarenakan melihat maqam dan kedudukan Rasulullah Saw, Imam Ali As, Sayidah Fathimah As, Imam Hasan As dan Imam Husein As dan kerendahan maqam dan kedudukannya (Nabi Adam As) dibanding mereka, dari sisi inilah Nabi Adam As merasa iri dan hasud dalam artian positif (ghibtah).[18] Dan kalau yang dimaksud dengan pohon disitu adalah hasud atau iri maka sekarang juga rasa hasud dan itu merupakan suatu kondisi jiwa yang tidak terpuji dan Allah Swt melarang untuk tidak melakukan hal tersebut; sebagaimana yang ada dalam riwayat-riwayat bahwa rasa hasud dan iri dapat melenyapkan keimanan tersebut sebagaimana api membakar kapas.
Nah, kalau yang dimaksud di situ adalah pohon yang sifatnya lahiriah maka harus dikatakan bahwa: tidak apa-apa jika hukum suatu permasalahan (maudhu’) pada satu masa dan atau satu tempat adalah sesuatu yang lain dan pada waktu dan tempat yang lain juga hukumnya lain. Misalnya pada masa awal Islam dimana kaum muslimin shalat menghadap ke arah mesjid al Aqsa dan kemudian hukum berubah dan shalat menghadap Ka’bah dan atau hukum memakan bangkai dalam kondisi biasa (tidak terdesak) itu adalah haram, namun ketika berada di padang pasir dan sangat mendesak maka hukumnya boleh memakannya (bangkai), bahkan menjadi wajib sehingga orang yang terdesak tersebut bisa selamat. Demikian pula terkait dengan kisah Nabi Adam As dimana pada masa dan tempat khusus tersebut diharamkan memakan buah dari pohon itu, namun pada tempat dan masa yang berbeda larangan itu pun dicabut dan tidak berlaku lagi. Kedua: kalaupun Nabi Adam As turun ke bumi itu hanya gara-gara efek dari suatu kondisi pohon tersebut. Jadi tidak punya makna kalau di tempat ini juga dilarang, karena menggunakan apa yang ada pada pohon tersebut tidak bertolak belakang dengan alam tersebut dan bukan kehidupan duniawi ini.[]
[1] . Nubuwwah az Didgâh-e Imâm Khomeini (Ra), hal 124-129.
[2] .Allamah Majlisi, Bihâar al-Anwâr, jil. 11, bab 4, hal 89 (cetakan Iran); Sayid Murtadha, Tanzîhul Anbiyâ, hal 15-17; Thabarsi, Majmâ’ al Bayân, jil. 1, ayat 35; Syekh Thusi, Tajrid al-I’tiqâd, bagian 4, hal 376 (cetakan beirut).
[3] . Allamah Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 11, bab 4, hal 90-99 dan 155-203; Thabarsi, Majmâ’ al-Bayân, jil. 1, hal 188 (cetakan Beirut); jil. 6, hal 33; jil. 8, hal 151; Sayid Murtadha, tanziihul anbiya, hal 17 dan 76; Thabarsi, Jawâmi’ al-Jâmi’, jil. 1, hal 39; jil. 2, hal 143.
[4] . Abdullah Jawadi Amuli, Tafsir Maudhu’i Qur’ân-e Karim, jil. 9, hal 15.
[5] .Allamah Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 11, hal 143.
[6] . Tafsir Nemuneh, jil. 1, hal 186.
[7] . Allamah Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 11, hal 143-144.
[8] .Sayid Murtadha, Tanzîhul Anbiyâ, hal 24; Bihâr al-Anwâr, jil. 11, hal 198; Muhsin Qira’ati, Tafsir-e Nur, jil. 7, hal 403.
[9] .Qs. al-Baqarah (2):31-33.
[10]. Allamah Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 11, hal 198; Thabarsi, Majmâ’ al-Bayân, jil. 1, hal 188; Tafsir-e Nemuneh, jil. 1, hal 187.
[11] . Qs. Al-Anbiya (21) :87; Sayid Murtadha, Tanzîhul Anbiyâ, hal 144.
[12] . Sayid Murtadha, Tanzîhul Anbiyâ, hal 87.
[13] . Tafsir-e Nemuneh, jil. 1, hal 188.
[14] .Allamah Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 11, hal 198; Thabarsi, Majma’ al-Bayân, jil. 6, hal 151.
[15] .Qs. Thaha (20):121.
[16] . Allamah Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 11, hal 199 dan 201.
[17] .ibid.
[18] .ibid, jil. 11, hal 165 dan 173.