Please Wait
Hits
6871
6871
Tanggal Dimuat:
2008/01/06
Kode Site
fa2023
Kode Pernyataan Privasi
46720
- Share
Ringkasan Pertanyaan
Apakah selain maksum dapat menjadi personifikasi dan obyek luaran (mishdaq) khalifatullah?
Pertanyaan
Apakah selain empat belas maksum manusia lainya dapat menjadi khalifatullah?
Jawaban Global
Sebelum membahas siapa saja yang menjadi personifikasi dan obyek luaran khalifatullah kiranya perlu kita uraikan terlebih dahulu siapakah khalifatullah itu dan sifat apa saja yang harus disandang oleh seorang khalifatullah.
Pada batin kata khilâfah dan pengganti terpendam makna ini bahwa khilâfah tampak pada mustakhlif ‘anhu (pengganti darinya) pada diri seorang khalifah dan khalifah adalah seseorang yang identitasnya bergantung pada orang yang digantikannya (mustakhlif anhu) dan tidak terpisah darinya. Karena itu, apabila sedikit saja ia menampilkan yang lain atau dirinya, atau mengerjakan yang lain selain pekerjaan orang yang digantikannya maka ia bukanlah seorang khalifah.
Khilâfah yang dijelaskan pada redaksi ayat “Sesungguhnya Aku ingin jadikan seorang khalifah di muka bumi” tidak terkhusus hanya kepada Nabi Adam semata. Khilâfah adalah posisi yang bertautan dengan makam kemanusiaan dan mencakup seluruh manusia.
Dengan demikian, fokus dan sentra khilâfah Ilahi adalah pengetahuan terhadap seluruh nama (al-asmâ). Karena pengetahuan itu sendiri memiliki derajat dan tingkatan, maka khilâfah juga memiliki derajat. Setiap orang seukuran dengan penampakan dan tajalli nama-nama Ilahi padanya maka sebatas itulah ia memiliki saham dalam khilâfah Ilahi.
Personifikasi Khalifatullah
Berdasarkan apa yang telah disampaikan dan beberapa riwayat, seperti riwayat, awwalu ma khalaqallâh nuri (yang pertama diciptakan oleh Allah adalah cahayaku) yang memperkenalkan bahwa tajalli dan manifestasi pertama Tuhan itu terjadi pada diri Nabi Muhammad Saw dan riwayat Amirul Mukminin Ali As yang bersabda, “Tiada tanda bagi Tuhan yang lebih besar dari diriku.” (Mâ lillahi âyâtun akbar minni).
Demikian juga kandungan-kandungan yang menjulang tinggi ziarah Jâmiah Kabirah dan riwayat-riwayat lainnya serta deskripsi tentang Ahlulbait As dalam al-Quran maka yang menjadi personifikasi paling sempurna khalifatullah adalah empat belas maksum. Seluruh nabi dan rasul, tingkatannya setelah para maksum, adalah manusia sempurna dan khalifatullah dengan perantara.
Setelah tingkatan empat belas maksum, para nabi dan rasul, adalah para arif billah dan sebagian manusia-manusia saleh serta bertakwa seukuran ilmu dan penampakan nama-nama Ilahi pada diri mereka, dalam tingkatan di luar para nabi dan dengan perantara mereka, menjadi personifikasi khalifatullah di muka bumi.
Pada batin kata khilâfah dan pengganti terpendam makna ini bahwa khilâfah tampak pada mustakhlif ‘anhu (pengganti darinya) pada diri seorang khalifah dan khalifah adalah seseorang yang identitasnya bergantung pada orang yang digantikannya (mustakhlif anhu) dan tidak terpisah darinya. Karena itu, apabila sedikit saja ia menampilkan yang lain atau dirinya, atau mengerjakan yang lain selain pekerjaan orang yang digantikannya maka ia bukanlah seorang khalifah.
Khilâfah yang dijelaskan pada redaksi ayat “Sesungguhnya Aku ingin jadikan seorang khalifah di muka bumi” tidak terkhusus hanya kepada Nabi Adam semata. Khilâfah adalah posisi yang bertautan dengan makam kemanusiaan dan mencakup seluruh manusia.
Dengan demikian, fokus dan sentra khilâfah Ilahi adalah pengetahuan terhadap seluruh nama (al-asmâ). Karena pengetahuan itu sendiri memiliki derajat dan tingkatan, maka khilâfah juga memiliki derajat. Setiap orang seukuran dengan penampakan dan tajalli nama-nama Ilahi padanya maka sebatas itulah ia memiliki saham dalam khilâfah Ilahi.
