Please Wait
12917
Imam Zainul Abidin As ditanya ihwal iman Abu Thalib. Beliau menjawab demikian, “Allah Swt menginstruksikan kepada Rasulullah Saw untuk memutuskan hubungan pernikahan dengan orang kafir. Fatimah binti Asad yang nota-bene adalah seorang muslimah dan beliau tetap menjadi istri Abu Thalib hingga wafatnya. Al-Qur’an dalam surah al-Mumtahana menyebutkan, “Hai orang-orang yang beriman, apabila perempuan-perempuan yang beriman datang berhijrah kepadamu, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka. Jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka.” (Qs. Al-Mumtahana [60]:10) Demikian juga Allah Swt berfirman, “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik daripada wanita musyrik walaupun ia menarik hatimu (lebih cantik, atau kaya atau karena status sosialnya). Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik daripada orang yang musyrik walaupun ia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Dia mejelaskan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (Qs. Al-Baqarah [2]:221)
Berdasarkan dua ayat ini keharaman pernikahan dengan pria musyrik telah disyariatkan di Madinah lantas bagaimana riwayat di atas dijadikan sebagai dalil atas iman Abu Thalib yang meninggal dunia di Mekkah?
Hadis yang disebutkan di atas adalah sebuah hadis marfu’ah (hadis yang lemah sanadnya) dan tidak memiliki nilai dari sisi sanad. Namun harap diperhatikan bahwa untuk menetapkan iman Abu Thalib kita tidak memerlukan riwayat ini secara khusus; karena terdapat banyak dalil yang menunjukkan iman Abu Thalib yang membuat kita tidak lagi memerlukan riwayat semacam ini. Dalil-dalil tersebut di antaranya adalah perbuatan dan tindakannya sendiri. Demikian juga ucapan dan bukti-bukti lainnya serta pujian Rasulullah Saw dan para Imam Maksum As tentang Abu Thalib. Di samping itu, usaha dan pengorbanan Abu Thalib sampai pada pengorbanan jiwa dalam menjaga dan membela Rasulullah Saw dan ajaran suci Islam.
Kami percaya bahwa apabila setiap orang menyampingkan fanatisme dan mau menelaah secara jujur dan fair catatan emas sejarah ihwal Abu Thalib dan senada dengan Ibnu Abi al-Hadid pensyarah Nahj al-Balâgha akan berkata, “Sekiranya tiada Abu Thalib dan putranya maka sekali-kali agama dan maktab Islam tidak akan tersisa dan bertahan lama. Abu Thalib di Mekkah membantu dan membela Rasulullah Saw. Demikian juga putranya Ali bin Abi Thalib As berjuang bertungkus lumus hingga pengorbanan jiwa dan raga di Yatsrib (Madinah) dalam mendukung dan membela Islam.”
Model berpikir dan keyakinan setiap orang dapat diperoleh melalui ragam jalan. Di antara jalan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Mengkaji rekam sejarah karya tulis dan sastra yang diwariskannya kepada umat manusia. Di antara khazanah ilmiah dan sastra Hadhrat Abu Thalib dan kasidah-kasidah panjangnya, kami pilihkan beberapa penggal dari kasidah tersebut yang menandaskan iman Hadhrat Abu Thalib dan kandungannya, “Orang-orang mulia dan yang memahami dengan baik ketahuilah bahwa Muhammad Saw adalah seperti Musa dan Isa adalah seorang nabi. Sesungguhnya cahaya langit yang dimiliki oleh keduanya juga dimiliki oleh Muhammad. Seluruh nabi sesuai dengan titah Allah Swt memandu manusia dan melarang mereka dari perbuatan dosa. Wahai para pembesar Quraisy! Apakah kalian mengira bahwa tangan kalian dapat mencapainya… sesungguhnya ia adalah nabi dan wahyu dari Allah Swt diturunkan kepadanya.”[1] Abu Thalib dalam bagian lain dari kasidah-kasidah yang ia gubah, “Wahai kaum Quraish! Apakah kalian tidak tahu kami menemukan ia (Muhammad) sebagaimana Nabi Musa, Nama dan tanda-tandanya disebutkan dalam kitab-kitab samawi. Para hamba Tuhan memiliki kecintaan secara khusus kepadanya. Dan ia yang memiliki kecintaan Tuhan dalam dirinya tidak boleh diperlakukan dengan tidak senonoh.”