Please Wait
78418
Demokrasi merupakan sebuah metode untuk menata dan mengatur masyarakat. Penghormatan terhadap suara mayoritas dan kebebasan pribadi dan warga masyarakat dan sebagainya merupakan tipologi nyata demokrasi.
Kendati tidak terdapat keniscayaan antara mayoritas (aktsariyyah) dan kebenaran (haqqaniyah), [i] akan tetapi suara mayoritas atau akseptabilitas dapat menjadi bekal dan modal utama bagi terbentuknya sebuah pemerintahan. [ii] Dalam perspektif Islam, selama masyarakat dan suara mayoritas tidak menerima sebuah pemerintahan maka secara praktis tidak akan terbentuk sebuah pemerintahan.
Dalam pandangan Islam, masyarakat memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan dalam pemerintahan Islam mereka dapat menghirup udara kebebasan personal dan sosial. [iii]
Akan tetapi Islam, tidak menerima sebagian wacana demokrasi yang dikembangkan oleh Barat. Dalam Islam, apabila suara mayoritas bertentangan dengan kehormatan dan kemuliaan (karâmah) manusia maka suara mayoritas tersebut tidak bernilai apa pun dan juga tidak memiliki legalitas dalam pandangan Islam.[iv] Banyak wacana lain demokrasi lebih baik dan menawan dipraktikkan dalam Islam ketimbang apa yang dijalankan Barat. Dengan kata lain, agama dan demokrasi tidak bertentangan secara keseluruhan juga tidak sejalan secara keseluruhan. Pada hakikatnya apa yang diterima Islam adalah demokrasi agamis.[v]
Negara Republik Islam Iran salah satu obyek dan contoh nyata interaksi Islam dan demokrasi. Imam Khomeini Ra, sebagai tokoh berpengaruh, marja agama, juris (fakih) mutlak, dengan mendirikan Republik Islam Iran menetapkan bahwa Islam dan demokrasi tidak hanya tidak berseberangan dan bertentangan, melainkan keduanya dapat dipertemukan dan disandingkan. Dalam pandangan Imam Khomeini, Islam memiliki metode yang paling demokratis untuk menata, mengatur dan memenej masyarakat dengan bersandar pada suara rakyat.
Hal ini ditegaskan dengan ayat-ayat yang diturunkan berkenaan dengan musyarawah Nabi Saw dan masyarakat serta pelibatan mereka dalam masalah-masalah politik, sosial, dan mendengarkan pandangan mereka,[vi] kebebasan berakidah dan mengeluarkan pendapat.[vii] Sebagaimana hal ini juga dinyatakan dalam riwayat-riwayat, sejarah dan sirah para Maksum As.[viii]
[i]. Dengan kata lain, kendati legalitas (masyru'iyyah) tidak diperoleh melalui suara mayoritas akan tetapi akseptablitas dimilikinya.
[ii]. Untuk menjelaskan poin ini ada baiknya kita mencermati satu contoh berikut ini. Misalkan beberapa orang juris memiliki kelaikan untuk menjalankan pemerintahan Islam akan tetapi dengan suara mayoritas dan kecendrungan masyarakat kepada seorang juris, maka juris tersebut memiliki otoritas (wilayah) untuk menjalankan pemerintahan.
[iii]. Dalam hal ini silahkan lihat, Mahdi Hadawi Tehrani, Wilâyat wa Diyânat, hal. 117-138. Indeks: Hubungan pemerintah dan rakyat dalam Islam, pertanyaan 269.
[iv]. Dalam hal ini silahkan lihat, Indeks: Manusia dan Kemuliaan, pertanyaan 48
[v]. Artinya demokrasi yang masyarakatnya adalah mayoritas Muslim kerangka dan paradigma yang mengemuka adalah agamis dan syar'inya. Mereka yang memilih Islam dan menerima untuk menjalankan hukum dan syariat Islam serta menyebarkan nilai-nilai moral, agama dalam masyarakat.
