Please Wait
7960
Beberapa ayat dalam al-Qur’an menegaskan bahwa Nabi Muhammad Saw tidak dimintakan tanggung jawab atas ketidakberimanan umatnya. Hal ini tidak berarti bahwa berimannya umat manusia tidak berada pada pundak Nabi Saw. Karena iman merupakan urusan hati, dan masalah yang berkaitan dengan hati tidak mungkin dapat dipaksakan. Bahkan untuk dapat merealisasikan hal itu memerlukan beberapa pendahuluan. Setelah menyodorkan beberapa pendahuluan, maka urusan selanjutnya terserah kepada manusia yang bersangkutan, apakah mereka akan memilih keimanan ataukah kekufuran. Nabi Muhammad Saw ditugaskan untuk menyampaikan dan memenuhi berbagai pendahuluan tersebut. Beliau ditugaskan untuk mengajak umatnya kepada ajaran Islam dan menyiapkan lahan agar mereka dapat beriman, sedemikian sehingga apabila mereka tidak beriman maka hal itu tidak ada lagi sangkut pautnya dengan Allah Swt dan Rasul-Nya (karena segalanya telah dilakukan). Disyari’atkannya kewajiban amar makruf, nahi munkar dan jihad ibtidâ’i dalam Islam adalah dalam rangka memenuhi tugas tablig dan memberikan hidayah kepada umat dan menjalankan ajaran Islam. Dan bukan untuk memaksa umat supaya beriman.
Dalam Islam, jihad yang disyari’atkan adalah jihad difâ’i (defence) dan untuk melakukan pembelaan. Karenanya Islam mengecam keras penyerangan atas orang lain dengan berbagai cara. Difa’ dan pembelaan, terkadang terhadap hak-hak pribadi, hak-hak negara dan terkadang terhadap hak-hak manusia. Dan kita mempunyai pandangan dan keyakinan bahwa iman, tauhid dan penitian umat pada jalan yang lurus merupakan bagian yang ketiga, yaitu merupakan hak-hak manusia. Karena itu, kita boleh melakukan peperangan terhadap orang-orang yang menghalangi tersebarnya tauhid. Dan hal ini pada hakikatnya adalah merupakan upaya pembelaan, bukan penyerangan dan pelanggaran. Mengingat bahwa masalah iman itu tidak bisa dipaksakan, maka peperangan semacam itu bertujuan untuk menghancurkan tembok penghalang atas jalannya tablig dan dakwah Islamiyah. Bukan untuk memaksa mereka agar bertauhid. Amar makruf dan nahi munkar pun termasuk dalam lingkup persoalan ini.
Jawaban atas pertanyaan di atas dapat diberikan apabila masalah iman, amar makruf, nahi munkar dan jihad ibtida’i itu dapat diketahui dan dipahami dengan benar. Iman itu tersusun dari dua rukun. Dari satu sisi akal pikiran harus menerimanya. Dari sisi lain hati harus menemukan keyakinan atasnya. Dan kedua hal ini tidak mungkin dapat dipaksakan. Hati seseorang tidak mungkin dapat dipaksa untuk menerima dan mencintai sesuatu dan begitu juga dengan akal pikiran, ia tidak bisa dipaksa untuk dapat menerima suatu akidah dan keyakinan.[1] Karena itulah Allah Swt berfirman di dalam Al-Qur’an: “Tidak ada paksaan dalam agama….”.[2] Pada ayat lainnya Allah Swt berfirman kepada Rasul-Nya dengan ungkapan: “Katakanlah bahwa kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, siapa yang ingin beriman maka berimanlah. Dan siapa yang ingin kufur, maka kufurlah!”.[3] Atau Rasulullah Saw harus membiarkan umat manusia dalam memilih keimanan.[4] Dan jika mereka tidak beriman beliau tidak bersedih hati dan tidak mengambil tindakan apa-apa atas mereka. Dalam hal ini Allah Swt berfirman: “Wahai Nabi, apakah engkau ingin mengorbankan nyawamu karena kesedihan yang mendalam dikarenakan mereka tidak beriman”.