Please Wait
Hits
7552
7552
Tanggal Dimuat:
2007/09/17
Ringkasan Pertanyaan
Apakah kaitan antara irfan dan pengenalan jiwa?
Pertanyaan
Apakah kaitan antara irfan dan pengenalan jiwa?
Jawaban Global
Irfan terbagi dalam dua cabang: irfan teoritis dan praktis. Kedua cabang irfan ini berkaitan erat dengan pengenalan jiwa. Karena dari satu sisi, yang dibahas dalam irfan teoritis adalah penyaksian Hak, sedangkan dari sisi lain, jiwa yang paling sempurna adalah manifestasi Hak, dan penyaksian Hak hanya akan dihasilkan melalui pengenalan jiwa dan penyuciannya dari segala kekurangan serta mendekatkannya kepada Yang Hak.
Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya.”
Sementara kaitan antara pengenalan jiwa dengan irfan praktis yang merupakan makrifat menuju sair suluk dan mujahadah untuk melepaskan jiwa dari keterikatannya, sangatlah terang dan jelas.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengenalan jiwa dan pengenalan diri merupakan salah satu masalah dan tema terpenting dalam Irfan Islam.
Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya.”
Sementara kaitan antara pengenalan jiwa dengan irfan praktis yang merupakan makrifat menuju sair suluk dan mujahadah untuk melepaskan jiwa dari keterikatannya, sangatlah terang dan jelas.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengenalan jiwa dan pengenalan diri merupakan salah satu masalah dan tema terpenting dalam Irfan Islam.
Jawaban Detil
Irfan terbagi menjadi dua bagian: irfan teoritis dan irfan praktis. Pembahasan kedua cabang ini berkaitan sangat erat dengan pengenalan jiwa. Dalam irfan teoritis, seorang arif akan fokus membahas intepretasi iihwal eksistensi dan keberadaan; ia akan menuangkan penggambaran dan pembahasannya mengenai Tuhan, dunia dan manusia. Pada dasarnya, irfan teoritis menempatkan asas-asas praktis dan teoritis irfan praktis sebagai bahan analisa.[1]
Dengan kata lain, ketika irfan teoritis menganalisa dimensi keberadaan manusia dan dunia, dan dengan yakin memahami tentang hakikat keselamatan manusia, irfan praktis mengatakan bahwa amalan harus dilakukan sesuai cara ini, jika realitasnya demikian, maka untuk mendapatkan kemajuan, gerakan harus dilakukan sesuai dengan metode yang telah ditunjukkan oleh irfan teoritis.[2]
Bagaimanapun, dari satu sisi, dalam definisi irfan teoritis dikatakan, Irfan adalah bagian dari ilmu terhadap Hak Ta’ala dari perspektif asma, sifat, dan manifestasi-Nya, dan juga ilmu terhadap kondisi kebangkitan dan hakikat alam, serta bagaimana kembalinya hakikat-hakikat tersebut kepada hakikat tunggal, yang tak lain adalah Zat Tunggal Hak Ta’ala.[3]
Dari sisi lain, dalam definisi jiwa dikatakan, jiwa adalah sebuah jauhar dan substansi terkomposisi, memiliki ruh, hidup dengan zat, mengetahui dengan potensi, pelaku dengan karakter. Pada dasarnya jiwa adalah sebuah bentuk dari bentuk-bentuk akal aktif.[4]
Hakikat manusia (jiwa) adalah kelembutan robbani, dimana dimensi jasmani dan ruhaninya seluruhnya merupakan manifestasi dan penampakan-penampakan hakikat tersebut.[5]
Jiwa merupakan manifestasi Hak yang paling sempurna dan Rasulullah Saw bersabda, “Man ‘arafa nafsah faqad ‘arafa Rabbah”, Barang siapa mengenai dirinya maka ia mengenal Tuhannya.[6] Pada hadis ini, irfan merupakan kelanjutan dari pengenalan jiwa.
Dengan demikian, dengan penjelasan ini menjadi jelaslah interaksi antara pengenalan jiwa dengan irfan teoritis.
