Please Wait
Hits
38635
38635
Tanggal Dimuat:
2013/12/05
Ringkasan Pertanyaan
Mengapa muncul aliran-aliran filsafat? Apa saja aliran filsafat Islam itu?
Pertanyaan
Mengapa muncul aliran-aliran filsafat? Apa saja aliran filsafat Islam itu?
Jawaban Global
Sebab munculnya aliran-aliran filsafat adalah lantaran perbedaan pandangan para filosof terkait dengan definisi filsafat yang berbuntut pada perbedaan beberapa prinsip sehingga menyebabkan berdirinya beberapa aliran filsafat.
Secara teori, aliran-aliran filsafat dalam peradaban Islam terdiri dari dua yaitu Peripatetik (Massyâ) dan Iluminasionis (Isyrâq). Sumber dua aliran ini pada dasarnya berasal dari Yunani kuno. Aliran atau metode pemikiran Aristoteles yang merupakan metode rasional yang apik dan teratur disebut sebagai metode Peripatetik sementara metode pemikiran Plato yang merupakans sebuah metode inspirasional disebut sebagai metode Iluminasionis. Metode iluminasionis ini berakar pada peradaban Yunani yang dapat ditelusuri hingga filosof Yunani yaitu Phytagoras.
Setelah buku al-Syifâ karya Ibnu Sina dan secara umum filsafat Sinaian, salah satu literatur terpenting filsafat adalah buku al-Asfar al-Arba’ah karya Mulla Sadra. Setelah tersebarnya filsafat Mulla Sadra, kebanyakan filosof kontemporer adalah pengikut filsafat Mulla Sadra. Buku-buku yang banyak tersebar setelahnya berisikan uraian dan pemaparan yang berdasarkan pada paradigma pemikiran Sadrian dan dewasa ini aliran filsafat yang tersebar adalah aliran filsafat Hikmah Mut’aliyah (Filsafat Hikmah) Mulla Sadra.
Secara teori, aliran-aliran filsafat dalam peradaban Islam terdiri dari dua yaitu Peripatetik (Massyâ) dan Iluminasionis (Isyrâq). Sumber dua aliran ini pada dasarnya berasal dari Yunani kuno. Aliran atau metode pemikiran Aristoteles yang merupakan metode rasional yang apik dan teratur disebut sebagai metode Peripatetik sementara metode pemikiran Plato yang merupakans sebuah metode inspirasional disebut sebagai metode Iluminasionis. Metode iluminasionis ini berakar pada peradaban Yunani yang dapat ditelusuri hingga filosof Yunani yaitu Phytagoras.
Setelah buku al-Syifâ karya Ibnu Sina dan secara umum filsafat Sinaian, salah satu literatur terpenting filsafat adalah buku al-Asfar al-Arba’ah karya Mulla Sadra. Setelah tersebarnya filsafat Mulla Sadra, kebanyakan filosof kontemporer adalah pengikut filsafat Mulla Sadra. Buku-buku yang banyak tersebar setelahnya berisikan uraian dan pemaparan yang berdasarkan pada paradigma pemikiran Sadrian dan dewasa ini aliran filsafat yang tersebar adalah aliran filsafat Hikmah Mut’aliyah (Filsafat Hikmah) Mulla Sadra.
Jawaban Detil
Untuk menjawab mengapa banyak aliran filsafat yang muncul, pertama-tama harus diperhatikan pandangan para filosof terkait dengan apa itu filsafat yang menyebabkan munculnya perbedaan dalam prinsip-prinsip dan sebagai hasilnya lahirnya banyak aliran filsafat.
Pada peradaban Yunani Kuno setiap aliran memiliki definisi tersendiri terkait dengan filsafat. Bahkan Plato yang berpandangan Iluminasionis, memiliki definisi yang berbeda dengan gurunya Sokrates atau dengan muridnya Aristoteles.
Ragam definisi ini disertai dengan prinsip-prinsip filosofis aliran-aliran Yunaninya telah memasuki peradaban Islam memberi pengaruh pada munculnya aliran-aliran filsafat dalam Islam.
