Please Wait
14724
Dalam ajaran Islam, karena masalah reinkarnasi meniscayakan pengingkaran terhadap ma’âd (hari Kiamat), kebangkitan, surga dan neraka, maka hal ini dianggap tertolak, Akan tetapi memahami kehadiran arwah dan melakukan sejenis interaksi dengan mereka, kendati tidak disarankan, namun merupakan sebuah persoalan yang masuk akal.
Demikian juga memanfaatkan anti radiasi sebagai sebuah faktor internal sebagai sebuah faktor asing yang tidak memiliki kaitan dengan perbaikan diri internal seseorang dan menghapus akar perkembangan fenomena seperti ini, pada dasarnya sama dengan menghindar dari akhir wajar sebuah proses tak benar dan melarikan diri dari konsekuesi penyimpangan dalam lintasan.
Masalah reinkarnasi dalam aliran Islam, dikarenakan meniscayakan pada pengingkaran terhadap surga, neraka dan kebangkitan, maka dikenal sebagai sebuah konsep yang tertolak.[1] Akan tetapi memahami kehadiran arwah dan melakukan sebuah bentuk interaksi dengan mereka, meskipun tidak disarankan, namun merupakan sebuah hal yang tidak mustahil
Kehadiran sebagian dari fenomena ruh dan ketiadaan pemahaman mereka dalam aliran-aliran pseudo irfan telah menyebabkan halusinasi reinkarnasi dimana mereka menyangka bahwa sebagian dari arwah terpaksa mereinkarnasi dalam wujud manusia-manusia lain: masalah ini (khayalan reinkarnasi) dibahas baik berkaitan dengan wujud Tuhan, arwah manusia maupun ruh-ruh asing dan setan.
Selain itu, pembahasan tajalli, kemunculan dan interaksi ruh dan selainnya yang diungkap dalam irfan, bukanlah reinkarnasi, dimana masalah ini harus dibahas di tempat tersendiri:
Reinkarnasi merupakan kendali ke arah kafir dan batil[2]
yang dihasilkan dari sebuah sumber yang sangat sempit ...
Reinkarnasi sama sekali tidak pernah bermakna
kemunculan sekaligus tajalli[3]
Kemungkinan interaksi dengan arwah, eksistensi-eksistensi gaib dan banyak dari fenomena-fenomena akal, ruh dan pengaruh-pengaruh yang dihasilkannya, sangat tidak terhitung banyaknya dan harus dianalisa pada tempatnya tersendiri. Namun yang jelas adalah: Sengaja berinteraksi dengan fenomena-fenomena ini dan menempatkan mereka sebagai tujuan irfan, merupakan hal yang sangat jauh, demikian juga menceburkan diri dalam masalah seperti ini, selain telah menyimpang dari tujuan asli, semakin hari juga akan semakin menambah masalah-masalah ruhani, terutama jika seseorang dalam lintasan ini tidak mempunyai pembimbing yang saleh atau seorang arif yang sempurna.
Istilah anti radiasi yang dinyatakan mampu membuat lapisan penjagaan dalam menghadapi pengaruh gelombang-gelombang negatif atau mengubur fenomena-fenomena negatif, dan biasanya dinyatakan sebagai sebuah bentuk perlawanan terhadap masalah-masalah ini bagi para murid, penderita atau yang meminta, sebenarnya bagi para pengklaimnya sendiri pun, eksistensinya masih tak jelas dan pada aplikasinya merupakan sebuah ketundukan yang didapatkan oleh sebagian individu yang kemudian ditransferkan kepada orang lain.
Dalam sepanjang pemindahan ini –yang kadangkala secara salah dinisbatkan sebagai ruhul kudus atau Tuhan- terdapat klaim bahwa fenomena-fenomena ini bisa menghambat pelbagai ketaknyamanan dan psikologi yang negatif, namun demikian, bisa jadi seseorang kembali akan diperhadapkan dengan problem-problem lainnya yang serupa.