Akan tetapi, irfan praktis merupakan bagian dari irfan yang menjelaskan tentang hubungan dan kewajiban manusia terhadap dirinya, dunia dan Tuhannya.
Irfan praktis menjelaskan dari mana secara praktis dan hakiki seorang salik harus memulai langkahnya untuk bisa sampai ke puncak kulminasi insaniyah yaitu sampai kepada tauhid, tahapan-tahapan apa yang akan dilewatinya, dan kondisi apa yang akan dihadapi oleh ruh dan jiwanya di pertengahan jalan. Yang dibahas dalam irfan praktis adalah permulaan, stasiun-stasiun atau tingkatan-tingkatan spiritual, dan tujuan, dimana seluruhnya ini harus dilalui oleh seorang salik secara tertib hingga sampai ke pemberhentian terakhir.
Para arif sepakat bahwa sampai ke satu tingkatan spiritual tanpa melalui tingkatan spiritual atau tahapan sebelumnya merupakan hal yang mustahil dan tidak mungkin, yaitu antara posisi dan tingkatan irfan terdapat interaksi sebab dan akibat dimana sampai ke masing-masingnya tanpa melalui tingkatan sebelumnya adalah mustahil.[7]
Jelas bahwa pengetahuan terhadap kondisi dan keteraturan yang rinci dan jeluk ini, berkaitan dengan pengenalan yang sangat detail terhadap jiwa, karena itu, wacana-wacana ilmu jiwa yang dibahas dalam kitab-kitab filsafat dan irfan memiliki bagian yang luas dari filsafat dan irfan Islami.[8]
Sekaitan dengan ini para arif mengatakan, ruh dan jiwa manusia seperti sebuah tumbuhan yang pertumbuhannya memiliki rencana dan rancangan khas yang harus dijalani setahap demi setahap hingga sampai pada kesempurnaan yang dikehendaki, dan masalah inilah yang dalam irfan praktis, secara praktis akan menumbuhkan jiwa, keadaan jiwa inilah yang dianalisa dalam irfan teoritis dimana jiwa manusia seperti setiap manifestasi lain, mengikuti keteraturan dan hukum tertentu, kadangkala memiliki motivasi yang kuat, kadang rendah, kadang taat dan kadang ingkar. Seluruh kecenderungan jiwa ini harus dikenali dengan baik dan harus disikapi dengan tepat, persis seperti kuda liar yang harus dijinakkan.
Dan karena inilah pada sebagian definisi arif dikatakan, sufi atau arif adalah mereka yang secara terus menerus berusaha dalam tazkiyatun nafs[9], penyucian jiwa dan pengagungan ruh.[10]
Setelah definisi irfan praktis, pengenalan dan makrifat terhadap metode suluk dan mujahadah untuk melepaskan jiwa dari tekanan-tekanan, batasan-batasan partikular, keterikatannya terhadap sumbernya, deskripsi atribut universal,[11] merupakan hal yang baik dan pasti, dimana melepaskan jiwa dari batasan partikular dan keterikatan terhadap sumber yang tinggi, hanya bisa diterima dengan makrifat dan pengenalan jiwa.
Imam Ali As bersabda, “Arif adalah seorang yang telah membangun jiwanya dan membebaskan serta membersihkannya dari segala hal yang menjauhkannya dari Tuhan.”[12]
Dengan demikian, jiwa merupakan salah satu masalah penting irfan, dan sebagaimana halnya antara sebuah ilmu terdapat interaksi dengan masalahnya, maka antara jiwa dan irfan pun terdapat interaksi.
Penting untuk diingatkan bahwa irfan memanfaatkan jalan penyaksian yang merupakan jalan kalbu, dan ini terjadi sementara dikatakan bahwa dalam pembuktian dan ilmu terhadap jiwa pun, hanya metoda ini yang bisa dimanfaatkan.
