Please Wait
10710
Hukum shalat Jum’at pada masa kehadiran para Imam Maksum dan terpenuhinya syarat-syarat lainnya serta tidak adanya taqiyyah adalah jelas (yaitu wajib dilaksanakan). Pada masa ghaibah (okultasi) dijelaskan pelbagai ragam hukum yang boleh jadi dapat dikatakan bahwa yang paling popular adalah kewajiban dan keharusan yang bersifat opsional terkait dengan shalat Jum’at. Sebagian fukaha (juris) mengklaim adanya konsensus terkait dengan kewajiban shalat Jum’at yang bersifat ikhtiari (opsional). Namun tentu saja klaim ini tidak bersifat konstan dan permanen lantaran terdapat orang-orang yang tidak sejalan dengan klaim ini.
Shalat Jum’at merupakan salah satu ibadah sosial dalam Islam. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an yang memerintahkan masyarakat untuk menunaikannya.[1] Kedua mazhab sepakat secara ijma bahwa shalat Jum’at merupakan sebagai salah satu kewajiban[2] yang harus dijalankan pada masa adanya Imam Maksum As. Pada masa ghaibah (okultasi) kendati sebagian fukaha memandang bahwa shalat Jum’at itu adalah sebuah kewajiban yang harus ditunaikan (wujub ‘aini) dan ditentukan (ta’yini).[3] Akan tetapi mayoritas juris menerima bahwa shalat Jum’at itu sifatnya ikhtiari (opsional).[4] Di antara para fukaha (juris) yang menerima bahwa shalat Jum’at itu opsional adalah Syaikh Thusi dalam kitabnya al-Nihâya. Terdapat banyak fukaha yang mengikuti dan menerima pandangan Syaikh Thusi ini[5] sedemikian sehingga sebagian mengklaim bahwa persoalan ini telah disepakati (ijma) oleh para juris. Misalnya Syahid Syaikh Zainuddin dan Syaikh Ali dalam ulasan “Qawâid” dan sebagian lainnya.[6] Akan tetapi fukaha kiwari mengumumkan pandangan ini dengan jelas yang akan kami sebutan di sini beberapa darinya.
Muhaqqiq Karaki berpandangan bahwa ulama mazhab Imamiyah bersepakat bahwa semenjak masa para Imam Maksum hingga masa kita shalat Jum’at itu tidak wajib secara aini melainkan wajibnya adalah wajib ikhtiari.[7]
Wahid Bahbahani: Dari apa yang kami sebutkan menjadi jelas bahwa pandangan yang menandaskan bahwa kewajiban shalat Jum’at itu kewajiban opsional (ikhtiari). Adapun orang yang mengerjakan shalat Jum’at maka hal itu lebih utama. Hal ini merupakan pendapat yang lebih kuat (aqwa).[8]
Sayid Husain Mujthaid Karaki memiliki kitab bernama “al-Lum’ah fi ‘adam ‘ainiyati shalat al-Jum’a” yang menetapkan bahwa kewajiban shalat Jum’at adalah kewajiban opsional.[9]
Muhammad bin Hasan bin Syahid Tsani berpandangan bahwa kewajiban opsional shalat Jum’at itu telah ditetapkan.[10]
Shahib Jawahir berpandangan bahwa kewajiban yang telah ditetapkan untuk shalat Jum’at adalah kewajiban opsional.[11]
Sayid Kazhim Yazdi penulis kitab ‘Urwat al-Wutsqa berkata, “(Kewajiban) Shalat Jum’at pada masa ghaibah Imam Zaman adalah kewajiban opsional berdasarkan pendapat yang lebih kuat (aqwa).”[12]
Ayatullah Khui menegaskan bahwa berdasarkan kabar dan riwayat (menyatakan bahwa) kewajiban shalat Jum’at adalah kewajiban opsional.[13]
Sayid Ahmad Khunsari: Beliau menyandarkan pandangan bahwa kewajiban shalat Jum’at itu merupakan kewajiban opsional kepada banyak fukaha.[14]
Hadhrat Imam Khomeini: Pada hari Jum’at manusia (kaum Muslim) dapat mengerjakan shalat Dhuhur sebagai ganti shalat Jum’at.[15]
Ayatullah Bahjat: Pada hari Jum’at manusia (kaum Muslim) dapat mengerjakan shalat Jum’at, sesuai dengan yang lebih kuat, sebagai ganti shalat Dhuhur. Dan pada masa ghaibah kewajiban shalat Jum’at adalah kewajiban opsional artinya ketika ia mengerjakan shalat Jum’at maka ia tidak perlu lagi melaksanakan shalat Dhuhur.[16]
Pemimpin Agung Revolusi: Shalat Jum’at pada masa ghaibah adalah kewajiban opsional.[17]
Ayatullah Siistani: Kewajiban shalat Jum’at adalah kewajiban opsional.[18]
Ayatullah Fadhil Langkarani dan Ayatullah Makarim Syirazi: (Kewajiban) Shalat Jum’at pada masa ghaibah kubra adalah kewajiban opsional. Artinya ia dapat memilih antara mengerjakan shalat Dhuhur atau Jum’at. Akan tetapi pada masa pemerintahan adil Islam dan shalat Jum’at dikerjakan maka lebih baik shalat Jum’at yang dikerjakan.[19]
Dalam membangun argumentasi bahwa apakah kewajiban shalat Jum’at pada masa ghaibah itu adalah kewajiban yang harus dilaksanakan (ta’yini) atau opsional (takhyiri), sebagian bersandar pada sebagian riwayat yang menyinggung masalah ini. Namun para fukaha pada akhirnya bersandar pada ushul amaliyah dan berkata, Apabila kita sangsi bahwa apakah shalat Jum’at pada masa ghaibah itu adalah kewajiban yang harus dilakukan (ta’yini) atau opsional (takhyiri) (tentu saja setelah ditetapkan pokok legalitasnya pada masa ghaibah), kita harus memanfaatkan kaidah antara ta’yin dan takhyir. Sesuai dengan kaidah ini kita berkata,[20] “Pada dua opsi ini maka yang berlaku adalah kekhususuan (khususiyat) dan penentuan (ta’yin) harus dinafikan dan kesimpulan dari adanya penafian ini tentu saja kewajiban opsional.[21] [IQuest]
[1]. “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu diseru untuk menunaikan salat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Qs. Al-Jumuah [62]:9)
[2]. Husain Thathabai Burujerdi, al-Badr al-Zahir fi Shalat al-Jum’at wa al-Musâfir, hal. 11, Qum, 1416 H.