Personifikasi Khalifatullah
Berdasarkan apa yang telah disampaikan dan beberapa riwayat, seperti riwayat, awwalu ma khalaqallâh nuri (yang pertama diciptakan oleh Allah adalah cahayaku) yang memperkenalkan bahwa tajalli dan manifestasi pertama Tuhan itu terjadi pada diri Nabi Muhammad Saw dan riwayat Amirul Mukminin Ali As yang bersabda, “Tiada tanda bagi Tuhan yang lebih besar dari diriku.” (Mâ lillahi âyâtun akbar minni).
Demikian juga kandungan-kandungan yang menjulang tinggi ziarah Jâmiah Kabirah dan riwayat-riwayat lainnya serta deskripsi tentang Ahlulbait As dalam al-Quran maka yang menjadi personifikasi paling sempurna khalifatullah adalah empat belas maksum. Seluruh nabi dan rasul, tingkatannya setelah para maksum, adalah manusia sempurna dan khalifatullah dengan perantara.
Setelah tingkatan empat belas maksum, para nabi dan rasul, adalah para arif billah dan sebagian manusia-manusia saleh serta bertakwa seukuran ilmu dan penampakan nama-nama Ilahi pada diri mereka, dalam tingkatan di luar para nabi dan dengan perantara mereka, menjadi personifikasi khalifatullah di muka bumi.
Jawaban Detil
Kami akan menjawab dua fokus pertanyaan terkait dengan siapakah khalifah itu dan sifat-sifat apa saja yang harus disandang seorang khalifah? Dan siapakah yang menjadi personfikasi khalifah atau para khalifah itu? sebagai berikut:
- Siapakah Khalifatullah itu?
Pada batin kata khilâfah dan pengganti terpendam makna ini bahwa khilâfah tampak pada mustakhlif ‘anhu (pengganti darinya) pada diri seorang khalifah dan khalifah adalah seseorang yang identitasnya bergantung pada orang yang digantikannya (mustakhlif anhu) dan tidak terpisah darinya. Karena itu, apabila sedikit saja ia menampilkan yang lain atau dirinya, atau mengerjakan yang lain selain pekerjaan orang yang digantikannya maka ia bukanlah seorang khalifah.
Terkait dengan hal ini terdapat dua poin yang harus diperhatikan:
Pertama: Allah Swt menitipkan potensi untuk menjadi khalifah pada diri manusia dengan meniupkan ruh-Nya kepadanya sebagaimana dijelaskan pada ayat, “Aku tiupkan ruh-Ku padanya”[1] dan ayat “Sesungguhnya Aku ingin menjadikan khalifah di muka bumi”[2] dimana pada proses pengangkatan ini dijelaskan dengan kalimat nominal (jumlah ismiyah) dan kalimat nominal menandaskan bahwa proses pengangkatan khalifah ini senantiasa berlanjut. Demikian juga dalil-dalil penafsiran lainnya yang berkaitan dengan ayat ini[3] sehingga dapat dipahami bahwa khilâfah ini tidak terkhusus pada Nabi Adam semata dan mencakup seluruh manusia.
Kedua: Jalan untuk merealisir dan mewujudkan khilâfah telah ditunjukkan dalam kitab-kitab samawi dan oleh orang-orang benar yang memiliki hubungan erat di jalan ini dan manusia sempurna yaitu para nabi dan rasul.
Dengan demikian, fokus dan sentra khilâfah Ilahi adalah pengetahuan terhadap seluruh nama. Karena pengetahuan itu sendiri memiliki derajat dan tingkatan, maka khilâfah juga memiliki derajat. Setiap orang seukuran dengan penampakan dan tajalli nama-nama Ilahi padanya maka sebatas itulah ia memiliki saham dalam khilâfah Ilahi.
Hanya saja pada ayat-ayat pengangkatan khilâfah[4] yang menjelaskan pengetahuan terhadap seluruh nama itu menyangkut khalifah sempurna. Karena itu, dengan sebuah analisa kita dapat mengilustrasikan derajat-derajat dan tingkatan-tingkatan khilâfah itu sebagai berikut:
Pertama: Sebagian telah menyimpang dari jalan ini dan menempuh jalan setan. Mereka ini adalah khalifah setan.
Kedua: Mereka yang secara potensial adalah khalifah Allah. Dalam diri mereka terdapat nama-nama Ilahi meski dengan sinyal lemah. Mereka adalah para makhluk Allah yang tidak mengaktualkan potensi tersebut.