Definisi filsafat yang disebutkan sebagai ilmu yang membahas tentang esensi, sifat, hukum-hukum dan kondisi-kondisi universal wujud sebagaimana adanya ia (yang dilakukan) sesuai dengan kemampuan manusia”[1] merupakan definisi Peripatitek terkait dengan filsafat.[2]
Demikian juga definisi filsafat sebagai ilmu yang memunculkan perubahan dalam diri manusia yang secara perlahan memasuki alam akal dan mirip dengan alam luaran. Definisi ini dapat disaksikan pada tuturan-tuturan Farabi dan Mulla Sadra.[3] Definisi filsafat ini sepertinya merupakan definisi yang diadopsi dari aliran Phytagoranisme atau aliran etika Stoikisme yang berdasarkan pada definisi tersebut tujuan filsafat adalah penyempurnaan jiwa pada sisi ilmu dan amal.
Akan tetapi amal yang menjadi obyek perhatian filosof Ilahi adalah penyucian jiwa yang merupakan tujuan pertama filsafat yaitu mengetahui realitas-realitas seluruh entitas dan setelah beramal sesuai dengan ilmu sehingga dengan demikian wajarlah filsafat terdiri menjadi dua bagian. Bagian teori dan bagian praktis yang tentu saja bagian praktis filsafat tujuan utamanya adalah melahirkan sebuah sistem sipil yang dapat menata masyarakat dengan baik dan benar, kemudian bagian teorinya, dapat meraih sukses pada peradaban filsafat Islam.[4]
Namun filosof Islam kurang menaruh perhatian pada sisi-sisi filsafat praktis Yunani dan yang menjadi obyek perhatian kaum Muslimin pada filsafat praktis Yunani adalah hal-hal umum yang berkaitan dengan dasar-dasar etika praktis; karena hukum-hukum fikih Islam dan akhlak-akhlak praktisnya telah mencukupi bagi kaum Muslimin.
Dari sudut pandang teori aliran-aliran filsafat dalam peradaban Islam terdiri dari dua yaitu Peripatetik (Massyâ) dan Iluminasionis (Isyrâq). Sumber dua aliran ini pada dasarnya berasal dari Yunani kuno.[5] Aliran atau metode pemikiran Aristoteles yang merupakan metode rasional yang apik dan teratur disebut sebagai metode Peripatetik sementara metode pemikiran Plato yang merupakans sebuah metode inspirasional disebut sebagai metode Iluminasionis. Metode iluminasionis ini berakar pada peradaban Yunani yang dapat ditelusuri hingga filosof Yunani yaitu Phytagoras.[6]
Ibnu Sina menjadikan aliran filsafat Aristoteles[7] sebagai metode dasar filsafatnya sementara Suhrawardi menjatuhkan pilihan pada sistem filosofis Plato.[8] Namun hal ini secara mutlak tidak sepenuhnya tepat karena tiada satu pun filosof dalam peradaban filsafat Islam yang Peripatetik murni dan Iluminasionis murni.[9]
Dengan mengkaji literatur-literatur filsafat Islam kita sampai pada kesimpulan bahwa filsafat Islam dalam pembahasan teologis tidak terlalu berkukuh menetapkan batasan dan cakupan aliran-aliran. Secara prinsip hal ini bukan menjadi tujuan mereka belajar filsafat.
Tujuan yang mereka ingin capai dalam filsafat Ilahi dan urusan-urusan metafisikal adalah melahirkan sebuah sistem sipil yang tepat berdasarkan ilmu dan amal. Dengan merealisasikan tujuan ini sistem pemikiran Aristotelian dapat diwujudkan dan juga sistem pemikiran Platonian serta gabungan dari kedua metode pemikiran ini.
Atas dasar itu, Farabi berusaha menggabungkan pendapat-pendapat Aristoteles dan Plato dan pada dasarnya pandangan ini (menggabungkan dua pandangan filsafat) adalah pandangan Farabi sendiri yang ingin mendamaikan pemikiran-pemikiran Peripatetik dan Iluminasionis, murid aliran ini, Ibnu Sina kurang lebihnya melakukan hal ini.
Qasidah ‘Ainiyyah karya Ibnu Sina sepenuhnya bercorak neo-Platonisme dan pada al-Isyarât wa al-Tanbihât dalam dua pertiga namath, Ibnu Sina mengemukakan pembahasan-pembahasan dengan menggunakan metode Peripatetik-Iluminasionis.
