Please Wait
7576
Setiap bulan Hijriah (Qamariah) terdiri dari dua belas bulan. Berbeda dengan bulan-bulan pertama tahun Syamsiah (Penanggalaan matahari), setiap hari-hari saban bulan selalu bersifat konstan dan jelas. Bulan-bulan tahun Hijriah, awal dan akhirnya dapat dipahami dengan melihat hilal (awal bulan). Dalam hal ini, tidak terdapat perbedaan antara bulan Ramadhan dan bulan-bulan lainnya.
Karena itu, dalam riwayat kita disebutkan, “shum liru’yah wafthir liru’yah” (Berpuasalah dengan melihat bulan dan berbukalah dengan melihat bulan). Artinya bahwa ukuran dan kriteria yang digunakan untuk menetapkan (istbat) awal bulan Ramadhan adalah dengan melihat bulan. Demikian juga untuk menetapkan Idul Fitri adalah dengan melihat bulan Syawal sebagai akhir bulan Ramadhan bukan dengan sesuatu yang lain.
Adapun hadis-hadis yang menyebutkan tentang tiga puluh hari bulan Ramadhan, sebagian juris Syiah pada masa lampau juga memberikan fatwa tersebut namun karena adanya hadis-hadis dengan riwayat lainnya yang lebih memiliki nilai sanad dan standar yang lebih besar dan memandang bahwa bulan Ramadhan seperti bulan-bulan Qamariah lainnya sehingga dengan demikian terdapat kontradiksi antara riwayat tersebut dan riwayat-riwayat yang disebut belakangan. Karena itu, para juris tidak mengindahkan riwayat-riwayat tersebut karena tipologi khusus bulan Ramadhan.
Disiplin ilmu Fikih juga sebagaimana displin ilmu lainnya yang untuk mengenal dan mengetahuinya dengan baik maka diperlukan spesialisasi yang setelah berupaya puluhan tahun dalam Fikih dan ilmu-ilmu pendahuluannya seperti sastra Arab, Rijal, Dirayah, Ushul Fikih dan lain sebagianya maka ia kemudian menjadi seorang ahli dalam bidangnya. Karena itu, kita tidak dapat bersandar pada setiap riwayat tanpa memperhatikan ayat-ayat dan riwayat-riwayat lainnya.
Dalam hal ini harus dikatakan bahwa setiap tahun Qamariah terdiri dari dua belas bulan.[i] Berbeda dengan bulan-bulan tahun Syamsiah yang bersifat konstan dan jelas. Bulan-bulan tahun Hijriah, awal dan akhirnya dapat dipahami dengan melihat hilal (awal bulan).[ii] Dalam hal ini, tidak terdapat perbedaan antara bulan Ramadhan dan bulan-bulan lainnya.[iii]
Dengan demikian dalam riwayat disebutkan, Karena itu, dalam riwayat kita disebutkan, “shum liru’yah wafthir liru’yah” (Berpuasalah dengan melihat bulan dan berbukalah dengan melihat bulan).[iv] Artinya bahwa ukuran dan kriteria yang digunakan untuk menetapkan (istbat) awal bulan Ramadhan adalah dengan melihat bulan. Demikian juga untuk menetapkan Idul Fitri adalah dengan melihat bulan Syawal sebagai akhir bulan Ramadhan bukan dengan sesuatu yang lain. Namun sehubungan dengan pertanyaan Anda, sebagai contoh kita akan mengutip dan menukil hadis yang menyatakan bahwa bulan Ramadhan terdiri dari tiga puluh hari kemudian setelah itu akan kita bahas dan urai:
Sebagian sahabat kami menukil dari Sahl bin Ziyad dari Muhammad bin Ismail dari sebagian sahabat dari Abi Abdillah As bersabda, “Sesungguhnya Allah Swt menciptakan dunia dalam tempo enam hari dan kemudian menepikanya dari hari-hari dalam setahun. Dan hari-hari dalam setahun menjadi tiga ratus lima puluh empat. Sya’ban tidak akan berakhir dan Ramadhan tidak akan pernah berkurang.[v]
Diriwayatkan dari Imam Shadiq As bahwa bulan Sya’ban tidak akan pernah sempurna dan bulan Ramadhan juga tidak akan pernah berkurang (cacat).
