Please Wait
31534
Dalam pandangan Islam dan ayat-ayat al-Qur'an, rakyat merupakan salah satu pilar asasi dan mendasar bagi sebuah pemerintahan. Dalam al-Qur'an, Allah Swt berfirman: “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul- rasul Kami dengan membawa bukti- bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (Qs. Al-Hadid [57]:25)
Kedudukan rakyat dalam pemerintahan yang berasaskan pada Wilâyah Fakihdapat disimpulkan dalam beberapa fokus pembahasan: Pemilihan sistem pemerintahan yang berasaskan wilayah fakih, pemilihan para aparatur negara, konsultasi penguasa Islam dengan rakyat dan sebagainya.
Dengan memperhatikan bahwa makna, prinsip dan asas Liberalisme dapat dikatakan bahwa sistem Liberalisme adalah sebuah sistem yang pada seluruh bidang dan bentuknya, memiliki metode, berpandangan liberal dan penyokong kebebasan. Tujuan utamanya adalah menyediakan kebebasan seluas-luasnya kepada setiap individu dalam masyarakat dan secara umum, fondasi dan konstruksi mazhab Liberalisme berasaskan pada Individualisme dan Humanisme.
Sebagian sisi perbedaan pemerintahan yang berasaskan Wilâyah Fakih dan sistem Liberalisme adalah: Tuhan yang dijadikan poros, hak kebebasan bagi manusia dalam frame konstitusi Islam, penghormatan terhadap agama-agama Ilahi dan tokoh-tokoh agama, ketakwaan yang menjadi sisi perbedaan manusia atas manusia lainnya dan sebagainya.
Kedudukan Rakyat dalam Sistem Pemerintahan Wilâyah Fakih
Dalam pandangan Islam dan ayat-ayat al-Qur'an, rakyat merupakan salah satu pilar asasi dan mendasar bagi sebuah pemerintahan. Dalam al-Qur'an, Allah Swt berfirman: “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul- rasul Kami dengan membawa bukti- bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (Qs. Al-Hadid [57]:25)[1]
Kedudukan rakyat dalam sistem pemerintahan Wilâyah Fakih dapat disimpulkan dalam beberapa poros pembahasan sebagaimana berikut ini:
1. Pemilihan Sistem Pemerintahan Wilâyah Fakih oleh Rakyat:
Dalam pemerintahan Wilâyah Fakih sebagai sebuah pemerintahan Islam, rakyatlah dengan kesadaran dan cinta yang memilih sistem undang-undang Islam dan menghendaki undang-undang Ilahi diterapkan. Pada dasarnya, tanpa adanya pilihan dan dukungan rakyat, pemerintahan Islam tidak mungkin dapat diterapkan. Atas dasar inilah, Imam Ali As walaupun beliau telah diangkat dari sisi Allah Swt sebagai pemimpin (imam) yang memiliki wewenang untuk mengatur rakyat, namun sebelum rakyat membaiat beliau, secara praktis beliau tidak melakukan tugas kewajiban tersebut. Hal itu dikarenakan lahan penerapan wilâyah dan kepemimpinan beliau ketika itu belumlah siap. Namun ketika lahan telah siap, beliau tidak tanggung-tanggung dalam menjalankan tugas kewajibannya. Dalam hal ini beliau bersabda: “Jika seandainya bukan dikarenakan banyaknya orang yang hadir untuk berbaiat dan menegakkan bukti akan adanya penolong atas diriku, dan jika saja Tuhan tidak mengambil sumpah janji dari para ulama untuk tidak diam dalam menghadapi keserakahan dan perut lapar para penguasa, kekangan unta kekhalifahan ini akan aku jatuhkan dan aku lepaskan di atas gunung-gunung dan akhir kekhalifahan ini akan aku puaskan dengan mangkok pertamanya, ketika itu akan kalian saksikan bahwa dunia kalian di sisiku lebih tidak bernilai dari air ingus seekor anak kambing.”[2]
