Please Wait
9143
Juris (fakih) dengan bersandar pada dalil-dalil wilâyah fakih, pada masa ghaibat bertugas sebagai deputi para Imam Maksum As dan pemimpin masyarakat Islam. Ia dalam hal ini memiliki maqam wilâyah dan berkedudukan sebagai pemimpin untuk mengatur pelbagai urusan kaum Muslimin. Karena itu, apa yang diperlukan untuk memimpin dan mengatur masyarakat dan orang-orang berakal memandang hal itu sebagai hal yang legal dan merupakan wewenang-wewenang para pemimpin masyarakat. Apa yang telah tetap bagi para Imam Maksum As juga sifatnya tetap bagi fakih (juris) pada masa ghaibat. Makna sedemikian disebut sebagai “wilâyah mutlak fakih” (wilâyah muthlaq faqih) dan bandingannya adalah “wilâyah terbatas fakih” (wilâyah muqayyadah faqih).
Wilâyah mutlak fakih dapat dikaji dalam dua sisi sebagai berikut:
1. Wilâyah yang dimiliki atas orang-orang.
2. Wilâyah (penguasaan/wewenang) yang dimiliki atas pelbagai urusan.
Apabila kita menerima teori “wilâyah fakih” maka hal ini akan menjadi satu paradigma tetap dan unsur universalitas dalam sistem politik Islam, yang meski format realisasi sistem ini berbeda pada tataran praktis dan mekanisme politiknya, namun harus terpelihara pada setiap bentuknya dan tidak tereksploitasi. Di samping itu, dari sudut pandang Islam satu-satunya bentuk pemerintahan yang dapat diterima pada masa ghaibat adalah tatkala di dalamnya juris berkedudukan pada puncak piramida pengambilan keputusan dan puncak tertinggi manajer pengelolahan negara.
Dari sisi manejemen dan pengelolahan, wilâyah fakih memiliki hubungan dengan seluruh institusi politik dan sosial. Dengan demikian, perlu kiranya hubungan wilâyah fakih dengan institusi lainnya menjadi jelas. Karena itu, kami akan jelaskan pada bagian jawaban detil tentang masalah ini dan akan mencukupkan diri pada dua persoalan penting. Dan dua persoalan penting itu adalah hubungan wilâyah fakih dengan konstitusi dan partai-partai politik.
Kedudukan wilâyah fakih dalam sistem politik Islam
Apabila mazhab dan sistem politik Islam ingin dibedah maka akan menjadi jelas bahwa salah satu paradigma mazhab dan sistem politik Islam itu adalah “wilâyah fakih pada masa okultasi para Imam Maksum As.” Sebagaimana “tsubut wilâyah” bermakna “penguasaan pada alam takwini dan tasyri’ bagi Allah Swt” atau “Wilâyah para Imam Maksum As semenjak Nabi Saw hingga Khalifah Pamungkas As” juga berada di antara paradigma-paradigma mazhab politik Islam.
Karena itu, apabila kita menerima teori “wilâyah fakih” maka hal ini akan menjadi satu paradigma tetap dan unsur universalitas dalam sistem politik Islam, yang meski format realisasi sistem ini berbeda pada tataran praktis dan mekanisme politiknya, namun perkara ini tetap harus terjaga pada setiap bentuknya dan tidak tereksploitasi. Di samping itu, dari sudut pandang Islam satu-satunya bentuk pemerintahan yang dapat diterima pada masa ghaibat adalah tatkala di dalamnya juris berkedudukan pada puncak piramida pengambilan keputusan dan puncak tertinggi manajer pengelolahan negara.[1]
Keluasan wilâyah fakih
Juris, dengan bersandar pada dalil-dalil wilâyah fakih,[2] memiliki maqam wilâyah dan bertugas sebagai pemimpin untuk mengatur urusan masyarakat Islam. Syâri’ Muqaddas mengangkatnya menduduki maqam ini, meski kemudian, dalam satu bentuk aturan sosial, masyarakat memilih seorang juris yang memenuhi syarat-syarat.
Dalil-dalil wilâyah fakih memperkenalkan fakih dan juris sebagai pemimpin masyarakat Islam dan deputi para Imam Maksum As pada masa ghaibat.