[5] Ayat-ayat tersebut menjelaskan bahwa masalah keyakinan, agama dan iman merupakan urusan hati dan dalam hal ini tidak ada paksaan. Dan ketika Allah Swt berfriman kepada Nabi-Nya dengan ungkapan: “Maka berikanlah peringatan. Sesunggunya engkau hanyalah pemberi peringatan. Engkau tidak mempunyai kekuasaan untuk memaksa mereka agar beriman”.[6] Pada kenyataannya memanglah demikian, Nabi Muhammad Saw ditugaskan mengajak umat manusia beribadah kepada Allah Swt. Hal itupun harus dilakukan dengan penuh hikmah, argumen, rasional dan nasihat yang bijak.[7]
Dengan ungkapan lain bahwa untuk merealisasikan keimanan diperlukan adanya beberapa pendahuluan. Setelah terpenuhinya beberapa pendahuluan tersebut, umat manusia dapat memilih keimanan atau kekafiran. Rasulullah Saw hanya ditugaskan untuk memenuhi berbagai pendahuluan tersebut. Beliau Saw hanyalah bertugas mengajak umat manusia agar mengikuti ajaran Islam dan menyiapkan lahan agar mereka beriman, sedemikian sehingga apabila mereka tidak beriman maka hal itu tidak ada lagi sangkut pautnya dengan Allah Swt dan Rasul-Nya.
Amar makruf, nahi munkar dan jihad ibtida’i berada pada tataran tugas tugas tablig, memberikan hidayah dan menjalankan ajaran Islam, bukan untuk memaksa umat agar beriman. Islam memandang bahwa setiap penyerangan dan pelanggaran adalah buruk. Tetapi tidak setiap peperangan itu merupakan pelanggaran. Adapun perang demi membela (difâ') jiwa atau negara atau hak-hak manusia, bukan saja dianggap tidak buruk, tetapi malah dianggap sebagai perjuangan suci. Jihad semacam ini telah disinggung dalam al-Qur’an al-Karim.[8]
Tetapi perlu dipahami bahwa hak-hak itu terkadang bersifat individu, terkadang terbatas pada sebuah bangsa dan terkadang juga lebih dari batas-batas individu, bangsa dan berkaitan dengan seluruh umat manusia. Misalnya hak kebebasan yang tidak hanya khusus untuk seseorang atau sebuah bangsa, bahkan merupakan hak semua manusia dan semuanya harus dapat menikmatinya. Karena itu, membela hak kebebasan semacam ini tidak diperlukan meminta izn dan bantuan kepada pihak yang bersangkutan. Dengan ungkapan lain, boleh jadi seseorang tertawan dalam penjara dan terantai, namun ia tidak menyadari hal ini dan ia pun tidak meminta bantuan kepada siapapun, jika ada seseorang yang mamahami kondisi orang tersebut dan mampu untuk menyelamatkannya, maka jika seseorang itu melakukan tindakan untuk menyelamatkannya, pasti semua orang akan memujinya sebagai “difa’ masyru’” (pembelaan legal) yang tidak berkaitan dengan sisi individu dan bangsa, tetapi berkaitan dengan sisi insaniyah dan kemanusiaan yang dianggap lebih suci.[9] Amar makruf dan nahi munkar juga merupakan sampel lain dari pembelaan atas hak-hak manusia. Dalam amar makruf dan nahi munkar terdapat nilai-nilai maknawi pembelaan yang tidak terbatas hanya pada suatu kaum atau bangsa. Adanya perintah atas jihad semacam itu, tujuannya adalah untuk mengajak umat menuju jalan Allah. Meskipun pada praktik sebagian peringkat amar makruf dan nahi munkar itu terkadang diharuskan melakukan paksaan. Tetapi hal ini sama sekali tidak bertujuan untuk memaksa umat agar beriman. Tetapi tujuannya adalah untuk menyiapkan lahar agar umat dapat menerima hidayah dan membersihkan jalan-jalan hidayah dari berbagai rintangan sehingga tujuan yang diharapkan akan mudah dicapai.