Syaikh Maqtul Syihabuddin Suhrawardi (Syaikh al-Isyraq),[10] yang merupakan filosof yang menghidupkan filsafat Iluminasi Iran-Yunani, berkata bahwa untuk menyempurnakan jiwa pada sisi ilmu dan amal maka setiap orang harus menguasai prinsip-prisip filsafat teoritis Peripatetik dan juga pada tataran amal harus beramal sesuai dengan spirit filsafat Iluminasionis.
Pasca Ibnu Sina, kita dapat mengecualikan Khaja NasiruddinThusi dan Ibnu Rusyd al-Andalusi di sini dan selainnya kita hitung sebagai aliran eklektik atau gabungan yang pada dasarnya berhubungan dengan abad ketiga, keempat dan awal-awal abad kelima. Aliran terpenting dari aliran eklektik ini adalah aliran Ikhwan al-Shafa dan Khillan al-Wafa serta pada masa yang sama aliran filsafat Ismailiyyah yang berdasarkan pandangan-pandangan khusus Abu Hatim al-Razi dan Hamiduddin Kermani.[11]
Dalam aliran Ikhwan al-Shafa seluruh mazhab diterima dan seluruh peradaban dimanfaatkan. Dengan bersandar pada ayat-ayat al-Quran dan riwayat, mereka melahirkan aliran gabungan yang bisa jadi merupakan sebuah aliran toleran. Adapun aliran filsafat Ismailiyah yang didirikan oleh Abu Hatim al-Rai dan Hamiduddin Kermani sejatinya tidak bertujuan demikian dan melanjutkan aliran ini yang berpindah ke dinasti Ayyubi dan menarik puluhan filosof lainya seperti Suhrawardi.
Aliran-aliran ini di samping aliran teologi filsafat Hasani Zaidi yang merupakan pemikir mazhab Zaidiyah yang sezaman dengan Hamiddudin Kermani, melotarkan pemikiran baru dimana segala sesuatu dapat ditafsirkankan dan ditakwil.
Beranjak dari situ, aliran lainnya berdiri yang mengedepankan zuhud, tasawuf dan ketakwaan oleh Hasan Basri dan Rabi’ah al-Adawiyyah yang kemudian disusul oleh Abdurrahman al-Sulami, Junaid al-Baghdadi, Hallaj yang diteruskan oleh Muhyiddin Ibnu Arabi dan Ibnu Faridh. Muhyiddin Ibnu Arabi menyempurnakan langkah pendahulunya dan khususnya ia menilai dirinya sebagai pembawa berita gembira agama Muhammad. Aliran Ibnu Arabi tidak ada yang menandinginya dari sisi keluasan pengaruhnya pada masa itu dan setelahnya tiada satu pun aliran irfan yang dapat menyainginnya.
Apa yang telah disampaikan di atas merupakan ringkasan dari aliran-aliran dan pandangan-pandangan filsafat yang membangung fondasi pemikiran sosok yang bernama Shadruddin Syirazi yang lebih dikenal sebagai Mulla Sadra. Setelah buku al-Syifa karya Ibnu Sina dan secara umum filsafat Sinaian, salah satu literatur terpenting filsafat adalah buku al-Asfar al-Arba’ah karya Mulla Sadra yang pada masanya orang-orang tidak begitu dapat memahami pentingnya filsafat yang dibangun oleh Mulla Sadra.
Apa yang pasti adalah bahwa buku al-Asfar ini telah dikenal dengan baik semenjak masa dinasti Qajar dan ulama telah mengakui signifikansinya. Pada masa itu dan masa-masa setelahnya sangat sedikit ulama yang membahas, menelaah dan mengajarkan karya magnum opus Mulla Sadra ini. Salah satu sebabnya adalah sangat sukar memahami pandangan-pandangan penulisnya dan sebab lainya adalah bahwa buku al-Asfar bukanlah buku filsafat biasa.
Terdapat beberapa alasan terkait sebab penamaan buku al-Asfar al-Arba’ah ini sebagai Hikmah Muta’aliyah. Sebagian meyakini bahwa Mulla Sadra menyebut filsafatnya sebagai Hikmah Muta’aliyah karena berbicara dengan bahasa yang lebih tinggi dari filsafat biasa Peripatetik dan Iluminasionis.[12]
Mulla Sadra berbeda dengan filosof lainya menjadikan fokus filsafatnya pada entitas (qua entitas) dan memandang bahwa yang hakiki adalah entitas (wujud) bukan kuiditas (mâhiyyah). Ia memecahkan banyak persoalan filsafat Ilahi dengan pandangan tipikalnya dalam bab kehakikian wujud (ashâlat al-wujud) dan kesatuan wujud (wahdat al-wujud). Dalam pandangan Mulla Sadra segala sesuatu memiliki gradasi wujud; nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan Tuhan merupakan bagian dari gradasi wujud.