[vi]. "Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu." (Qs. Ali Imran [3]:159)
[vii]. "Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka." (Qs. Al-Ghasiyah [88]:21-22); "Dan orang-orang yang menjauhi ibadah kepada tagut dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira. Sebab itu sampaikanlah berita gembira itu kepada hamba-hamba-Ku. yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal." (Qs. Al-Zumar [39]:17-18)
[viii]. Nahj al-Bâlagha, khutbah 216.
Untuk menjawab pertanyaan di atas kiranya kita perlu memperhatikan beberapa poin berikut ini:
1. "Demokrasi" merupakan terminologi yang derivatnya berasal dari kata Yunani, "demokratia" dimana "demos" bermakna pengaturan urusan luar negeri suatu bangsa – berbeda dengan makna "polis" yang bermakna pengaturan urusan dalam negeri suatu negara.[1] Demokrasi dewasa ini dalam terminologi politik bermakna keunggulan kekuatan dan kekuasaan ideal suatu bangsa dan pengaturan pemerintahan oleh rakyat.[2] Akan tetapi, demokrasi khusus yang merupakan sebuah sistem praktis dan taktis, tidak disepakati oleh para ilmuwan ilmu-ilmu politik.[3]
2. Pemerintahan rakyat untuk rakyat[4] yang disebut dalam Persia sebagai "Mardum Salari-ye Dini" memiliki beberapa tipologi sebagai berikut:[5]
a. Penghormatan terhadap kebebasan-kebebasan asasi seperti penghormatan terhadap kebebasan beragama, kebebasan pers, kebebasan berkumpul.
b. Bersandar pada rakyat dan tidak menggunakan media kekerasan untuk menciptakan perbaikan dan reformasi.
Demokrasi merupakan sebuah metode dan model untuk mengatur dan menata urusan masyarakat sedemikian sehingga masyarakat mampu menerima segala perubahan tanpa harus bermuara pada revolusi berdarah dan penuh kekerasan. Dengan kata lain, demokrasi merupakan konsepsi yang digunakan untuk mengatur urusan masyarakat dan metode mujarab untuk mengubah revolusi menjadi reformasi.
c. Metode atau media untuk menyelesaikan masalah kekuasaan dan mencegah timbulnya sikap otoriter.
Beberapa tipologi yang hingga kini disebutkan di sini terkait demokrasi adalah beberapa tipologi rasional dan dapat diterima dimana sepintas tidak memiliki pertentangan dengan pandangan-pandangan Islam dalam bidang politik dan sosial.
d. Di antara tipologi lain demokrasi yang diterima oleh negara-negara Barat dan melakukan manuver dengan titel "hak asasi manusia" adalah menerima tanpa tedeng aling-aling segala keinginan masyarakat. Bahkan apabila segala keinginan ini berseberangan dengan derajat dan kemuliaan manusia. Seperti penghalalan dan pelegalan perkawinan sesama jenis dan sebagainya yang tentu saja Islam menolak tipologi demokrasi seperti ini. Secara asasi, falsafah pengutusan para rasul adalah untuk melawan keinginan-keinginan rendah manusia rendah dan memotivasi mereka kepada ketinggian dan kemuliaan insaniah. Mayoritas yang mendapat celaan al-Qur'an adalah mayoritas seperti ini.[6] Kaum mayoritas yang menentang seruan dan dakwah para nabi yang mengajak mereka kepada kebahagiaan, petunjuk dan kesempurnaan tanpa berpikir dan berinteleksi hanya karena bertentangan dengan keinginan-keinginan rendah mereka.
Dengan memperhatikan pendahuluan-pendahuluan yang dikemukakan di atas sekarang mari kita cermati pandangan-pandangan yang ada terhadap sikap Islam dalam menyikapi demokrasi:
1. Pandangan yang menandaskan bahwa antara agama dan demokrasi secara asasi berseberangan dan sama sekali tidak berhubungan satu dengan yang lain; karena demokrasi merupakan metode yang digunakan pada domain politik dan pemerintahan sementara agama sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan masalah politik.
