Please Wait
7599
Tentu saja kerisauan yang paling penting Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As adalah kelanjutan jalan Rasulullah Saw dan membiarkan jalan petunjuk (hidayah) dan Islam tetap terang-benderang sehingga manusia dapat meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.
Jalan terang ini dari lisan Rasulullah Saw sendiri disebut sebagai, “al-Mahajjat al-Baidha” (jalan terang) dan bahkan orang-orang yang pada tingkatan tertentu berperan dalam menjauhkan Imam Ali As dari khilafah juga tidak dapat mengingkari kenyataan ini.
Orang-orang saleh dan bertakwa yang tidak memiliki tujuan lain selain ketaatan kepada Allah Swt dan meraih keridhaan Allah Swt merupakan obyek dari ayat al-Qur’an yang menjelaskan, “(Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan salat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang makruf, dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.”[1] (Qs. Al-Hajj [22]:41)
Untuk menjelaskan jawaban yang diberikan, pertanyaan ini juga dapat dikemukakan dalam bentuk lain bahwa sekiranya usia Rasulullah Saw bertambah tiga puluh tahunan apa gerangan yang akan terjadi dalam dunia Islam?
Karena tatkala Rasulullah Saw menandaskan bahwa Ali As baginya adalah laksana Harun As bagi Musa As[2] dan tatkala berdasarkan redaksi kalimat “anfusanâ” (diri kami) pada ayat mubâhala,[3] yang sesuai dengan konsensus kaum Muslimin, hanya Ali, Fatimah, kedua putranya, Hasan dan Husain As yang turut menyertai Rasulullah Saw pada peristiwa mubâhala.[4] Ali sesuai dengan penegasan al-Qur’an pada ayat mubâhala dinyatakan sebagai jiwa (nafs) Rasulullah Saw. Masalah ini, berulang kali disampaikan oleh Rasulullah Saw sendiri dengan pelbagai pernyataan. Di antaranya, “Engkau dariku dan Aku darimu.”[5] dan lain sebagainya.
Dengan demikian dan dengan penjelasan lainnya kita saksikan bahwa alur hidup selama tiga puluh tahun Amirul Mukminin Ali As pasca wafatnya Rasulullah Saw tidak lain adalah alur yang benderang dan terang yang digariskan Rasulullah Saw, terlepas dari apakah Imam Ali berada pada pucuk pemerintahan atau di sudut pengasingan.
Atas dasar ini, jawaban ringkas atas pertanyaan ini adalah bahwa sekiranya khilafah semenjak awal jatuh di tangan Ali As maka sudah barang tentu beliau akan melanjutkan khittah dan model kepemimpinan Rasulullah Saw. Di antaranya beliau berusaha menjadikan alur petunjuk senantiasa terang dan benderang sehingga dapat membantu para pencari kejayaan dan kebahagiaan lebih cepat sampai kepada maksud yang dituju.
Terdapat redaksi dengan kalimat al-Mahajjat al-Baidha dalam bahasa Arab yang terjemahan Indonesianya adalah jalan terang. Rasulullah Saw menyampaikan kepada para sahabatnya demikian, “Apabila kalian selepasku menaati Ali – dan saya kira kalian tidak akan melakukan itu – maka tentu kalian akan mendapatkanya sebagai orang yang mendapat petunjuk dan memberikan petunjuk yang akan memandu kalian ke jalan terang (al-mahajjat al-baidha).”[6]
Amirul Mukminin juga pada permulaan khilafah secara lahirnya[7] tatkala membagikan harta kekayaan baitul mal secara merata (adil), salah seorang sahabatnya menyampaikan kritikan sebagian sahabat dalam masalah ini, beliau menjawab, “Demi Allah! Sekiranya usiaku mencukupi dan selamat dari pelbagai intrik dan tipuan, aku akan menempatkan manusia di jalan yang terang dan benderang.”[8] Demikian juga, dalam memberikan analisa terkait dengan mengapa anggota syura ynag hanya terdiri dari enam orang, pasca kematian Khalifah Kedua, mereka tidak memilihnya sebagai khalifah, “Tatkala mereka tidak menemukan sesuatu yang lain pada diriku selain Kitabullah, “jalan terang” dan wasiat Rasulullah Saw (sehingga mereka dapat menyalahgunakannya) mereka mengambil khilafah dariku dan menyerahkannya kepada orang lain.”[9]
Menarik untuk diketahui bahwa sekiranya Ali menduduki posisi khilafah dan memandu masyarakat ke jalan benderang, beliau akan mendapat sokongan dari para khalifah sebelumnya yang pada tingkatan tertentu berperan dalam menjauhkan Imam Ali As dari khilafah dan mereka juga tidak mengingkari kenyataan ini! Umar bin Khattab dalam sebuah pembicaraan pribadi dengan Ibnu Abbas menjelaskan bahwa sekiranya selepas ia Ali menduduki kursi khilafah maka ia akan menempatkan masyarakat di “jalan terang.”[10]
Demikian juga, Khalifah Kedua, sewaktu berada pada tataran menentukan beberapa kandidat untuk syura penentuan khalifah selanjutnya, meski ia menuding masing-masing dari anggota syura memiliki kekurangan dan cela, dan mendapuk Ali sebagai orang yang memiliki selera humor! Namun ia berkata kepada Amirul Mukminin Ali As, “Demi Allah! Sekiranya imanmu dibandingkan dengan iman seluruh manusia maka imanmu akan lebih unggul! Imam meninggalkan majelis setelah mendengar ucapan ini. Setelah Imam Ali pergi meninggalkan majelis tersebut, Umar bin Khattab menyampaikan kepada orang yang hadir di tempat itu, saya mengenal seseorang yang apabila kalian menyerahkan urusan kalian kepadanya maka ia akan memandu kalian ke jalan benderang.” Orang-orang bertanya, “Siapakah gerangan orang itu?” Umar berkata, “Ialah orang yang baru saja meninggalkan majelis kita ini.”[11]
Berdasarkan dalil-dalil dan riwayat-riwayat di atas kita jumpai bahwa sekiranya khilafah diserahkan kepada Imam Ali As maka pekerjaan terpenting yang akan dilakukannya adalah tetap membiarkan jalan petunjuk tetap benderang sehingga tiada seorang pun yang memiliki dalih dan alasan untuk menyimpang.