Para arif dan hukama Islam meyakini bahwa ilmu terhadap jiwa adalah presensi (hudhuri), dan jika manusia tidak menyaksikan jiwanya sendiri dengan ilmu hudhuri, maka tidak ada satupun jalan lain yang akan mampu membuktikan dan mengenalinya.[13]
Syaikh Syihabuddin Suhrawardi dalam kitab Hikmah al-Asyrâf mengungkapkan dua argumentasi atas kehadiran makrifat jiwa dan transmutasi atau perubahan pengenalannya melalui pengetahuan-pengetahuan perolehan (hushuli),[14] dimana kesimpulan dari kedua argumentasi tersebut adalah bahwa manusia bukan hanya tidak bisa mengenali jiwanya sendiri melalui aksi dan reaksinya, bahkan juga tidak bisa melalui penjelasan manapun mengenai pemahaman akal, melainkan keberadaan setiap individu berkaitan dengan hakikat yang hanya bisa diidentifikasi dengan penyaksian irfani.[15]
Hal ini terjadi lantaran pengaruh eksternal jiwa dan perilaku manusia yang menjadi sandaran para psikolog saat ini hanya merupakan bagian dari pengaruh-pengaruh ruh dan jiwa berhadapan dengan aksi dan reaksi eksternal, akan tetapi esensi dan hakikat ruh dan jiwa hanya bisa dikenali dengan penyaksian irfani.[16] Karena hal itulah sehingga sebagian dari psikolog kontemporer meyakini bahwa psikologis kontemporer pada dasarnya adalah ilmu pengenalan perilaku, dan tidak ada kaitannya dengan pengenalan ruh.[17][iQuest]
Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat Durûs Makrifate Nafs, Ayatullah Hasan Zadeh Amuli, hal. 529-531 dan 603.
Dengan kata lain, ketika irfan teoritis menganalisa dimensi keberadaan manusia dan dunia, dan dengan yakin memahami tentang hakikat keselamatan manusia, irfan praktis mengatakan bahwa amalan harus dilakukan sesuai cara ini, jika realitasnya demikian, maka untuk mendapatkan kemajuan, gerakan harus dilakukan sesuai dengan metode yang telah ditunjukkan oleh irfan teoritis.[2]
Bagaimanapun, dari satu sisi, dalam definisi irfan teoritis dikatakan, Irfan adalah bagian dari ilmu terhadap Hak Ta’ala dari perspektif asma, sifat, dan manifestasi-Nya, dan juga ilmu terhadap kondisi kebangkitan dan hakikat alam, serta bagaimana kembalinya hakikat-hakikat tersebut kepada hakikat tunggal, yang tak lain adalah Zat Tunggal Hak Ta’ala.[3]
Dari sisi lain, dalam definisi jiwa dikatakan, jiwa adalah sebuah jauhar dan substansi terkomposisi, memiliki ruh, hidup dengan zat, mengetahui dengan potensi, pelaku dengan karakter. Pada dasarnya jiwa adalah sebuah bentuk dari bentuk-bentuk akal aktif.[4]
Hakikat manusia (jiwa) adalah kelembutan robbani, dimana dimensi jasmani dan ruhaninya seluruhnya merupakan manifestasi dan penampakan-penampakan hakikat tersebut.[5]
Jiwa merupakan manifestasi Hak yang paling sempurna dan Rasulullah Saw bersabda, “Man ‘arafa nafsah faqad ‘arafa Rabbah”, Barang siapa mengenai dirinya maka ia mengenal Tuhannya.[6] Pada hadis ini, irfan merupakan kelanjutan dari pengenalan jiwa.
Dengan demikian, dengan penjelasan ini menjadi jelaslah interaksi antara pengenalan jiwa dengan irfan teoritis.
Akan tetapi, irfan praktis merupakan bagian dari irfan yang menjelaskan tentang hubungan dan kewajiban manusia terhadap dirinya, dunia dan Tuhannya.
Irfan praktis menjelaskan dari mana secara praktis dan hakiki seorang salik harus memulai langkahnya untuk bisa sampai ke puncak kulminasi insaniyah yaitu sampai kepada tauhid, tahapan-tahapan apa yang akan dilewatinya, dan kondisi apa yang akan dihadapi oleh ruh dan jiwanya di pertengahan jalan. Yang dibahas dalam irfan praktis adalah permulaan, stasiun-stasiun atau tingkatan-tingkatan spiritual, dan tujuan, dimana seluruhnya ini harus dilalui oleh seorang salik secara tertib hingga sampai ke pemberhentian terakhir.