[3]. Penyandaran ini dapat disaksikan pada Risâlah Shalat Jum’at Syahid Tsani. Namun Wahid Bahbahani menolak penyandaran risalah ini dan bahwa hal merupakan ucapan Syahid Tsani. Silahkan lihat, Wahid Bahbahani, Mashâbih al-Zhulâm, jil. 1, hal. 401, Muassasah al-Allamah al-Wahid al-Bahbahani, Qum, 1424.
[4]. Kewajiban opsional (takhyiri) bermakna bahwa mukallaf pada hari Jum’at dapat memilih mengerjakan shalat Jum’at apabila syarat-syaratnya terpenuhi atau menunaikan shalat Dhuhur. Jika ia menunaikan shalat Jum’at maka hal itu telah memadai sehingga tidak perlu lagi mengerjakan shalat Dhuhur. Silahkan lihat, Taudhi al-Masail (al-Mahsyah lil Imâm Khomeini), jil. 1, hal. 405, Daftar Intisyarat-e Islami Qum, 1424 H.
[5]. Rasul Ja’fariyan, Daozdah Risâlah Fiqhi darbâre Namâz-e Jum’e, tanpa tahun dan tanpa tempat.
[6]. Daozdah Risâlah Fiqhi darbâre Namâz-e Jum’e, hal. 606.
[7]. Ali bin Husain Karaki ‘Amili, Rasâil Muhaqqiq Karâki, jil. 1, hal. 147 dan 148, Kitab Khaneh Ayatullah Mar’asyi wa Daftar Nasyr Islami, Qum, 1409.
[8]. Mashâbih al-Zhulâm, jil. 1, hal. 403.
[9]. Daozdah Risâlah Fiqhi darbâre Namâz-e Jum’e, hal. 86.
[10]. Istiqshâ al-I’tibâr fi Syarh al-Istibshâr, jil. 7, hal. 262.
[11]. Muhammad Hasan Najafi, Jawâhir al-Kalâm fi Syarh Syarâ’i al-Islâm, jil. 11, hal. 336, Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, Beirut, tanpa tahun.
[12]. Sayid Muhammad Kazhim Yazdi Thabathabai, Soâl wa Jawâb (Lisayyid al-Yazdi), teks, hal 79, Markaz al-Nasyr al-‘Ulum al-Islami, Teheran, 1415.
[13]. Abul Qasim Khui, al-Tanqih fii Syarh al-‘Urwat al-Wutsqâ, jil. 6, hal. 40 dan 57, tanpa tahun dan tempat.
[14]. Sayid Ahmad Khunsari, Jâmi’ al-Madârik fii Syarh Mukhtashar al-Nâfi’, jil. 1, hal. 523, Muassasah Ismailiyan, Qum, 1405.
[15]. Hal ini bermakna kewajiban opsional (wujub takhyiri). Silahkan lihat, Taudhi al-Masâil (al-Mahsyâh lil Imâm Khomeini), jil. 1, hal. 406.
[16]. Taudhi al-Masâil (al-Mahsyâh lil Imâm Khomeini), jil. 1, hal. 406.
[17]. Sayid ‘Ali Khamenei, Ajwibâ al-Istifta’ât, Soal 606 dan 611, disadur dari software Porseman.
[18]. Taudhi al-Masâil (al-Mahsyâh lil Imâm Khomeini), jil. 1, hal. 405.
[19]. Taudhi al-Masâil (al-Mahsyâh lil Imâm Khomeini), jil. 1, hal. 406.
[20]. Dalam perkara yang berkisar tentang ta’yin dan takhyir maka yang berlaku adalah barâ’at aqli dan naqli atas tiadanya ta’yin (penentuan) dan pengkhususan.
[21]. Silahkan lihat, al-Tanqih fii Syarh al-‘Urwat al-Wutsqa, jil. 6, hal. 57.