Ketiga: Derajat khalifah yang memiliki sinyal lemah atau sedang serta keberadaan nama-nama dan kesempurnaan-kesempurnaan Ilahi ini pada tingkatan “hâl” (sebuah kondisi), artinya terkadang muncul dan terkadang sirna atau berada pada tingkatan malakah (inheren dalam diri) yaitu nama-nama itu hadir dengan mudah dan perlu waktu lama untuk dapat menghilangkan nama-nama ini dari dirinya. Ringkasnya khilâfah mereka pada batasan hâl dan malakah.
Keempat: Munculnya sifat-sifat dan nama-nama Ilahi pada sebagian orang yang lebih tinggi kedudukannya dari sekedar malakah. Sifat-sifat dan nama-nama Ilahi ini telah menjadi identitas baginya. Oleh itu, sifat ini tidak akan pernah sirna dari diri mereka; karena apabila segala sesuatu telah menjadi identik dengan zatnya maka mustahil untuk dapat menghilangkannya. Khilâfah manusia seperti ini telah menjadi identitasnya dan tidak akan terpisah darinya.
Tingkatan terakhir terkhusus untuk manusia sempurna dan tingkatan-tingkatan lainnya berguna bagi manusia-manusia tingkat sedang dan lemah. Demikian juga setiap tingkatan yang disebutkan juga memiliki tingkatan-tingkatan yang lain.[5]
Mengingat bahwa khilâfah bermakna penampakan pada seorang khalifah maka penampakan pertama khilafah ini yang menjadi khalifah pertama Tuhan. Mengingat bahwa Zat Ilahi (Kesempurnaan Mutlak), sesuai dengan kaidah filsafat yang telah ditetapkan pada tempatnya, bersifat simpel (basith) dan sesuatu yang bersifat simpel darinya tidak akan keluar kecuali sesuatu yang simple pula. Dia tidak memiliki bagian sehingga harus menampilkan bagian. Karena itu, kesempurnaan mutlak tampil dan nampak dengan seluruh dimensi kesempurnaan-Nya dan penampakan pertama-Nya haruslah sebuah entitas dan makhluk paling paripurna. Entitas dan makhluk seperti inilah insan kamil yang merupakan khalifah tanpa perantara yang juga sempurna dan simpel secara ikutan. Ia tunggal dan menjadi cermin kesimpelan dan kesempurnaan Tuhan. Dan setiap khalifah Tuhan lainnya dengan perantara khalifah pertama ini adalah khalifah.
Pada dasarnya, ia adalah khalifah Tuhan dan yang lain adalah khalifahnya. Silsilah khalifah ini bercorak vertikal bukan horizontal. Karena itu apabila satu masa terdapat dua orang yang menjabat sebagai khalifah maka salah satu darinya harus mengikut yang lainnya sebagai khalifah yang sah; seperti Imam Ali As yang mengikut Nabi Muhammad pada masa hidup Rasulullah Saw. Atau seperti Imam Husain yang mengikut Imam Hasan pada masanya. Dan seterusnya.
Khilâfah memiliki dua sisi. Pertama dari sisi Tuhan yang telah kita bahas bersama. Kedua adalah khilâfah atas alam semesta. Khalifah sempurna hadir pada setiap alam dan menjadi media perantara seluruh emanasi, pengatur dan pengelola silsilah sistem semesta. Ia di samping menjadi manifestasi pengetahuan, kodrat, hayat, hidayat dan pemberian rezeki Tuhan juga menjadi perantara ilmu, rezeki, hidup dan petunjuk kepada makhluk-makhluk sebagaimana yang kita baca dalam sebuah riwayat, “bikum fatahallah wa bikum yakhtim, wa bikum yamhu wa yasya wa yatstbut.. wa bikum yunazzil al-ghaits.”[6] dan riwayat-riwayat lainnya yang menetapkan kedudukan Ahlulbait.
Terkait dengan hal ini terdapat dua poin yang harus diperhatikan:
Pertama: Allah Swt menitipkan potensi untuk menjadi khalifah pada diri manusia dengan meniupkan ruh-Nya kepadanya sebagaimana dijelaskan pada ayat, “Aku tiupkan ruh-Ku padanya”[1] dan ayat “Sesungguhnya Aku ingin menjadikan khalifah di muka bumi”[2] dimana pada proses pengangkatan ini dijelaskan dengan kalimat nominal (jumlah ismiyah) dan kalimat nominal menandaskan bahwa proses pengangkatan khalifah ini senantiasa berlanjut. Demikian juga dalil-dalil penafsiran lainnya yang berkaitan dengan ayat ini[3] sehingga dapat dipahami bahwa khilâfah ini tidak terkhusus pada Nabi Adam semata dan mencakup seluruh manusia.
