Please Wait
13594
Menyaksikan Tuhan dengan mata hati (bashirat) yang mengemuka dalam sabda Imam Ali As, dari sudut pandang teologi adalah masalah yang bertalian dengan masalah rukyat Tuhan (melihat). Sesuai dengan pandangan yang benar dalam hal ini, menyaksikan dengan mata indrawi merupakan perkara yang berbeda dengan menyaksikan dan manifestasi qalbi (qalbu). Menyaksikan Tuhan dengan mata indrawi merupakan perkara yang mustahil. Namun menyaksikan dengan mata hati (bashirat) atau liqâuLlâh merupakan perkara yang terrealisasi pada makam wali Allah.
Adapun yang dimaksud dengan rukyat (menyaksikan) di sini adalah menyaksikan manifestasi Tuhan pada pelbagai jelmaan dan penampakan-penampakan nama-nama dan sifat Zat Ilahi bukan menyaksikan kedalaman Zat-Nya.
Menyaksikan (rukyat) ini adalah makrifat syuhudi (penyaksian intuitif) terhadap Allah Swt yang dibahasakan dalam lisan riwayat sebagai penyaksian hati (qalbu).
Makrifat syuhudi atau qalbi terkait dengan Alla hSwt adalah syuhud terhadap pelbagai manifestasi Tuhan, dalam pembahasan disiplin ilmu Irfan memiliki ragam tingkatan dan puncaknya berujung pada kefanaan dan kekekalan terhadap manifestasi Zat Ilahi.
Di sini pertanyaan yang mengemuka adalah apa hubungan antara masalah syuhud atau penyaksian mata hati Tuhan dengan kandungan kalimat tayyibah "lailaha illaLlah" dan tauhid wujudi?
Jawaban atas pertanyaan ini adalah bahwa neraca keikhlasan dalam tauhid dan kesaksian (syahadah) bahwa tiada yang patut disembah selain Tuhan, harus bertitik-tolak dari pengetahuan sempurna, bukan semata-mata beranjak dari taklid dan ungkapan ekspresional lisan belaka.
Tingkatan tauhid praktis pada setiap orang bergantung pada neraca penafian selain Tuhan (laa ilaha) dan penetapan "illaLlah" telah mengakar dan terealisir dalam dirinya. Dengan kata lain, hanya tatkala ikhlas sedemikian dalam tingkatan tauhid telah terwujud maka manifestasi-manifestasi Ilahi akan menjelma dalam hati seorang salik (pejalan dan pelancong ruhani).
Musyahadah (menyaksikan) Tuhan dengan mata hati yang mengemuka dalam sabda Baginda Ali As dari sudut pandang teologis adalah sebuah pembahasan yang termasuk dalam pembahasan rukyat Tuhan (melihat Tuhan). Pembahasan "rukyat" merupakan masalah yang telah mengedepan pada masa awal-awal kemunculan Islam di antara para teolog dan banyak pendapat yang dilontarkan terkait dengan masalah ini.[1]
Dalam al-Qur'an, banyak ayat yang menyebutkan redaksi "liqauLlah" dan memandang wajah Tuhan. Pada kebanyakan kitab-kitab hadis juga terdapat pembahasan mandiri yang mengkhususkan pembahasan rukyat. Penetapan dan penafian rukyat juga banyak disebutkan dalam sebagian riwayat. Dengan demikian, banyak pendapat dan pandangan yang mengemuka ihwal masalah ini di antara mazhab Islam. Akan tetapi rukyat qalbi atau liqauLlah merupakan perkara yang terealisir pada makam para wali sempurna Tuhan dan yang dimaksud dengan rukyat d sini adalah tajalli dan manifestasi Tuhan pada pelbagai jelmaan dan penampakan nama-nama dan sifat zati Tuhan bukan rukyat puncak kedalaman (kunhi) Zat-Nya.