Kalimat-kalimat yang disampaikan oleh Imam Ali As ini menjelaskan bahwa walaupun membentuk sebuah pemerintahan bertujuan untuk menerapkan keadilan dan mengambil hak orang-orang mustad'afin dari para penguasa zalim adalah sebagai sebuah tugas kewajiban yang telah diletakkan Allah Swt di atas pundak seorang imam, namun pelaksanaan tugas semacam ini tidak mungkin dapat dilakukan tanpa kehadiran, baiat dan dukungan rakyat. Selama rakyat tidak hadir di medan untuk membentuk sebuah pemerintahan Islam, seorang Imam Maksum dalam hal ini tidak memiliki tugas untuk menuntut dan memaksa rakyat agar taat dan mengikuti kehendaknya. Bahkan seorang imam hendaknya menyiapkan lahan supaya masyarakat siap dengan memberikan kesadaran kepada mereka.[3]
2. Pemilihan aparatur negara oleh rakyat
Dalam pemerintahan Islam, penentuan badan pelaksana sistem (pemimpin tertinggi, presiden, para wakil rakyat dan lain-lain) dilakukan oleh rakyat, yang mana sebagian dari pemilihan-pemilihan ini secara langsung dan sebagian tidak secara langsung. Rakyat secara langsung memilih presiden, para wakil Dewan Garda Konstitusi (Syurâ-e Negahbân), para wakil dewan syura dan para wakil daerah. Dan mereka memiliki peran secara tidak langsung (dengan satu perantara) dalam memilih Pemimpin Agung Revolusi (Rahbar-e Inqilab) melalui perantara Dewan Pakar (Majlis-e Khubregân) yang terpilih.
Begitu pula, mereka memiliki peran secara tidak langsung (dengan satu perantara) dalam memilih para menteri dan badan pelaksana jajaran tinggi lainnya yang mana mereka dipilih melalui presiden dan disahkan oleh Dewan Majelis Syura (DPR). [4]
3. Musyawarah Penguasa Islam dengan Rakyat
Hal yang mesti dilakukan oleh seorang hakim (penguasa), adalah mengetahui pandangan-pandangan rakyat dengan bermusyawarah. Mengatur urusan masyarakat dengan bermusyarawah dengan mereka. Namun pada akhirnya, keputusan terakhir tetap dipegang oleh hakim; apakah ia akan menerapkan pandangannya sendiri, ataukah akan mengambil pandangan orang lain. Tentunya pada tempat dimana seorang hakim menangani masalah yang telah dijelaskan oleh Allah Swt dan para Imam Maksum As, seorang hakim harus menjalankan tugasnya sesuai dengan apa yang telah dijelaskan, walaupun hal tersebut bertentangan dengan pandangan rakyat. Dalam hal ini, rakyat tidak memiliki hak protes. Karena mereka sendiri telah menerima dan memilih bahwa pemerintahan harus berdasarkan instruksi-instruksi Ilahi dan undang-undang Islam.
Imam Ali As berkaitan dengan hal ini bersabda: “Ketika kalian berkata dengan kalian aku bermusyawarah, aku bersumpah demi Allah aku tidak memiliki keinginan pada kekuasaan wilayah dan pemerintahan. Akan tetapi dengan tujuan itu kalian telah memanggilku dan kalian meletakkan tanggungjawab itu di atas pundakku. Dan aku khawatir jika menolak permohonan kalian, umat akan jatuh pada jurang perpecahan. Dengan demikian, ketika permasalahan ini telah diletakkan di pundakku, aku memandang kepada kitab Allah, perjalanan dan sunnah Rasulullah dan mengamalkan atas dasar petunjuk Al-Qur'an dan sunnah. Aku akan mengikuti keseluruhannya dan aku tidak membutuhkan pandangan kalian dan orang lain. Namun jika dalam kitab Allah dan sunnah Nabi suatu hukum tidak kutemukan dan dibutuhkan musyawarah, maka aku akan bermusyawarah dengan kalian.”[5]
Ketika Imam Ali As dengan kedudukan ilmunya yang tinggi berkali-kali bersabda: "Bertanyalah padaku tentang persoalan dan permasalahan kalian sebelum kalian kehilanganku (sebelum aku berpisah dari kalian untuk selamanya)",[6] Baginda Ali As meyakini bahwa dalam permasalahan-permasalahan tertentu harus bermusyawarah dengan rakyat. Tentunya para pemimpin selain maksum pun, dalam permasalahan-permasalahan yang aktual dan baru, membutuhkan dan berkewajiban untuk bermusyawarah dengan para pakar dan para ahli.