[2] Demikian juga pada kesempatan lain, “Wahai putra saudaraku! Sepanjang Abu Thalib belum lagi berkalang tanah dan liang lahad belum lagi menjadi pembaringannya maka tangan musuh-musuh tidak akan sampai kepadamu. Nyatakanlah apa yang ditugaskan kepadamu. Janganlah takut kepada siapa pun. Berikanlah berita gembira dan terangilah mata kami. Ajaklah aku kepada ajaranmu dan aku tahu engkau adalah orang yang memberikan wejangan kepadaku. Engkau adalah orang yang jujur dan benar dalam seruamu. Sesungguhnya ajaran Muhammad Saw adalah ajaran yang terbaik.”[3]
Petunjuk syair-syair dan tuturan-tuturan ini menunjukkan dengan terang dan tidak dapat diingkari tentang iman kukuh Hadhrat Abu Thalib As
2. Model perilaku dan perbuatan Abu Thalib di tengah Masyarakat
Hadhrat Abu Thalib adalah seseorang yang sepanjang perjalanan hidupnya tidak pernah rela meski sedetik pun membiarkan kemenakannya terusik dan terluka hatinya. Meski selaksa persoalan dan tiadanya media ia rela menemani kemenakan kinasihnya itu pergi ke Syam (Suriah).
Keyakinannya terhadap kemenakannya sedemikian dalam hingga ia membawanya ke sebuah mushallah dan bersumpah kepada Allah Swt demi kedudukan kemenakannya lalu memohon hujan kepada Allah Swt.
Tidak sedetik pun langkahnya surut dalam menjaga Rasulullah Saw. Tiga tahun terlantar tanpa rumah dan hidup yang penuh kesulitan di sebuah bukit. Kedalaman sebuah lembah (Syi’b Abi Thalib) lebih ia pilih ketimbang menjadi tuan dan pemimpin kota Mekkah sedemikian sehingga tiga tahun terlantar telah menjadikannya renta dan menderita sakit. Dan selama beberapa hari setelah berakhirnya blokade dan embargo ekonomi akhirnya ia meninggal dunia.
Imannya kepada Rasulullah Saw sedemikan kukuh dan teguh sehingga ia rela anak-anaknya terbunuh (syahid) tapi membiarkan Muhammad harus tetap hidup. Tatkala ayat “wa andzir ‘asyirataka al-aqrabin” (Dan berilah peringatan kepada kerabat terdekatmu) turun dan Rasulullah Saw mengumpulkan seluruh sanak famili dan kerabatnya kemudian memperkenalkan ajaran Islam kepada mereka, Abu Thalib berkata kepadanya, “Kemenakanku berdirilah! Engkau memiliki kedudukan tinggi! Partaimu adalah partai yang terbaik! Engkau adalah putra seorang pria agung! Apabila ada lisan (ucapan) yang menyakitimu maka lisan-lisan tajam akan bangkit membelamu dan pedang-pedang tajam akan memutusnya. Demi Tuhan! Orang-orang Arab laksana anak kecil di hadapan ibunya akan tertunduk di hadapanmu.”[4]
3. Keyakinan Sahabat dan Kerabat tentang Abu Thalib
A. Tatkala Imam Ali As meyampaikan berita duka berpulangnya Abu Thalib ke rahmatullah kepada Rasulullah Saw, beliau menangis tersedu dan memerintahkan Ali bin Abi Thalib As untuk mengurus pemandian, pengafanan dan penguburannya. Rasulullah Saw memohonkan kepada Allah Swt ampunan baginya.[5] Padahal pemandian, pengafanan dan penguburan mayat seorang Muslim adalah wajib hukumnya dan orang kafir tidak (wajib) dimandikan, dikafani dan dimandikan.[6] Dan tiada seorang pun Muslim yang memiliki hak memohonkan ampunan kepada Allah Swt bagi seorang kafir.[7]
B. Imam Baqir As bersabda, “Iman Abu Thalib lebih utama daripada kebanyakan orang dan Amirul Mukminin memerintahkan (seseorang) untuk menunaikan haji untuknya.”[8]
C. Imam Shadiq As bersabda, “Hadhrat Abu Thalib As laksana Ashâb al-Kahf yang memiliki iman dalam hatinya dan menampakkan dirinya sebagai orang musyrik. Karena itu, ia akan memperoleh dua kali ganjaran.”[9]
Riwayat ini merupakan dalil bahwa dalam perjalanan usianya, untuk menjaga Islam dan jiwa Rasulullah Saw beliau menyembunyikan imannya. Namun tindakan menyembunyikan iman ini tidak hanya tidak menciderai imannya bahkan merupakan tanda derajat tinggi iman dan pahala berlipat ganda akan ia terima di hadapan Allah Swt kelak.