Rukyat sedemikian popular disebut sebagai syuhud (penyaksian intuitif) terhadap Allah Swt yang dinyatakan dalam lisan riwayat sebagai rukyat qalbi (penyaksian mata hati). Sebagaimana hal tersebut dinukil dari Amirulmukminin As yang bersabda: Ma kuntu a'bud Rabban lam arahu. (Aku tidak menyembah Tuhan yang tidak aku lihat). (Dza'lab) berkata dan bagaimana Anda melihatnya? Katanya: Wailaka Laa Tudrikuhu al-'Uyûn fi Musyahâdati al-Abshar wa Lakin ra'athu al-Qulûb bihaqâiq al-iman (Celakalah engkau! Mata-mata tidak dapat menyaksikannya. Namun hati dapat menggapai dan menyaksikannya dengan kebenaran iman)"[2]
Makrifat qalbi terhadap Tuhan adalah syuhud (penyaksian intuitif) terhadap segala manifestasi dan tajalli Tuhan. Hal ini memiliki ragam tingkatan dalam pembahasan-pembahasan Irfan dan puncak perjalanan (suluk) yaitu fana (kefanaan) dan baqa (kekekalan) berujung pada manifestasi dan tajalli Zati Tuhan.
Klasifikasi yang cukup popular terkait dengan tingkatan-tingkatan tajalli Tuhan adalah sebagai berikut: Pembagian tajalli menjadi tajalli zati, sifati dan af'ali. Tajalli zati yang merupakan tingkatan tertinggi tajalli juga terdiri dari dua jenis; tajalli rububiyat dan tajalli uluhiyyat.[3]
Sesuai dengan penjelasan para arif, tajalli yang terjadi atas Nabi Musa di gunung Thur adalah tajalli rububiyat bukan tajalli uluhiyat; karena syarat terjadinya tajalli uluhiyyat adalah ananiyah hamba secara keseluruhan telah lebur dan sirna (fana) dan apabila masih ada sifat ananiyah (keakuan) dalam diri seorang hamba maka syuhud uluhuiyyah tidak akan mungkin tercapai.
Dengan penafsiran ini harus dikatakan bahwa: kendati rukyat bashari, melihat Tuhan dengan mata indrawi adalah sesuatu yang mustahil, akan tetapi rukyat qalbi (melihat Tuhan dengan mata hati dan mata batin) yang bermakna syuhud (menyaksikan dengan mata hati) Tuhan pada pelbagai tajalli perbuatan-perbuatan, sifat-sifat dan zat-zat-Nya bukanlah suatu hal yang mustahil. Artinya bahwa syuhud zati pada makam uluhiyyah tidak akan pernah dapat tercapai kecuali dengan sirna dan leburnya zat seorang hamba.
Karena itu, syuhud qalbi memiliki ragam tingkatan yang nampak dan memanifestasi pada suluk (perjalanan) dan makam-makam irfani. Akan tetapi tajalli uluhiyya zat Tuhan tidak dapat tergapai kecuali dengan tercerabutnya keberadaan seorang salik (pejalan). Kendati sebagian hijab dan tirai zhulmani (kegelapan) telah terangkat. Karena itu, ungkapan "lan tarâni." (Engkau tidak akan pernah melihat-Ku) Tidak menafikan rukyat qalbi secara mutlak, sebagaimana sesuai dengan para arif dimana Nabi Saw adalah pemilik penyingkapan sempurna dan tajalli zati uluhiyah termanifestasi pada diri Rasulullah Saw.