Oleh itu, dalam pemerintahan Islam, rakyat -melalui perantara para wakil rakyat-mempunyai kemungkinan untuk ikut andil dan berpartisipasi dalam menetapkan undang-undang (dalam persoalan-persoalan yang berkaitan dengan undang-undang negara).[7]
4. Ikut Andil dalam Menetapkan Undang-undang
Rakyat, dalam pemerintahan Islam -melalui pemilihan para wakil Dewan Perwakilan Syura Islami (DPR) sebagai staf perundang-undangan negara- memiliki saham dalam meratifikasi aturan-aturan operasional dan undang-undang negara. Sebagaimana asas penentuan undang-undang dasar adalah fondasi utama pengaturan negara yang dengan cara pemungutan suara (referendum) dan pandangan rakyat, sampai pada tingkatan amal praktis.[8]
5. Pengawasan Rakyat atas Penguasa
Rakyat secara langsung, mengawasi seluruh perbuatan, percakapan dan tingkah laku para penguasa. Sejak dahulu rakyat menggunakan media kontrol terhadap para penguasa dalam menjalankan peranannya dalam pemerintahan dan mencegah terjadinya penyelewengan-penyelewengan dengan mengkritik perbuatan dan agenda-agenda pemerintah.
Dalam pemerintahan Islam, rakyat juga memiliki pengawasan terhadap baiknya penerapan hukum-hukum Ilahi dan menjaga adab-adab Islam seperti memelihara keadilan, menghilangkan kesenjangan dan diskriminasi, menjaga perasaan orang lain, berhubungan yang sistematis dan kekuatan yang layak untuk memimpin, menjaga diri dari perbuatan congkak dan bangga pada diri sendiri dengan berbesar diri, bertanggung jawab terhadap Tuhan dan masyarakat, melatih diri sebelum melatih orang lain, jujur, dan berperangai baik. Dalam satu redaksi "beramal atas perintah Al-Qur'an dan Sunnah."[9]
6. Peran Masyarakat dalam Mendukung dan Bekerjasama dengan Negara
Pemerintah Islam sebagaimana dalam pembentukannya membutuhkan baiat setiap rakyat, dalam kesinambungan dan kelanjutannya pun butuh kepada dukungan dan kerjasama masyarakat. Dan kerjasama masyarakat dapat menjaga pemerintahan ini dari serangan para musuh baik yang datang dari dalam atupun dari luar. Imam Ali As dalam ucapan-ucapan beliau mengisyaratkan peran ini. Dalam sebuah surat beliau memerintahkan Malik Asytar agar dalam segala suasana dan dalam segala sesuatu menyandarkan pada kelompok dan golongan yang mau bersusah payah. Dan jangan menjadikan orang-orang kaya yang congkak sebagai sandarannya. Hendaknya selalu dalam berpikir senang dan rela dengan kelompok pertama dan tidak pada kelompok kedua.[10]
Imam Khomeini Ra juga berkaitan dengan hal ini berkata: “Rakyat harus mendukung dan berada di belakang negara. Sebuah negara yang tidak memiliki dukungan rakyat akan hancur”.[11]
7. Kebebasan bagi Rakyat dalam Frame Konstitusi Islam
Pemerintahan Wilâyah Fakih meyakini adanya kebebasan bagi rakyat dalam kerangka dan frame undang-undang dan konstitusi Islam yang bertitik tolak dari asas bahwa Islam adalah agama yang memiliki undang-undang. Hanya saja dalam pandangan politik Islam, kebebasan tanpa syarat akan mengakibatkan kerusakan dan kehancuran bagi rakyat. Karena itu, kebebasan seperti ini tidak dipandang benar dalam pandangan politik Islam.
