Please Wait
19538
Agama Islam sebagai syariat pamungkas Ilahi merupakan agama yang inklusif dan sempurna. Oleh itu, Islam sangat menaruh perhatian terhadap hukum-hukum dan orde-orde sosial seperti hukum-hukum personal dalam sebuah masyarakat. Dalam pandangan Islam, kehidupan sosial dan hubungan personal satu komunitas memiliki kaidah dan pakam tersendiri yang harus ditunaikan dan dijalankan oleh setiap warga Muslim pada setiap kesempatan dan perilaku sosial. Di samping itu, ia memiliki selaksa tugas dan tanggung jawab di hadapan rakyat dan masyarakat yang hidup di dalamnya.
Di antara tugas yang paling penting seorang warga dalam masyarakat Islam adalah sebagai berikut:
1. Menghormati hak-hak warga (haqqunnas) dan tidak melanggar hak-hak masyarakat.
Cermin dari penghormatan ini terrefleksi pada penekanan Islam terhadap penghormatan hak-hak tetangga dan para pengguna jalan.
2. Merasa bertanggung jawab untuk membantu dan menolong masyarakat tatkala terjadi bencana alam dan sosial serta moral.
Sesuai dengan ajaran Islam, seorang warga dalam masyarakat Islam harus berupaya memecahkan pelbagai persoalan politik, kebudayaan, ekonomi dan sebagainya. Ia tidak boleh bersikap acuh-tak-acuh terhadap bencana alam dan bencana moral, kerusakan sosial yang menimpa masyarakatnya.
3. Menunaikan akhlak Islam dan budi pekerti yang luhur dalam pergaulan sosial di antaranya, berakhlak mulia, bersikap pemurah, lembut, rendah hati, sabar dan tabah, toleran dengan sesama warga masyarakat.
Dengan memperhatikan beberapa pendahuluan berikut ini akan membantu membimbing kita untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang dimaksud:
1. Manusia adalah makhluk sosial. Atau lebih tepatnya manusia acapkali disebut sebagai "madani bittaba'".[1] Hal ini sejalan dengan bukti-bukti sejarah yang merekam dengan baik kehidupan manusia semenjak dahulu kala yang hidup secara sosial.
Agama Islam sebagai syariat pamungkas Ilahi adalah agama yang bersifat menyeluruh (inklusif) dan sempurna. Syariat Islam dikemas untuk multi dimensi kehidupan manusia yaitu di antaranya adalah kehidupan sosial manusia dimana Islam banyak memiliki aturan dan wejangan-wejangan moral. Dengan kata lain, sebagaimana untuk mengatur hubungan seseorang dengan Tuhan memiliki aturan dan kaidah tersendiri. Maka terkait dengan jenis hubungan orang-orang dalam suatu masyarakat dengan orang lainnya Islam juga menyuguhkan aturan-aturan dan orde-orde yang sangat penting yang harus dipatuhi dan dijalankan oelh setiap Muslim pada setiap peristiwa dan perilaku kesehariannya.
2. Yang dimaksud dengan universalitas Islam adalah kita dapat dengan melakukan inferensi (istinbâth) unsur-unsur universal yang terkandung dalam Islam sehingga dengan menemukan filsafat, mazhab dan sistem islami[2] kemudian kita mendesain pelbagai harmonisasi yang ditawarkan oleh Islam dari pelbagai temuan tersebut untuk kehidupan masyarakat.[3]
3. Kita meyakini bahwa kendati pada masa lalu, khususnya pada masa awal-awal kemunculan Islam, kehidupan keseharian masyarakat ketika itu tidak semaju dan semodern sekarang. Pelbagai kesulitan dan problematika masyarakat moderen hari ini seperti kemacetan lalu lintas, polusi udara dan sebagainya tidak dijumpai pada masyarakat ketika itu sehingga kita dapat menunjukkan model yang pantas dapat ditunjukkan bagi seorang warga kota Muslim. Akan tetapi untuk kota yang kecil itu (Madinah) dengan masyarakat yang minim dan kehidupan tradisional, Islam mengemukakan pelbagai aturan dan unsur-unsur yang bercorak universal dan harus menjadi fokus perhatian bagi kehidupan perkotaan dan masyarakat moderen hari ini. Sejatinya dengan bercermin dengan apa yang ditawarkan Islam maka kita dapat memperoleh beberapa tipologi bagi seorang warga kota masyarakat Islam.
