Please Wait
11601
Nampaknya yang Anda maksudkan dari pertanyan tentang bagaimana kita dapat meyakini dan memahami pribadi imam. Akan tetapi sebelum menjawab pertanyaan Anda seyogyanya kami terlebih dahulu menjawab pertanyaan mengapa kita harus meyakini masalah imâmah?
Imâmah dalam Islam memiliki nilai penting dan merupakan tingkatan terakhir dalam perjalanan manusia menuju kesempurnaan.
Makam ini terkadang bergabung dengan makam kenabian dan risalah; misalnya bergabungnya makam imâmah ini pada sosok Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad Saw. Dan terkadang terpisah dari makam kenabian dan risalah seperti imâmah pada para Imam Maksum As.
Terkait dengan keharusan adanya imam di masyarakat harus dikatakan bahwa sebagaimana keharusan diutusnya para nabi yang bertujuan untuk kematangan dan kesempurnaan manusia maka keberadaan imam adalah untuk menjaga agama dan melanjutkan tongkat estafet agenda dan program nabi. Kelanjutan agenda dan program nabi ini merupakan suatu hal yang mesti dan niscaya.
Karena statusnya adalah melanjutkan agenda dan program nabi maka hanya Tuhanlah yang memberikan kedudukan dan pos imâmah kepada seorang imam. Dan hanya Dialah yang melantik dan mengangkat imam.
Syiah dalam menetapkan imâmah para Imam Maksum As bersandar pada dalil pasti akal dan juga nash (ayat dan riwayat) yang tegas (nash sharih).
Ayat-ayat seperti, "wa likkuli qaum hadin," "Kunu ma'a al-shadiqin" dan "ulil amr dan hadis-hadis seperti hadis tsaqalain, safinah, itsna 'asyar khalifah adalah ayat-ayat dan riwayat yang dijadikan sebagai sandaran dan referensi oleh mazhab Syiah. Dalam nash-nash ini (ayat dan riwayat) dijelaskan bahwa mengapa kita harus beriman dan meyakini para Imam Maksum? Kemudian siapa saja para imam tersebut yang harus diyakini dan dikuti?
Nampaknya yang Anda maksudkan dari pertanyan tentang bagaimana kita dapat meyakini dan memahami pribadi imam. Akan tetapi sebelum menjawab pertanyaan Anda seyogyanya kami terlebih dahulu menjawab pertanyaan mengapa kita harus meyakini masalah imâmah?
Signifikannya masalah Imâmah
Imâmah memiliki nilai yang sangat signifikan dalam Islam. Menurut perspektif al-Qur'an imâmah merupakan tingkatan terakhir dalam perjalanan manusia menuju kesempurnaan yang hanya dapat dicapai oleh para nabi ulul azmi. Terkait Nabi Ibrahim As, al-Qur'an menyatakan: "Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu ia menunaikannya (dengan baik). Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikanmu imam bagi seluruh manusia.” Ibrahim berkata, “Dan dari keturunanku (juga)?” Allah berfirman, “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim.” (Qs. Al-Baqarah [2]:124) (dan hanya sekelompok dari keturunanmu yang suci yang laik menjabat makam penting ini).
Dalam ayat ini disebutkan bahwa makam (imâmah) sedemikian tingginya sehingga Nabi Ibrahim, setelah menerima jabatan kenabian dan risalah pada akhir hidupnya dan setelah melintasi pelbagai ujian dan tantangan berat, beliau ingin mendapatkan kehormatan dengan memangku jabatan ini.
Kedudukan imâmah pada sebagian urusan dapat dikumpulkan dengan makam kenabian. Seperti pada nabi ulul azmi yaitu Nabi Ibrahim al-Khalil As yang di samping mencapai makam kenabian dan risalah juga sampai pada makam imâmah. Dan yang lebih benderang lagi adalah terkumpulnya makam kenabian, risalah dan imâmah pada diri Nabi Muhammad Saw. Boleh jadi pada hal-hal tertentu makam imâmah ini berpisah dari makam risalah dan kenabian; seperti pada para imam Maksum yang hanya memikul jabatan imâmah tanpa adanya wahyu yang diturunkan kepada mereka.
Keharusan Adanya Imam
Keharusan adanya imam adalah sama berbanding lurus dengan keharusan diutusnya para nabi.
Allamah Hilli, dalam menjelaskan ucapan Khaja Nasiruddin Thusi yang menyebutkan sebagian keharusan adanya imam, berkata:
1. Adanya Nabi merupakan suatu hal yang harus dan mesti sehingga pengenalan rasional (aqli) manusia dikuatkan dengan perantara pengenalan referensial (naqli). Karena meski manusia dapat memahami dan mencerap hakikat prinsip dan cabang agama dengan wahana fakultas akalnya akan tetapi pada kedalaman diri manusia terpendam sifat was-was dan goncangan-goncangan yang akan menjadi penghalang bersandarnya manusia kepada prinsip-prinsip dan cabang agama berikut pengamalannya. Namun tatkala hukum-hukum rasional (akal) dikuatkan dengan penjelasan para pemimpin Ilahi maka segala jenis goncangan dan was-was akan tersingkirkan dan manusia dengan fakultas hatinya akan seiring-sejalan dengan pelbagai temuan akal.