Mengenai apakah ada kemungkinan bagi seseorang untuk tetap terjaga dalam menghadapi sebagian fenomena negatif ruh melalui faktor-faktor yang lain ataukah tidak, hal ini secara terpisah bisa dibahas dalam pembahasan irfan praktis dalam dimensi mental demonstrasif dan hal-hal mungkin yang mengikutinya.
Di sini terdapat dua poin yang perlu disebutkan: pertama: berdasarkan sebuah jalur sempurna, tak satupun fenomena positif atau negatif yang tanpa dalil, dan jika seseorang dengan dalil apapun, berhadapan dengan perolehan-perolehan ruh, masalah-masalah negatif dan sebagian kerusakannya, hal ini memiliki hubungan langsung dengan ketergantungan-ketergantungan dan penyimpangan-penyimpangan internal seseorang, dan kebetulan kewajiban utama irfan adalah membantu salik untuk menghilangkan ketergantungan-ketergantungan ini, karena itulah seorang guru yang sempurna, sebelum yakin terhadap tazkiyatun nafs dan meninggalkan segala ketergantungannya, tidak akan menghadapkan salik dengan masalah-masalah ruhani seperti ini, karena tidak ada satupun keuntungan bagi keadaannya bahkan bisa menyebabkan kerusakan pada ruhaninya atau akan mendorong seseorang mengarah pada penyimpangan-penyimpangan yang lebih mendalam dalam keluasan ruh.
Masalah seperti ini terjadi pada jalur tatkala tidak ada ruang untuk penyempurnaan yang serasi pada tempat tersebut; dan ruh, secara tak wajar, bahkan dalam sebuah proses terbalik, tanpa terlepas dari cengkeraman keburukan-keburukan jiwanya sendiri, akan terjebak dengan pengalaman-pengalaman supranatural yang tak perlu, dimana kebanyakan sumber yang memunculkannya adalah setan.
Poin kedua adalah: jika seseorang dengan dalil apapun tejebak dalam masalah seperti ini, tentunya ada kemungkinan untuk terlepas dari masalah ini melalui cara yang benar, dan dalam irfan tidak terdapat sebuah penjagaanpun kecuali meniscayakan kesempurnaan syariat, takwa dan masuk ke dalam hidayah dan wilayah Ilahi melalui Imam atau wali Allah Swt.
Oleh karena itulah, orang-orang yang bertakwa dan mereka yang berada di bawah didikan seorang arif yang sempurna, sama sekali tidak akan pernah terjebak dalam bahaya-bahaya ruhani dan psikologi seperti ini, dan mereka juga tidak akan pernah membutuhkan tameng anti radiasi.
Boleh dikatakan bahwa secara global, seluruh fenomena-fenomena tak diinginkan yang dihadapi oleh seseorang, pada dasarnya ada karena ajakannya sendiri. Bisa jadi seseorang tidak menginginkan secara tegas hal seperti ini, akan tetapi saat seseorang dengan jiwa tak nyata yang tidak memiliki sebuah tujuanpun kecuali memperoleh kekuasaan-kekuasaan supra-natural dan ambisi-ambisi personal, telah menempatkan dirinya dalam kendali kekuatan-kekuatan yang tak dikenal dan meragukan, pada dasarnya ia telah membuka pintu jauh-jauh hari sebelumnya bagi terjadinya fenomena dan kejadian-kejadian seperti ini.
Oleh itu, kerusakan-kerusakan yang mungkin terjadi pada jiwa, yang untuk menghambatnya membutuhkan tameng anti radiasi, pada dasarnya memiliki akar dalam penyimpangan yang terjadi dalam internal diri seseorang. Namun dengan menghilangkan kondisi-kondisi tersebut dan melepaskan diri dari berinteraksi dengan kekuatan-kekutan ruh untuk menarik kepentingan personal serta mengkonsentrasikan diri pada tujuan utama tazkiyatun nafs dan irfan, maka secara bertahap, persoalan ini akan tertolak dengan sendirinya.