Iman dan tauhid juga merupakan bagian dari hak-hak insani. Karena agama dan tauhid merupakan jalan lurus (Shirath Mustaqim).[10] Dan kebahagiaan dan keselamatan umat manusia secara umum berhubungan erat dengan hal itu. Karena itu, tidak mungkin dianggap sebagai urusan individu. Dengan demikian, memerangi pihak lain tidak bisa dengan alasan memaksakan tauhid. Karena masalah tauhid bukan hal yang harus dipaksakan. Tetapi perang itu bertujuan untuk menghilangkan berbagai rintangan jalan dakwah dan tablig Islami. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kami adalah para pembela dan memihak kepada kebebasan ide dan pemikiran, bukan kebebasan akidah. Yakni kami memihak pemikiran yang berlandaskan pada argumen dan logika dan tidak memihak kepada akidah yang sempit, terutama akidah-akidah yang tidak berlandaskan pada pemikiran yang rasional. Artinya akidah yang hanya berdasarkan pada taklid buta atau rutinitas belaka. Karena akidah dan keyakinan semacam ini hanya akan membuat manusia terpenjara dan terpasung.
Karena itu, berperang melawan dan memusnahkan akidah semacam ini, merupakan upaya dalam rangka membebaskan insan dari ikatan dan belenggu taklid buta. Dan pada hakikatnya hal itu merupakan pembelaan terhadap kebebasan insaniah dan bukan berperang atas kebebasan manusia.[11]
Rahasianya adalah bahwa iman dan tauhid merupakan hak yang jelas bagi fitrah insani dan merupakan bagian dari hak-hak manusia. Karena iman dan tauhid sebagai sumber kehidupan individu dan masyarakat. Hal ini sebagaimana disinggung oleh Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As: “Tauhid adalah hidupnya jiwa”.[12] Dan Al-Qur’an al-Karim menganggap orang-orang kafir sebagai mayat-mayat belaka, karena mereka tidak bertauhid dan disebut sebagai lawan hidup: “(Diutusnya rasul) untuk memberikan peringatan kepada orang yang hidup. Sementara azab itu telah ditetapkan bagi orang-orang kafir”.[13]
Dari serangkaian ayat-ayat Al-Qur’an dan berbagai riwayat dapat ditarik kesimpulan bahwa: Pertama: Tauhid merupakan sumber kehidupan maknawi baik bagi individu maupun sosial. Kedua: Sumber kehidupan ini merupakan hak yang tak-terbantahkan bagi seluruh umat manusia dan semua manusia mempunyai hak untuk menikmatinya. Lebih dari itu, karena kehidupan itu merupakan hak yang telah dianugerahkan oleh Sang Pencipta pencipta alam kepada seluruh umat manusia, maka bukan saja menindak orang lain yang menikmatinya itu tidak dibenarkan, bahkan Islam melarang untuk menghalangi orang lain darinya. Karena itu, Islam menekankan untuk membela hak fitrawi kemanusian tersebut dan memerangi pelaku kekufuran dan kemusyrikan. Yakni apabila seseorang atau sekelompok orang ingin merusak kehidupan lahiriah individu atau sosial, maka mereka harus diperangi dan individu atau masyarakat itu harus dibela. Demikian pula apabila seseorang atau sekelompok orang berupaya ingin memusnahkan kehidupan maknawi individu atau sosial dan beusaha mengkafirkan mereka atau menghalangi mereka dari iman dan islam, maka pada kondisi seperti ini difâ’ dan melakukan pembelaan diharuskan. Karena itu, perang dan jihad –yang merupakan ajaran agama Islam yang terpenting- harus dengan memperhatikan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang dengannya akan mendatangkan rahmat Ilahi, kehidupan hak-hak insani dan tersingkirnya berbagai halangan yang merintangi jalan-jalan kebahagiaan dan kehidupan maknawi. Allah Swt berfirman: “Sekiranya Allah tidak menolak kejahatan sebagian manusia atas sebagian lainnya, maka bumi ini sudah hancur. Tetapi Allah memiliki karunia atas seluruh alam”.[14] Pada ayat yang lain Allah Swt berfirman: “Dan sekiranya Allah tidak menolak keganasan sebagian manusia atas sebagian yang lain, maka sudah pasti biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid itu sudah hancur yang di dalamnya banyak disebut nama Allah”.[15]
Memelihara dan menjaga muka bumi ini dari kerusakan dan menjaga tempat-tempat ibadah dari kehancuran merupakan rahmat dari Allah Swt yang tidak mungkin terwujud tanpa ada penolakan dari-Nya atas kejahatan tangan-tangan jahil. Karena itu, mencegah rintangan semacam ini dan menyingkirkan penghalang jalan-jalan Ilahi merupakan contoh yang jelas dari rahmat Allah.[16]
Kesimpulannya adalah bahwa Rasulullah Saw tidak bertanggung jawab atas ketidakberimanan umat manusia. Tugas dan kewajiban Nabi Saw hanyalah menyiapkan lahan bagi umat manusia agar mereka memilih jalan iman. Sementara disyari’atkannya amar makruf, nahi munkar dan jihad ibtidâ’i dalam ajaran Islam adalah dalam rangka menunaikan tugas dan kewajiban tersebut.[17][]
[1] . Lihat Indeks: “Paksaan dalam agama”
[2] .Qs. Al-Baqarah (2): 256.