2. Banyak perkara dimana akal tidak mampu mencerap sisi baik dan buruknya sesuatu sehingga harus berlabuh pada pangkuan para pemimpin Ilahi sehingga manusia dapat mengenal kebaikan dan keburukan pelbagai perkara tersebut.
3. Banyak hal yang bermanfaat dan sebagian lainnya adalah merugikan. Manusia dengan semata-mata dengan mengandalkan pikirannya tidak dapat mencerap untung dan ruginya perkara tersebut. Di sinilah ia merasa memerlukan pemimpin Ilahi yang menjelaskan baik dan buruknya pelbagai hal. Di sinilah tugas para pemimpin Ilahi yang berhubungan dengan sumber wahyu.
4. Manusia adalah entitas dan makhluk sosial. Menjadi makhluk sosial tanpa adanya aturan-aturan yang menjaga hak-hak setiap invididu dalam masyarakat dan mengantarkan manusia pada jalan yang benar maka hal ini sekali-kali tidak akan terimplementasikan dan dapat mengantarkan manusia mencapai kesempurnaan yang diidamkan. Menentukan dan mengidentifikasi aturan-aturan ini secara benar berikut operasionalnya tidak akan tercapai kecuali dengan perantara para pemimpin Ilahi yang alim, suci dan maksum.
5. Manusia dalam mencerap, memahami kesempurnaan, menuntut pengetahuan dan maarif serta mencapai pelbagai keutamaan, sebagian dari mereka memiliki kemampuan untuk melangkah di jalan ini dan sebagian lainnya tidak mampu. Para pemimpin Ilahi menguatkan kelompok pertama dan menolong kelompok bagian kedua. Sehingga kedua kelompok ini sampai pada kesempurnaan.
6. Dengan memperhatikan tingkatan-tingkatan akhlak pada diri manusia, satu-satunya jalan untuk membiakkan pelbagai keutamaan ini adalah melalui para pemimpin Ilahi yang suci dan maksum.
7. Para pemimpin Ilahi mengetahui seutuhnya pelbagai ganjaran, hajaran, pahala dan hukuman Ilahi sebagai imbalan atas ketaatan dan perbuatan dosa. Tatkala memberitahu kepada orang lain seluruh masalah ini maka akan menimbulkan motivasi tinggi untuk mengerjakan segala yang menjadi tugas dan kewajibannya.[1]
Dengan memperhatikan bahwa imâmah bukanlah sesuatu yang lain kecuali tongkat estafet dan kelanjutan dari kenabian, maka ghalibnya pelbagai filsafat terkait dengan para imam maksum juga dapat ditetapkan. Dengan kata lain, Tuhan yang menciptakan manusia untuk melintasi jalan kesempurnaan dan kebahagiaan adalah Tuhan yang mengutus para nabi untuk membimbing dan memberikan petunjuk kepada manusia. Lantaran manusia harus bersandar pada kekuatan wahyu dan memiliki derajat kemaksuman maka keniscayaannya adalah bahwa untuk melanjutkan jalan ini, setelah wafatnya Rasulullah Saw, Allah Swt mengangkat para khalifah yang maksum yang akan membantu umat manusia untuk sampai kepada tujuan utamanya sedemikian sehingga tanpa pos imâmah ini tujuan ini tidak akan tercapai.
Karena Pertama, semata-mata bersandar pada akal manusia tentu tidak memadai untuk mengidentifikasi seluruh faktor dan sebab kemajuan dan kesempurnaan manusia. Dan terkadang bahkan sepersepuluhnya saja manusia tidak kuasa mengidentifikasi faktor-faktor tersebut.
Kedua, ajaran para nabi setelah wafatnya boleh jadi mengalami penyimpangan dan distorsi. Untuk mencegah pelbagai distorsi maka sudah seharusnya ada seorang maksum dan Ilahi yang menjaga dan mengawal ajaran tersebut. Benar bahwa Allah Swt berfirman terkait al-Qur'an: Inna nahnu nazzalna al-dzikra wa nahnu 'alaih lahafizun," (Sesungguhnya Kami yang menurunkan al-Dzikra (al-Qur'an) dan Kami yang menjaganya, al-Hijr [15]:9) namun untuk menjaga agama Allah Swt mengangkat para maksum yang merupakan sebab dan faktor bagi manusia untuk sampai kepada kesempurnaan.