Ibnu Arabi dalam hal ini berkata, "Tajalli zat terdiri dari dua jenis. Tajalli rububiyat dan tajalli uluhiyyah; Tajalli rububiyah adalah tajallli yang terjadi atas Nabi Musa As di bukit Thur, eksistensinya masih tersisa kendati gunung telah sirna dan Nabi Musa As sendiri pingsang, akan tetapi tajalli uluhiyyah terkhusus untuk Nabi Muhammad Saw dimana akibat tajalli ini, keberadaannya telah lebur dan sirna dalam zat uluhiyyat sedemikian sehingga diwahyukan kepadanya, "Orang-orang yang berbaiat kepadamu sesungguhnya berbaiat kepada Tuhan."[4]
Di sini sebuah pertanyaan mengedapan bahwa apa hubungan yang terjalin antara masalah syuhud atau rukyat qalbi Tuhan dan kandungan kalimat tayyibah lailaha illaLâh dan tauhid?
Jawaban dari pertanyaan ini dengan memperhatikan apa yang telah dijelaskan di atas akan menjadi jelas. Manusia dapat melewati seluruh tingkatan tajalli, baik itu tajalli seluruh perbuatan, sifat dan zat. Hal ini sepenuhnya bergantung pada seberapa besar ia menafikan keberadaannya. Dengan sampainya ia pada tauhid perbuatan, sifat dan zat maka telah ia sampai pada kesempurnaan praktis, sebuah tingkatan tajalli akan termanifestasi baginya. Apabila masih tersisa keberadaannya pada perjalanannya menuju Tuhan maka ia tidak akan pernah mencicipi lezatnya tajalli Tuhan dalam dirinya.
Karena itu, dari sudut pandang praktis, neraca keikhlasan dalam tauhid dan kesaksian (syahadah) bahwa tiada tuhan dan sembahan selain Allah, harus bersumber dari makrifat yang sebenarnya bukan sekedar bertitik tolak dari taklid dan ungkapan ekspresional bahasa lisan (lafzi). Dan tingkatan tauhid praktis pada setiap orang bergantung sepenuhnya pada seberapa besar ia menafikan selain Allah (ma siwaLlâh) "lailaha" dan menetapkan "illaLlâh" pada dirinya. Dengan kata lain, bilamana ikhlas sedemikian terealisir pada tingkatan tauhid maka pelbagai tajalli Tuhan akan merangsek masuk ke dalam jiwa seorang salik (pejalan).
Sebagaimana tingkatan tertinggi tauhid adalah tauhid wujudi dimana dalam tauhid wujudi asas keberadaan dan eksistensi selain Tuhan ternafikan (wahdat al-Wujud para arif), pada puncaknya, selaras dengan tingkatan tertinggi tajalli yang terjelma setelah lebur dan sirnanya ananiyah dan keberadaan seorang hamba, sebagaimana hal ini telah dijelaskan pada pembahasan tajalli zati.
Karena itu, makam syuhud qalbi Tuhan merupakan tujuan jauh dalam lintasan manusia meniti kesempurnaan yang tidak dapat dipetik hanya melalui penalaran dan argumentasi, melainkan lintasan gerakan eksistensial dan eksatoligikal manusia yang menyadari tujuan ini, sebagaimana al-Qur'an menandaskan, "Yaa Ayyuhal Insan innaka kadihun ila rabbika kadhan famulaqih." (Hai manusia, sesungguhnya kamu menuju kepada Tuhan-mu dengan kerja dan usaha yang sungguh-sungguh, maka kamu pasti akan menjumpai-Nya, Qs. Al-Insyiqaq [84]:6) [IQuest]
[1]. Dairât al-Ma'âif Islâmi, jil. 14, hal. 589 dan 590, Nasyr-e Markaz Dairat al-Ma'arif Buzurg Islami, cetakan pertama, 1385.
[2]. Al-Kâfi, jil. 1, hal. 97, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1365.
[3]. Dairât al-Ma'âif Islâmi, jil. 14, hal. 589 dan 590, Nasyr-e Markaz Dairat al-Ma'arif Buzurg Islami, cetakan pertama, 1385.
[4]. Rasâil Ibnu 'Arabi, Risalah Al-Gutsiyah, hal. 29, Pengantar dan Editor, Mill Herawi, Intisyarat-e Maula, Teheran, 1367d.