[3].“Katakanlah bahwa kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, siapa yang ingin beriman, maka berimanlah. Dan siapa yang ingin kufur, maka kufurlah!” (Qs.Al-Kahfi [18]: 29)
[4].“Apabila Tuhanmu menghendaki maka seluruh makhluk yang ada di muka bumi ini dengan terpaksa beriman. Apakah kamu ingin memaksa manusia agar beriman?”.(Qs. Yunus [10]:99)
[5] .Qs. Al-Syu’ara (26): 3 dan Al-Kahfi (18:)6.
[6]. “Maka berikanlah peringatan. Sesunggunya engkau hanyalah pemberi peringatan. Engkau tidak mempunyai kekuasaan untuk memaksa mereka agar beriman. (Qs. Al-Ghasyiyah [88]: 22). Silahkan lihat, Al-Mizân jil. 6, hal.162 – 165.
[7] .Qs. Al-Nahl (16): 25.
[8] .Qs. Al-Baqarah (2): 190, Al-Hajj (22): 38-41, Al-Taubah (9): 36.
[9] .Di dalam Al-Qur’an al-Karim, Qs. An-Nisa (4): 75 juga terdapat ayat yang menandaskan:”Mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah untuk membela orang-orang yang tertindas oleh penguasa zalim?” Ayat ini menekankan agar melakukan peperangan demi membela orang-orang yang tertindas dan yang hidup dalam belenggu penguasa tiran. Perang semacam ini termasuk peranmg untuk membela kemanusiaan. Di dalam ajaran Islam hanyalah perang yang bersifat pembelaan (jihad difa’i) yang dibenarkan. Namun jihad difa’i ini mempunyai pengertian yang sangat luas (memulai perang (jihad ibtidâ’i) juga mengandung sisi difâ’ dan pembelaan).
[10]. Bagaimanapun, semuanya sepakat bahwa secara global dan pada dasarnya peperangan itu harus bertujuan untuk melakukan pembelaan. Perbedaan pandangan terjadi hanya pada perinciannya, yaitu apa sajakah yang termasuk jihad difâ’i.
11] .Silahkan lihat, Jihâd wa Mawâridi Masyru’iyat an dar Qur’ân, Syahid mutahhari, hal 5 – 70.
[12] .Syarah Ghurarul Hikam, jil. 1 hal. 145.
[13] .Qs. Yasin (36): 70. Tujuan diutusnya rasul adalah untuk memberikan peringatan atas orang-orang yang hidup dan merupakan itmamul hujjah (melengkapi alasan) bagi orang-orang kafir. Dan azab telah dipstikan untuk mereka. Tafsir Nemuneh, jil. 1, hal. 438.
[14] .Qs. Al-Baqarah (2): 251.
[15] .Qs. Al-Hajj (22): 40.
[16] .Silahkan lihat, Jawadi Amuli, Abdullah, Hamâseh wa Irfân, hal. 23-27.
[17] .Lebih jelasnya silahkan lihat: Tafsir Al-Mizân, jil. 2 hal. 61-71, jil. 2, hal. 342-343, jil. 6, hal. 162-165.