Berikut ini adalah sebagian karakter dan tipologi penting seorang warga kota Muslim.
1. Menghormati hak-hak rakyat (haqqunnas) dan tidak melanggar hak-hak warga kota
Dalam pandangan Islam, asas dan fondasi kehidupan sosial terletak pada penghormatan manusia pada hak-hak sosial orang lain yang akan disinggung dengan beberapa contoh berikut ini:
Rasulullah Saw bersabda terkait dengan penunaian hak-hak tetangga: "Barang siapa yang mengganggu tetangganya maka Allah Swt akan mengharamkan bau surga baginya."[4] Atau pada sabdanya yang lain, "Bukan dari golongan kami orang yang melanggar hak-hak tetangganya."[5]
Menutup atau menempati lintasan-lintasan umum di jalan-jalan umum di kota-kota merupakan salah persoalan yang dihadapi oleh orang-orang kota dewasa ini. Hal ini merupakan sebuah persoalan yang telah mendapat perhatian Islam pada 1400 tahun yang lalu dan memandangnya sebagai perbuatan tercela. Untuk itu, Islam kemudian melarang para pengikutnya untuk berlaku demikian sebagai kepedulian dan penghormatan terhadap hak-hak manusia. Nabi Saw bersabda terkait dengan hal ini, "Janganlah kalian duduk di jalan-jalan."[6] Atau "Jauhilah sebab-sebab yang menganggu jalan kaum Muslimin."[7] Imam Ali As bersabda: "Jauhilah duduk di lintasan-lintasan jalan."[8]
Imam Shadiq As bersabda: "Apa pun yang menghalangi jalan kaum Muslimin dan hal itu merugikannya maka ia (orang yang menghalangi jalan tersebut) akan menanggung kerugian tersebut."[9]
Karena itu, Imam Khomeini Ra dengan mengambil inspirasi dari riwayat-riwayat seperti ini dalam kitab Tahrir al-Wasilah menulis: "Apabila ada seseorang yang berdiri di sebuah lorong atau jalan kecil dan tidak tersedia jalan untuk melintas dan ada orang lain berpapasan dengannya tanpa sengaja dan kemudian meninggal dunia, demikian juga apabila ia duduk di sebuah jalan dan seseorang kemudian tergelincir lalu mati maka orang yang berhenti di jalan itu adalah orang yang menanggung darah orang yang meninggal tersebut."[10]
Oleh itu, warga kota Muslim adalah warga yang menjaga dirinya untuk tidak menjadi penyebab munculnya persoalan di tengah masyarakat dan melanggar hak-hak orang lain. Hal ini merupakan tuntutan ajaran-ajaran agamanya.
2. Memiliki rasa tanggung jawab dan penuh dedikasi
Tipologi utama masyarakat Islam terpenuhinya tanggung jawab umum dan akuntabilitas sosial. Tanggung jawab umum ini bermula dari institusi keluarga melebar pada tetangga, kota dan seterusnya. Sesuai dengan ajaran Islam, seorang warga kota pada komunitas Islam harus merasa bertanggung jawab terhadap apa yang terjadi pada masyarakat, baik masalah-masalah kebudayaan, perekonomian, politik dan bahkan bencana-bencana alam. Ia harus berupaya semaksimal mungkin untuk menyelesaikan masalah ini atau paling tidak meminimalisir persoalan yang dihadapi masyarakat.