Pandangan ini adalah pandangan yang dilontarkan oleh orang-orang yang meyakini bahwa agama terpisah dari politik. Karena ruang lingkup dan skop agama dalam pandangan mereka merupakan urusan pribadi yang mengurusi hubungan antara manusia dan Tuhan serta keyakinan terhadap akhirat dan tidak ada hubungannya dengan masalah sosial dan politik.
2. Pandangan lainnya adalah pandangan di antara dua pandangan ini, terdapat kontradiksi dan di antara keduanya tidak ada keselarasan. Karena demokrasi sangat menjunjung tinggi suara dan pikiran rakyat secara mutlak. Dan hal ini merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dari pengertian demokrasi. Sementara Islam secara mutlak tidak terlalu memandang signifikan suara dan pikiran rakyat. Sebagai contoh apabila mayoritas penduduk suatu masyarakat menyatakan agama tidak boleh dijadikan sebagai aturan dalam masyarakatnya, pandangan ini diterima dalam demokrasi namun tertolak dalam Islam.
Pada dua kutub pemikiran ini, dari satu sisi orang-orang yang beragama yang berpandangan bahwa suara dan pendapat rakyat tidak ada nilainya. Dan pada kutub lainnya orang-orang anti agama yang menolak agama berada dalam lingkup pemerintahan. Kutub pertama memilih sikap untuk membela agama dan pemerintahan agama dengan pendekatan anti demokrasi. Orang-orang ini berpandangan bahwa agama tidak dapat dihimpunkan dengan demokrasi. Dan kutub kedua yang meyakini pemerintahan demokrasi dan memandang bahwa agama merupakan kontra demokrasi.
3. Pandangan lainnya adalah yang menegaskan bahwa hubungan Islam dan demokrasi tidak bertentangan secara keseluruhan juga tidak sejalan secara keseluruhan; artinya hubungan agama dan demokrasi adalah hubungan umum dan khusus. Menurut pandangan ini demokrasi memiliki ragam model yang sebagian darinya adalah non-agama, sebagian anti agama dan sebagian agamis. Demokrasi agamis adalah demokrasi yang diterima dalam Islam. Esensi jenis demokrasi ini tidak berbeda dengan model demokrasi lainnya. Satu-satunya tipologi model demokrasi seperti ini adalah coraknya yang agamis.
Demokrasi Perspektif Imam Khomeini Ra
Imam Khomeini Ra dalam kapasitasnya sebagai marja dimana beliau sendiri merupakan pendiri sistem pemerintahan paling demokratis di dunia dalam bingkai "Republik Islam" dengan meletakkan batu pertama negara Islam di Iran menetapkan bahwa Islam tidak hanya tidak berbenturan dan berseberangan dengan Islam namun keduanya dapat dipertemukan dan disatukan. Dalam pandangan Imam Khomeini, Islam memiliki model pemerintahan paling demokratis untuk mengatur, menata dan mengatur masyarakat dengan bersandar pada suara rakyat.
Apabila kita mendefinisikan demokrasi sebagai sebuah model yang berdasar kepada kehendak dan kebebasan manusia dalam memilih para penguasanya atau memakzulkan mereka dan menentukan nasibnya sendiri, sejatinya model pemerintahan yang berpijak pada suara mayoritas tidak berseberangan dengan paradigma pemerintahan yang dibangun oleh Imam Khomeini Ra. Imam dalam hal ini berkata: "Di sini suara rakyat yang memerintah. Rakyat yang memegang tampuk pemerintahan. Haram dan mustahil bagi kita melanggar hukum rakyat."[7]
Imam sangat menekankan peran sentral rakyat dalam menentukan nasib mereka sendiri dalam bentuk peringatan-peringatan kepada pemerintah, anggota dewan dan sebagainya.
