Please Wait
Hits
16304
16304
Tanggal Dimuat:
2007/12/28
Kode Site
fa1994
Kode Pernyataan Privasi
62780
Tema
Akhlak Praktis|Hukum dan Yurisprudensi|Pekerjaan Wanita dan Kemandirian Finansial |زن|بیشتر بدانیم
- Share
Ringkasan Pertanyaan
Apakah suami dapat memerintahkan istrinya untuk bekerja di luar rumah?
Pertanyaan
Apakah suami dapat memerintahkan istrinya untuk bekerja di luar rumah? Apakah disebabkan oleh ketaatan kepada suami sang istri memperoleh pahala meski ia tidak terlalu tertarik untuk bekerja di luar rumah?
Jawaban Global
Dalam tatanan rumah tangga dan keluarga yang bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan hidup adalah suami dan ia tidak dapat melibatkan istrinya dalam urusan ini.
Akan tetapi setiap pekerjaan yang dilakukan oleh sang istri untuk memperoleh keridhaan suami, sepanjang tidak berseberangan dengan ketentuan dan aturan syariat, tentu akan memperoleh ganjaran dan pahala dari Allah Swt.
Akan tetapi setiap pekerjaan yang dilakukan oleh sang istri untuk memperoleh keridhaan suami, sepanjang tidak berseberangan dengan ketentuan dan aturan syariat, tentu akan memperoleh ganjaran dan pahala dari Allah Swt.
Jawaban Detil
Dalam menjelaskan hal ini harus diterangkan bahwa pertanyaan ini pada dasarnya dapat dibagi menjadi tiga bagian pertanyaan:
- Apakah suami dapat memerintahkan istrinya untuk bekerja di luar rumah?
- Apakah pada prinsipnya wanita itu pantas untuk bekerja di luar rumah?
- Apakah ketaatan istri kepada suami dalam hal ini akan memberikan pahala kepada sang istri?
Karena itu, kami akan menjawab ketiga pertanyaan di atas secara berurutan sebagai berikut:
- Terkait dengan pertanyan pertama, dengan mencermati ayat 34 surah al-Nisa[1] harus dikatakan bahwa salah satu dalil mengapa kepemimpinan rumah tangga diletakkan di pundak suami adalah karena ia bertanggung jawab untuk menyiapkan kebutuhan rumah tangga (bagaimana pun kondisinya). Atas dasar itu, dapat disimpulkan bahwa tugas-tugas istri terbatas pada hal-hal yang secara global dijelaskan pada Risalah-risalah Amaliah (amalan praktis fikih) dan hukum perdata. Istri sama sekali tidak memikul tanggung jawab secara hukum dan syariat dalam memenuhi kebutuhan hidup dan memperoleh kekayaan untuk keluarga. Bahkan sekiranya ia telah mengumpulkan harta sebelumnya, ia tetap tidak memiliki berkewajiban untuk menggunakannya dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga dan suami tidak memiliki hak untuk memaksa istrinya menggunakan kekayaan pribadinya. Marja Agung Taklid juga menegaskan hal ini sebagimana Imam Khomeini yang berkata, “Tidak mesti istri itu adalah seorang miskin dan membutuhkan sehingga wajib baginya untuk dinafkahi, bahkan sekiranya istri merupakan seorang yang kaya raya, suami tetap berkewajiban memberikan nafkah kepadanya.[2] Hal ini merupakan sebuah keunggulan dan privilej hukum Islam yang diberikan kepada kaum perempuan yang bahkan setelah menikah sekali pun ia tetap dapat mengatur hartanya sendiri. Hanya saja dalam bekerja, ia tetap harus mempertimbangkan pekerjaan yang dilakukannya dan memperhatikan kondisi suaminya. Menariknya di sini, suami bahkan tidak memiliki hak untuk memerintahkan istrinya bekerja di luar rumah. Di samping itu, istri juga dapat menuntut upah dari suami atas pekerjaan yang paling mulia sebagai seorang ibu yaitu memberi ASI kepada anaknya.