Beberapa poin yang disebutkan di atas menjelaskan ihwal kedudukan dan peran rakyat dalam pemerintahan wilayah fakih. Adapun untuk menjelaskan sisi perbedaan pemerintahan Wilâyah Fakih dan sistem dan pemerintahan liberal kiranya kita perlu membahas secara selintasan tentang asas dan prinsip sistem Liberalisme.
Definisi Liberalisme
Liberalisme bermakna adanya tuntutan kebebasan. Liberal artinya pendukung kebebasan dan orang yang menuntut kebebasan. Liberal derivatnya dari bahasa Latin, Liberten. Dalam bahasa Inggris, redaksi liberty dan redaksi freedom adalah bermakna kebebasan. Dari sudut pandang terminologis, banyak definisi yang dikemukakan terkait dengan terma Liberalisme. Dari seabrek definisi yang disodorkan oleh para pemikir Barat, yang menonjol adalah bahwa Liberalisme dalam artian yang luas dan pada seluruh bidang dan modelnya, adalah kebebasan individu atas masyarakat, hingga pada batasan-batasan tertentu. Dengan kata lain, Liberalisme adalah sekumpulan metode, pandangan, politik dan ideologi yang tujuan utamanya adalah menyediakan kebebasan yang semakin luas bagi setiap individu.[12] Asas dan fondasi pemikiran school of thought ini bersandar pada mazhab Individualisme.[13]
Asas dan Prinsip Liberalisme
Liberalisme memiliki asas-asas dan prinsip-prinsip yang akan disinggung sebagian di sini:[14]
1. Individualisme: Individualisme adalah pilar dan rukun asasi Liberalisme. Individualisme artinya seseorang dan hak-haknya lebih utama dari segalanya. Apabila terbentuk sebuah pemerintahan maka pemerintahan tersebut harus dapat melayani segala keinginan warga masyarakat. Agama, moralitas, para pemikiran dan lain sebagainya tidak memiliki hak untuk memberikan perintah kepada orang-orang. Yang terpenting adalah seseorang dan segala keinginannya.
2. Prinsip kebebasan: Artinya kebebasan berada di atas segala tata-nilai yang ada. Berdasarkan prinsip ini, apa pun yang dikehendaki manusia, baik hal tersebut adalah kebebasan seksual, penentangan terhadap agama, moralitas dan lain sebagainya, harus dihormati dan kepadanya harus diberikan kebebasan.
3. Humanisme: Artinya segala sesuatu harus dipandang benar – bahkan moralitas dan agama – berdasarkan segala kecendrungan dan kebutuhan manusia. Manusia tidak boleh menyesuaikan dirinya dengan agama dan moralitas, bahkan sebaliknya agama dan moralitas yang harus menyesuaikan diri dengannya.
4. Sekularisme: Artinya pemisahan agama dari urusan keseharian hidup manusia. Berdasarkan pandangan ini, agama harus dipinggirkan. Agama tidak memiliki hak untuk turut campur dalam masalah-masalah penting kehidupan manusia.
5. Kapitalisme: Liberalisme sedemikian telah bercampur baur dengan kaum pemilik modal dan ekonomi pasar sehingga kebanyakan pemikir meyakini bahwa Liberalisme adalah ideologi kapitalisme.
Sistem Liberalisme:
Oleh itu, dengan memperhatikan makna, prinsip dan asas Liberalisme dapat dikatakan bahwa sistem Liberalisme adalah sebuah sistem yang memiliki metode dalam pelbagai bidang dan bentuk. Dan memiilki pandangan yang menuntut adanya kebebasan dan pendukung kebebasan. Salah satu tujuan utamanya adalah menyediakan kebebasan yang seluas-luasnya kepada setiap orang dalam masyarakat. Dan secara umum, asas dan fondasi mazhab Liberalisme berpijak pada individualisme dan humanisme.
