Please Wait
16153
Mengingat bahwa al-Qur’an adalah mukjizat abadi Rasulullah Saw dan firman Allah Mahabesar, karena itu al-Qur’an senantiasa mendapatkan penghormatan dan pengagungan dari kaum Muslimin semenjak awal kemunculan Islam.
Kaum Muslimin dengan mencermati ayat-ayat al-Qur’an dan anjuran-anjuran hadis Rasulullah Saw, bahkan sehubungan dengan model bacaan kitab samawi ini, mengamalkan adab-adab dan syarat-syarat tertentu yang tiada duanya dibandingkan dengan kitab-kitab agama lainya.
Adab membaca al-Qur’an ini dikenal dengan adab lahir membaca kitab samawi ini. Namun sesuai dengan riwayat, al-Qur’an mengandung lahir dan juga beberapa tingkatan batin, adab membaca al-Qur’an juga terbagi dalam beberapa adab lahir dan pada tingkatan selanjutnya terdapat adab batin. Hal ini adalah sebuah masalah yang disinggung dengan baik pada sebagian al-Qur’an dan riwayat-riwayat Rasulullah Saw serta para Imam Maksum As.
Mungkin kita dapat membagi adab membaca al-Qur’an menjadi adab lahir dan adab batin. Pada adab lahir terdapat sekumpulan pendahuluan dan syarat-syarat yang harus dijalankan yang telah dijelaskan pada gilirannya sendiri.
Adab batin al-Qur’an dapat diperoleh dengan memperhatikan ayat-ayat al-Qur’an sendiri dan sebagian riwayat. Al-Qur’an menganjurkan dalam beberapa ayat kepada orang-orang yang membaca al-Qur’an untuk membaca al-Qur’an dengan tartil dan pendalaman. Al-Qur’an menyatakan, “Dan bacalah al-Qur’an dengan tartil (perlahan, tenang, teratur dan dengan pendalaman).”[1] Pada ayat lainnya, al-Qur’an menyatakan, “Orang-orang yang telah Kami berikan al-Kitab kepada mereka, (lalu) mereka membacanya (baca: mempelajarinya) dengan sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya (nabi Islam). Dan barang siapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang merugi.”[2]
Kedua ayat ini, dengan memperhatikan beberapa riwayat dan hadis-hadis, di samping menyinggung tentang adab lahir membaca al-Qur’an dan juga tentang adab batin. Dalam sebuah hadis yang disebutkan sehubungan dengan ayat 121 surah al-Baqarah, Imam Shadiq As bersabda, “Orang-orang yang membaca al-Qur’an membacanya dengan sebenarnya adalah kami Ahlulbait.”[3]
Tentu saja, Imam Shadiq As menjelaskan tentang obyek ril dan faktual orang-orang yang membaca al-Qur’an dan boleh jadi terdapat banyak orang beriman yang dengan menjalankan adab-adab lahir dan batin membaca al-Qur’an sampai pada derajat para pembaca sejati al-Qu’an. Karena itu dalam menjelaskan ayat “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka merenungkan ayat-ayatnya”[4] Imam Shadiq As bersabda, “Yang dimaksud supaya mereka merenungkan ayat-ayatnya adalah bacalah dengan seksama, pahamilah hakikat-hakikatnya, beramallah dengan hukum-hukumnya, berharaplah pada janji-janjinya, cemaslah dengan ancaman-ancamannya, ambillah pelajaran dari kisah-kisahnya, dan patuhilah perintah-perintah serta jauhilah larangan-laranganya, maka demi Allah yang dimaksud bukanlah menghafal ayat dan membaca huruf-huruf dan surah-surah, karena terdapat orang-orang yang menghafal huruf-huruf al-Qur’an namun mereka melanggar batasan-batasannya. Maksud dari ayat ini adalah berpikirlah pada ayat-ayat al-Qur’an dan beramallah dengan hukum-hukumnya sebagaimana Allah Swt berfirman, ““Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka merenungkan ayat-ayatnya”[5] Karena itu, dengan memperhatikan hadis penuh cahaya ini kita dapat menyebutkan adab-adab batin membaca al-Qur’an sebagaimana berikut ini:
- Tatkala tiba pada sebuah ayat yang mengandung janji maka berharaplah supaya kita juga dapat meraih janji tersebut dan manakala tiba pada ayat yang mengandung ancaman maka cemaslah jangan-jangan kita tergelincir dan termasuk dari orang-orang yang diancam oleh ayat tersebut. Karena itu, bilamana kita sampai pada ayat-ayat surga atau neraka, maka hendaknya kita berhenti sejenak dan memohon kepada Allah Swt untuk dianugerahkan surga dan berlindung kepada Allah Swt dari azab neraka.[6] Imam Ali As, sehubungan dengan karakter dan tipologi orang-orang beriman, bersabda, “Namun pada malam hari mereka bangun membaca al-Qur’an dengan adab-adabnya yang khusus. Tatkala sampai pada sebuah ayat yang memotivasi maka mereka menambatkan hatinya semoga dapat sampai padanya sedemikian gembira sehingga laksana seseorang terkasih yang akan datang kepadanya. Namun tatkala sampai pada ayat yang mencemaskan dan menakutkan mereka mencermatinya dengan penuh perhatian. Kulit badan mereka bergetar, hati mereka takut, dan badan mereka berguncang. Seolah neraka dan suara gemuruhnya dan benturan rantai-rantai api terdengar di telinga mereka terjatuh dan air mata mereka berlinangan, berlindung kepada Allah Swt untuk memperoleh keselamatan (dari azab ini).[7]
- Di antara adab-adab batin membaca al-Qur’an adalah memahami al-Qur’an, memikirkan ayat-ayatnya, mengetahui dan mengamalkan hukum-hukum Ilahi. Imam Shadiq As meriwayatkan dari Amirul Mukminin Ali As yang bersabda, “Ketauhilah membaca yang tidak terdapat tadabbur di dalamnya sama sekali tidak memberikan manfaat.”[8]
- Mencamkan bahwa al-Qur’an bukanlah kalam manusia dan mengagungkan Sang Pencipta; karena mengagungkan kalam bermakna mengagungkan mutakallim-nya (pembicaranya).
- Di antara adab-adab batin membaca al-Qur’an adalah tahliyah. Tahliyah artinya ia menyesuaikan dirinya dengan setiap ayat yang dibacanya. Apabila ia membaca kisah-kisah para nabi ia mengambil pelajaran darinya. Apabila ia membaca nama-nama dan sifat-sifat Ilahi maka ia akan mencermati pada obyek-obyek nama-nama dan sifat-sifat tersebut.[9]
- Takhliyah merupakan salah satu adab-adab batin membaca al-Qur’an bagi mereka yang ingin mempelajari al-Qur’an. Orang yang ingin merujuk pada al-Qur’an maka ia harus mengosongkan dirinya dari segala prajudis dan debu kesamaran pikiran sehingga tidak menyisakan pengaruh dalam pemahamannya terhadap al-Qur’an.[10]
- Di antara adab-adab batin membaca al-Qur’an adalah menyingkirkan sifat-sifat yang tidak terpuji khususnya sombong, riya (suka pamer),[11] hasud dan tamak karena selama manusia terkontaminasi dengan noda-noda ini maka makna kalam Ilahi tidak akan pernah memanifestasi (tajalli) dalam dirinya.
- Di antara adab-adab batin yang terunggul dalam membaca al-Qur’an adalah kesucian jiwa dan spiritual. Selama manusia belum lagi suci maka al-Qur’an tidak akan menunjukkan hakikatnya kepada manusia karena al-Qur’an sendiri menandaskan, “La yamussuhu illa al-mutahharun”[12] (Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang telah disucikan).
