Please Wait
8723
Dalam melanjutkan penjelasan tentang penyelamatan Nabi Ibrahim, Nabi Luth dan penganugerahan pelbagai karunia dan anak-anak saleh kepada Ibrahim,[1] al-Qur’an menyinggung ayat yang berkenaan dengan pembahasan tentang makam imamah dan kepemimpinan nabi besar ini dan sebagian sifat-sifat, agenda-agenda dan tipologi makam Ilahi, “Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada mereka untuk mengerjakan kebaikan, mendirikan salat, dan menunaikan zakat, dan hanya kepada Kami-lah mereka selalu menyembah.”[2]
Dari ayat di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat lima tipologi para imam hak sebagaimana berikut ini:
1. Menyeru dan memberi petunjuk manusia ke jalan Allah.
2. Ahli dalam mengerjakan pelbagai kebaikan dan perbuatan-perbuatan budiman.
3. Menegakkan salat.
4. Menunaikan zakat.
5. Hanya kepada Allah Swt mereka menyembah.
Pada hakikatnya makam imamah adalah makam untuk merealisir seluruh agenda-agenda Ilahi. Atau dengan ungkapan lain, menyampaikan pada tujuan (ishal ila al-mathlub), hidâyah tasyri’i dan hidâyah takwini. Imam dari sudut pandang ini laksana surya yang memancarkan sinarnya kepada seluruh makhluk hidup.
Tipologi pertama para imam hak adalah, mereka memberikan petunjuk sesuai dengan perintah Allah Swt (yahduna biamrina). Hidayah di sini bukan hanya hidayah yang bermakna memandu dan sekedar menunjukkan jalan yang merupakan tugas kenabian dan risalah. Para imam, di samping tugas di atas, berfungsi menangkap dan menyampaikan mereka, yang memiliki kesiapan dan kelayakan, kepada tujuan.[3]
Anugerah kedua, ketiga dan keempat dan tipologi mereka adalah bahwa Kami mewahyukan kepada mereka untuk menunaikan kebaikan, menegakkan salat, menunaikan zakat (wa awhainâ ilaihim fi’la al-khairâti wa iqâma al-shalat wa itâi al-zakât).
Wahyu ini boleh jadi merupakan wahyu tasyri’i yang bermakna bahwa Kami mencantumkan pelbagai jenis perbuatan baik, penegakan salat, dan penunaian zakat dalam agenda-agenda keagamaan mereka. Dan boleh jadi juga merupakan wahyu takwini yang berarti bahwa Kami menganugerahkan taufik, kemampuan dan magnet spiritual untuk menunaikan urusan-urusan ini.
Dan anugerah kelima dan paragraf terakhir menyinggung masalah makam penghambaan mereka, “wa kânû lanâ ‘âbidîn” (dan hanya kepada Kami-lah mereka selalu menyembah).[4]
Di samping ungkapan (kânû) yang menunjukkan sesuatu atau perbuatan yang bersifat kontinyu dan berkelanjutan di masa lampau terkait dengan agenda ini. Boleh jadi hal ini menyinggung pada persoalan bahwa bahkan sebelum sampai pada makam kenabian dan imamah, mereka adalah orang-orang saleh dan patuh. Dengan begitu, dalam pancaran agenda-agenda ini, Allah Swt menganugerahkan segala karunia baru bagi mereka.[5] [IQuest]
[1]. “Dan Kami selamatkan Ibrahim dan Luth ke sebuah negeri (Syam) yang Kami telah memberkahinya untuk sekalian manusia. Dan Kami telah memberikan kepadanya (Ibrahim) Ishaq dan Ya‘qub, sebagai suatu anugerah (dari Kami). Dan masing-masing Kami jadikan orang-orang yang saleh.“ (Qs. Al-Anbiya [21]:71-72)
[2]. (Qs. Al-Anbiya [21]:73)
«و جعلناهم ائمة یهدون بامرنا و اوصینا الیهم فعل الخیرات و اقام الصلوة و ایتاء الزکوة و کانوا لنا عابدین.»
[3]. Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 13, hal. 455, dengan sedikit perubahan.
[4]. Ibid, hal. 456, dengan sedikit perubahan.
[5]. Untuk telaah lebih jauh, silahkan lihat, Tafsir Nemune, jil. 13, hal. 451-457. Majalleh Pasdar-e Islam, hal. 10, No. 298, Mehr 1385, Maqâlah Imâmân wa Rahbarân-e Hidâyat.