Di bawah ini kami akan menyampaikan beberapa cermin rasa tanggung jawab ini secara ringkas sebagai berikut:
A. Menolong dan membantu orang lain
Al-Qur'an memandang menolong dan membantu orang lain adalah tugas dan tanggung jawab setiap Muslim. Al-Qur'an menandaskan, "Jika mereka meminta pertolongan kepadamu untuk membela agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan." (Qs. Al-Anfal [8]:72); "Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara." (Qs. Al-Hujurat [49]:10)
Kaum Muslimin pada komunitas Islam memiliki tanggung jawab terhadap nasib, masa depan dan persoalan yang dihadapi masing-masing anggota komunitasnya. Apabila ia ingin bersikap acuh-tak-acuh terhadap persoalan kaum Muslimin dan menolak tanggung jawab ini, sesuai dengan riwayat, maka sesungguhnya ia telah keluar dari barisan kaum Muslimin. "Barang siapa yang menjumpai pagi dan tidak menaruh perhatian kepada urusan kaum Muslimin maka sesungguhnya ia bukan Muslim."[11] Amirul Mukmin Ali bin Abi Thalib As, memandang setiap warga kota masyarakat Islam, baik dari kalangan ulama, orang kaya dan sebagainya bertanggung jawab terhadap urusan masyarakat tersebut. Imam Ali As bersabda: "Allah tidak mewajibkan orang bodoh belajar sebelum Dia mewajibkan orang terpelajar mengajar."[12] Atau pada kesempatan lain beliau bersabda, "Allah telah menentukan rezeki orang miskin dalam kekayaan orang kaya. Akibatnya, bilamana seorang miskin tetap lapar adalah itu karena beberapa orang kaya telah menolak (bagiannya). Allah akan menanyainya tentang hal itu.[13] Karena itu, menolong dan membantu tetangga adalah hal yang sangat penting dalam pandangan Islam. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As bersabda: "Rasulullah Saw sedemikian mewasiatkan tentang tetangga sehingga kami menyangka bahwa tetangga mewarisi harta warisan tetangganya."[14]
Dalam Risâlah Huqûq Imam Sajjad As disebutkan bahwa: "Hak tetangga pada dirimu adalah engkau menolongnya tatkala ia teraniaya …. dan berinteraksilah dengannya dengan cara terhormat."[15]
B. Amar makruf dan Nahi Mungkar
Warga kota Muslim memandang masyarakat Islam laksana bahtera yang berlayar mengarungi samudera. Adalah sebuah hal yang wajar apabila warga kota Muslim menaruh perhatian penting terhadap norma yang berlaku dan sangat peka terhadap pelbagai perilaku asosila yang terjadi dalam masyarakat. Seorang warga kota Muslim tidak akan memandang enteng dan sambil lalu persoalan ini. Ia meyakini bahwa petaka melubangi salah satu bagian bahtera tidak hanya mencelakakan orang yang melubanginya melainkan akan menimpa seluruh penumpang bahtera dan pada akhirnya seluruh penumpang berikut kapalnya akan karam. Persoalan amar makruf dan nahi mungkar dalam Islam memiliki tipologi seperti ini.
Amar makruf dan nahi mungkar dalam Islam sejajar dengan kewajiban-kewajiban lainnya. Seperti kewajiban menunaikan shalat, membayar zakat. Amar makruf dan nahi mungkar ini tergolong sejenis dengan jihad dan merupakan faktor terpenting untuk mencapai kesempurnaan, menghidupkan nilai-nilai dan menjadi sebab terjauhkannya masyarakat dari segala perbuatan asosila dan tercela.