Para arif sepakat bahwa sampai ke satu tingkatan spiritual tanpa melalui tingkatan spiritual atau tahapan sebelumnya merupakan hal yang mustahil dan tidak mungkin, yaitu antara posisi dan tingkatan irfan terdapat interaksi sebab dan akibat dimana sampai ke masing-masingnya tanpa melalui tingkatan sebelumnya adalah mustahil.[7]
Jelas bahwa pengetahuan terhadap kondisi dan keteraturan yang rinci dan jeluk ini, berkaitan dengan pengenalan yang sangat detail terhadap jiwa, karena itu, wacana-wacana ilmu jiwa yang dibahas dalam kitab-kitab filsafat dan irfan memiliki bagian yang luas dari filsafat dan irfan Islami.[8]
Sekaitan dengan ini para arif mengatakan, ruh dan jiwa manusia seperti sebuah tumbuhan yang pertumbuhannya memiliki rencana dan rancangan khas yang harus dijalani setahap demi setahap hingga sampai pada kesempurnaan yang dikehendaki, dan masalah inilah yang dalam irfan praktis, secara praktis akan menumbuhkan jiwa, keadaan jiwa inilah yang dianalisa dalam irfan teoritis dimana jiwa manusia seperti setiap manifestasi lain, mengikuti keteraturan dan hukum tertentu, kadangkala memiliki motivasi yang kuat, kadang rendah, kadang taat dan kadang ingkar. Seluruh kecenderungan jiwa ini harus dikenali dengan baik dan harus disikapi dengan tepat, persis seperti kuda liar yang harus dijinakkan.
Dan karena inilah pada sebagian definisi arif dikatakan, sufi atau arif adalah mereka yang secara terus menerus berusaha dalam tazkiyatun nafs[9], penyucian jiwa dan pengagungan ruh.[10]
Setelah definisi irfan praktis, pengenalan dan makrifat terhadap metode suluk dan mujahadah untuk melepaskan jiwa dari tekanan-tekanan, batasan-batasan partikular, keterikatannya terhadap sumbernya, deskripsi atribut universal,[11] merupakan hal yang baik dan pasti, dimana melepaskan jiwa dari batasan partikular dan keterikatan terhadap sumber yang tinggi, hanya bisa diterima dengan makrifat dan pengenalan jiwa.
Imam Ali As bersabda, “Arif adalah seorang yang telah membangun jiwanya dan membebaskan serta membersihkannya dari segala hal yang menjauhkannya dari Tuhan.”[12]
Dengan demikian, jiwa merupakan salah satu masalah penting irfan, dan sebagaimana halnya antara sebuah ilmu terdapat interaksi dengan masalahnya, maka antara jiwa dan irfan pun terdapat interaksi.
Penting untuk diingatkan bahwa irfan memanfaatkan jalan penyaksian yang merupakan jalan kalbu, dan ini terjadi sementara dikatakan bahwa dalam pembuktian dan ilmu terhadap jiwa pun, hanya metoda ini yang bisa dimanfaatkan.
Para arif dan hukama Islam meyakini bahwa ilmu terhadap jiwa adalah presensi (hudhuri), dan jika manusia tidak menyaksikan jiwanya sendiri dengan ilmu hudhuri, maka tidak ada satupun jalan lain yang akan mampu membuktikan dan mengenalinya.[13]
Syaikh Syihabuddin Suhrawardi dalam kitab Hikmah al-Asyrâf mengungkapkan dua argumentasi atas kehadiran makrifat jiwa dan transmutasi atau perubahan pengenalannya melalui pengetahuan-pengetahuan perolehan (hushuli),[14] dimana kesimpulan dari kedua argumentasi tersebut adalah bahwa manusia bukan hanya tidak bisa mengenali jiwanya sendiri melalui aksi dan reaksinya, bahkan juga tidak bisa melalui penjelasan manapun mengenai pemahaman akal, melainkan keberadaan setiap individu berkaitan dengan hakikat yang hanya bisa diidentifikasi dengan penyaksian irfani.[15]
Hal ini terjadi lantaran pengaruh eksternal jiwa dan perilaku manusia yang menjadi sandaran para psikolog saat ini hanya merupakan bagian dari pengaruh-pengaruh ruh dan jiwa berhadapan dengan aksi dan reaksi eksternal, akan tetapi esensi dan hakikat ruh dan jiwa hanya bisa dikenali dengan penyaksian irfani.[16] Karena hal itulah sehingga sebagian dari psikolog kontemporer meyakini bahwa psikologis kontemporer pada dasarnya adalah ilmu pengenalan perilaku, dan tidak ada kaitannya dengan pengenalan ruh.[17][iQuest]
Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat Durûs Makrifate Nafs, Ayatullah Hasan Zadeh Amuli, hal. 529-531 dan 603.
