Please Wait
7592
Setiap mukallaf berakal (‘âqil) dan dewasa (bâligh) setelah dinyatakan mampu[1] untuk pergi menunaikan ibadah haji maka kewajiban haji menjadi tetap (mustaqar) dan harus baginya. Artinya ia harus menyiapkan pendahuluan-pendahuluan untuk berangkat menunaikan ibadah haji.[2] Misalnya apabila berangkat haji harus dilakukan dengan mendaftarkan nama maka ia harus segera mendaftarkan namanya sebagai calon jamaah haji.
Adapun pertanyaan di atas telah kami layangkan ke beberapa kantor Marja Agung Taklid dan menerima jawabannya sebagaimana berikut ini:
Kantor Ayatullah Agung Khamenei (Mudda Zhilluhu al-‘Ali):
Apabila sebelumnya haji telah tetap (mustaqar) baginya, apabila ia sendiri tidak mampu menunaikan ibadah haji dan tidak ada lagi harapan untuk sembuh maka ia harus mengambil nâib (pengganti) untuk menunaikan ibadah haji untuknya namun apabila kewajiban haji sebelumnya belum lagi tertetapkan baginya sesuai dengan asumsi yang disebutkan maka haji tidak wajib baginya dan wewenang harta (identifikasi apakah ia mampu atau tidak) berada di tangannya.
Kantor Ayatullah Agung Makarim Syirazi (Mudda Zhilluhu al-‘Ali):
Mengambil nâib (pengganti) dalam urusan haji dari seseorang yang masih hidup tidak benar kecuali jika seseorang karena usia tua atau sakit tidak mampu berangkat menunaikan ibadah haji dan telah putus asa untuk memperoleh kesembuhan dan kemampuan fisik hingga akhir usianya.
Kantor Ayatullah Agung Shafi Gulpaigani (Mudda Zhilluhu al-‘Ali):
Apabila ia memiliki kemampuan finansial namun tidak mampu secara fisik maka mengikut prinsip ihtiyâth wâjib ia harus mengambil naib (pengganti) supaya ia menunaikan haji untuknya dan tidak mesti pengganti itu harus anak pertama.
Kantor Ayatullah Agung Siistani (Mudda Zhilluhu al-‘Ali):
Apabila ia tidak mampu secara fisik dan telah putus asa untuk memperoleh kemampuan fisik maka ia harus mengambil nâib (pengganti).
Jawaban Ayatullah Mahdi Hadawai Tehrani (Semoga Allah Swt Melanggengkan Keberkahannya) adalah sebagai berikut:
- Tidak dibenarkan merubah haji wajib menjadi beberapa haji umrah.
Sesuai dengan asumsi pertanyaan; seseorang harus mengirim nâib baginya untuk berangkat menunaikan haji dan membayar biaya-biaya haji dan tidak mesti naib itu harus anak laki-laki pertama.
[1]. Baik itu kemampuan finansial (membayar biaya perjalanan) atau kemampuan fisikal (dinyatakan mampu mengikut amalan-amalan fisikal haji) dan jalan (terbuka baginya).
[2]. Muhammad Ridha Mahmudi, Manasik Haj (Muhassya), hal. 16, Nasyr Masy’ar, Teheran-Iran, Edisi Terbaru, 1429 H.