D. Ulama Imamiyah dan Zaidiyah mengikuti para Imam Ahlulbait As seluruhnya bersepakat bahwa Abu Thalib merupakan salah satu sosok unggul dan utama dalam Islam. Tatkala ia meninggal dunia, hatinya penuh dengan iman dan ikhlas kepada Islam dan kaum Muslimin. Banyak buku dan risalah yang telah ditulis sekaitan dengan masalah ini.[10]
E. Banyak ulama besar Ahlusunnah seperti Allamah Barazanji, Syaikh Ibrahim Hanbali dan Ibnu Jauzi demikian juga banyak ulama besar Syiah seperti Aminul Islam Thabarsi, Muhammad Baqir Majlisi, Allamah Syaikh Abu Ja’far, Ibnu Fital Naisyaburi, Sayid Abdullah Syubbar, Muhaqqiq Rawandi, Syaikh Shaduq, Allamah Karajaki, Sayid Ibnu Thawus, Sayid Murtadha menegaskan dan memberikan kesaksian atas iman Abu Thalib.[11]
Adapun dua ayat yang dikutip pada teks pertanyaan dan Anda pandang sekaitan dengan riwayat Imam Sajjad As harus dikatakan bahwa tidak jelas bahwa dua ayat di atas bertautan dengan riwayat tersebut. Lantaran Imam Sajjad As bersabda, “Sesungguhnya saya heran mengapa sebagian orang menganggap bahwa Abu Thalib itu adalah kafir! Apakah mereka tidak tahu bahwa akidah ini telah menyinggung perasaan Rasulullah Saw dan Abu Thalib? Bukankah hal ini telah dilarang pada beberapa ayat al-Qur’an bahwa wanita setelah memeluk Islam maka ia tidak boleh tetap menjadi istri seorang kafir. Dan jelas bahwa Fatimah binti Asad merupakan orang yang terdepan dalam Islam dan tetap menjadi istri Abu Thalib hingga akhir hayatnya.”[12]
Katakanlah riwayat tersebut berkaitan dengan dua ayat (Madani)[13] maka sesuai dengan petunjuk ayat ini kita akan menjumpai kesulitan namun dengan memperhatikan bahwa hadis ini merupakan hadis marfu’ah dan dari sisi sanad tidak memiliki nilai maka persoalan yang ada akan terpecahkan dengan sendirinya. Sebagaimana yang Anda amati bahwa kita tidak memerlukan riwayat khusus semacam ini untuk membuktikan dan menetapkan iman Abu Thalib.
