Please Wait
45987
Terkait dengan penafsiran ayat, “Dan sekiranya dengan perantara Al-Qur’an gunung-gunung digoncangkan, bumi terpecah belah, atau orang-orang yang sudah mati berbicara, (tentu mereka tidak akan beriman juga). Tetapi sebenarnya segala urusan itu adalah kepunyaan Allah?” para mufassir (ahli tafsir) menyodorkan dua pandangan:
1. Maknanya adalah bahwa apabila terdapat sebuah kitab di alam semesta yang tatkala dibaca akan mengguncangkan gunung-gunung dan menggerakkannya di atas bumi, atau memecah belah bumi, atau dengan perantara suaranya orang-orang mati mampu berbicara dan bercakap-cakap, maka kitab seperti ini adalah al-Qur’an; karena al-Qur’an merupakan kitab terunggul di antara kitab-kitab samawi.
2. Pandangan kedua meyakini bahwa ayat ini berada pada tataran kritik dan protes terhadap orang-orang kafir Mekkah dan jawaban terhadap mereka atas permintaan mukjizat dari Rasulullah Saw. Ayat ini mengisyaratkan bahwa mereka adalah orang-orang yang keras kepala dan memusuhi yang apabila dengan perantara al-Qur’an gunung-gunung bergoncang, sebagaimana permintaan mereka, dan juga bumi terpecah belah karena al-Qur’an, dan mata air-mata air tumpah ke luar atau dengan perantara al-Qur’an orang-orang mati berbicara dan mereka membenarkan engkau (wahai Rasulullah) maka mereka orang-orang kafir Mekkah tetap tidak akan beriman.
Nampaknya sebelum membahas makna dan tafsir ayat, “Dan sekiranya dengan perantara Al-Qur’an gunung-gunung digoncangkan, bumi terpecah belah, atau orang-orang yang sudah mati berbicara, (tentu mereka tidak akan beriman juga). Tetapi sebenarnya segala urusan itu adalah kepunyaan Allah?” kita harus mencermati sya’n al-nuzul-nya (kondisi pewahyuan) yang dapat membantu kita memahami dan mengenal dengan lebih baik makna ayat tersebut. Oleh itu, pertama-tama kita harus membahas masalah sya’n al-nuzûl (kondisi pewahyuan atau sebab-sebab pewahyuan) ayat ini sebagai berikut:
Sebagian ahli tafsir berkata, “Ayat ini pada tataran menjawab kritikan sekelompok kaum musyrikin Mekkah; seperti Abu Jahal dan Abdullah bin Ubay Umayyah dan para pengikutnya yang duduk di belakang Ka’bah dan memanggil Rasulullah Saw untuk menghadap mereka. Mereka berkata, “Engkau mengklaim bahwa engkau adalah seorang rasul Allah dan al-Qur’an ini adalah sebuah kitab yang diturunkan dari sisi Allah Swt. Sekiranya engkau menginginkan kami mengikutimu, maka dengan perantara al-Qur’an ini angkatlah gunung-gunung Mekkah dari tempatnya, yang mengapit kita dan membuat sempit ruang gerak kita, sehingga tempat kita menjadi lebih luas! Dan singkaplah bumi sehingga keluar mata air-mata air dan mengalir sungai-sungai sehingga kita dapat menanam pepohonan dan bercocok tanam di atasnya! Lakukan hal ini lantaran engkau seperti yang engkau kira tidak kurang dari Daud, karena Allah Swt telah menjadikan gunung-gunung dalam kekuasaannya dan seirama dengan gunung-gunung menyampaikan tasbih kepada Allah Swt.
Atau taklukkanlah angin bagi kami sehingga kami dapat menungganginya dan berangkat menuju Syam (Suriah) untuk memecahkan persoalan yang kami hadapi dan memenuhi segala kebutuhan hidup kami dan kembali pada hari itu juga! Lakukanlah hal itu sebagaimana Sulaiman yang dapat menaklukan angin. Engkau sebagaimana sangkaanmu tidak kurang dari Sulaiman. Dan juga datukmu, Qasha bin Kulab atau siapa pun yang dapat menghidupkan orang mati dari kami sehingga kami dapat bertanya kepadanya, apakah yang engkau katakan itu ada benarnya atau tidak lain adalah dusta semata; karena Isa menghidupkan orang mati dan engkau tidak kalah pamornya dibanding Isa di sisi Tuhan. Lakukanlah mukjizat ini kepada kami sehingga kami dapat beriman kepadamu. Kemudian saat itu ayat, walau anna qura’anan (“Dan sekiranya dengan perantara Al-Qur’an) diturunkan.[1]
Dengan demikian, ayat yang menjadi obyek bahasan adalah berkaitan dengan orang-orang musyrik yang bersikap keras kepala di hadapan risalah Rasulullah Saw dan mukjizat-mukjizatnya serta mengajukan dalih-dalih ala Bani Israel, di sinilah ayat di atas diturunkan kepada Rasulullah Saw.