Kesemua ini disebutkan pada penjelasan Imam Shadiq As yang bersabda: "Di antara kami Ahlulbait pada setiap generasi terdapat orang-orang adil yang menjaga agama dari penyimpangan orang-orang ghulat, memangkas tangan-tangan ahli bid'ah, para pencipta agama dan ahli batil. Serta memelihara dari pelbagai takwil keliru orang-orang jahil."[2]
Imam Ali As bersabda: "Sekali-kali bumi tidak akan kosong dari hujjah, lahir atau tersembunyi sehingga dalil-dalil Ilahi dan tanda-tanda-Nya tidak kabur."[3]
Ketiga, Membentuk pemerintahan Ilahi dan menegakan keadilan serta menyampaikan manusia kepada tujuan-tujuan yang menjadi maksud penciptaannya tidak dapat terlaksana kecuali melalui hadirnya para maksum. Karena pelbagai pemerintahan manusia sesuai dengan bukti-bukti sejarah senantiasa untuk semata-mata mengeruk keuntungan material orang-orang atau kelompok tertentu dan seluruh usaha mereka adalah untuk maksud ini. Sebagaimana berulang kali kita menyaksikan pelbagai wacana seperti demokrasi, pemerintahan rakyat atau hak-hak asasi manusia dan semisalnya adalah sekedar kedok untuk mencapai tujuan-tujuan setan pelbagai kekuasaan. Dan mereka dengan memanfaatkan media-media ini dalam bentuk lahir lalu ditimpakan kepada masyarakat untuk meraih tujuan-tujuan duniawinya. Imam Ali As dalam ucapan singkat mencirikan ruh imâmah sebagai berikut: "Kedudukan seorang imam yang memerintah urusan kaum Muslimin adalah laksana kedudukan benang bagi manik-manik, karena ia menghubungkan dan mengumpulkan mereka. Apabila benang putus, mereka akan terserak dan hilang dan tak akan berkumpul lagi." [4]
Keempat, kelanjutan perintah-perintah agama yang harus diterapkan pada masyarakat memerlukan adanya para imam yang mengetahui segala sesuatu dan seluruh masalah agama sehingga tidak secuil pun keburaman dan keraguan tersisa bagi setiap orang.
Dari apa yang kami sebutkan menjadi jelas masalah keharusan dan falsafah keberadaan para Imam Maksum.
Hal-hal yang disebutkan ini merupakan dalil-dalil yang menjelaskan keyakinan kita terkait masalah imâmah dan para imam. Dan sebagai kesimpulannya adalah bahwa apabila kita meyakini bahwa Islam sebagai agama pamungkas maka konsekuensi logisnya adalah kita harus meyakini masalah imâmah.
Sebagian orang berkata bahwa pengangkatan imam dan urusan kepemimpinan umat pasca wafatnya Rasulullah Saw diserahkan kepada umat untuk memilih sendiri pemimpin mereka. Mereka beranggapan bahwa mengangkat seorang imam suatu hal yang tidak perlu dilakukan.
Dalam menjawab anggapan ini cukup kita bersandar pada poin ini bahwa apabila seseorang membangun sebuah pabrik penting yang bertujuan untuk memproduksi berlian yang paling mahal dan keberlanjutan produksi ini menjadi fokus perhatiannya, hadir dan absennya dan bahkan setelah wafatnnya, pabrik ini tidak boleh berhenti memproduksi. Dalam pabrik ini terdapat alat-alat yang canggih yang penggunaannya hanya diketahui oleh segelintir orang saja, kecuali para ahli dan penemu yang mengajarkan kepada orang-orang cara pakai alat-alat tersebut, apakah masuk akal dan dapat diterima bahwa penemu mesin-mesin canggih ini mengumumkan bahwa ia akan mati tidak lama lagi, namun ia tidak menentukan (atau melatih) seorang yang pandai dan mahir terhadap peralatan untuk mengatur alur produksi pabrik? Tentu saja akal sehat tidak akan pernah menerima hal ini.
Apakah pelbagai kerumitan dan ketelitian ilmu-ilmu al-Qur'an, sunnah, hukum-hukum Ilahi, ayat-ayat muhkam dan mutasyabih dan sebagainya yang semuanya disiapkan untuk mengatur kehidupan manusia pada seluruh bidang dan strata lebih sederhana dari mesin-mesin canggih di pabrik ini? Tentu saja tidak demikian.
Dan apakah hasil dan buah agama yang membina berlian dan kesempurnaan manusia (sampai kepada makrifatullah dan ibadah kepada-Nya) dan mengubah syahwat manusia menjadi iffah (mengenal kemuliaan), amarahnya menjadi keberanian, dan menegakkan madinah fadhilah (masyarakat madani) berdasarkan petunjuk dan hidayah Ilahi kurang dari hasil dan produksi pabrik berlian tersebut? Sama sekali tidak.
Lalu bagaimana mungkin kita dapat percaya bahwa agama yang programnya berlanjut hingga hari terakhir kehidupan manusia (baca Kiamat) dan untuk memberikan petunjuk kepada manusia, tidak membina dan menentukan orang-orang yang cakap dan laik setelah nabinya sehingga ia memikul tugas dan tanggung jawab (selain kenabian) untuk membimbing umat dan mengawalnya untuk sampai pada kesempurnaan?