Kedua: Jalan untuk merealisir dan mewujudkan khilâfah telah ditunjukkan dalam kitab-kitab samawi dan oleh orang-orang benar yang memiliki hubungan erat di jalan ini dan manusia sempurna yaitu para nabi dan rasul.
Dengan demikian, fokus dan sentra khilâfah Ilahi adalah pengetahuan terhadap seluruh nama. Karena pengetahuan itu sendiri memiliki derajat dan tingkatan, maka khilâfah juga memiliki derajat. Setiap orang seukuran dengan penampakan dan tajalli nama-nama Ilahi padanya maka sebatas itulah ia memiliki saham dalam khilâfah Ilahi.
Hanya saja pada ayat-ayat pengangkatan khilâfah[4] yang menjelaskan pengetahuan terhadap seluruh nama itu menyangkut khalifah sempurna. Karena itu, dengan sebuah analisa kita dapat mengilustrasikan derajat-derajat dan tingkatan-tingkatan khilâfah itu sebagai berikut:
Pertama: Sebagian telah menyimpang dari jalan ini dan menempuh jalan setan. Mereka ini adalah khalifah setan.
Kedua: Mereka yang secara potensial adalah khalifah Allah. Dalam diri mereka terdapat nama-nama Ilahi meski dengan sinyal lemah. Mereka adalah para makhluk Allah yang tidak mengaktualkan potensi tersebut.
Ketiga: Derajat khalifah yang memiliki sinyal lemah atau sedang serta keberadaan nama-nama dan kesempurnaan-kesempurnaan Ilahi ini pada tingkatan “hâl” (sebuah kondisi), artinya terkadang muncul dan terkadang sirna atau berada pada tingkatan malakah (inheren dalam diri) yaitu nama-nama itu hadir dengan mudah dan perlu waktu lama untuk dapat menghilangkan nama-nama ini dari dirinya. Ringkasnya khilâfah mereka pada batasan hâl dan malakah.
Keempat: Munculnya sifat-sifat dan nama-nama Ilahi pada sebagian orang yang lebih tinggi kedudukannya dari sekedar malakah. Sifat-sifat dan nama-nama Ilahi ini telah menjadi identitas baginya. Oleh itu, sifat ini tidak akan pernah sirna dari diri mereka; karena apabila segala sesuatu telah menjadi identik dengan zatnya maka mustahil untuk dapat menghilangkannya. Khilâfah manusia seperti ini telah menjadi identitasnya dan tidak akan terpisah darinya.
Tingkatan terakhir terkhusus untuk manusia sempurna dan tingkatan-tingkatan lainnya berguna bagi manusia-manusia tingkat sedang dan lemah. Demikian juga setiap tingkatan yang disebutkan juga memiliki tingkatan-tingkatan yang lain.[5]
Mengingat bahwa khilâfah bermakna penampakan pada seorang khalifah maka penampakan pertama khilafah ini yang menjadi khalifah pertama Tuhan. Mengingat bahwa Zat Ilahi (Kesempurnaan Mutlak), sesuai dengan kaidah filsafat yang telah ditetapkan pada tempatnya, bersifat simpel (basith) dan sesuatu yang bersifat simpel darinya tidak akan keluar kecuali sesuatu yang simple pula. Dia tidak memiliki bagian sehingga harus menampilkan bagian. Karena itu, kesempurnaan mutlak tampil dan nampak dengan seluruh dimensi kesempurnaan-Nya dan penampakan pertama-Nya haruslah sebuah entitas dan makhluk paling paripurna. Entitas dan makhluk seperti inilah insan kamil yang merupakan khalifah tanpa perantara yang juga sempurna dan simpel secara ikutan. Ia tunggal dan menjadi cermin kesimpelan dan kesempurnaan Tuhan. Dan setiap khalifah Tuhan lainnya dengan perantara khalifah pertama ini adalah khalifah.
Pada dasarnya, ia adalah khalifah Tuhan dan yang lain adalah khalifahnya. Silsilah khalifah ini bercorak vertikal bukan horizontal. Karena itu apabila satu masa terdapat dua orang yang menjabat sebagai khalifah maka salah satu darinya harus mengikut yang lainnya sebagai khalifah yang sah; seperti Imam Ali As yang mengikut Nabi Muhammad pada masa hidup Rasulullah Saw. Atau seperti Imam Husain yang mengikut Imam Hasan pada masanya. Dan seterusnya.