Perbedaan Pemerintahan Wilâyah Fakih dan Sistem Liberalisme
Dengan menyimak apa yang telah disampaikan di atas, kita akan menyinggung beberapa sisi perbedaan pemerintahan Wilâyah Fakih– yaitu pemerintahan Islam – dan pemerintahan Liberalisme:
1. Mengingat bahwa sistem Liberalisme menyurakan dan mengklaim kebebasan bagi setiap orang dan warga masyarakat, namun pada tataran praktis, sistem ini tidak sejalan seperti apa yang disuarakan dan diklaim.. Lantaran pada akhirnya hanyalah kaum minoritas pemilik modal yang berada berhadap-hadapan dengan mayoritas rakyat miskin yang kemudian menjadikan jurang starata sosial yang semakin menganga pada masyarakat Barat.[15] Rakyat miskin secara praktis tidak menerima pemuliaan dan penghormatan. Namun dalam pemerintahan Islam yang bersandar pada konsep Wilâyah Fakih, yang berpijak di atas pemikiran-pemikiran Islam, sisi perbedaan dan kemuliaan seseorang bukanlah kemiskinan dan kekayaan melainkan ketakwaan, “Inna akramakum ‘indaLlahi atqakum.” (Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang bertakwa, Qs. Al-Hujurat [49]:13) Dan seluruh lembaga-lembaga pemerintahan Wilayah Fakih ini bertugas untuk menjunjung tinggi kriteria ini.
2. Dalam sistem Liberalisme, dalam seluruh perilaku moral setiap individu, yang dominan adalah sikap memandang enteng lebih dari batasan wajar. Dan tiada seorang pun yang memiliki hak untuk turut campur dalam urusan perilaku orang lain. Seluruh perilaku moral setiap orang dibolehkan meski dalam pandangan syariat termasuk sebagai perilaku tercela. Membedakan baik dan buruk moral diserahkan pada manusia sendiri sedemikian sehingga mereka memandang bahwa manusia tidak memerlukan wahyu dan syariat.[16] Meski terdapat beberapa syarat yang membatasi kebebasan-kebebasan ini (dalam hal ini Anda dapat menelaah Batasan Kebebasan dan Ikhtiar dalam Islam, Pertanyaan 289 [Site: 2485]) namun pemerintahan yang berpijak pada konsep Wilâyah Fakih yang ditopang berdasarkan prinsip-prinsip, asas-asas dan instruksi-instruksi agama Islam, wahyu dan syariat Ilahi yang dijadikan sebagai kriteria dan pakem segala perilaku dan perbuatan dirinya dan manusia. Islam memberikan hukuman bagi setiap orang yang melakukan perbuatan tercela demi untuk keselamatan dan keamanan rakyat dan masyarakat. Hukuman-hukuman tersebut, dengan memperhatikan syarat-syaratnya harus dijalankan.
3. Kebebasan dalam pandangan Islam dan pemerintahan Islam berada pada batasan undang-undang Ilahi. Dengan adanya penyebaran ideologi sesat dan menyesatkan, penghinaan terhadap kaum beriman dan orang-orang lainnya, penghinaan terhadap keyakinan-keyakinan beragam, konspirasi terhadap Islam dan supremasi agama, penghinaan terhadap tokoh-tokoh Ilahi dan spritual, seperti Rasulullah Saw dan para Imam Maksum, jual-beli barang-barang haram dan rampasan, jual-beli buku-buku yang menyesatkan dan sebagainya adalah termasuk perbuatan yang melanggar hukum. Namun dalam sistem Liberalisme, sebagaimana yang telah berulang kali kita saksikan terjadinya penghinaan terhadap keyakinan-keyakinan suci agama-agama Ilahi dan tokoh-tokoh Ilahi dan spiritual, mereka tidak memiliki kriteria dan pakem yang jelas untuk menindak orang-orang yang melakukan perbuatan tercela ini.
4. Kebebasan yang didefinisikan dalam Islam dan pemerintahan Islam dikemukakan dengan memperhatikan sisi material dan spiritual manusia. Namun dalam sistem yang menganut ajaran Liberalisme yang dipertimbangkan adalah kemaslahatan material dan dimensi non-Ilahi dan non-spiritual (baca: hewani).