Dalil Imâmah para Imam Maksum
Karena masalah imâmah dan pengangkatan Imam harus bersumber dari sisi Allah Swt, maka untuk mengenal imam kita memerlukan nash (ayat dan riwayat) yang definitif dan dalil-dalil rasional yang menetapkan bahwa orang-orang ini adalah para imam yang disangkat oleh Allah Swt. Misalnya akal manusia tatkala menemukan pelbagai tipologi imâmah seperti ilmu, keadilan, keberanian, kemaksuman pada diri seseorang secara sempurna dan orang lain tidak memiliki tipologi-tipologi ini maka dia akan menghukumi bahwa siapa yang seharusnya menjadi imam. Atau dengan perantara ayat-ayat al-Qur'an atau riwayat-riwayat yang bersifat definitif baik dari sisi keluarannya (qath'i al-shudur) atau dari sisi petunjuknya (qath'i al-dhalalah) yang menetapkan siapa yang laik menjadi imam.
Berikut ini kami akan menyebutkan beberapa ayat dan riwayat yang tafsirannya mengangkat masalah ini:
1. "Innama anta mundzir wa likulli qaumin hâdin." (Sesungguhnya engkau [hanyalah] adalah seorang pemberi peringatan dan pada setiap kaum terdapat seorang yang memberikan petunjuk, Qs. Al-Ra'ad [13]:7)
Para penafsir Syiah dan sebagan penafsir Ahlusunnah di antaranya Imam Fakhurrazi seorang mufassir kawakan Ahlusunnah berkata: Pemberi peringatan adalah Nabi Saw dan pemberi petunjuk (hâdi) adalah Ali As. Lantaran Ibnu Abbas berkata: Rasulullah Saw meletakkan tangannya yang mulia di dadanya dan berkata: "AKu adalah pemberi peringatan (Ana al-Mundzir). Dan kemudian menunjuk kepada Ali bin Abi Thalib As dan bersabda: "Dan engkau adalah pemberi petunjuk (Hâdi) wahai Ali! Bika yahtadi al-muhtadun min ba'di." (Melaluimu orang-orang yang mencari petunjuk mendapatkan petunjuk).[5]
Tafsir al-Durr al-Mantsur yang merupakan tafsir yang popular di kalangan Ahlusunnah menukil banyak riwayat dari Nabi Saw terkait dengan penafsiran ayat ini: "Nabi Saw tatkala ayat ini diturunkan beliau meletakkan tangannya yang penuh berkah di dadanya dan bersabda: "Aku adalah pemberi peringatan. Dan kemudian menunjukkan kepada Ali bin Abi Thalib As dan bersabda: Engkau adalah pemberi petunjuk wahai Ali…"[6]
Riwayat-riwayat yang lain dinukil dengan kandungan yang sama dari sekelompok ulama terkemuka Ahlusunnah seperti Hakim Naisyabur dalam Mustadrak, Dzhabi dalam Talkhis, Fakhrurazi dan Ibnu Katsir dalam kitab Tafsir-nya, Ibnu Sabbagh Maliki dalam al-Fushul al-Muhimmah, Ganji Syafi'I dalam Kifâyat al-Thâlib, Thabari dalam Tafsir-nya, Ibnu Hayyan Andalusi dalam Bahr al-Muhith, Naisyaburi dalam Tafsir-nya, Hamuni dalam Farâidh al-Simthaîn dan kelompok lainnya dalam kitab-kitab tafsir mereka. Untuk mengetahui sumber-sumber hadis ini dan referensinya Anda dapat merujuk pada kitab Ihqâq al-Haq, jil. 3, hal. 88-92.
2. "Yâ Ayyuhalladzina Amanu Ittaqullâh wa Kunû ma'a al-Shâdiqîn." (Wahai orang-orang beriman bertakwalah dan hendaklah kalian bersama orang-orang benar, Qs. Al-Taubah [9]:119)
Imam Fakhrurazi dalam menafsirkan redaksi "al-Shadiqin" berkata bahwa yang dimaksud dengan shâdiqin adalah para maksum. Akan tetapi ia menambahkan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang maksum adalah seluruh umat.[7] Sementara tiada seorang Arab pun yang memahami ayat ini sebagai seluruh umat tatkala ayat ini diturunkan lantas bagaimana ayat ini dapat dipahami sebagai seluruh umat? Karena itu harus kita terima bahwa pada setiap masa dan zaman terdapat seorang shâdiq yang tidak memiliki kesalahan dalam ucapannya sehingga ia harus kita ikuti!