Karena itu, apa yang diperlukan untuk memimpin dan mengatur masyarakat dan orang-orang berakal memandang hal itu sebagai hal yang legal dan merupakan wewenang-wewenang para pemimpin masyarakat. Apa yang bersifat tetap bagi para Imam Maksum As dan juga berlaku bagi juris pada masa ghaibat. Hal ini dapat kita pahami secara khususnya karena mutlaknya dalil-dalil literal (lafzhi), dan terlebih adanya surat yang ditulis sendiri oleh[3] Imam Maksum. Makna seperti ini disebut sebagai “wilâyah mutlak fakih” sebagai bandingan “wilâyah terbatas fakih.”
“Ithlaq” (mutlak) bermakna tiadanya stipulasi dan limitasi. Ithlaq adalah sebuah konsep yang berlawanan dengan “taqayyud” (adanya stipulasi dan limitasi). Karena itu, wilâyah dalam konteks ini memiliki dua sisi:
1. Wilâyah yang dimiliki atas orang-orang.
2. Wilâyah (penguasaan/wewenang) yang dimiliki atas pelbagai urusan.
Pada sisi pertama, juris memiliki wilâyah atas satu per satu masyarakat Islam dari kaum Muslimin dan non-Muslim, mujtahid dan orang awam, para mukallidnya dan mukallid para marja lainnya, dan bahkan atas dirinya. Apabila ia mengeluarkan sebuah hukum, maka setiap orang, bahkan para juris lainnya dan juga dirinya, harus mematuhi dan mengamalkannya. Dalil perkara ini, sebagaimana yang telah disinggung, adalah mutlaknya dalil-dalil literal wilâyah. Di samping itu, hal ini tergolong sebagai keniscayaan rasional dan orang-orang berakal terkait dengan kepemimpinan dan leadership.
Namun dari sisi kedua, fakih memiliki wilâyah atas pelbagai masalah sosial masyarakat Islam dan berdasarkan kemaslahatan ia mengeluarkan hukum dan apabila ia mengeluarkan hukum maka wajib bagi setiap orang untuk mematuhhi dan mentaatinya. Dalil perkara ini juga karena mutlaknya dalil-dalil literal (lafzhi) dan keniscayaan wilâyah dan kepemimpinan terhadap masalah ini.
Adapun bahwa fakih memperoleh wilâyah-nya dari Allah Swt, maka mau-tak-mau ia harus beramal berdasarkan pakem syariat dalam pelbagai bidang. Apabila ia ingin menerapkan wilâyah terhadap apa yang diinginkannya maka hal itu merupakan hal-hal yang dibolehkan (mubah) – artinya hal-hal yang bukan haram juga bukan wajib meski hal itu mustahab atau makruh. Mizan penerapan wilâyah adalah adanya kemaslahatan. Artinya apabila pada hal tersebut terdapat kemaslahatan untuk masyarakat umum atau pemerintahan Islam atau sekelompok masyarakat, maka fakih dapat bersandar pada kemaslahatan ini untuk memberikan amaran (perintah) atau larangan. Persis seperti orang-orang dalam kehidupan pribadinya dapat menentukan kemaslahatan bagi dirinya dan mengamalkanya dalam kerangka hal-hal yang dibolehkan dalam syariat.
Sebaik-baik dalil untuk hal ini adalah ayat al-Qur’an, “Al-Nabi awla bil Mu’minina min anfusihim.” (Nabi Saw itu lebih utama bagi orang-orang beriman daripada diri mereka sendiri.”[4] Dengan demikian, kita harus menyertakan dalil-dalil wilâyah fakih di samping ayat ini. Karena dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa Nabi Saw lebih layak daripada masyarakat atas diri mereka sendiri. Oleh itu, kalau mereka dapat mengerjakan sebuah perbuatan sesuai dengan kehendak mereka sendiri atau meninggalkan sebuah perbuatan apatah lagi Rasulullah Saw yang dapat memerintahkan atau melarang mereka. Dalil-dalil wilâyah fakih yang tetap bagi Rasulullah Saw dan para Imam Maksum dalam masalah leadership dan kepemimpinan masyarakat maka demikian juga bagi fakih. Fakih juga dapat memerintah dan melarang masyarakat untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Untuk mengidentifikasi kemaslahatan, dari satu sisi, kita harus memperhatikan timbangan-timbangan syariat dan dari sisi lain, merujuk kepada para ahli ilmu dan pengetahuan yang menandaskan adanya kemaslahatan faktual dalam hal tersebut. Dengan deskripsi seperti ini, fakih dan juris, dalam menentukan kemaslahatan, mau-tak-mau, harus memanfaatkan pandangan para ahli dan pakar dalam pelbagai bidang keilmuan.