Sebagian lainnya berdasarkan inklusifitas filsafat Mulla Sadra menjelaskan mengapa disebut muta’âliyah karena merupakan gabungan antara Peripatetik dan Iluminasi, ayat-ayat dan riwayat-riwayat. Nampak jelas filsafat Mulla Sadra merupakan gabungan antara hikmah dzauqi (iluminasi), aqli (rasional), irfan, ayat-ayat dan riwayat-riwayat. Dengan demikian, sebagian memandangnya sebagai filosof eklektik sementara pada kenyataannya tidak demikian.
Mulla Sadra mengambil manfaat dari hikmah dzauqi dari cabang Yunaninya yaitu pemikiran-pemikiran Plato, Phytagoras, Stoikisme dan juga dari pemikiran-pemikiran baru neo-Plato dan neo-Stoikisme demikian juga cabang-cabangnya di Iran yaitu dari pemikiran-pemikiran Syihabuddin Suhrawardi.
Dari sisi lain, juga ia mengeksplorasi pemikiran-pemikiran Aristoteles pendiri aliran filsafat Peripatetik dan para pengikutnya di Yunani serta pada peradaban Islam yaitu pewaris utama filsafat Peripatetik, Farabi dan Ibnu Sina. Demikian juga dari tuturan-tuturan para arif besar seperti Hallaj, Bayazid, Muhyiddin dan yang lainnya serta menaruh perhatian ekstra pada ayat-ayat al-Quran dan riwayat.
Setelah mengutip pemikiran-pemikiran besar filosof dan arif serta teolog hal itu tidak bermakna bahwa filsafat Mulla Sadra adalah filsafat eklektik. Tidak demikian. Lantaran Mulla Sadra pada setiap pembahasan ia terlebih dahulu menyampaikan pandangan-pandangannya kemudian mengutip dan mengkritisi atau terkadang menyokong pandangan pemikir lainnya di samping itu menggunakan ayat-ayat dan riwayat-riwayat untuk mendukung pendapatnya.
Setelah tersebarnya filsafat Mulla Sadra, kebanyakan filosof kontemporer adalah pengikut filsafat Mulla Sadra. Buku-buku yang banyak tersebar setelahnya berisikan uraian dan pemaparan yang berdasarkan pada paradigma pemikirannya. Dewasa ini aliran filsafat yang tersebar di dunia Islam adalah aliran filsafat Hikmah Mut’aliyah Mulla Sadra. [iQuest]
Pada peradaban Yunani Kuno setiap aliran memiliki definisi tersendiri terkait dengan filsafat. Bahkan Plato yang berpandangan Iluminasionis, memiliki definisi yang berbeda dengan gurunya Sokrates atau dengan muridnya Aristoteles.
Ragam definisi ini disertai dengan prinsip-prinsip filosofis aliran-aliran Yunaninya telah memasuki peradaban Islam memberi pengaruh pada munculnya aliran-aliran filsafat dalam Islam.
Definisi filsafat yang disebutkan sebagai ilmu yang membahas tentang esensi, sifat, hukum-hukum dan kondisi-kondisi universal wujud sebagaimana adanya ia (yang dilakukan) sesuai dengan kemampuan manusia”[1] merupakan definisi Peripatitek terkait dengan filsafat.[2]
Demikian juga definisi filsafat sebagai ilmu yang memunculkan perubahan dalam diri manusia yang secara perlahan memasuki alam akal dan mirip dengan alam luaran. Definisi ini dapat disaksikan pada tuturan-tuturan Farabi dan Mulla Sadra.[3] Definisi filsafat ini sepertinya merupakan definisi yang diadopsi dari aliran Phytagoranisme atau aliran etika Stoikisme yang berdasarkan pada definisi tersebut tujuan filsafat adalah penyempurnaan jiwa pada sisi ilmu dan amal.
