Please Wait
8121
Penulis buku Farhangg-e ’Âsyurâ menulis tentang Imam Husain As tatkala ingin meneguk air, “Kesyahidan karena dahaga Imam Husain sedemikian panas dan memilukan dalam hati sehingga bergetar tatkala melihat setiap sungai atau mata air dan dengan meneguk air dan minuman segar, supaya mengingat bibir-bibir dahaga Imam Husain As; karena air adalah pengingat atas kejadian Asyura yang penuh dahaga dan keinginan-keinginan dahaga mereka yang hadir dan syahid pada hari Asyura di Karbala.
Imam Shadiq As bersabda, “Aku sekali-kali tidak meminum air dingin kecuali aku mengingat Husain bin Ali.” Dan juga bersabda, “Ma min ‘Abdin syariba al-ma fadazkara al-Husain wa la’ana qatilahu illa kutiba lahu miata alaf hasanatan wa hutta ‘anhu miata alaf sayyiatan.” (Tidaklah seorang hamba ketika meminum air kemudian mengingat Imam Husain As lalu melaknat pembunuhnya kecuali dituliskan baginya seribu kebaikan dan dihapuskan darinya seribu keburukan).[1]
Dengan demikian, seorang Syiah tatkala meneguk dan meminum air seyogyanya menyampaikan salam kepada Husain bin Ali dan berkata, “Salam kepada bibirmu yang dahaga Duhai Husain. Salamullah ‘ala al-Husain wa Ashabih. (Salam Tuhan ke atas Imam Husain As dan para sahabatnya). Demikian juga pada kedai-kedai minum atau sumber-sumber air dingin, pada musim panas dan pada hari-hari Muharram. Ulama menulis, “Teguklah air dan berdoalah semoga Allah Swt melaknat Yazid” atau “Minumlah dan ingatlah bibir-bibir dahaga Husain.” Dari lisan Imam Husain As sendiri diriwayatkan bahwa beliau bersabda, “Syia’ti ma in syaribtum ‘azbin main fadzkuruni aw sam’itum bigharibin aw syahidin fandubuni” (Syiahku! Ingatlah aku tatkala engkau meneguk air segar. Atau menangislah tatkala engkau mendengar keterasingan dan kesyahidanku) sebagaimana yang disebutkan dalam Khasâish Husaini Syusytari.[2]
Kaf’ami dalam Misbah[3] meriwayatkan dari Hadhrat Sukainah Sa bahwa tatkala ayahandaku telah terbunuh aku memeluk badannya yang suci dan kemudian aku pingsan dan tidak sadarkan diri. Pada waktu itu aku mendengar ayahku berkata, “
او سمعتم بغریب او شهید فاندبونى
و انا السبط الذى من غیر جرم قتلونى
و بجرد الخیل بعد القتل عمدا سحقونى
لیتکم فى یوم عاشورا جمیعا تنظرونى
کیف استسقى لطفلى فابوا ان یرحمونى
و سقوه سهم بغى عوض الماء المعین
یا لرزء و مصاب هد ارکان الحجون
ویلهم قد جرحوا قلب رسول الثقلین
فالعنوهم ما استطعتم شیعتى فى کل حین[4]
Syiahku! Ingatlah aku tatkala engkau meneguk air segar
Atau menangislah tatkala engkau mendengar keterasingan dan kesyahidanku
Dan aku adalah cucu (Rasulullah) mereka bunuh tanpa ada kesalahan
Dan setelah membunuhku mereka dengan sengaja menginjak-injaku dengan kaki kuda
Duhai sekiranya engkau sekalian hadir pada hari Asyura dan melihatku
Bagaimana aku meminta air untuk putra kecilku dan mereka menolak untuk mengasihaniku.
Dan melontarkan anak panah kezaliman kepada putraku sebagai ganti air segar
Tragedi ini sedemikian memilukan sehingga meruntuhkan kaki-kaki gunung-gunung Mekkah.
Celakalah bagi mereka yang telah melukai hati Rasul jin dan manusia
Maka laknatlah mereka semampumu wahai Syiahku pada setiap kesempatan[5]
Muqarram juga dalam Maqtal al-Husain menyebutkan syair ini.[6] Namun sebagian orang berkata bahwa syair ini merupakan bahasa tubuh (hâl, menjelaskan kondisi yang dialami Imam Husain) bukan bahasa lisan (qaul).[7]
Perlu diperhatikan bahwa terkait dengan sandaran (sanad) syair ini tidak disebutkan pada literatur-literatur yang telah dijelaskan sehingga harus dibahas dan dikaji validitas dan non-validitasnya syair ini. Namun bagaimanapun, nampaknya, syair ini adalah bahasa tubuh (hâl, yang menjelaskan kondisi yang dialami Imam Husain As) karena itu membaca atau membacakannya tidak bermasalah secara syar’i dan kesimpulannya juga tidak memerlukan pembahasan sanad dan referensinya. [IQuest]
[1]. Âmali, Syaikh Shaduq, hal. 122.
[2]. Al-Khashâish al-Husain, Syusytari, hal. 99, sesuai nukilan dari Farhangge- Asyura, Jawad Muhadditsi, jil. 1, hal. 40. Mausu’ât ‘Âsyurâ, Syaikh Jawad al-Muhadditsi, jil. 1, hal. 250.
[3]. Al-Misbâh lil Kaf’ami, hal. 741. Syahid Karbalâ, Sayid Taqi Thabathabai Qummi, jil. 1, hal. 197.
[4]. Yârân-e Kucak Imâm Husain As, Sayid Ahmad Musawi Wadiqani, hal. 132. Sesuai nukilan dari Asrâr al-Syahâdah, Fadhil Darbandi, hal. 462. Dam’at al-Sâbikah, Mulla Baqir Bahbahani, hal. 350. Ma’âli al-Sibthain, Muhammad Mahdi Mazandarani, jil. 2, hal. 31.
[5]. Cehre Dirakhsyân Husain bin Ali, hal. 8.
[6]. Maqtal al-Husain, Abdurrazzaq Muqarram, , hal. 307.
[7]. Al-Khasâish al-Husainiyyah, Syustari, hal. 99.