Dalam hal ini, Imam Ali As menjelaskan bahwa apabila tersedia ruang yang cukup baginya, para pengikut Taurat, Injil, Zabur dan al-Qur’an, dengan menggunakan kitab mereka masing-masing akan digiring ke jalan kebenaran (hak).[12] Imam Ali As tidak memandang pemerintahan mengandung nilai esensial sama sekali. Satu-satunya yang berguna baginya adalah bagaimana kebenaran dapat ditegakkan dan kebatilan dapat disingkirkan. Selain itu, nilai pemerintahan (khilafah) baginya hanyalah laksana sepatu yang koyak[13] atau bahkan tidak lebih baik dari bersin seekor kambing.[14]
Imam Ali As senantiasa menganjurkan hal ini kepada para aparat pemerintahannya supaya mereka tidak memandang kekuasaan dan jabatan yang diemban sebagai umpan (laksana srigala yang siap menerkam), melainkan memperlakukannya sebagai amanah Ilahi.[15] Tidak penting bagi Imam Ali bahwa pada masa khilafah negeri mana saja yang telah ditaklukan. Yang terpenting baginya adalah bahwa dengan tetap menyalakan suluh jalan, hati masyarakat dapat dibimbing ke jalan Allah Swt dan hari kiamat.
Hal ini dapat dengan baik kita jumpai pada tuturan kata dan perbuatannya selama menjabat sebagai khalifah kaum Muslimin; karena kendati beliau berhadapan dengan pelbagai peperangan dan berjibaku dengan pelbagai kesulitan namun hal itu tidak menjadi penghalang baginya munculnya penyimpangan dalam pemikiran dan tindakan. Imam Ali menjadikan Islam sejati sebagai cahayanya dalam menerangi jalannya.
Yang menarik adalah bahwa daerah-daerah terpenting yang takluk pada masa-masa pemerintahan para khalifah sebelumnya, Iran, Irak, Suriah, Mesir yang sekarang ini kebanyakan dari mereka Syiah atau pecinta Ali dan keluarganya; artinya Ali tanpa harus menguasai daerah-daerah ini, beliau memiliki peran langsung di daerah-daerah ini. Karena Allah Swt menjadikan hati dan pikiran rakyat tersedot kepadanya sehingga menjadi obyek ayat bahwa Allah Swt, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.”[16] (Qs. Maryam (19):96)
Boleh jadi jawaban terbaik bagi pertanyaan ini adalah penjelasan-penjelasan yang disampaikan oleh Sayidah Fatimah di masjid, apa yang menjadi alasan sehingga mereka mengungkit-ungkit cela Ali? Mereka mengungkit-ungkit cela Ali; karena pedangnya basah dan tidak mengenal siapa pun. Tidak mengenal yang berani dan pengecut. Mereka mendapatkan Ali tidak takut mati. Mereka melihat bagaimana Ali berperang dengan para musuh dan mengirim mereka ke neraka serta menjadikan hal itu sebagai pelajaran dan teladan bagi yang lain. Ali menguasai dan mengetahui secara sempurna al-Qur’an. Murkanya adalah untuk meraih keridhaan Allah Swt. Demi Allah! Sekiranya mereka menyimpang dari jalan kebenaran yang nyata dan terang serta menolak menerima dalil-dalil dan argumen-argumen terang dan nyata maka Ali As akan menjadi pemimbing dan pemberi petunjuk bagi mereka ke jalan lurus serta mencegah mereka dari jalan yang menyimpang dan menyesatkan. Demi Allah! Sekiranya laki-laki kalian tidak menekan Ali untuk keluar dari pemerintahan dan menyerahkan urusan pemerintahan kepadanya sebagaimana yang diwasiatkan Rasulullah Saw maka Ali akan membawa mereka dengan mudah dan unta ini akan sampai ke tujuannya dengan selamat dan tidak akan kepayahan tertatih-tatih meniti jalan. Ali akan membimbing mereka ke mata air yang bening dan menyegarkan serta sekali-kali tidak keruh. Ia akan melepaskan dahaga mereka dengan air bening dan segar ini. Ali menghendaki kebaikan pada mereka baik secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi. Sekiranya