Menggunakan tameng anti radiasi sebagai sebuah faktor eksternal yang tidak berkaitan dengan perbaikan batiniah seseorang dan memutuskan akar-akar fenomena seperti ini, pada dasarnya adalah menghindar dari hasil wajar sebuah proses tak benar dan melarikan diri dari konsekuensi-konsekuensi penyimpangan dalam lintasan, dan dengan demikian, yang tertinggal bukannya terapi dan penyembuhan akar-akar penyakit, melainkan menghilangkan lahiriah indikasi-indikasinya.
Mengenai bahwa manusia tanpa sedikitpun membutuhkan keniscayaan sebuah amalan syariat Ilahi, perbaikan akhlak dan penyucian jiwa, bisa mengharapkan manfaat seperti terapi penyakit atau bahkan memperoleh pengalaman-pengalaman irfani dalam kewenangan persoalan-persoalan yag sepenuhnya dikenal ambigu dan tak dikenal (sedemikian sehingga berdasarkan klaim, bahkan sampai pada batasan tidak membutuhkan keyakinan terhadap persoalan itu sendiri) seperti ini, secara kebetulan dapat menjadi wahana yang terbaik untuk memunculkan kekuatan-kekuatan setan dan akan menghadapkan si pesuluk (salik), murid atau pasien pada persoalan-persoalan lain yang lebih rumit lagi dimana tak akan ada seorangpun yang mampu lagi untuk menghidayahi dan menyertainya.
Saat ini, berbagai kalangan masyarakat banyak menawarkan pelbagai aliran psikologi, supra psikologi dan pseudo irfani dalam harmonisasi dengan akidah-akidah, budaya dan istilah-istilah agama dan sastra irfani –dimana biasanya diikuti dengan semangat yang meluas namun memunculkan kebohongan dan kepalsuan di kalangan para pengikutnya –akan tetapi kelompok dan ikatan agama seperti ini, hanya memberikan daya tarik yang lebih banyak tanpa memberikan urgensitas yang terlalu penting pada pokok persoalan.
Kita mengetahui bahwa dari aliran seperti ini telah muncul puluhan aliran dan ratusan guru di berbagai kalangan masyarakat, yang tak memiliki hujjah lain selain menggunakan sebagian dari kekuatan jiwa dan keseriusan murid-muridnya, dan tidak mampu menjadi penjawab bagi kebutuhan pengenalan dan irfani manusia.
Dengan alasan inilah dalam irfan Islami sangat ditekankan untuk senantiasa terhubung pada guru dan arif yang sempurna, karena sosok seperti ini bertanggung jawab terhadap gemblengan dan didikan irfani dalam jalur yang benar dan memiliki informasi dan pengetahuan yang sempurna dalam masalah irfan.
Prinsip asli irfan seperti inilah yang merupakan lompatan dalam tahapan takwa dan filosofis dalam seluruh keinginan-keinginan duniawi, bertolak belakang dengan aliran-aliran yang cacat, dari satu sisi perolehan-perolehan mental dan spiritual, dan dari sisi lain ketaktahuan terhadap identitas mereka yang akan melepaskan mereka dalam keadaannya sendiri ke dalam dunia yang tak dikenal.
Terdapat sebuah bahaya yang secara umum mengancam para pengikut kepada pengalaman-pengalaman irfan dan peroalan-persoalan ruh dalam bentuk tradisional dan modern, dimana masalah-masalah seperti ini sejak dahulu juga telah ada dalam jalur irfan.
Oleh itu, untuk bergerak di jalur irfan (atau berupaya untuk memperoleh pengalaman-pengalaman spiritual), tolok ukur dan bimbingan Imam Maksum As atau para arif sempurna yang telah menyelesaikan perjalanan menuju Allah, merupakan sebuah keniscayaan; dan selain ini, terdapat kemungkinan terjadinya banyak penyimpangan yang pada akhirnya akan merugikan dan menimbulkan bahaya yang lebih banyak daripada manfaatnya. [iQuest]
[1]. Untuk informasi lebih detil, silahkan lihat indeks, Reinkarnasi dalam Pandangan Islam, Pertanyaan 8130 (Site: id8198)
[2]. Syaikh Mahmud Syabesytari, Gulsyan-e Râz.
[3]. Ibid.