[1]. Murtadha Muthahhari, Asynâi ba Ulûm-e Islâmi (Kalam-Irfan-Hikmat-e Ilmi), jil. 2, hal. 89.
[2]. Untuk informasi lebih lanjut, lihatlah indeks: Irfan Teoritis dan Irfan Praktis, Pertanyaan 239.
[3]. Daud Qaisari, Risâlah Tauhid wa Nubuwwat wa Wilâyat, Pasal Pertama; Syihabuddin Suhrawardi, ‘Awârif al-Ma’ârif, Terjemahan Abdulmukmin Ishfahani, bab kelima; Sayyid Yahya Yatsribi, Irfân Nazhari bagian kedua, pasal pertama; Yahya Yatsribi, Irfân ‘Amali dar Islâm, hal. 19-20.
[4]. Nashir Khusruw, Jâmi’ al-Hikmatain, hal. 89, dengan nukilan dari Dr. Sayyid Ja’far Sajjadi, Farhangge Islami, jil. 4, hal. 469-470.
[5]. Ibid; Dr. Sayyid Yahya Yatsribi, Irfân Amali dar Islâm, hal. 128 dan 129; Dr. Sayyid Yahya Yatsribi, Irfân Nazhari, hal. 269.
[6]. Syaikh Abbas Qumi, Safînah al-Bihâr, jil. 2, bagian Jiwa.
[7]. Muthahhari, Murtadha, Âsyenâi ba Ulûm-e Islâmi (Kalam-Irfan-Hikmat-e Ilmi), jil. 2, hal. 85 dan 87.
[8]. Muthahhari, Murtadha, Irfân Hâfiz, hal. 12 dan 13.
[9]. Indeks terkait: Tahapan-tahapan Permulaan Tazkiyatunafs, Pertanyaan 400.
[10]. Syihabuddin Suhrawardi, ‘Awârif al-Ma’ârif, Terjemahan Abdulmukmin Ishfahani, bab kelima.
[11]. Daud Qaishari, Risâlah Tauhid wa Nubuwwat wa Wilâyat, Pasal Pertama; Syihabuddin Suhrawardi, ‘Awârif al-Ma’ârif, Terjemahan Abdulmukmin Ishfahani, bab kelima; Sayyid Yahya Yatsribi, Irfân Nadzari bagian kedua, pasal pertama; Yahya Yatsribi, Irfân ‘Amali dar Islâm, hal. 19-20.
[12]. Amadi, Ghurar al-Hikam wa Durar al-Kilam, dengan nukilan dari Hasan Zodeh Amuli, Majmue Maqalat, hal. 154.
[13]. Jawadi Amuli, Syenâkht Syenâsi dar Qurân, hal. 308 dan 309.
[14]. Ibid, hal. 310.
[15]. Ibid, hal. 312.
[16]. Dr. Muhammad Syaqowi, Farâsuye Rawân Syenâsi Islâmi yâ Akhlâq wa Behdâsyte Rawâni dar Islâm, Terjemahan Dr. Sayiid Muhammad Baqir Hujjati, hal. 51.
[17]. Dr. Sirus ‘Azdimi, Rawân Syenâsi Umumi, hal. 1; Dr. Muhammad Utsman Nejati, Qurân wa Rawân Syenâsi, Terjemahan Abbas Arab, hal. 23 dan 24.
Terjemahan dalam Bahasa Lain
Komentar