Khilâfah memiliki dua sisi. Pertama dari sisi Tuhan yang telah kita bahas bersama. Kedua adalah khilâfah atas alam semesta. Khalifah sempurna hadir pada setiap alam dan menjadi media perantara seluruh emanasi, pengatur dan pengelola silsilah sistem semesta. Ia di samping menjadi manifestasi pengetahuan, kodrat, hayat, hidayat dan pemberian rezeki Tuhan juga menjadi perantara ilmu, rezeki, hidup dan petunjuk kepada makhluk-makhluk sebagaimana yang kita baca dalam sebuah riwayat, “bikum fatahallah wa bikum yakhtim, wa bikum yamhu wa yasya wa yatstbut.. wa bikum yunazzil al-ghaits.”[6] dan riwayat-riwayat lainnya yang menetapkan kedudukan Ahlulbait.
- Siapakah yang termasuk sebagai khalifah?
Berdasarkan apa yang telah disampaikan dan beberapa riwayat, seperti riwayat, awwalu ma khalaqallah nuri[7] (yang pertama diciptakan oleh Allah adalah cahayaku) yang memperkenalkan bahwa tajalli dan manifestasi pertama Tuhan itu adalah Nabi Muhammad Saw dan riwayat Amirul Mukminin Ali As yang bersabda, “Tiada tanda bagi Tuhan yang lebih besar dari diriku.”[8] (Mâ lillahi âyatun akbar minni). Demikian juga kandungan-kandungan yang menjulang tinggi ziarah Jamiah Kabirah dan riwayat-riwayat lainnya serta deskripsi tentang Ahlulbait As dalam al-Quran maka yang menjadi personifikasi paling sempurna khalifatullah adalah empat belas maksum. Seluruh nabi dan rasul, tingkatannya setelah para maksum, adalah manusia sempurna dan khalifatullah dengan perantara.
Seluruh nabi dan rasul juga sesuai dngan analisa yang telah disebutkan berada pada tingkatan selanjutnya. Mereka juga adalah manusia sempurna dan khalifatullah sebagaimana pada ayat ini menyebutkan Nabi Adam dan riwayat-riwayat yang menyebutkan secara tegas nama para nabi.[9] Demikian juga pada ayat-ayat dan riwayat-riwayat, sebagian perbuatan Ilahi disandarkan kepada para nabi; seperti membelah laut yang terjadi di tangan Musa, api menjadi taman bagi Nabi Ibrahim, takluknya angin dan lain sebagianya di tangan Nabi Sulaiman, terobatinya orang buta dan hidupnya orang mati di tangan Nabi Isa dan hal-hal lainnya yang dapat dijadikan sebagai contoh adanya pengaturan seperti ini yang menjelaskan tentang posisi mereka sebagai khalifah Ilahi.
Setelah tingkatan empat belas maksum, para nabi dan rasul, terdapat para arif billah, sebagian manusia-manusia saleh dan bertakwa yang memiliki ilmu dan amal saleh yang menjadi lokus penampakan nama-nama Ilahi, pada tingkatan di luar para nabi dan dengan perantara mereka, adalah personifikasi khalifatullah di muka bumi.
Sebagai contoh dalam al-Quran, Allah Swt menyandarkan jihad para pejuang kepada diri-Nya, “Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allah-lah yang membunuh mereka.” (Qs. Al-Anfal [8]:17) dan “Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantara) tangan-tanganmu” (Qs al-Taubah [9]:14) dimana pada kedua ayat ini, beberapa urusan yang dilakukan oleh para mujahid yang bertakwa disandarkan kepada Tuhan.
Demikian juga beberapa riwayat, sebagian sahabat seperti Salman,[10] Abu Dzar, Fiddha dan lain sebagainya, menerima julukan “minna Ahlulbait” yang menjelaskan khilâfah tanpa perantara mereka dari Ahlulbait seukuran dengan kapasitas eksistensial mereka dan kedudukan khilâfah Ilahi mereka diraih dengan perantara.