Di samping itu, banyak mufassir dan muhaddis Ahlusunnah seperti Ibnu Abbas menukil bahwa ayat di atas adalah berkaitan dengan Baginda Ali bin Abi Thalib As. Allamah Tsa'labi dalam Tafsir-nya, Ganji dalam Kifâyat al-Thâlib, Allamah Sibth al-Jauzi dalam Tadzkirah adalah sekelompok ulama yang menukil demikian bahwa: Para ulama Sirah (sejarah Nabi) berkata bahwa makna ayat ini adalah bahwa kalian harus bersama Ali dan keluarganya. Ibnu Abbas berkata: "Ali As adalah tuan dan penghulu para shadiqin."[8]
Terdapat anyak riwayat yang sampai kepada kita melalui Ahlulbait yang menegaskan makna ini.[9]
3. "Athi'ûLlâh wa Athi'ûrrasul wa Ulilamri minkum." (Taatilah Allah dan taati Rasuluulullah dan Ulil Amri di antara kalian., Qs. Al-Taubah [9]:)
Para penafsir Syiah semuanya sepakat bahwa yang dimaksud dengan Ulil Amri pada ayat ini adalah para Imam Maksum As.
Di samping itu, Syaikh Sulaiman Qunduzi Hanafi dalam kitabnya Yanâbi' al-Mawaddah yang menukil dari Tafsir Mujahid bahwa ayat ini turun berkaitan dengan Ali bin Abi Thalib As. Pada waktu itu, yaitu pada perang Tabuk, Rasulullah Saw menjadikan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifahnya (man in charge) di Madinah. Dan juga diriwayatkan dari Ali As; Dalam sebuah percakapan dengan kaum Muhajirin dan Anshar berargumen dengan mereka tentang ayat ini namun kaum Muhajirin dan Anshar tidak membantahnya.[10]
Dalam Syawâhid al-Tanzil, Hakim Huskani, seorang ulama Ahlisunnah, menukil sebuah riwayat terkait dengan ayat ini bahwa Baginda Ali As berkata bahwa Aku bertanya kepada Nabi Saw tentang siapa gerangan "Ulil Amri" itu? Nabi Saw bersabda: "Engkau adalah orang yang pertama (dari Ulil Amri itu)."[11]
Imâmah dalam Riwayat
Masalah imâmah adalah sebuah masalah yang banyak diangkat dalam riwayat yang bersumber dari Nabi Saw dimana pada kesempatan ini kami akan menyebutkan beberapa di antara riwayat tersebut sebagai contoh:
1. Hadis Tsaqalain:
Hadis yang dinukil dari Rasulullah Saw ini banyak disebutkan pada kitab-kitab utama Syiah dan Ahlusunnah (sumber-sumber kelas satu) sedemikian sehingga tiada keraguan bahwa hadis tersebut disampaikan oleh Nabi Saw. Dari kumpulan hadis ini menjadi jelas bahwa Nabi Saw menjelaskan hadis ini pada pelbagai kesempatan yang menandaskan pentingnya hadis ini. Dalam kitab Shahih Muslim salah satu kitab ternama dan sumber utama Ahlusunnah dan tergolong sebagai kitab paling penting di antara enam kitab sahih Ahlusunnah (Sihah al-Sittah). Shahih Muslim menukil dari Zaid bin Arqam yang menyebutkan bahwa: "Rasulullah Saw berdiri di hadapan kami dan meyampaikan khutbah pada sebuah telaga yang disebut sebagai Khum (Ghadir Khum) yang terletak antara kota Mekah dan Madinah. Setelah mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah Swt (tahmid) beliau bersabda: Amma ba'du, Ayyuhannas! Aku adalah seorang manusia dan sudah dekat malaikat Tuhanku datang menjemputku dan aku akan menjawab panggilan itu. Dan aku tinggalkan bagi kalian dua pusaka (tsaqalain) yang pertama adalah Kitabullah yang di dalamnya terkandung petunjuk dan cahaya. Karena itu ambillah Kitabullah itu dan berpegang teguhlah kepadanya – di sini Rasulullah Saw banyak memotivasi tentang al-Qur'an – lalu bersabda: Dan aku wasiatkan Ahlulbaitku janganlah kalian lupa Ahlulbaitku (Rasulullah Saw mengulang kalimat ini sebanyak tiga kali).[12] Hal ini menunjukkan bahwa umat Islam tidak boleh melupakan tanggung jawab Ilahi ini terkait dengan Ahlulbait As.
Menyandingkan Ahlulbait di samping al-Qur'an, sebagai dua pusaka berharga dan sebanyak tiga kali ditegaskan dalam hadis tersebut menunjukkan bahwa perkara ini bertautan secara berkelindan dengan suratan nasib kaum Muslimin, pemanduan mereka, penjagaan asas dan fondasi Islam. Apabila tidak demikian maka keduanya tidak akan bersanding.
Hadis tsaqalain dinukil secara luas dalam kitab-kitab terkemuka Ahlusunnah, Sunan Tirmidzi,[13] Sunan Darami,[14] Musnad Imam Ahmad (yang merupakan salah satu imam dari empat imam mazhab Ahlusunnah),[15] Sunan Nasai,[16] Mustadrak al-Shahihain,[17] Shawaiq al-Muhriqah,[18] Usud al-Ghabah fi Ma'rifat al-Shahabah, karya Ibnu Atsir[19] dan Jalaluddin Suyuthi dalam kitab Ihya al-Mayyit,[20] Sunan Baihaqi,[21] al-Mu'jam al-Kabir[22] karya Hafizh Thabarani dan pada kitab-kitab standar Ahlusunnah.