Wilâyah fakih dan Pranata-pranata lainnya
Sekarang lantaran konsepsi, dalil-dalil dan ruang lingkup wilâyah fakih telah jelas, maka ada baiknya kami menjelaskan hubungan wilâyah fakih dan pranata-pranata sosial dan politik kemasyarakatan lainnya. Dalam hal ini, kami akan mencukupkan diri dengan menyebut dua hal penting dan hubungan wilâyah fakih dengan konstitusi serta partai-partai politik.
Konstitusi dan Wilâyah Mutlak Fakih
Sebagaimana yang kami sebutkan bahwa kandungan dalil-dalil wilâyah fakih menetapkan wilâyah mutlak fakih bagi fakih yang memenuhi selaksa syarat-syarat yang diperlukan. Apabila pada sebuah negara telah terbentuk pemerintahan dan kepemimpinan seorang fakih dan pada negara itu disediakan dan diratifikasi satu konstitusi dengan dukungan dan petunjuk fakih yang dimaksud. Dalam konstitusi tersebut ditentukan batasan-batasan bagi intervensi langsung fakih. Adapun bidang-bidang pemerintahan lainnya diserahkan kepada para aparat negara yang cakap. Apabila kita menerima batasan kewenangan dan penyerahan bidang-bidang pemerintahan dan pada saat yang sama menerima kepemimpinan agung fakih maka beberapa pertanyaan di bawah ini juga akan mengemuka:
1. Apakah fakih yang dimaksud dapat melakukan intervensi langsung pada batasan yang lebih luas dalam konstitusi?
2. Apakah fakih tersebut dapat merubah konstitusi?
3. Bagaimana nilai konstitusi seperti ini pada negara yang menerapkan teori wilâyah fakih, khususnya menurut pandangan orang-orang yang menerima teori pemilihan?
Sebelumnya telah disebutkan bahwa tatkala fakih mengeluarkan hukum yang sesuai dengan pakem tertentu syariat maka wajib bagi setiap orang termasuk dirinya untuk mematuhi hukum tersebut. Konstitusi pada kenyataannya merupakan sekumpulan hukum-hukum Ilahi dan wilâi dimana hukum-hukum wilâi itu dikodifikasi untuk beberapa kondisi tertentu dan sepanjang terdapat kemaslahatan padanya maka tiada satu pun orang yang memiliki hak untuk menentangnya, terlepas siapa pun orangnya, apakah ia seorang fakih atau seorang awam, apakah ia seorang pemimpin atau bukan pemimpin.
Karena itu, sepanjang konstitusi – dengan alasan adanya kemaslahatan – tetap berlaku maka fakih harus beramal berdasarkan aturan-aturan konstitusi kecuali terjadi benturan (tazâhum) dalam impelementasi konstitusi atau antara konstitusi dan hukum-hukum syariat.
Hal ini berlaku apabila dalam konstitusi disebutkan secara tegas tentang tiadanya intervensi fakih di luar batasan kewenangan yang telah ditentukan dalam konstitusi. Tapi apabila sebagian hal secara langsung diserahkan kepada fakih, seperti yang terdapat pada pasal seratus sepuluh konstitusi Republik Islam Iran dan perkara-perkara lainnya yang diserahkan kepada pranata-pranata dan departemen-departemen pemerintahan. Namun dalam konstitusi tiada larangan terkait dengan intervensi fakih di luar dari kewenangan yang ditegaskan dalam konstitusi. Fakih dapat, dengan bersandar pada wilâyah mutlak, melakukan intervensi dalam hal-hal dimana konstitusi tidak menyerahkannya kepada organ atau orang tertentu.