Hadis ini nampaknya merupakan hadis terpenting dalam masalah ini pada literatur-literatur derajat pertama kita, dan hanya dinukil dengan silsilah sanad sebagaimana yang disebutkan dia atas dalam kitab al-Kâfi. Dan kitab-kitab lainnya menukil dari kitab tersebut. Namun terdapat beberapa isykalan atas hadis ini yang mendorong kita untuk menolak dan tidak beramal berdasarkan hadis ini:
A. Hadis ini dalam terminologi ilmu Rijal disebut merupakan sebuah hadis mursal yang tidak dapat dijadikan dasar untuk pengamalan; karena pada ujung hadis tidak dijelaskan nama atau nama-nama perawi dan mencukupkan diri dengan semata-mata menyebut “dari sebagian sahabat.” Dalam literatur yang lain juga perawi terkadang menukil riwayat dari Imam Shadiq tanpa perantara. Riwayat dan hadis semacam ini disebut sebagai marfu’ah dan suatu masa juga perawinya memberikan fatwa dan tidak bersandar pada seseorang.[vi]
B. Orang-orang yang menukil riwayat ini adalah orang-orang lemah yang tidak dapat dijadikan dasar pengamalan; dalam silsilah sanadnya terdapat orang yang bernama Muhammad bin Sanan yang telah mendapat celaan sedemikan sehingga tidak ada orang yang meragukan kelemahannya. Karena itu, riwayat ini tidak dapat dijadikan sebagai dasar pengamalan.[vii]
C. Riwayat ini juga bertolak belakang dengan banyak hadis yang tidak bermasalah dari sisi sanadnya seperti sebagian riwayat yang terdapat di atas. Dan apabila terjadi kontradiksi maka khabar wahid yang lemah dan mursal ini akan dikesampingkan dan orang-orang beramal berdasarkan hadis-hadis lainnya. Allamah Hilli, sehubungan dengan hadis ini, berkata bahwa hadis ini merupakan hadis khabar wahid yang bertentangan dengan al-Qur’an dan hadis-hadis mutawatir.[viii]
Karena itu, terdapat hadis-hadis dalam masalah ini, meski sebagian juris terdahulu memberikan fatwa atasnya, namun nampaknya hadis-hadis tersebut, mengingat menuai banyak isykalan dan terdapat kontradiksi dengan beberapa riwayat lainnya maka ia tidak dapat dijakan sebagai pakem dalam beramal. Karena itu, pakem dan kriteria dalam hitungan bilangan hari-hari bulan Ramadhan, seperti bulan-bulan lainnya, adalah dengan melihat bulan untuk menetapkan awal bulan Ramadhan dan melihat bulan Syawal untuk menetapkan akhir bulan Ramadhan bukan dengan sesuatu yang lain. [IQuest]
[i]. “Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan.” (Qs. Al-Taubah [9]:36)
[ii]. “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah, “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (ibadah) haji.” Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.” (Qs. Al-Baqarah [2]:189)
[iii]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 55, hal. 356.
"وَ رُوِیَ عَنْ أَبِی عَبْدِ اللَّهِ الصَّادِقِ (ع) أَنَّهُ قَالَ یُصِیبُ شَهْرَ رَمَضَانَ مَا یُصِیبُ سَائِرَ الشُّهُورِ مِنَ الزِّیَادَةِ وَ النُّقْصَانِ".
[iv]. Syaikh Thusi, Tahdzib al-Ahkâm, jil. 4, hal. 159, Dar al-Kutub al-Islamiyah Teheran, 1365 S.
[v]. Al-Kâfi, jil. 4, hal. 78, Bab Nadir, Hadis 2.
"عِدَّةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا عَنْ سَهْلِ بْنِ زِیَادٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْمَاعِیلَ عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِهِ عَنْ أَبِی عَبْدِ اللَّهِ (ع) قَالَ إِنَّ اللَّهَ تَبَارَکَ وَ تَعَالَى خَلَقَ الدُّنْیَا فِی سِتَّةِ أَیَّامٍ ثُمَّ اخْتَزَلَهَا عَنْ أَیَّامِ السَّنَةِ وَ السَّنَةُ ثَلَاثُمِائَةٍ وَ أَرْبَعٌ وَ خَمْسُونَ یَوْماً شَعْبَانُ لَا یَتِمُ أَبَداً رَمَضَانُ لَا یَنْقُصُ وَ اللَّهِ أَبَداً وَ لَا تَکُونُ فَرِیضَةٌ نَاقِصَةً."
[vi]. Hasan bin Yusuf bin Muthahhar Hilli, Mukhtalaf al-Syiah fî Ahkâm al-Syari’ah, jil. 3, hal. 501, Muasasasah Nasyr Islami, Jami’ah al-Mudarrisin, Cetakan Kedua, Qum, 1413 H.
[vii]. Muhammad bin Muhammad bin Nu’man Mufid, al-Radd ‘ala Ashâb al-‘Adad, Jawabat Ahli al-Maushil, hal. 20, al-Mu’tamar al-‘Âlami lî Alfiyah al-Syaikh al-Mufid, Seminar Internasional Syaikh Mufid, Qum, Cetakan Pertama, 1413 H.
[viii]. Mukhtalaf al-Syi’ah fî Ahkâm al-Syari’ah, jil. 3, hal. 501.