Akan tetapi amal yang menjadi obyek perhatian filosof Ilahi adalah penyucian jiwa yang merupakan tujuan pertama filsafat yaitu mengetahui realitas-realitas seluruh entitas dan setelah beramal sesuai dengan ilmu sehingga dengan demikian wajarlah filsafat terdiri menjadi dua bagian. Bagian teori dan bagian praktis yang tentu saja bagian praktis filsafat tujuan utamanya adalah melahirkan sebuah sistem sipil yang dapat menata masyarakat dengan baik dan benar, kemudian bagian teorinya, dapat meraih sukses pada peradaban filsafat Islam.[4]
Namun filosof Islam kurang menaruh perhatian pada sisi-sisi filsafat praktis Yunani dan yang menjadi obyek perhatian kaum Muslimin pada filsafat praktis Yunani adalah hal-hal umum yang berkaitan dengan dasar-dasar etika praktis; karena hukum-hukum fikih Islam dan akhlak-akhlak praktisnya telah mencukupi bagi kaum Muslimin.
Dari sudut pandang teori aliran-aliran filsafat dalam peradaban Islam terdiri dari dua yaitu Peripatetik (Massyâ) dan Iluminasionis (Isyrâq). Sumber dua aliran ini pada dasarnya berasal dari Yunani kuno.[5] Aliran atau metode pemikiran Aristoteles yang merupakan metode rasional yang apik dan teratur disebut sebagai metode Peripatetik sementara metode pemikiran Plato yang merupakans sebuah metode inspirasional disebut sebagai metode Iluminasionis. Metode iluminasionis ini berakar pada peradaban Yunani yang dapat ditelusuri hingga filosof Yunani yaitu Phytagoras.[6]
Ibnu Sina menjadikan aliran filsafat Aristoteles[7] sebagai metode dasar filsafatnya sementara Suhrawardi menjatuhkan pilihan pada sistem filosofis Plato.[8] Namun hal ini secara mutlak tidak sepenuhnya tepat karena tiada satu pun filosof dalam peradaban filsafat Islam yang Peripatetik murni dan Iluminasionis murni.[9]
Dengan mengkaji literatur-literatur filsafat Islam kita sampai pada kesimpulan bahwa filsafat Islam dalam pembahasan teologis tidak terlalu berkukuh menetapkan batasan dan cakupan aliran-aliran. Secara prinsip hal ini bukan menjadi tujuan mereka belajar filsafat.
Tujuan yang mereka ingin capai dalam filsafat Ilahi dan urusan-urusan metafisikal adalah melahirkan sebuah sistem sipil yang tepat berdasarkan ilmu dan amal. Dengan merealisasikan tujuan ini sistem pemikiran Aristotelian dapat diwujudkan dan juga sistem pemikiran Platonian serta gabungan dari kedua metode pemikiran ini.
Atas dasar itu, Farabi berusaha menggabungkan pendapat-pendapat Aristoteles dan Plato dan pada dasarnya pandangan ini (menggabungkan dua pandangan filsafat) adalah pandangan Farabi sendiri yang ingin mendamaikan pemikiran-pemikiran Peripatetik dan Iluminasionis, murid aliran ini, Ibnu Sina kurang lebihnya melakukan hal ini.
Qasidah ‘Ainiyyah karya Ibnu Sina sepenuhnya bercorak neo-Platonisme dan pada al-Isyarât wa al-Tanbihât dalam dua pertiga namath, Ibnu Sina mengemukakan pembahasan-pembahasan dengan menggunakan metode Peripatetik-Iluminasionis.
Syaikh Maqtul Syihabuddin Suhrawardi (Syaikh al-Isyraq),[10] yang merupakan filosof yang menghidupkan filsafat Iluminasi Iran-Yunani, berkata bahwa untuk menyempurnakan jiwa pada sisi ilmu dan amal maka setiap orang harus menguasai prinsip-prisip filsafat teoritis Peripatetik dan juga pada tataran amal harus beramal sesuai dengan spirit filsafat Iluminasionis.
Pasca Ibnu Sina, kita dapat mengecualikan Khaja NasiruddinThusi dan Ibnu Rusyd al-Andalusi di sini dan selainnya kita hitung sebagai aliran eklektik atau gabungan yang pada dasarnya berhubungan dengan abad ketiga, keempat dan awal-awal abad kelima. Aliran terpenting dari aliran eklektik ini adalah aliran Ikhwan al-Shafa dan Khillan al-Wafa serta pada masa yang sama aliran filsafat Ismailiyyah yang berdasarkan pandangan-pandangan khusus Abu Hatim al-Razi dan Hamiduddin Kermani.[11]
Dalam aliran Ikhwan al-Shafa seluruh mazhab diterima dan seluruh peradaban dimanfaatkan. Dengan bersandar pada ayat-ayat al-Quran dan riwayat, mereka melahirkan aliran gabungan yang bisa jadi merupakan sebuah aliran toleran. Adapun aliran filsafat Ismailiyah yang didirikan oleh Abu Hatim al-Rai dan Hamiduddin Kermani sejatinya tidak bertujuan demikian dan melanjutkan aliran ini yang berpindah ke dinasti Ayyubi dan menarik puluhan filosof lainya seperti Suhrawardi.