Mengkaji Hadis dari Sisi Sanad
Hadis yang dinukil dari Imam Sajjad memiliki kelemahan dari beberapa sisi:
1. Tiada satu pun literatur standar hadis Syiah; seperti Kutub al-Arba’ah tidak menukil hadis ini dan satu-satunya kitab yang menukil riwayat ini adalah kitab “Iman Abi Thâlib”[14]
2. Periwayat (rawi) hadis ini adalah Abu Ali Maudhih yang tidak disebutkan dalam kitab-kitab Tarajim dan Rijal (Biografi Periwayat). Satu-satunya kitab yang menyebutkan namanya adalah “A’yân al-Syiah” karya Sayid Muhsin Amin yang memperkenalkannya sedemikian: “Di Riyadh namanya adalah Umar bin al-Husain bin Abdullah bin Muhammad al-Shufi bin Yahya bin Abdillah bin Muhammad bin Umar bin Amirul Mukminin Ali al-‘Amri al-‘Alawi al-Kufi yang dikenal sebagai al-Maudhih.”[15]
3. Sebagaimana yang Anda perhatikan bahwa Abu Ali Maudhih garis keturunannya sampai kepada Amirul Mukminin melalui tujuh generasi dimana Muhammad bin Umar bin Amirul Mukminin adalah putra paman dan segenerasi dengan Imam Sajjad. Karena itu, Maudhih garis keturunannya sampai kepada Muhammad bin Umar bin Amirul Mukminin melalui tujuh generasi. Dan tentu saja ia tidak dapat meriwayatkan sesuatu secara langsung dari Imam Sajjad.
Dengan memperhatikan dalil-dalil yang telah dikemukakan, apabila kita meragukan segala sesuatu maka kita tidak dapat meragukan realitas ini bahwa Abu Thalib adalah salah satu pembela dan pendukung derajat pertama Islam dan Rasulullah Saw. Dukungan dan pembelaannya terhadap Islam dan Rasulullah Saw sedemikian besar sehingga tidak dapat ditafsirkan bahwa hal itu dilatari oleh dasar kekerabatan dan fanatisme kesukuan.
Contoh nyata dari realitas itu adalah Syi’b Abu Thalib yang telah kami sebutkan di atas. Seluruh sejarawan menulis bahwa tatkala kaum Quraisy memboikot dan mengembargo ekonomi dan politik Rasulullah Saw dan kaum Muslimin dan memutuskan hubungan mereka dengan Rasulullah Saw dan kaum Muslimin, Abu Thalib adalah satu-satunya yang menjadi pembela dan pendukung Rasulullah Saw. Selama tiga tahun embargo ekonomi dan politik itu berlangsung, Abu Thalib menyingkirkan segala pekerjaannya dan membawa Bani Hasyim ke sebuah lembah yang popular disebut sebagai Syi’b Abu Thalib yang terletak di antara bukit-bukit kota Mekkah dan bermukim di lembah itu.
Pengorbanan sedemikian besar sehingga di samping membangun sebuah menara khusus untuk menghindari serangan Quraisy, Abu Thalib setiap malam membangunkan Rasulullah Saw dari pembaringannya dan menyiapkan tempat lain untuk istirahat baginya dan meminta putranya (Ali bin Abi Thalib) untuk tidur di tempat Rasulullah Saw.[16]
Kami percaya bahwa apabila setiap orang menyampingkan fanatisme dan mau menelaah secara jujur dan fair catatan emas sejarah ihwal Abu Thalib dan senada dengan Ibnu Abi al-Hadid pensyarah Nahj al-Balâgha akan berkata bahwa, “Sekiranya tiada Abu Thalib dan putranya maka sekali-kali agama dan maktab Islam tidak akan tersisa dan bertahan lama. Abu Thalib di Mekkah membantu Rasulullah Saw. Demikian juga putranya Ali bin Abi Thalib As berjuang bertungkus lumus hingga pengorbanan jiwa dan raga di Yatsrib (Madinah) dalam mendukung Islam.”[17] [IQuest]
Untuk telaah lebih jauh terkait dengan iman Abu Thalib yang menghabiskan seluruh masa hidupnya untuk membela dan mendukung Rasulullah serta menuruti perintahnya terdapat banyak riwayat dan bukti yang menceritakan iman Abu Thalib yang Anda dapat jumpai pada tafsir al-Mizan, jil. 7, hal. 80, Tafsir Nemune, jil. 5, hal. 191-198 dan al-Ghadir, jil, 8.
[1]. Farâzhâ-ye az Târikh Payâmbar Islâm, Ja’far Subhani, hal. 163, Nasyr Ma’syar, 1378 S sesuai nukilan dari Diwân Abu Thâlib, hal. 32 dan Sirah Ibnu Hisyam, jil. 1, hal. 373.