- Di antara adab-adab batin membaca al-Qur’an adalah bahwa pembaca memandang al-Qur’an bukan sebagai teks melainkan sebuah resep yang menyembuhkan dan harus berharap demikian. Dalam riwayat disebutkan bahwa orang-orang yang memandang dengan pandangan ini terhadap al-Qur’an dan berharap obat dari penyakit-penyakitnya maka Allah Swt berkat harapan para pembaca al-Qur’an seperti ini akan memberikan kesembuhan kepada mereka dari al-Qur’an, menjauhkan musibah dan musuh-musuh dari masyarakat serta mengucurkan hujan rahmat-Nya kepada mereka.[13] [iQuest]
[1]. (Qs. Al-Muzammil [73]:4)
وَ رَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتيلاً
[2]. (Qs. Al-Baqarah [2]:121)
اَلَّذِيْنَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُوْنَهُ حَقَّ تِلاَوَتِهِ أُولَئِكَ يُؤْمِنُوْنَ بِهِ وَ مَنْ يَكْفُرْ بِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُوْنَ
[3]. Muhammad Ya’qub Kulaini, al-Kâfi, jil.1, hal. 215, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1365 S.
[4]. (Qs. Shad [38]:29)
كِتابٌ أَنْزَلْناهُ إِلَيْكَ مُبارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آياتِهِ وَ لِيَتَذَكَّرَ أُولُوا الْأَلْبابِ
[5]. Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 1, hal. 432, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran 1374 S.
[6]. Muhammad Masyhadi, Tafsir Kanz al-Daqâiq wa Bahr al-Gharâib, jil 2, hal. 132, Sazeman Intisyarat Wizarat Irsyad, Teheran, 1368 S.
[7]. Nahj al-Balâghah, Subhi Shalih, hal. 304.
[8]. Al-Kâfi, jil. 1, hal. 36.
[9]. Mulla Husain Kasyifi Sabzewari, Jawâhir al-Tasfir, hal. 270, Daftar Nasyr Mirats Maktub, Teheran, Tanpa Tahun.
[10] . Ibid, dengan sedikit perubahan
[11]. Muhammad bin Hasan, Hurr Amili, Wasâil al-Syiah, jil. 6, hal. 182, Ali al-Bait As, Qum, 1409 H.
إِنَّ مِنَ النَّاسِ مَنْ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ فُلَانٌ قَارِئٌ وَ مِنْهُمْ مَنْ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ لِيَطْلُبَ بِهِ الدُّنْيَا وَ لَا خَيْرَ فِي ذَلِكَ وَ مِنْهُمْ مَنْ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ لِيَنْتَفِعَ بِهِ فِي صَلَاتِهِ وَ لَيْلِهِ وَ نَهَارِهِ .
[12]. (Qs. Al-Waqiah [56]:79)
[13]. Al-Kâfi, jil. 2, hal. 627.
وَ رَجُلٌ قَرَأَ الْقُرْآنَ فَوَضَعَ دَوَاءَ الْقُرْآنِ عَلَى دَاءِ قَلْبِهِ فَأَسْهَرَ بِهِ لَيْلَهُ وَ أَظْمَأَ بِهِ نَهَارَهُ وَ قَامَ بِهِ فِي مَسَاجِدِهِ وَ تَجَافَى بِهِ عَنْ فِرَاشِهِ فَبِأُولَئِكَ يَدْفَعُ اللَّهُ الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ الْبَلَاءَ وَ بِأُولَئِكَ يُدِيلُ اللَّهُ عَزَّ وَ جَلَّ مِنَ الْأَعْدَاءِ وَ بِأُولَئِكَ يُنَزِّلُ اللَّهُ عَزَّ وَ جَلَّ الْغَيْثَ مِنَ السَّمَاءِ فَوَ اللَّهِ لَهَؤُلَاءِ فِي قُرَّاءِ الْقُرْآنِ أَعَزُّ مِنَ الْكِبْرِيتِ الْأَحْمَرِ .