5. Islam dan pemerintahan Islam berbeda dengan pandangan kaum liberal (yang menekankan sisi kemanusiaan), menekankan Tuhan sebagai sentral. Hak untuk membuat aturan dan supremasi berada secara eksklusif di tangan Tuhan. Islam tidak memandang kekuasaan dan politik sebagai dua hal yang terpisah dari agama.[17] [IQuest]
Untuk telaah lebih jauh silahkan Anda menelaah literatur berikut ini:
Ustad Mahdi Hadawi Tehrani, Wilâyat wa Diyânat, Muassasah Farhanggi Khane Kherad, Qum, Cetakan Kelima, 1389 S.
[1]. Diadaptasi dari Indeks 269 (Site: 111)
[2]. Nahj al-Balâgah, Khutbah 3
[3]. Diadaptasi dari Indeks 269 (Site: 111)
[4]. Diadaptasi dari Indeks 269 (Site: 111)
[5]. Syekh Thusi, Amali, hal. 731, (CD Nur 2).
[6]. Nahj al-Balâgah, Khutbah 189-5.
[7]. Diadaptasi dari Indeks 269 (Site: 111)
[8]. Diadaptasi dari Indeks 269 (Site: 111)
[9]. Diadaptasi dari Indeks 269 (Site: 111)
[10]. Nahj al-Balâgah, surat ke 53
[11]. Jâigâhe Mardum dar Nizâme Islâmi az Didgâhe Imâm Khomeini, hal. 162. Diadaptasi dari Indeks 269 (Site: 111)
[12]. Dengan kata lain, Liberalisme (Liberalism) disebut sebagai pandangan luas dan teori-teori yang bertalian dengan pemerintah yang memandang kebebasan pribadi sebagai tujuan terpenting politik. Liberalisme moderen memiliki akar pada masa Renaissance. Secara umum, Liberalisme menekankan pada hak-hak individu dan adanya kesamaan kesempatan. Cabang-cabang beragam Liberalisme boleh jadi menganjurkan model politik yang berbeda-beda. Namun kesemua itu disatukan oleh beberapa prinsip di antaranya adalah perluasan kebebasan berpikir dan berekspresi, membatasi kekuasaan pemerintah, peran hukum, sharing pendapat secara bebas, ekonomi pasar, atau mixed economy, dan satu sistem pemerintah yang transparan. Seluruh kaum liberal – sebagaimana sebagian penyokong ideologi politik lainnya – menyokong beberapa bentuk pemerintah yang disebut sebagai demokrasi liberal dengan pemilihan bebas, adil dan persamaan hukum seluruh warga kota yang diatur oleh hukum.
[13]. Silahkan lihat Akbar Asad Ali Zadeh, Liberâlism, Majalleh-ye Muballighan, Syahriwar, 1383 S, No. 58. Nasir Faqih, Liberalism Majalleh Syamim Yas, Syahriwar, 1383 S, No. 18. Anthony Arblaster, Zhuhur wa Suqut-e Liberâlism Gharb (Rise and Decline of Liberalism in the West), terjemahan Abbas Mukhbir, hal. 14-17.
[14]. Silahkan lihat Akbar Asad Ali Zadeh, Liberalism, Majalleh-ye Muballighân, Syahriwar, 1383 S, No. 58. Nasir Faqih, Liberalism Majalleh Syamim Yas, Syahriwar, 1383 S, No. 18. Anthony Arblaster, Zhuhur wa Suqut-e Liberalism Gharb (Rise and Decline of Liberalism in the West), terjemahan Abbas Mukhbir, hal. 14-17.
[15]. Silahkan lihat, Majalleh-ye Muballighân, Syahriwar, 1383 S, No. 58. Majalleh Syamim Yâs, Syahriwar, 1383 S, No. 18.
[16]. Silahkan lihat, Majalleh-ye Muballighân, Syahriwar, 1383 S, No. 58. Majalleh Syamim Yâs, Syahriwar, 1383 S, No. 18.
[17]. Ibid.