Allah Swt dalam al-Qur'an berfirman: "Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, menegakkan salat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan rasul-Nya. " (Qs. Al-Taubah [9]:71) Atau pada ayat lainnya, "Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. " (Qs. Al-Taubah [9]:110)
Imam Ali As sebagai teladan seluruh kaum Muslimin terkait dengan hal ini bersabda: "Amar makruf dan nahi mungkar keduanya merupakan sifat-sifat Ilahi."[16]
Pada kesempatan lain, Amirul Mukminin As memandang amar makruf dan nahi mungkar lebih tinggi derajatnya daripada seluruh ibadah, bahkan jihad di jalan Allah Swt: "(Di antara kaum Muslimin) Kemudian ada pula orang yang tidak bernahi mungkar (mencegah kemungkaran) dengan lidah, hati ataupun tangan. la hanyalah orang mati yang berjalan dimana kehidupannya sama sekali tidak membawa manfaat (bagi orang lain). (Ketahuilah) Semua amal kebajikan, termasuk perang atas nama Allah, dibandingkan dengan amar makruf (anjuran berbuat baik) dan nahi mungkar (mencegah kemungkaran), hanyalah seperti meludah di laut dalam."[17]
3. Mengamalkan nilai-nilai luhur Islam dalam pergaulan sosial
Berbudi luhur dan berperilaku mulia terhadap orang lain merupakan faktor terpenting untuk mencapai kesukesan dan kemajuan manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Bahkan penyebarannya di antara pelbagai strata masyarakat akan sangat membantu penyebaran keadilan di tengah masyarakat.
Kami akan menyebutkan beberapa contoh etika sosial Islam sebagai kelanjutan dari pembahasan ini:
A. Berakhlak budiman, berperilaku mulia dan berawajah ceria
Al-Qur'an menyatakan kepada Nabi Saw, "Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung " (Qs. Al-Qalam [68]:4); "Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. " (Qs. Ali Imran [3]:159)
Karena itu, al-Qur'an memandang budi pekerti yang luhur (khulqin azhim) sebagai faktor kesuksesan Nabi Saw dalam menarik hati masyarakat. Terdapat banyak riwayat dari para pemimpin agama terkait dengan masalah ini yang kami akan sebutkan beberapa di sini sebagai contoh:
Nabi Saw bersabda: "Budi pekerti yang baik dan terpuji merupakan setengah agama."[18]
Imam Shadiq As menukil dari Nabi Saw dimana Nabi Saw bersabda: "Iman adalah budi pekerti yang luhur."[19]
Imam Ali As terkait dengan perilaku baik dan berakhlak mulia terhadap masyarakat: "Sesempurna-sempurna manusia dalam iman adalah sebaik-baik akhlaknya."[20]
Imam Shadiq As bersabda: "Berlaku baik kepada masyarakat dan berakhlak luhur akan menyebabkan makmurnya tempat (dan masyarakat) tersebut."[21]
Barangkali dapat dikatakan bahwa berbudi luhur, perilaku yang baik dan berakhlak mulia terhadap warga kota dan senantiasa terlibat dalam aktifitas sosial dan kemasyarakatan, bersikap pemurah dengan mereka, boleh jadi menjadi penyebab kuatnya hubungan sosial antar sesama warga dalam masyarakat. Budi pekerti luhur ini sangat dianjurkan dalam Islam. Karena dapat menjadi kanal bagi terselesaikannya seluruh problema sosial dan pelbagai kesulitan yang dihadapi masyarakat dari akibat dan konsekuensi kehidupan serba mekanik hari ini, seperti mencegah pelbagai problem kejiwaan.
B. Bersikap rendah hati dan tawadhu
Bersikap rendah hati atau tawadhu dihadapan masyarakat dan menghindar dari sikap angkuh dan egois. Tawadhu ini merupakan salah satu sifat dan kondisi kejiwaan manusia yang terefleksi dalam segala perbuatan dan tindakannya.
Tanpa ragu, sikap rendah hati dan tawadhu di hadapan masyarakat dan warga kota akan mengundang simpati dan kecintaan publik di dunia dan mendatangkan keridhaan Tuhan di akhirat kelak. Persoalan ini merupakan salah satu persoalan penting dimana para wali Allah senantiasa menganjurkan dan mewasiatkan hal ini.