[2]. Ibid.
[3]. Ibid, sesuai nukilan dari Ibnu Katsir, jil. 2, hal. 42. Tafsir Nemune, jil. 5, hal. 195.
[4]. Ibid, sesuai nukilan dari al-Tharâif, Sayid Ibnu Thawus, hal. 85.
[5]. Ibid.
[6]. Al-Lum’ah al-Damisyqiyyah, Muhammad bin Jamaluddin Makki ‘Amili, hal. 20, Muassasah Dar al-Fikr, 1374. Tahrir al-Wasilah, Imam Khomeini Ra, jil. 1, hal. 65, Dar al-‘Ilm, 1374. Taudhih al-Masâil 13 Marâji’, jil. 1, hal. 313, Masalah 542. Daftar Tablighat Islami, Qum, 1383.
[7]. “Tiadalah sepatutnya bagi nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (mereka), sesudah jelas bagi mereka bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahanam.” (Qs. Al-Taubah [9]:113)
[8]. Syarh Nahj al-Balâgha (Ibnu Abi al-Hadid), jil. 14, hal. 76.
[9]. Furugh Abadiyat, Ja’far Subhani, jil. 1, hal. 377, Markaz Intisyarat Daftar Tablighat Islami, 1377 S, sesuai nukilan dari Ushûl Kâfi, hal. 244.
[10]. Partu-ye Az Simâi Tâbnâk Abu Thâlib, Khairullah Mardani, hal. 136, Nasyr Rah Qur’an, 1384 S, sesuai nukilan dari Wasâil al-Syiah, jil. 11, hal. 480.
[11]. Terjemahan Persia al-Mizân, Muhammad Husain Thabathabai, penerjemah, Muhammad Baqir Musawi Hamadani, jil. 2, hal. 308, Daftar Intisyarat Islami, tanpa tahun. Tafsir Nemune, Nashir Makarim Syirazi, jil. 24, hal. 35, Dar al-Maktab al-Islamiyah, 1371 S.
[12]. Kitâb al-Hujjat, Darâjat al-Râfi’ah, sesuai nukilan dari al-Ghadir, jil. 8, sesuai nukilan dari Tafsir Nemune, jil. 5, hal. 197. Imân Abu Thâlib lil Fakhkhâr, hal. 123.
بالإسناد عن أبی علی الموضح قال تواترت الأخبار بهذه الروایة و بغیرها عن علی بن الحسین (ع) أنه سئل عن أبی طالب أ کان مؤمنا فقال (ع) نعم فقیل له إن هاهنا قوما یزعمون أنه کافر فقال (ع) وا عجبا کل العجب أ یطعنون على أبی طالب أو على رسول الله (ص) و قد نهاه الله تعالى أن یقر مؤمنة مع کافر فی غیر آیة من القرآن و لا یشک أحد أن فاطمة بنت أسد... .
[13]. Allamah Thabathabai meyakini bahwa ayat ini diturunkan di Madinah. Silahkan lihat Terjemahan Persia al-Mizân, jil. 2, hal. 308.
[14]. Imân Abi Thâlib, Fakhkhar bin Mu’id Musawi, satu jilid,, Intisyarat Sayid al-Syuhada As, Qum, 1410 H.
[15]. A’yân al-Syiah, Sayid Muhsin Amin, jil. 2, hal. 387, edisi 11 jilid.
فی الریاض اسمه عمر بن الحسین بن عبد الله بن محمد الصوفی بن یحیى بن عبد الله بن محمد بن عمر بن أمیر المؤمنین علی (ع) العمری العلوی الکوفی المعروف بالموضح.
[16]. Al-Ghadir, jil. 8. Tafsir Nemune, jil. 5, hal. 198.
[17]. Syarh Nahj al-Balâgha (Ibnu Abi al-Hadid), jil. 14, hal. 84.
و لو لا ابوطالب و ابنه لما مثل الدین شخصا و قاما
فذاک بمکة آوى و حامى و هذا بیثرب جس الحماما