Mir Hamid Husain Hindi dalam kitab Khulâsha 'Abâqat al-Anwâr menyebutkan 126 kitab terkemuka dan menukil redaksi yang sama masing-masing lengkap dengan alamat jilid dan halaman kitab-kitab tersebut.[23]
Hal ini merupakan tinjauan sanad hadis tsaqalain. Akan tetapi dari sisi makna dan kandungan hadis nabawi ini terdapat poin-poin yang sangat akurat di antaranya:
A. Al-Qur'an dan Ahlulbait senantiasa bersama dan tidak akan pernah terpisahkan. Bagi mereka yang mencari hakikat dan kebenaran maka ia harus mencarinya pada Ahlulbait As.
B. Sebagaimana wajib bagi kaum Muslimin untuk mengikuti al-Qur'an tanpa reserved maka mengikuti Ahlubait tanpa reserved adalah wajib juga bagi kaum Muslimin.
C. Tidak terpisahkannya Al-Qur'an dan Ahlulbait As dan kewajiban mentaati keduanya tanpa tedeng aling-aling merupakan bukti nyata atas kemaksuman keduanya dari segala kesalahan, dosa dan kekeliruan.
D. Nabi Saw bersabda bahwa dua pusaka ini (al-Qur'an dan Itrah) senantiasa bersanding hingga kaum Muslimin menghadap Rasulullah Saw kelak di samping Telaga Kautsar dan hal ini dengan jelas menunjukkan bahwa pada sepanjang sejarah Islam terdapat seorang dari Ahlulbait yang menjabat sebagai pemimpin (imam) maksum dan sebagiamana al-Qur'an senantiasa merupakan pelita hidayah maka para Imam Maksum ini juga adalah pelita hidayah. Karena itu kita harus senantiasa berupaya untuk menemukan mereka pada setiap zaman.
E. Dari hadis tsaqalain dapat dipahami bahwa berpisah atau mendahului Ahlulbait adalah sebab kesesatan dan penyimpangan.
F. Para Imam Ahlulbait adalah orang-orang yang lebih utama, lebih pandai dan lebih unggul dari semuanya.
Yang menarik bahwa Samhudi Syafi'i salah seorang ulama terkemuka Ahlusunnah pada abad kesembilan dan kesepuluh Hijriah dalam sebuah tulisannya bernama "Jawâhir al-'Aqdain" yang ditulis berkenaan dengan hadis tsaqalain. Ia menulis, "Hadis ini memahamkan (kepada kita) bahwa pada setiap zaman hingga hari kiamat terdapat seseorang dari kalangan Ahlulbait As yang memiliki kelayakan untuk diikuti dan dijadikan sebagai sandaran. Sebagaimana al-Qur'an demikian adanya." [24]
2. Hadis Safinah:
Hadis ini merupakan salah satu hadis terkenal tentang Ahlulbait As dan para Imam Maksum As. Hadis safinah ini dinukil secara luas dalam kitab-kitab ternama Syiah dan Ahlusunnah.
Hadis ini dinukil dari minimal 8 orang sahabat Nabi Saw, Abu Dzar, Abu Said Khudri, Ibnu Abbas, Anas, Abdullah bin Zubair, 'Amir bin Watsilah, Salmah bin Al-Akwa' dan Ali bin Abi Thalib As. Hadis ini disebutkan pada puluhan kitab-kitab utama Ahlusunnah.
Demikian Abu Dzar menukil hadis ini: "Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda: Matsalu Ahlubaiti kamatsali Safinat Nuh fi Qaumin Nuh. Man Rakibahâ najah wa man Takhallafa 'anha halaka."[25] (Perumpamaan Ahlubaitku bagi kalian laksana bahtera Nuh. Barang siapa yang menaikinya akan selamat dan barang siapa yang terpisah darinya akan binasa)."
Penyusun kitab Abaqat al-Anwar menukil hadis ini dari 92 kitab melalui 92 orang ulama terkemuka Ahlusunnah (berikut seluruh rinciannya).[26]
1. Pasca Rasululllah Saw angin puting beliung kesesatan dan penyimpangan akan menghantam seluruh umat Islam dan alangkah banyaknya orang yang akan binasa.
2. Untuk selamat dari cengkraman bahaya ini hanya satu harapan yang tersisa yaitu pada bahtera keselamatan Ahlulbait As yang akan menyebabkan kecelakaan dan kebinasaan jika berpisah atau meninggalkannya.