Imam Ali As bersabda: "Tawadhu dan rendah hati tatkala bermartabat laksana memberikan maaf tatkala berkuasa."[22] "Dengan bersikap tawadhu rahmat akan melimpah."[23] "Sesungguhnya rendah hati tidak mendatangkan sesuatu kecuali martabat dan ketinggian derajat manusia. Maka bersikap rendah hatilah maka Tuhan akan merahmatimu."[24] Dalam al-Qur'an disebutkan bahwa tawadhu dan rendah hati merupakan tanda-tanda hamba saleh: "Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu ialah orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka (dengan mengucapkan ucapan yang tidak senonoh), mereka mengucapkan salam (dan berlalu dengan tidak menghiraukan mereka)." (Qs. Al-Furqan [25]:63)
C. Bersikap Lembut dan Toleran
Rifq dan mudâra artinya bersikap lembut dan toleran dengan masyarakat.
Manusia dari dimensi bahwa ia memiliki kehidupan sosial, senantiasa berinteraksi dan berkomunikasi dengan manusia lainnya. Hak-haknya dengan hak-hak orang lain bertaut satu dengan yang lain dalam ragam bentuk. Karena itu, sikap toleran merupakan salah satu masalah yang mendapat perhatian serius dalam Islam.
Imam Shadiq As menukil dari Nabi Saw yang bersabda: "Sebagaimana Allah Swt menitahkan kepadaku untuk menunaikan segala yang wajib, Allah Swt juga memerintahkan untuk bersikap toleran dengan masyarakat."[25] Demikian juga Rasulullah Saw bersabda: "Bersikap toleran dengan masyarakat merupakan setengah dari iman dan bersikap lembut (longgar) terhadap mereka merupakan setengah kehidupan."[26]
Agama Islam mengajurkan untuk bersikap toleran dan lembut dengan masyarakat bahkan kepada musuh-musuh. Terkait dengan hal ini, dalam al-Qur'an Allah Swt berfirman kepada Nabi Musa dan Harun: "Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (Qs. Thaha [20]:44)[27]
Imam Ali, pada sebagian penjelasannya, terkait dengan karakteristik dan tipologi orang-orang beriman, bersabda: "Seorang mukmin adalah seorang yang berwajah ceria, dada yang sangat lebar (penuh kedermawanan), dan paling rendah hati. la membenci kedudukan tinggi, tidak menyukai kemasyhuran. Kesedihannya panjang, keberaniannya menjangkau jauh, diamnya banyak, dan waktunya diisi. la merasa syukur, kesabaran tertanam dalam pikirannya, kikir dalam meminta-minta (kepada orang lain), berwajah cerah dan bertemperamen lembut. la lebih kuat dari batu, tetapi lebih merendah dari budak."[28]
D. Sabar dan tabah
Hilm (tabah) adalah bersikap tegar dan kokoh dalam menghadapi pelbagai kesulitan hidup. Kehidupan sosial adalah kehidupan dengan ragam manusia. Berinteraksi dengan aneka model mental, dengan ragam selera, dengan pandangan yang berbeda-beda, dengan perilaku dan keinginan yang berlainan. Karena itu, syarat pertama kehidupan sosial adalah bersikap tabah dan sabar. Sifat sabar dan tabah ini merupakan salah satu sifat dan karakteristik seluruh Nabi Ilahi di hadapan pelbagai gangguan para penentang dan kaum musyrikin.
Imam Ali As menjelaskan bahwa sabar dan tabah merupakan salah satu sifat Allah Swt. Beliau bersabda: "Segala puji bagi Allah… sedemikian agung kesabaran-Nya sehingga melupakan pelbagai kesalahan."[29]
Imam Ali As pada kesempatan lain menjelaskan: "Barang siapa yang memiliki kesabaran dan keteguhan hati, maka ia tidak bersikap berlebihan dalam perbuatannya dan hidup bermasyarakat di tengah manusia."[30] "Ganjaran yang pertama kali diperoleh oleh orang yang bersabar dan tabah adalah dukungan masyarakat terhadapnya di hadapan orang-orang bodoh."[31]
Warga kota masyarakat Islam adalah warga masyarakat yang bersikap sabar di hadapan pelbagai problematika dan kepelikan kehidupan sosial. Warga kota Muslim adalah orang-orang yang mengambil inspirasi dari ajaran-ajaran agama dan menaruh perhatian serius terhadap sabda Imam Ali As yang menandaskan "Orang-orang bertakwa, melalui hidupnya dengan penuh kesabaran dan ketabahan dalam menghadapi pelbagai problematika dan kekurangan hidup."[32]
Hal-hal yang disebutkan di atas adalah beberapa contoh dari sifat-sifat dan tipologi warga kota masyarakat Islam yang telah dijelaskan secara ringkas.