Aliran-aliran ini di samping aliran teologi filsafat Hasani Zaidi yang merupakan pemikir mazhab Zaidiyah yang sezaman dengan Hamiddudin Kermani, melotarkan pemikiran baru dimana segala sesuatu dapat ditafsirkankan dan ditakwil.
Beranjak dari situ, aliran lainnya berdiri yang mengedepankan zuhud, tasawuf dan ketakwaan oleh Hasan Basri dan Rabi’ah al-Adawiyyah yang kemudian disusul oleh Abdurrahman al-Sulami, Junaid al-Baghdadi, Hallaj yang diteruskan oleh Muhyiddin Ibnu Arabi dan Ibnu Faridh. Muhyiddin Ibnu Arabi menyempurnakan langkah pendahulunya dan khususnya ia menilai dirinya sebagai pembawa berita gembira agama Muhammad. Aliran Ibnu Arabi tidak ada yang menandinginya dari sisi keluasan pengaruhnya pada masa itu dan setelahnya tiada satu pun aliran irfan yang dapat menyainginnya.
Apa yang telah disampaikan di atas merupakan ringkasan dari aliran-aliran dan pandangan-pandangan filsafat yang membangung fondasi pemikiran sosok yang bernama Shadruddin Syirazi yang lebih dikenal sebagai Mulla Sadra. Setelah buku al-Syifa karya Ibnu Sina dan secara umum filsafat Sinaian, salah satu literatur terpenting filsafat adalah buku al-Asfar al-Arba’ah karya Mulla Sadra yang pada masanya orang-orang tidak begitu dapat memahami pentingnya filsafat yang dibangun oleh Mulla Sadra.
Apa yang pasti adalah bahwa buku al-Asfar ini telah dikenal dengan baik semenjak masa dinasti Qajar dan ulama telah mengakui signifikansinya. Pada masa itu dan masa-masa setelahnya sangat sedikit ulama yang membahas, menelaah dan mengajarkan karya magnum opus Mulla Sadra ini. Salah satu sebabnya adalah sangat sukar memahami pandangan-pandangan penulisnya dan sebab lainya adalah bahwa buku al-Asfar bukanlah buku filsafat biasa.
Terdapat beberapa alasan terkait sebab penamaan buku al-Asfar al-Arba’ah ini sebagai Hikmah Muta’aliyah. Sebagian meyakini bahwa Mulla Sadra menyebut filsafatnya sebagai Hikmah Muta’aliyah karena berbicara dengan bahasa yang lebih tinggi dari filsafat biasa Peripatetik dan Iluminasionis.[12]
Mulla Sadra berbeda dengan filosof lainya menjadikan fokus filsafatnya pada entitas (qua entitas) dan memandang bahwa yang hakiki adalah entitas (wujud) bukan kuiditas (mâhiyyah). Ia memecahkan banyak persoalan filsafat Ilahi dengan pandangan tipikalnya dalam bab kehakikian wujud (ashâlat al-wujud) dan kesatuan wujud (wahdat al-wujud). Dalam pandangan Mulla Sadra segala sesuatu memiliki gradasi wujud; nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan Tuhan merupakan bagian dari gradasi wujud.
Sebagian lainnya berdasarkan inklusifitas filsafat Mulla Sadra menjelaskan mengapa disebut muta’âliyah karena merupakan gabungan antara Peripatetik dan Iluminasi, ayat-ayat dan riwayat-riwayat. Nampak jelas filsafat Mulla Sadra merupakan gabungan antara hikmah dzauqi (iluminasi), aqli (rasional), irfan, ayat-ayat dan riwayat-riwayat. Dengan demikian, sebagian memandangnya sebagai filosof eklektik sementara pada kenyataannya tidak demikian.