ia menduduki pos pemerintahan maka sekali-kali ia tidak akan pernah mengambil keuntungan dari baitul mal untuk dirinya sendiri. Ia tidak mengambil harta dunia kecuali seperlunya saja. Sekedar seteguk air untuk melepas dahaga dan tidak mengambil makanan kecuali untuk sekedar mengisi perut yang kosong. (Pada masa itu) manusia bertakwa akan dikenal. Orang-orang jujur dan pendusta akan dapat dibedakan. Dalam kondisi seperti ini, pintu-pintu keberkahan langit dan bumi akan terbuka bagi mereka. Allah Swt segera akan mengganjari dan menghukum perbuatan-perbuatan mereka.[17]
Akhir kata, kalau mau ditelesik nada pertanyaan Anda, boleh jadi pertanyaan Anda bertitik-tolak dari sebuah syubha (keraguan) yang dilontarkan oleh musuh-musuh Amirul Mukminin Ali As yang bersandar pada kenyataan bahwa seluruh kemenangan kaum Muslimin dicapai pada masa-masa sebelumnya dan pada masa Amirul Mukminin Ali As mulai berkecamuk perang saudara di antara kaum Muslimin. Dalam menghadapi lontaran syubha seperti ini harus dikatakan bahwa:
1. Perang saudara bermula dari konfrontasi sekelompok kaum Muslimin dengan Khalifah Ketiga yang berujung pada terbunuhnya Usman bin Affan yang kemudian juga menjadi sumber pelbagai bentrokan fisik pada masa Amirul Mukminin Ali As.
2. Apabila Amirul Mukminin Ali As, alih-alih memberangus Naktisin, Qasithin, Mariqin, mau berdamai, berkompromi dan memberikan privilege kepada mereka serta melakukan perluasan wilayah khilafah Islam, maka yakinlah Anda tidak akan pernah mendengarkan berita tentang Islam sejati. Islam yang ada hanyalah sekedar alat dan kedok untuk memuaskan pelbagai keinginan dan nafsu duniawi manusia saja. [IQuest]
[1]. (Qs. Al-Hajj [22]:41)
الَّذینَ إِنْ مَکَّنَّاهُمْ فِی الْأَرْضِ أَقامُوا الصَّلاةَ وَ آتَوُا الزَّکاةَ وَ أَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَ نَهَوْا عَنِ الْمُنْکَرِ وَ لِلَّهِ عاقِبَةُ الْأُمُورِ.
[2]. Shahih Bukhâri, jil. 4, hal. 208, Dar al-Fikr, Beirut, 1401 H.
[3]. “Barang siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya), “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anakmu, istri-istri kami dan istri-istrimu, diri kami dan dirimu; kemudian marilah kita ber-mubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.” (Qs. Ali Imran [3]:61)
[4]. Shahih Muslim, jil. 7, hal. 120-121, Dar al-Fikr, Beirut.
[5]. Shahih Bukhâri, jil. 4, hal. 207.
[6]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 35, hal. 398, sesuai nukilan dari Hafizh Abu Na’im, salah seorang penulis ternama Ahlusunnah, Muassasah al-Wafa, Beirut,m 1404 H.
[7]. Setelah kurang lebih dua puluh lima tahun berdiam diri di rumah meski demikian kaum Muslimin bahkan khalifah-khalifah sebelumnya banyak berkonsultasi dan bertanya kepada Imam Ali As tentang pelbagai hal.
[8]. Ibnu Abi al-Hadid, Syarh Nahj al-Balâghah, jil. 7, hal. 37, Kitabkhaneh Ayatullah Mar’asyi Najafi, Qum, 1404 H.
[9] Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 31, hal. 347.
[10]. Ibid, hal. 417.
[11]. Ibnu Abi al-Hadid, Syarh Nahj al-Balâghah, jil. 12, hal. 259-260.
[12]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 26, hal. 182, Hadis 8 (puluhan hadis serupa yang terdapat pada kitab-kitab lainnya).
[14]. Ibid, hal. 49, Khutbah 3.
[15]. Ibid, hal. 366, Surat Ke-5.
[16]. (Qs. Maryam [19]:96)
"ان الذین آمنوا و عملوا الصالحات سیجعل لهم الرحمن ودا".
[17]. Bihâr al-Anwâr al-Jâmi’ah lidurar Akhbâr al-Aimmah al-Athhâr, jil. 43, hal. 159, Zendegâni Hadhrat Zahra As, hal. 581 dan 582.