3. Apa yang menjadi sebab keselamatan tidak semata mencinta atau menghormati mereka sebagaimana yang dikemukakan sebagian ulama Islam. Mereka berkata bahwa barang siapa yang mencintai Ahlulbait maka dia tergolong sebagai orang yang selamat. Tentu tidak demikian. Sebab keselamatan ini menuntut kita untuk mengikuti mereka sebagai titik seberang dengan "takhalluf" meninggalkan dari mereka sebagaimana yang dinyatakan dalam riwayat.
4. Adanya bahtera Ahlulbait hingga akhir kehidupan dunia adalah bersifat mesti dan harus karena hingga akhir kehidupan bahaya topan dan kesesatan penyimpangan senantiasa mengintai dan mengancam.
5. Berpegang teguh tanpa reserved kepada Ahlulbait sebagai lawan dari takhalluf (meninggalkan) mereka dapat menjadi bukti nyata akan adanya seorang Imam Maksum pada setiap zaman dari kalangan Ahlulbait As dimana dengan mengikuti mereka adalah penyebab keselamatan dan meninggalkan mereka adalah biang kebinasaan.
3. Hadis 12 Imam:
Hadis dua belas imam juga merupakan salah satu hadis yang masyhur dan terkenal. Hadis ini banyak dinukil pada kebanyakan kitab-kitab sahih Ahlusunah.
Dalam Sahih Muslim yang menukil dari Jabir bin Samrah dimana ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda: La Yazalu al-Islam 'azizan ilaa itsna 'asyara khalifah- Tsumma qala kalimatun lam afham! Faqultu li abi ma qala? Faqala: Kulluhum min Quraisy!" Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda: Islam akan senantiasa mulia selama 12 khalifah memerintah kaum Muslimin. Setelah itu beliau berkata-kata sesuatu yang aku tidak pahami. Karena itu aku bertanya kepada ayahku (yang hadir dan lebih dekat kepada Nabi ketika itu). Aku berkata: Apa yang disabdakan Nabi Saw? Ayahku berkata: Rasulullah Saw bersabda: Seluruhnya dari Quraisy."[27]
Hadis ini juga disebutkan dalam Shahih Bukhari dengan redaksi yang serupa.[28] Dan juga pada Shahih Tirmidzi,[29] Shahih Abi Daud[30] dan pada Musnad Ahmad bin Hanbal disebutkan berapa kali[31] dan sebagianya.
Adapun dari sisi kandungan hadis redaksi-redaksi yang disebutkan dalam riwayat ini berbeda-beda. Pada sebagian riwayat disebutkan dengan redaksi "Itsna 'Asyara Khalifah" (Dua Belas Khalifah) dan pada sebagian riwayat disebutkan dengan redaksi "Itsna 'Asyara Amiran" (Dua Belas Amir) dan pada sebagian lainnya disebutkan wilayah dan pemerintahan dua belas orang. Tapi yang pasti dan jelas bahwa kesemua ini berkaitan dengan masalah wilâyah dan khilâfah.
Dari sisi lain, secara umum riwayat ini dinukil melalui ragam jalan dimana disebutkan misalnya "Kulluhum min Quraisy" (Seluruhnya dari Quraisy) dan sebagian riwayat disebutkan "Kulluhum min Bani Hasyim." (Semuanya dari Bani Hasyim).[32]
Pada ghalibnya hadis-hadis ini disebutkan bahwa suara Nabi Saw pelan tatkala sampai pada akhir sabdanya dan kalimat di atas disampaikan secara perlahan. Hal ini menunjukkan bahwa ada orang-orang yang menentang terhadap adanya dua belas khalifah Nabi Saw dari kalangan Quraisy atau dari kalangan Bani Hasyim.
Bagaimanapun penafsiran hadis mulia ini yang disebutkan pada sumber-sumber utama dan seluruh ulama Islam mengakuinya adalah hal yang jelas bagi para pengikut Ahlulbait. Mereka memandang bahwa maksud dari dua belas khalifah tersebut tidak lain kecuali dua belas imam maksum. Akan tetapi pengikut mazhab lain tidak mampu menjelaskan secara jelas tentang dua belas khalifah ini. Jelas bahwa mereka tidak mampu menjelaskan dengan baik ihwal dua belas khalifah ini karena para khalifah pertama jumlahnya ada empat dan para khalifah Bani Umayyah sejumlah 14 orang dan khalifah Bani Abbasiyah sampai pada 37 orang. Tidak satu pun dari khalifah ini sesuai dan cocok dengan dua belas khalifah sebagaimana yang disebutkan dalam hadis. Dengan menggabung atau membagi jumlahnya masalah tidak akan tuntas kecuali mengapus sebagian dari mereka dan sebagian lainnya kita terima. Tentu saja hal ini tidak dapat diterima secara logis dan rasional.