Imam Khomeni Ra pada suatu kesempatan ketika memberikan wejangan kepada para anggota dewan untuk tidak berjalan berlawanan dengan arah perjalanan rakyat. Beliau berkata, "Apabila sejalan dengan selera kalian sendiri dalam menjalankan demokrasi maka ketahuilah bahwa demokrasi adalah suara mayoritas dan demikianlah suara mayoritas diterima. Mayoritas apapun yang mereka katakan maka pendapat mereka diterima meski bertentangan, merugikan diri mereka sendiri. Kalian bukanlah wali mereka yang berkata bahwa hal ini merugikan Anda (rakyat), kami tidak ingin melakukannya. Anda adalah wakil mereka (bukan wali mereka)."[8]
Ucapan ini dengan jelas menerangkan bahwa Imam meyakini bahwa nasib setiap masyarakat dan bangsa ditentukan oleh mereka sendiri dan dengan suara mereka sendiri. Imam Khomeini Ra meyakini bahwa "dalam Islam demokrasi dapat diterapkan dan rakyat bebas dalam Islam. Baik dalam menjelaskan keyakinan juga dalam beramal. Dengan syarat tidak ada konspirasi di dalamnya."[9] Keyakinan pemimpin Revolusi Islam ini mengkristal dalam konstitusi negara.
Dalam konstitusi Republik Islam Iran persandingan antara Islam dan demokrasi nampak jelas. Dalam konstitusi Republik Islam Iran, pemerintahan agama dan pemerintahan demokrasi adalah dua kutub yang tidak berseberangan. Melainkan keduanya berhubungan bersyarat dan saling menentukan antara satu dengan yang lain. Sedemikian sehingga dapat dikatakan bahwa berdasarkan spirit dan logika konstitusi, pemerintahan Islam sejatinya adalah pemerintahan demokrasi. Dan boleh jadi, atas alasan ini pemimpin Republik Islam Iran tidak sepakat dengan redaksi "Pemerintah Islam" dan memilih redaksi "Republik Islam" untuk Iran.
Dalam konstitusi Republik Islam, pasal tiga , ayat 19 dan 23, dengan judul hak-hak rakyat (huquq-e mardum) yang mengandung kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan beragama, kebebasan kegiatan kepartaian, kebebasan pers, persamaan derajat di hadapan hukum dan sebagainya. Juga disebutkan pada pasal lima dengan judul hak rakyat untuk berkuasa (haqq-e hakimiyat mellat).[10]
Kedua pasal ini disimpulkan dari Islam dan hubungannya dengan demokrasi mendapatkan penegasan dari sumber-sumber agama baik dari ayat-ayat al-Qur'an maupun dari riwayat-riwayat, sirah pemerintahan Nabi Saw dan Imam Ali As. Allah Swt dalam al-Qur'an berfirman kepada Nabi Saw: "Wa syawirhum fii al-amr.." (Dan bermusyawaralah dengan mereka, Qs. Ali Imran [3]:159) dan pada ayat lainnya musyawarah ditempatkan di samping penunaian shalat.[11]
Terkait dengan kebebasan beragama Allah Swt berfirman, "Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka." (Qs. Al-Ghasiyah [88]:21-22)
Kami suguhkan ayat-ayat ini sebagai contoh yang menjelaskan keterlibatan dan partisipasi aktif rakyat dalam menentukan nasib mereka sendiri dan masyarakat yang hidup di dalamnya. Demikian juga kebebasan beragama dan kebebasan kewargaan seperti kebebasan menyatakan pendapat dan sebagainya.
Sirah dan metode para maksum As juga merupakan penjelas dari klaim ini. Rasulullah Saw meski semenjak permulaan bi'tsat di Mekkah hingga hijrah ke Madinah memiliki legalitas pokok untuk membentuk pemerintahan, namun hal ini diimplementasikan di Madinah lantaran adanya permintaan masyarakat umum Madinah. Hal ini terjadi sewaktu mereka memberikan baiat kepada Rasulullah Saw."[12]
Demikian juga Imam Ali As meski beliau memiliki wilayah dan hak Ilahi sebagai Imam sesuai dengan riwayat-riwayat al-Ghadir dan sebagainya, pasca Rasulullah Saw, tatkala menyaksikan mayoritas rakyat memintanya untuk menjabat sebagai penguasa (baca: khalifah dan imam), beliau menerima untuk menjadi penguasa dan memerintah mereka.