[3] Menuntut upah seperti ini sama sekali bukan merupakan sebuah bentuk penghinaan kepada kepribadian seorang istri, sebaliknya merupakan bagian dari hak yang diberikan kepadanya sebagai perimbangan dan perbandingan hak kepemimpinan suami dalam rumah tangga sehingga pada tataran tertentu terjalin keseimbangan antara hak dan kewajiban dalam keluarga. Atas dasar itu, ketaatan kepada suami terkait dengan bekerja di luar rumah (dan bahkan di dalam rumah sekali pun) tidak wajib bagi istri dan sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Khomeini Rah, “Ketidaktaatan istri kepada suami dalam hal-hal yang tidak diwajibkan atasnya tidak akan menyebabkan istri itu nuzyus (durhaka) dan karena itu apabila enggan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan dan pelayanan-pelayanan di rumah yang tidak ada kaitannya dengan hubungan suami-istri (senggama) misalnya ia enggan menyapu atau menjahitkan baju sang suami, atau menolak untuk memasak dan lain sebagainya, bahkan terkait dengan hal-hal sepele sekali pun seperti ia menolak membawakan air, membereskan tempat tidur maka ia tidak akan termasuk sebagai istri durhaka.[4]
- Sehubungan dengan pertanyaan apakah pada prinsipnya kaum perempuan, entah itu gadis atau sudah menikah, secara syar’i dapat bekerja di luar rumah harus dikatakan bahwa agama Islam tidak memberikan larangan dalam hal ini. Sebagai contoh, kita ketahui bahwa Hadhrat Khadijah Sa, istri terkasih Rasulullah Saw, memiliki banyak harta dan digunakan untuk berniaga. Setelah bi’tsah, ia banyak berperan demi kemajuan dan penyebaran dakwah Islam sedemikian sehingga Rasulullah Saw bersabda tentangnya, “Tiada satu pun modal yang memberikan kepada keuntungan kepadaku sebandingan dengan harta yang diberikan Khadijah.”[5]
Apa yang penting dan perlu dicermati terkait dengan hadirnya kaum perempuan di tengah masyarakat adalah ia tetap menjaga ketentuan dan rambu-rambu syariat, serta memelihara kemuliaannya sebagai seorang wanita Muslimah. Dengan mematuhi ketentuan ini, ia dapat hadir dan beperan aktif di tengah masyarakat sebagaimana kaum laki-laki.
Sebagai contoh para imam kita tidak melarang kaum wanita untuk hadir di jalan-jalan bahkan menganjurkan kepada mereka untuk berjalan di tepi jalan dan tidak berjalan di tengah jalan (yang tentunya akan menarik perhatian orang yang lalu lalang di jalan itu).[6]
Pada masa-masa awal penyebaran Islam juga kaum wanita hadir di medan perang yang pada prinsipnya merupakan pekerjaan kaum pria.[7]
Karena itu, kita tidak dapat menilai pekerjaan perempuan di luar rumah sebagai pekerjaan yang tidak pantas dan tidak layak sehingga harus dihindari karena boleh jadi kaum wanita dapat mengerjakan lebih baik pekerjaan-pekerjaan yang ada ketimbang kaum pria.
Sebagai contoh para imam kita tidak melarang kaum wanita untuk hadir di jalan-jalan bahkan menganjurkan kepada mereka untuk berjalan di tepi jalan dan tidak berjalan di tengah jalan (yang tentunya akan menarik perhatian orang yang lalu lalang di jalan itu).[6]
Pada masa-masa awal penyebaran Islam juga kaum wanita hadir di medan perang yang pada prinsipnya merupakan pekerjaan kaum pria.[7]
Karena itu, kita tidak dapat menilai pekerjaan perempuan di luar rumah sebagai pekerjaan yang tidak pantas dan tidak layak sehingga harus dihindari karena boleh jadi kaum wanita dapat mengerjakan lebih baik pekerjaan-pekerjaan yang ada ketimbang kaum pria.