Di samping itu, kita memiliki riwayat yang dinukil baik melalui Ahlusunnah juga melalui Syiah. Dan sebagian dari riwayat tersebut disebutkan nama dua belas imam – sebagaimana yang diyakini oleh pengikut mazhab Ahlulbait - dan sebagian lainnya nama Imam Pertama "Ali bin Abi Thalib" dan Imam Terakhir "Imam Mahdi Ajf" , pada sebagian riwayat lainnya disebutkan nama Imam Ketiga "Imam Husain." Dalam riwayat disebutkan bahwa Rasulullah Saw menunjuk kepada Imam Husain As dan bersabda: "Putraku ini adalah imam, putra imam, saudara imam dan ayah Sembilan imam." [33]
Kendati kita banyak memiliki riwayat yang muktabar terkait dengan masalah imâmah para imam maksum namun begitu kita mencukupkannya dengan menukil beberapa riwayat yang disebutkan di atas.[34][]
Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat beberapa indeks di bawah ini:
· Keharusan Kemaksuman dan Jalan-jalan untuk mengidentifikasinya pada Imam As, no. 258 (Site: 2088)
· Kemaksuman para Nabi dalam Perspektif al-Qur'an, indeks no. 112 (Site:998) dan 129 (Site:1069)
· Kemaksuman Manusia-manusia Biasa, no. 104 (Site: 861)
· Pembatasan Para Maksum pada Empat Belas Orang, no. 178 (Site: 1395)
[1]. Silahkan lihat, Syarh Tajrid, hal. 271 (dengan adaptasi dan ringkasan), sesuai nukilan dari Payam-e Qur'an, jil. 9, hal. 37-38.
[2]. Ushul Kâfi, jil. 1, hal. 32, bab Sifat al-'Ilm, hadis 2.
[3]. Nahj al-Balâgha, Hikmah no. 147
[4]. Nahj al-Balâgha, Khutbah no. 146.
[5]. Fakhrurazi, Tafsir al-Kabir, jil. 19, hal. 14.
[6]. Jalaluddin Suyuti, al-Durr al-Mantsur, jil. 4, hal. 45.
[7] . Fakhrurazi, Tafsir al-Kabir, jil. 16, hal. 221.
[8]. Ihqâq al-Haq, jil. 3, hal. 297.
[9]. Tafsir Nur al-Tsaqalaîn, jil. 2, hal. 280, hadis 392-393.
[10]. Yanâbi' al-Mawaddah, hal. 114-116.
[11]. Syawâhid al-Tanzil, jil. 1, hal. 148, cetakan Beirut.
[12]. Shahih Muslim, jil. 4, hal. 1873.
[13]. Sunan Tirmidzi, jil. 5, hal. 662, hadis 3786.
[14]. Sunan Darami, jil. 2, hal. 432, Cetakan Dar al-Fikr, Beirut.
[15]. Musnad Ahmad, jil. 5, hal. 182, cetakan Dar al-Shadir, Beirut.
[16]. Khasâis Nasâi, hal. 2.
[17]. Mustadrak al-Shahihaîn, jil. 3, hal. 109.
[18]. Shawâiq al-Muhriqah, hal. 226, cetakan 'Abdullatif, Mesir.
[19]. Usud al-Ghâbah fi Ma'rifati al-Shahâba, jil. 3, hal. 47, cetakan Mesir.
[20]. Ihyâ al-Mayyit, yang dicetak sebagai catatan pinggir al-Itthaf, hal. 116.
[21]. Sunan Baihaqî, jil. 10, hal. 114.
[22]. Al-Mu'jam al-Kabir, hal. 137.
[23]. Khulâsah 'Abaqât al-Anwâr, jil. 2, hal. 105.
[24]. Khulâsah 'Abaqât al-Anwâr, jil. 2, hal. 285.
[25]. Al-Mu'jam al-Kabir wa al-Mu'jam al-Shagir, hal. 78, cetakan Dehli. 'Uyûn al-Akhbâr Dainawâri, jil. 1, hal. 212, cetakan Mesir. Mustadrak al-Shahihaîn, jil. 3, hal. 150. Mizân al-I'tidâl, jil. 1, hal. 224. Târikh al-Khulâfah, Suyuthi, hal 573.
[26]. Khulâsah 'Abaqât al-Anwâr, jil. 2, hal. 126-195
[27]. Shahih Muslim, jil. 3, hal. 1453, cetakan Beirut, Dar al-Ihya al-Turats al-'Arabi.
[28]. Shahih Bukhâri, jil. 3, juz 9, hal. 101.
[29]. Shahih Tirmidzi, jil. 4, hal. 501, cetakan Beirut, Dar al-Ihya al-Turats al-'Arabi.
[30]. Shahih Abi Daud, jil. 4.
[31]. Silahkan lihat, Muntakhâb al-Âtsâr, hal. 12 dan Ihqâq al-Haq, jil. 13
[32]. Yanâbi' al-Mawaddah, hal. 445, bab 77.
[33]. Kasyf al-Murâd, hal. 314, cetakan Mustafawi Qum.
[34]. Jawaban ini disuguhkan dengan menukil dari Tafsir Payâm-e Nur, jil. 9, (Imâmah wa Wilâyat dar Qurân Majid).