Mulla Sadra mengambil manfaat dari hikmah dzauqi dari cabang Yunaninya yaitu pemikiran-pemikiran Plato, Phytagoras, Stoikisme dan juga dari pemikiran-pemikiran baru neo-Plato dan neo-Stoikisme demikian juga cabang-cabangnya di Iran yaitu dari pemikiran-pemikiran Syihabuddin Suhrawardi.
Dari sisi lain, juga ia mengeksplorasi pemikiran-pemikiran Aristoteles pendiri aliran filsafat Peripatetik dan para pengikutnya di Yunani serta pada peradaban Islam yaitu pewaris utama filsafat Peripatetik, Farabi dan Ibnu Sina. Demikian juga dari tuturan-tuturan para arif besar seperti Hallaj, Bayazid, Muhyiddin dan yang lainnya serta menaruh perhatian ekstra pada ayat-ayat al-Quran dan riwayat.
Setelah mengutip pemikiran-pemikiran besar filosof dan arif serta teolog hal itu tidak bermakna bahwa filsafat Mulla Sadra adalah filsafat eklektik. Tidak demikian. Lantaran Mulla Sadra pada setiap pembahasan ia terlebih dahulu menyampaikan pandangan-pandangannya kemudian mengutip dan mengkritisi atau terkadang menyokong pandangan pemikir lainnya di samping itu menggunakan ayat-ayat dan riwayat-riwayat untuk mendukung pendapatnya.
Setelah tersebarnya filsafat Mulla Sadra, kebanyakan filosof kontemporer adalah pengikut filsafat Mulla Sadra. Buku-buku yang banyak tersebar setelahnya berisikan uraian dan pemaparan yang berdasarkan pada paradigma pemikirannya. Dewasa ini aliran filsafat yang tersebar di dunia Islam adalah aliran filsafat Hikmah Mut’aliyah Mulla Sadra. [iQuest]
[1]. Maula Abdullah bin Syihabuddin al-Husain Yazdi, al-Hâsyiah ‘ala Tahdzib al-Mantiq, hal. 392, Muassasah al-Nasyr al-Islami, Qum, Cetakan Kedua, 1412 H; Sayid Ja’far Sajjadi, Farhangg Ishtilâhat Falsafi Mulla Sadrâ, hal. 103, Wizarat Farhang wa Irsyad Islami, Teheran, Cetakan Pertama, 1379 S.
[2]. Farhangg Ishtilâhat Falsafi Mulla Sadrâ,hal. 6.
[3]. Ibid. Silahkan lihat, Abu Nasir Farabi, Abu Nasir Gazani Sayid Ismail, Fushush al-Hikmah wa Syarhuhu, Pendahuluan dan riset oleh Ali Aujabi, hal. 129, Anjuman Atsar Mafakhir Farhanggi, Teheran, Cetakan Pertama, 1381 S; Shadr al-Mut’allihin, al-Hâsyiah ‘ala al-Ilahiyyah al-Syifâ,hal. 5, Intisyarat Bidar, Qum, Tanpa Tanpa; Shadr al-Muta’allihin, al-Hikmah al-Muta’âliyah fi al-Asfar al-‘Aqliyah al-Arba’ah, jil. 2, hal. 34, Dar Ihya al-Turats, Beirut, Tahun Ketiga, 1981 M.
[4]. Farhangg Ishtilâhat Falsafi Mulla Sadrâ, hal. 6.
[5]. Farhangg Ishtilâhat Falsafi Mulla Sadrâ, 6-7.
[6]. Ibid, hal. 7.
[7]. Mir Qiwamuddin Muhammad Razi Tehrani, Du Risâlah Falsafi ‘ain al-Hikmah wa Ta’liqât, edit dan annotasi oleh Ali Aujabi, Mukaddimah, hal. 16, Intisyarat Farhang wa Irsyad Islami, Teheran, 1378 S; Farhangg Ishtilâhat Falsafi Mulla Sadrâ, hal. 7.
[8]. Farhangg Ishtilâhat Falsafi Mulla Sadrâ, hal. 7.
[9]. Ibid.
[10]. Silahkan lihat, Syaikh Isyraq, Syiah atau Sunni, Pertanyaan 27003.
[11]. Farhangg Ishtilâhat Falsafi Mulla Sadrâ, 8-9.
[12]. Ibid., hal. 11.
Terjemahan dalam Bahasa Lain
Komentar