- Dengan menyimak apa yang telah diuraikan di atas, sekaitan dengan apakah ketaatan istri kepada suami dalam hal ini juga akan mendatangkan pahala baginya atau tidak, harus dikatakan bahwa kita harus mengingat konsep mengedepankan orang lain (itsar) yang sangat dianjurkan dalam Islam yaitu manusia mengabaikan hak-haknya dan mendahulukan orang lain. Dalam hal ini, terdapat ayat dalam al-Quran memuji orang-orang Ansar yang banyak mendahulukan orang lain dan memenuhi kebutuhan orang-orang Muhajir.[8] Dengan mencermati kandungan ayat kita temukan bahwa perbuatan kaum Anshar bukan merupakan sebuah kewajiban dan keharusan melainkan seruan moral yang menuntun mereka melakukan hal ini. Penyerahan harta Khadijah Sa kepada Rasulullah Saw juga dapat dinilai dari sudut pandang ini dan apresiasi Rasulullah Saw kepadanya bahkan terus berlanjut hingga setelah wafatnya Puan Khadijah Sa[9] menunukkan banyaknya pahala yang didapatkan oleh puan teladan Muslimah ini berkat bantuan hartanya kepada suaminya.
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat dipetik dari apa yang diuraikan di atas adalah bahwa dalam kehidupan keluarga dan rumah tangga, di samping kaidah-kaidah hukum yang berlaku di antara pasangan suami istri, juga terdapat barometer-barometer moral yang meski tidak wajib dijalankan namun apabila dilakukan dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt tentu saja akan mendatangkan banyak pahala bagi pelakunya seperti misalnya bantuan para istri kepda suami-suami mereka dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup rumah tangga, khususnya apabila sang suami kesulitan dalam memenuhi hal tersebut.
Akan tetapi dengan catatan dan kecermatan bahwa bekerja di luar rumah harus mematuhi rambu-rambu syariat dan ketentuan Islam. [iQuest]
[1]. “Kaum laki-laki itu adalah pengayom bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu, maka wanita yang saleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara rahasia dan hak-hak suami ketika suaminya tidak ada, lantaran hak-hak yang telah Allah tetapkan bagi mereka. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz-nya, maka nasihatilah mereka, berpisahlah dengan mereka di tempat tidur, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Qs. al-Nisa [4]: 34)
[2]. Ruhullah Khomeini, Tahrir al-Wasilah, Dar al-‘Ilm, Qum, Cetakan Kedua, jil. 2, hal. 319.
[3]. Ibid, hal. 312.
[4]. Ibid, hal. 305.
[5]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihar al-Anwar, jil. 19, hal. 63, Muassasah al-Wafa, Beirut, 1404 H,
[6]. Muhammad bin Ali bin Husain, Syaikh Shaduq, Man Lâ Yahdhuruhu al-Faqih, jil. 3, hal. 561, Intisyarat Jami’ah Mudarrisin, Qum, 1413 H.
[7]. Dalam hal ini kita dapat menyebut nama Nasibah yang turut serta bersama Rasulullah Saw pada perang Uhud dan mengobati orang-orang yang terluka. Silahkan lihat, Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 20, hal. 52.
[8]. “Dan (begitu juga untuk) orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan beriman (Anshar) sebelum mereka (Muhajirin), sedang mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Mereka sedikit pun tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin), dan mereka mengutamakan (Muhajirin) atas diri mereka sendiri sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan barang siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Qs al-Hasyr [59]:9)
[9]. Syaikh Mufid, al-Afshâh fi al-Imâmah, hal. 217, Kongre Syaikh Mufid, Qum, 1413 H.
Terjemahan dalam Bahasa Lain
Komentar