Poin terakhir yang harus disebutkan di sini adalah bahwa tujuan penetapan orde-orde dan aturan-aturan sosial adalah untuk menguatkan kehidupan sosial dan menjaga hak-hak warga kota serta mencegah kejatuhan dan terpuruknya masyarakat. Untuk melembagakan sistem moral pada satu masyarakat maka seharusnya kita menaruh perhatian ekstra terhadap tema-tema moral yang bertujuan untuk menjaga kemuliaan, kehormatan manusia, dan kejayaaan masyarakat manusia.
Orang per orang warga kota dengan pelajaran yang berkelanjutan akan menuai pelbagai solusi untuk mewujudkan pelbagai sifat keutamaan dan moral sehingga menjadi sebuah kebudayaan (culture) dalam masyarakat. Dengan mempraktikan dan membiasakan pelbagai sifat dan tipologi moral ini pada lingkungan kehidupan personal dan sosial, maka hal itu akan dapat membantu melembagakan sifat-sifat dan tipologi moral serta menciptakan atmosfer yang sehat dalam masyarakat. Dengan partisipasi umum dan aktif masyarakat dan pembudayaan tema-tema moral sosial Islam ini akan banyak membantu kita dalam mewujudkan sebuah masyarakat yang sehat, manusiawi dan islami. Semoga[]
[1]. Untuk telaah lebih jauh silahkan Anda merujuk, Al-Mizân, terjemahan Persia, jil. 2, hal. 177.
[2]. Untuk mengenal lebih jeluk konsep ini silahkan Anda merujuk, Maktab wa Nizhâm Iqtishâdi Islâm, Mahdi Hadawi Tehrani, hal. 19-51.
[3]. Harus diingat bahwa dalam menginferensi universalitas dan mengakses pada filsafat, maktab dan sistem Islam dapat dilakukan dengan metodologi fikih dan merupakan pekerjaan seorang juris (fakih). Akan tetapi mendesain harmonisasi, ilmu sosiologi dan peran sosiolog sangat diperlukan. Menjelaskan realitas yang ada dan menyuguhkan pelbagai harmonisasi yang tepat dan usulan pelbagai metode yang produktif untuk membumikan pelbagai harmonisasi tersebut merupakan tugas sosiolog sebelum terealisirnya harmonisasi tersebut di tengah masyarakat. Dan setelah realisasi, kontrol kinerja dan performa yang pada tataran realisasi tujuan-tujuan negara dan mencegah terjadinya penyimpangan melalui prediksi masa depan merupakan tanggung jawab risalah ilmu-ilmu sosial. Akan tetapi pada tingkatan ini juga inferensi (istinbath) metodologi yang tetap dari teks-teks agama (ayat dan riwayat) yang digunakan untuk merealisir unsur-unsur harmonisasi tersebut berada di pundak juris (fakih). Demikian juga, pengaturan penyesuaian unsur-unsur universal sistem Islami terhadap pelbagai kondisi tipikal ruang dan waktu dan supervisi atasnya berada di pundak seorang juris. Maktab-e wa Nizhâm Iqtishâdi Islâm, Mahdi Hadawi Tehrani, hal. 44.
[4]. "Man adza Jarahu HarramaLlâh 'alaih raiha al-Jannah." Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 72.
[5]. "Man dhaya' haqqa jarihi falaisa minna." Ibid, jil. 71, hal. 150.
