Please Wait
8925
Berdasarkan beberapa timbangan dan barometer yang dikemukakan oleh para Imam Maksum As, jika terdapat riwayat-riwayat yang meragukan maka ia harus disandingkan dan dibandingkan dengan al-Qur’an. Apabila bertentangan dengan al-Qur’an maka tuntutan lahir dari riwayat tersebut tidak boleh diamalkan.
Dari sisi lain, kita tidak menemukan satu pun ayat dalam al-Qur’an yang menengarai tentang hukum universal terkait dengan kekurangan akal dan iman kaum wanita. Karena itu, dengan memperhatikan kriteria-kriteria dan barometer-barometer ilmu hadis, kita juga tidak dapat menerima riwayat di atas berdasarkan makna lahirnya. Namun demikian, kita juga tidak dapat secara definitif dan seratus per seratus menyatakan bahwa riwayat di atas adalah riwayat bodong (palsu) dan tidak pernah disampaikan oleh Imam Ali As.
Karena itu, riwayat tersebut harus dicari sisi benarnya (taujih) atau menyerahkan penafsiran riwayat ini kepada Imam Ali As sendiri. Dari sisi lain, karena dalam ucapan dan tindakan para nabi dan wali Allah, kita menyaksikan mereka menyampaikan tuturan tentang kaum wanita atau melakukan sebuah perbuatan yang secara lahir menunjukkan sebuah perbuatan yang tidak pantas dilakukan, namun pada kenyataannya, mereka memiliki maksud yang lain. Terdapat kemungkinan riwayat yang disandarkan kepada Imam Ali As ini juga demikian adanya. Dengan demikian, terdapat kemungkinan bagi kita untuk mencari sisi benar (taujih) dan mencari makna lain atas riwayat ini.
Bagaimanapun, sesuai dengan kajian ayat dan riwayat, jelas bahwa dua jenis kelamin, pria dan wanita, meski terdapat beberapa perbedaan yang tidak dapat dipungkiri, namun keduanya adalah manusia yang memiliki akses sama dan sederajat untuk meraih kesempurnaan pengetahuan dan iman. Pemikiran yang memandang bahwa jenis kelamin wanita adalah jenis kelamin rendah dan hina adalah pemikiran yang berakar pada pemikiran-pemikiran abad jahiliyah yang telah mendapat kecaman dalam al-Qur’an.
Pertanyaan yang Anda ajukan, berulang kali telah dikemukakan dari beragam orang dengan beragam ungkapan. Jawaban yang sesuai atas pertanyaan itu pun telah dilontarkan.[1] Akal dan penggunaannya juga telah dibahas pada jawaban-jawaban lainnya.[2]
Namun demikian, sekali lagi kami mengkaji dan menelaah ulang penggalan tuturan yang disandarkan kepada Imam Ali As, dengan penjelasan bahwa hanya dengan mengakaji pertanyaan-pertanyaan cabang lainnya boleh jadi mengemuka, kami dapat menyodorkan jawaban final, pertanyaan-pertanyaan seperti:
1. Apakah kritikan Anda telah dikemukakan secara tepat dan dapat diterima sehingga kami harus menjawabnya?
2. Apa yang menjadi kriteria prinsip-prinsip dan timbangan-timbangan agama? Apakah ketika kami memandang sebuah riwayat tidak sesuai dengan timbangan syariat, lantas riwayat tersebut harus segera dinegasikan ataukah terdapat metode lainnya dalam menghadapi model riwayat buram (tidak jelas) seperti ini?
3. Apakah penyandaran seluruh khutbah dalam Nahj al-Balâghah kepada Imam Ali As itu merupakan suatu hal yang pasti dan tidak dapat diragukan lagi?
4. Bagaimana kita menilai posisi kaum wanita dalam pandangan al-Qur’an dan apakah al-Qur’an menerima superioritas dan keunggulan sekelompok orang atas orang lainnya?
5. Apakah mungkin, terlontar ungkapan dari para nabi dan wali Allah, yang tidak sesuai dengan makna lahirnya, namun para objek dakwah para wali Allah, memaknainya secara lahir dan sama sekali tidak membayangkan bahwa terpendam makna lain di balik makna lahir tersebut? Apakah hal ini tidak termasuk sebagai perbuatan dosa?
6. Apakah juga terdapat kemungkinan bahwa kalimat-kalimat yang terdapat dalam pertanyaan Anda dipandang sebagai kalimat-kalimat yang disampaikan oleh Imam Ali As, namun kita memiliki penjelasan lain atasnya?
Atas dasar itu, mari kita pertama-tama mengkaji hal-hal yang disampaikan di atas secara runut dan pada puncaknya kami akan menyampaikan penilaian global kami.
1. Apakah kami menerima kritikan Anda? Iya (Kami menerimanya). Dan untuk menyempurnakan pertanyaan Anda harus kami katakan bahwa:
a. Apakah apabila orang-orang besar, bahkan para nabi dan wali, ketika mereka menderita sakit, membatalkan puasanya dan bahkan apabila penyakit ini berujung pada kematian, mereka tidak lagi perlu membayar qadha puasa tersebut, semuanya merupakan dalil atas kekurangan iman sehingga dapat disimpulkan bahwa karena meninggalkan salat dan puasa pada hari-hari adat itu pun sesuai dengan instruksi Allah Swt, mereka adalah orang-orang yang kurang imannya? Apakah ketika para musafir mengerjakan salat qashar maka hal itu akan menyebabkan kurangnya iman mereka di hadapan orang lain?
b. Apabila seseorang meninggal dan ayahnya adalah seorang alim cendekia disertai dengan seorang putri kuculuk, yang akan menjadi pewarisnya dan sesuai dengan instruksi hukum fikih Islam, putri kuculuknya, akan memperoleh lima kali lebih banyak atas ayah almahrum yang nota-bene seorang cendikia, apakah hal ini dapat menjadi indikasi atas keberuntungan putri kecil itu dan kebuntungan ayahnya?