Amirul Mukiminin Ali bin Abi Thalib dalam Nahj al-Balaghah menyampaikan kepada masyarakat: "Janganlah menghindari saya sebagaimana (menghindari) para penguasa tiran, jangan menemui saya dengan puji-pujian, dan jangan berpikir bahwa saya akan menyalahkan apabila suatu hal yang benar dikatakan kepada saya, karena orang yang merasa muak bilamana kebenaran dikatakan kepadanya atau suatu hal yang adil diletakkan di hadapannya akan mendapatkannya lebih sulit untuk melaksanakannya. Oleh karena itu janganlah berpantang dari berkata benar atau menudingkan masalah keadilan, karena saya tidak memandang diri saya di atas kekeliruan "[13]
Keterlibatan dan partisipasi untuk mengambil keputusan dalam bingkai musyawarah merupakan salah satu agenda utama dan politik Imam Ali dalam menjalankan roda pemerintahan. Hal ini bermakna keterlibatan masyarakat dalam menentukan nasibnya sendiri. Artinya rakyat berpartisipasi secara aktif dalam mengambil pelbagai keputusan untuk mengelola pemerintahan.
Karena itu, kendati dalam hal-hal tertentu boleh jadi suara mayoritas tidak memiliki legalitas namun suara mayoritas dapat berposisi sebagai pelaksana atau dengan akseptabilitasnya dalam mewujudkan sebuah pemerintahan.
Dalam pandangan Islam, masyarakat memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Dan di bawah pemerintahan Islam masyarakat dapat mengecap pelbagai kebebasan personal dan sosial.
Kendati Islam tidak menerima sebagian wacana demokrasi yang dipahami dan dipraktikkan Barat seperti suara mayoritas bertentangan dengan kemuliaan manusia. Akan tetapi wacana-wacana lain demokrasi lebih baik dan menawan dipraktikkan dalam Islam. Sebagai hasilnya tidak hanya antara agama dan demokrasi tidak bertentangan, bahkan model paling mutakhir demokrasi dapat dijumpai pada teks-teks Islam.[]
[1]. Ghulam Ridha Ali Babai, Farhangg-e 'Ulume Siyasi, jil. 1, redaksi demokrasi; Carell Cohen, Demokrasi (penerjemah Faribrez Majidi), hal. 21.
[2]. Ibid.
[3]. Hamid Inayat, Tafakkur Nâwin Siyâsi Islâm, hal. 179.
[4]. Adagium ini menyebar di tengah masyarakat bahwa sebuah pemerintah yang memperhatikan hak-hak masyarakat adalah pemerintah yang paling demokratis.
[5]. Akan tetapi mengkaji subyek demokrasi terkait definisi, selayang pandang, tipologi, hubungan antara demokrasi dan hak-hak rakyat dan pandangan sumber-sumber Islam terkhusus subyek ini memerlukan riset yang luas yang tidak terpenuhi dalam artikel ini.
[6]. "Allah sekali-kali tidak pernah mensyariatkan adanya bahîrah, sâ’ibah, washîlah, dan hâm. Akan tetapi, orang-orang kafir membuat-buat kebohongan terhadap Allah, dan kebanyakan mereka tidak mengerti." (Al-Maidah [5]:103)
[7]. Imam Khomeini, Shahifeh-ye Nur, jil. 14, hal. 109; jil. 9, hal. 304.
[8]. Shahife-ye Nur, jil. 4, hal. 234.
[9]. Ibid.
[10]. Qânun-e Asâsi Jumhuri-ye Islami, ketetapan 1358, dengan perbaikan baru, 1368.
[11]. "Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan mereka dan mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka." (Qs. Syura [42:38)
[12]. Muhammad Ibrahim Ayati, Târikh-e Payâmbar-e Islâm, hal. 181.
[13]. Nahj al-Balagha, khutbah 216 (Khursyid-e Bighurub, terjemahan 'Abdul Majid Ma'adikha).