Kita juga dapat menyebut para arif sempurna dan pemilik keramat yang disebutkan biografinya oleh para penulis sebagai personifikasi khalifatullah. [iQuest]
Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat:
Seluruh nabi dan rasul juga sesuai dngan analisa yang telah disebutkan berada pada tingkatan selanjutnya. Mereka juga adalah manusia sempurna dan khalifatullah sebagaimana pada ayat ini menyebutkan Nabi Adam dan riwayat-riwayat yang menyebutkan secara tegas nama para nabi.[9] Demikian juga pada ayat-ayat dan riwayat-riwayat, sebagian perbuatan Ilahi disandarkan kepada para nabi; seperti membelah laut yang terjadi di tangan Musa, api menjadi taman bagi Nabi Ibrahim, takluknya angin dan lain sebagianya di tangan Nabi Sulaiman, terobatinya orang buta dan hidupnya orang mati di tangan Nabi Isa dan hal-hal lainnya yang dapat dijadikan sebagai contoh adanya pengaturan seperti ini yang menjelaskan tentang posisi mereka sebagai khalifah Ilahi.
Setelah tingkatan empat belas maksum, para nabi dan rasul, terdapat para arif billah, sebagian manusia-manusia saleh dan bertakwa yang memiliki ilmu dan amal saleh yang menjadi lokus penampakan nama-nama Ilahi, pada tingkatan di luar para nabi dan dengan perantara mereka, adalah personifikasi khalifatullah di muka bumi.
Sebagai contoh dalam al-Quran, Allah Swt menyandarkan jihad para pejuang kepada diri-Nya, “Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allah-lah yang membunuh mereka.” (Qs. Al-Anfal [8]:17) dan “Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantara) tangan-tanganmu” (Qs al-Taubah [9]:14) dimana pada kedua ayat ini, beberapa urusan yang dilakukan oleh para mujahid yang bertakwa disandarkan kepada Tuhan.
Demikian juga beberapa riwayat, sebagian sahabat seperti Salman,[10] Abu Dzar, Fiddha dan lain sebagainya, menerima julukan “minna Ahlulbait” yang menjelaskan khilâfah tanpa perantara mereka dari Ahlulbait seukuran dengan kapasitas eksistensial mereka dan kedudukan khilâfah Ilahi mereka diraih dengan perantara.
Kita juga dapat menyebut para arif sempurna dan pemilik keramat yang disebutkan biografinya oleh para penulis sebagai personifikasi khalifatullah. [iQuest]
Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat:
- Tafsir al-Mizân, terkait dengan ayat 30 sampai 34 surah al-Baqarah.
- Tafsir Tasnim, Abdullah Jawadi Amuli, jil. 3,, hal. 17-21.
[1]. (Qs. Al-Hijr [15]:29)
[2]. (Qs. Al-Baqarah [2]:30)
[3]. Tafsir Tasnim, jil. 3, hal. 41 dan 293.
[4]. “Dan (ingatlah) ketika Tuhan-mu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku ingin menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau akan menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan di dalamnya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji-Mu dan menyucikan-Mu?” Tuhan berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (dan rahasia ciptaan para makhluk) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat, lalu berfirman, “Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama mereka itu jika kamu memang orang-orang yang benar.” Mereka menjawab, “Maha Suci Engkau! Kami tidak mengetahui kecuali apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkau-lah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” Allah berfirman, “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama (dan rahasia) ciptaan para makhluk ini.” Maka setelah ia memberitahukan nama-nama (dan rahasia) para makhluk itu kepada mereka, Allah berfirman, “Bukankah sudah Kukatakan kepadamu bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi, dan mengetahui apa yang kamu tampakkan dan apa yang kamu sembunyikan?” (Qs. Al-Baqarah [2]:30-33)
[5]. Silahkan lihat, Tasnim, jil. 3, hal. 53-56 dan 94-99.
[6]. “Dengan perantara kalian Allah Swt membukakan pintu-pintu rahmat dan kebaikan kepada makhluk dan mengakhirinya dengan wujud sempurna kalian. Dengan perantara kalian Allah Swt menetapkan dan menghapus apa yang dikehendaki-Nya..Mafatih al-Jinan, ziarah pertama dari tujuh ziarah mutlak Imam Husain As dan ziarah Jâmiah Kabirah.
[7]. Bihâr al-Anwâr, jil. 15, hal. 24.
[8]. Bihâr al-Anwâr, jil. 23, hal. 206
[9]. Silahkan lihat, Bihâr al-Anwâr, jil. 36, hal. 417; Tafsir Nur al-Tsaqalain, jil. 1, hal. 48; Tafsir al-Burhân, jil. 1, hal. 75.
[10]. Bihâr al-Anwâr, jil. 17, hal. 170.
Terjemahan dalam Bahasa Lain
Komentar