Please Wait
10033
Dalam ajaran-ajaran agama kita dilarang untuk laknat dan mengafirkan orang lain tanpa dasar. Dalam hal ini, Islam tidak mengizinkan kepada siapa pun untuk melaknat dan mengafirkan seseorang tanpa dasar.
Demikian juga, terdapat banyak riwayat dari para maksum yang menyatakan apabila seseorang melaknat seseorang lainnya sementara ia tidak layak untuk dilaknat, maka laknat ini akan kembali kepada orang yang melaknat.Tema yang menjadi obyek pertanyaan akan dikaji dalam beberapa fokus pembahasan:
1. Laknat, celaan, pengafiran (pemikiran takfir), berkata-kata tidak senonoh kepada orang lain yang dilaknat, dicela dan dikafirkan ssementara ia tidak pantas menerimanya, jelas dilarang dalam pandangan syariat suci Islam dan ajaran-ajaran agama. Perbuatan seperti ini dijanjikan azab yang pedih di akhriat kelak. Masalah ini bukan hanya tertolak dalam pandangan syariat suci Islam, yang hukumnya berdasarkan kemaslahatan dan kebijaksanaan, bahkan tidak satu pun hukum manusia dan non-Ilahi yang membolehkan perbuatan tercela ini dan mengizinkan manusia untuk melanggar wilayah eksklusif pribadi warga kota. Pun, dalam kaca mata hukum manusia, orang yang melakukan perbuatan tidak senonoh seperti ini dapat dituntut di hadapan hukum dan diseret ke hadapan pengadilan.
2. Ajaran-ajaran agama mengajarkan supaya manusia beriman untuk tidak hanya berkata-kata dengan lisannya yang mengandung dosa dan melanggar hak seseorang, bahkan ucapan-ucapan yang tidak termasuk dosa sekalipun dan tidak mengandung muatan negatif, misalnya senda gerau juga tidak dianjurkan oleh agama. Al-Qur’an dalam hal ini menyatakan, “Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna.” (Qs. Al-Mukminun [23]:3)[1] Ayat ini berkata bahwa sesungguhnya orang-orang beriman sedemikian terbangun jiwanya sehingga tidak hanya tidak berpikiran dan berkata-kata tanpa dasar serta berbuat tanpa tujuan, melainkan sesuai dengan ungkapan al-Qur’an, orang yang menjauhkan diri (dari perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna, apatah lagi untuk berkata-kata tidak senonoh, melaknat dan mengafirkan orang lain.
3. Dalam ajaran-ajaran agama kita, di samping perbuatan ini dilarang, terdapat banyak riwayat dari para maksum yang menyatakan, “apabila seseorang melaknat seseorang yang tidak pantas baginya maka laknat ini akan kembali kepadanya. “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa seseorang melaknat angin di hadapan Rasulullah Saw, Rasulullah Saw berkata kepadanya untuk tidak melaknat angin; karena ia mendapat tugas dari Allah Swt. Sesungguhnya orang yang melaknat seseorang yang tidak pantas baginya maka laknat itu akan kembali kepadanya.”[2]
Dalam riwayat ini, sebagaimana maklum, yang dilaknat dan dicemooh tidak senonoh adalah angin, bukan seorang manusia yang kehormatannya sebanding dengan kehormatan Ka’bah. Hal ini menunjukkan bahwa manusia harus berhati-hati dalam ucapan dan tindakannya, tanpa dalil dan argumen syar’i, untuk tidak bertindak sesuatu dan menilai seseorang.
4. Namun patut untuk dicamkan bahwa laknat tidak hanya dibolehkan bagi orang-orang yang menggangu dan mengusik para wali Allah Swt bahkan dianjurkan. Akan tetapi sesuai dengan apa yang telah dijelaskan, dengan memperhatikan pertanyaan yang diajukan tentang laknat, pengafiran, dan gangguan terhadap kepribadiannya seseorang yang tidak layak baginya menerima laknat dan bukan termasuk orang-orang yang menggangu dan menyakiti para rasul dan para wali Allah Swt.
Adapun orang-orang yang menyakiti para rasul dan wali Allah Swt ini adalah termasuk orang-orang yang dilaknat Allah Swt dan orang-orang yang melaknat, “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan tanda-tanda (kebesaran Kami) yang jelas dan petunjuk yang telah Kami turunkan, setelah Kami menjelaskannya kepada umat manusia dalam al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknat.” (Qs. Al-Baqarah [2]:159) [iQuest]
[1]. Pada hakikatnya, laghw, sebagaimana yang disampaikan oleh sebagian ahli tafsir, adalah segala ucapan dan tindakan yang tidak mengandung manfaat dan kegunaan.” Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 14, hal. 195, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1372 S.
[2]. Kulaini, al-Kâfi, jil. 8, hal. 69, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1368 S.
"وَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ لَعَنَ رَجُلٌ الرِّیحَ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ (ص) فَقَالَ لَا تَلْعَنِ الرِّیحَ فَإِنَّهَا مَأْمُورَةٌ وَ إِنَّهُ مَنْ لَعَنَ شَیْئاً لَیْسَ لَهُ بِأَهْلٍ رَجَعَتِ اللَّعْنَةُ عَلَیْهِ"