Setelah menjelaskan sya’n al-nuzûl (kondisi pewahyuan atau sebab-sebab pewahyuan) mari kita membahas apa maksud dari ayat ini? Dalam hal ini terdapat dua pandangan yang dilontarkan oleh para ahli tafsir sebagaimana berikut ini:
1. Maknanya adalah bahwa apabila terdapat sebuah kitab di alam semesta yang tatkala dibacakan akan mengguncangkan gunung-gunung dan menggerakkannya di atas bumi, atau memecah belah bumi, atau dengan perantara suaranya orang-orang mati berbicara dan bercakap-cakap, maka kitab seperti ini adalah al-Qur’an; karena al-Qur’an merupakan kitab terunggul di antara kitab-kitab samawi.
2. Pandangan kedua meyakini bahwa ayat ini berada pada tataran kritik dan protes terhadap orang-orang kafir Mekkah dan jawaban terhadap mereka atas permintaan mukjizat dari Rasulullah Saw. Ayat ini mengisyaratkan bahwa mereka adalah orang-orang yang keras kepala dan memusuhi yang apabila dengan perantara al-Qur’an gunung-gunung bergoncang, sebagaimana permintaan mereka, dan juga bumi terpecah belah karena al-Qur’an, dan mata air-mata air akan tumpah ke luar atau dengan perantara al-Qur’an orang-orang mati berbicara dan mereka membenarkan engkau (wahai Rasulullah) maka mereka orang-orang kafir Mekkah tetap tidak akan beriman (kepada Rasulullah Saw).[2]
Thabarsi sesuai dengan nukilan dari Zujaj berkata, “Apa yang saya gambarkan dan sebagian orang juga berkata, makna ayat adalah bahwa apabila al-Qur’an dengan tipologi seperti ini juga diturunkan; yaitu dapat mengoncang gunung-gunung dan lain sebagainya, bagaimana pun modelnya toh mereka tetap tidak akan beriman. Dalilyna adalah ayat, “Kalau sekiranya Kami turunkan malaikat kepada mereka dan orang-orang yang telah mati berbicara dengan mereka, serta Kami kumpulkan (pula) segala sesuatu di hadapan mereka, niscaya mereka tidak (juga) akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (Qs. Al-An’am [6]:111)[3]
Karena itu, ayat ini ingin menyatakan bahwa kalian (orang-orang kafir) tidak menginginkan kebenaran dan apabila kalian menginginkannya maka tanda-tanda mukjizat yang didemonstrasikan Rasulullah Saw untuk mendatangkan iman sebenarnya telah sangat mencukupi. Kesemua ini karena mereka sekedar mencari-cari dalih saja.
Dalam penafsiran bagian akhir redaksi ayat, “Bal liLlahi al-amru jami’an” (Tetapi sebenarnya segala urusan itu adalah kepunyaan Allah?”) harus dikatakan; “bal” idhrab[4] yang digunakan berasal dari kata lau (wa lau anna); namun tidaklah demikian bahwa Allah Swt tidak mampu menunjukkan mukjizat lainnya selain al-Qur’an, mengingat bahwa seluruh urusan berpulang pada ilmu dan kebijaksanaan-Nya.
Atau mungkin maksudnya adalah bahwa boleh jadi karena Allah Swt mengetahui mereka tidak akan beriman, Allah Swt tidak menunjukkan mukjizat lainnya sehingga mereka tidak tertimpa azab duniawi; karena apabila apa mereka menginginkan mukjizat dari tangan Rasulullah Saw, tetapi tetap tidak beriman, maka mereka akan tertimpa azab duniawi.[5]
Allamah Thabarsi, penulis Majma’ al-Bayân dalam menafsirkan “bal liLlâhi al-amru jami’an,” berkata, “Seluruh urusan yang telah lalu, baik itu menggoncangkan gunung-gunung dan membelah bumi, atau menghidupkan orang mati dan perbuatan-perbuatan penting lainnya, adalah sesuai dengan perintah Allah Swt dan berada dalam wilayah kekuasaan-Nya; karena tiada seorang pun yang memiliki kekuasaan tersebut selain Allah Swt. Namun demikian Allah Swt tidak melakukan hal ini; karena ayat-ayat yang telah diturunkan sangat memadai dan memuaskan bagi orang-orang yang mau berpikir dan merenung.[6] [iQuest]
[1]. Sayidah Nusrat Amin, Makhzan al-‘Irfân dar Tafsir Qurân, jil. 7, hal. 42-43, Nehdhat Zanan Musalman, Teheran, 1361 S; Tafsir Nemune, jil. 10, hal. 220-221, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, Cetakan Pertama, 1374 S.
[2]. “Kalau sekiranya Kami menurunkan Al-Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk umat manusia supaya mereka berpikir.” (Qs. Al-Hasyr []:21)
[3]. Majma’ al-Bayân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 6, hal. 451, Nasir Khusruw, Teheran, Cetakan Ketiga, 1372 S.
[4]. Makna idhrâb digunakan untuk menggugurkan makna yang ada sebelumnya dan terkadang menduduki makna bal, berpindah dari satu tujuan ke tujuan lainnya. Pada ayat ini yang dimaksud adalah makna pertama (untuk menggugurkan makna sebelumnya).
[5]. Makhzan al-‘Irfân dar Tafsir al-Qur’ân, jil. 7, hal. 42-43.
[6]. Thabarsi, Majma al-Bayân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 6, hal. 451.