[6]. "Iyyakum wa al-Julus 'ala al-Thuruqat." Muhammad Mahdi Naraqi, Jamiâ' al-Sa'âdah, jil. 2, hal. 238.
[7]. "I'zil al-idza 'an thariq al-Muslimin." 'Alauddin Ali Hindi, Kanz al-'Ummal, jil. 15, hal. 781.
[8]. "Wa Iyyakum…wa Maqâ'id al-Aswâq…"Abdulmajid Ma'adikha, Khursyid bi Ghurûb (terjemahan Persia Nahj al-Balâgha), hal. 380, surat ke-69..
[9]. Muhammad bin Hasan Hurr al-'Amili, Wasail al-Syiah, jil. 19, hal. 181.
[10]. Sayid Ruhullah Khomeini, Tahrir al-Wasilah, jil. 2, hal. 562.
[11]. "Man Asbaha wala yahtam bi umur al-Muslimin, falaisa bimuslim." Kulaini, Ushul Kafi, jil. 2, hal. 131.
[12]. .."Mâ akhadzaLlâh 'ala Ahli al-Jahl an yata'allamu hatta akhadza 'ala Ahli al-'Ilm an-Yu'allimu." Abdulmajid Ma'adikha, Khursyid bi Ghurûb (terjemahan Persia Nahj al-Balâgha), hal. 522, hikmah no. 478.
[13]. "InnaLlâh Subhanahu Faradha fii Amwal al-Aghniyâ Aqwât al-Fuqarâ…", Ibid, hal. 479, hikmah no. 329.
[14]. Al-Kâfi, jil. 7, hal. 51; Bihâr al-Anwâr, jil. 42, hal. 248.
[15]. "Wa nashartahu idza kana mazhluman… wa tu'asyiruh mua'syiratan karimatan." Bihar al-Anwar, jil. 71, hal. 7.
[16]. Wa anna al-amra bil ma'ruf wa al-nahiya 'an al-munkar khulqan min khulqiLLah Subhanahu." Abdulmajid Ma'adikha, Khursyid bi Ghurûb (terjemahan Persia Nahj al-Balâgha), hal. 177-178."
[17]. Ibid, hal. 494.
[18]. "Al-Khulq al-Hasan nisf al-din." Muhammad Baqir al-Majlisi, jil. 68, hal. 385.
[19]. "Al-Iman Husn al-Khulq." Ibid, hal. 385.
[20]. Ibid.
[21]. "Al-birr wa Husn al-Khulq Ya'murna al-Diyar.."Muhammad bin Hasan Hurr al-'Amili, Wasail al-Syiah, jil. 5, hal. 504.
[22]. "Al-Tawadhu' ma al-Raf'a, kal'afwu maa al-Qudrah." Ghurar al-Hikam, (daftar isi tematis), hal, 405.
[23]. .."Bittawadhu' Taumm al-Ni'mat." Abdulmajid Ma'adikha, Khursyid bi Ghurûb (terjemahan Persia Nahj al-Balâgha), hal. 380, hikmah ke-215
[24]. Muhammad Mahdi Naraqi, Jamia' al-Sa'adah, jil. 1, hal. 363.
[25]. "Amarani Rabbi bimudarati al-nas. Kama amarani biadai al-Faraidh." Muhammad bin Hasan Hurr al-'Amili, Wasail al-Syiah, jil. 8, hal. 540.
[26]. Ibid.
[27]. Pelajaran penting yang dapat dipetik dari ayat ini adalah bahwa dengan bersikap toleran dan santun bahkan para penentang akan mengambil pelajaran dan mendapatkan petunjuk dari akhlak Islami ini.
[28]. Abdulmajid Ma'adikha, Khursyid bi Ghurûb (terjemahan Persia Nahj al-Balâgha), hal. 481, Hikmah 338.
[29]. Ibid, hal. 275, Khutbah 233.
[30]. Ibid, hal. 395, Hikmah 30.
[31]. Ibid, hal. 444, Hikmah 197.
[32]. Ibid, hal. 221, Khutbah 184.