Apabila kemaslahatan menuntut satu hukum, sesuai dengan identifikasi juris atau para konsultan ahlinya, juris dapat mengubah dan sebagai kesimpulannya keharusan adanya konstitusi lainnya. Fakih dapat mengeluarkan instruksi diadakannya amandemen terhadap konstitusi, yaitu konstitusi baru menggantikan konstitusi lama atau meninjau kembali konstitusi lama. Setelah kodifikasi konstitusi baru maka diwajibkan bagi setiap orang termasuk juris itu sendiri untuk mematuhinya. Apabila dalam implementasi konstitusi atau teralisirnya sesuatu yang telah ditentukan sebelumnya dalam konstitusi tidak sesuai dengan kemaslahatan negara atau hukum-hukum Islam dan sejatinya terjadi benturan (tazâhum) antara dua hukum, maka fakih dapat memakzulkan untuk beberapa lama pelaksanaan konstitusi atau realisasi sebuah perkara yang telah ditentukan dalam konstitusi.
Dengan deskripsi ini, jawaban atas dua pertanyaan pertama menjadi jelas. Namun pertanyaan ketiga hanya dapat dijawab tatkala kita memperhatikan satu poin penting berikut ini:
Pada sebuah negara, tatkala telah terbentuk pemerintahan Islam dengan kepemimpinan seorang fakih yang memenuhi selaksa syarat yang diperlukan, maka senantiasa ada satu kelompok yang tidak menerima wilâyah fakih, baik melalui hasil ijtihad atau mengikuti hasil ijtihad tersebut (bertaklid) atau berbeda pendapat ihwal batasan kewenangan wilâyah-nya dengan yang tidak menerima adanya batasan kewenangan wilâyah.
Kelompok minoritas ini, dalam pandangan mereka tidak wajib mengikuti perintah fakih dalam seluruh atau sebagian urusan. Namun demikian terdapat satu “konvensi nasional” yang mengikat setiap warga negara untuk mematuhi konvensi tersebut. Apabila terdapat konvensi seperti ini, maka ia memandang dirinya harus mematuhi aturan tersebut. Konstitusi yang diserahkan pada suara masyarakat umum dapat saja menjadi obyek (mishdâq) konvensi nasional ini dan sejatinya hal seperti ini merupakan salah satu tuntutan kemaslahatan atas adanya konstitusi dalam sebuah negara. Dengan demikian, jawaban pertanyaan ketiga juga telah menjadi terang. Dari sisi lain, penerimaan masyarakat terhadap konstitusi seperti ini yang dalam bentuk seperti itu pemerintahan juga dijelaskan merupakan sebuah dokumen bagi sokongan masyarakat terhadap negara dan kehendak rakyat terhadap realisasi pemerintahan tersebut.[5]
Wilâyah Fakih dan Partai-partai Politik
Partai-partai politik terdapat pada seluruh masyarakat semenjak masa kuno hingga masa sekarang ini dalam pelbagai model dan bentuknya dengan ragam pandangannya. Namun partai-partai politik dalam artian moderen, tanpa ragu, merupakan hasil pelbagai kemestian aturan-aturan pemilihan dan parlemen. Dengan ciri seperti ini, konsep tentang partai politik ini juga merupakan hasil sebuah peradaban baru yang terbentuk oleh zaman baru di Eropa dan kemudian tersebar di seluruh dunia dengan dominasi pelbagai paradigma dan standarnya. Dewasa ini adanya partai-partai politik tergolong sebagai simbol partisipasi masyarakat dan kebebasan politik masyarakat.
Karena itu, konsep ini harus disusun dalam struktur pemerintahan Islam sebagai satu unsur yang senantiasa berubah sesuai dengan kondisi sosial, politik dan kebudayaan. Apabila dengan adanya partai politik seperti ini dapat memberikan pengaruh dalam meningkatkan partispasi masyarakat dalam panggung politik dan penguatan negara Islam maka hal itu meniscayakan kehadiran partai politik. Dalam hal ini, apabila konstitusi menerima kehadiran partai-partai politik maka partai-partai politik sebagaimana aturan konstitusi lainnya, sepanjang mengandung kemaslahatan dan tidak terjadi perubahan dalam konstitusi berdasarkan kemaslahatan-kemaslahatan baru, akan tetap ada. Pakem terbentuknya dan batasan pengamalannya ditentukan berdasarkan konstitusi dan pada kerangka itu partai politik menjadi berarti. Apa yang harus diperhatikan secara teliti adalah hubungan partai-partai politik dengan wilâyah fakih. Sejatinya, partai-partai politik merupakan contoh manifestasi kehendak rakyat dimana kehendak ini menjadi penjamin terbentuk dan kelestarian pemerintahan Islam. Karena itu, hubungan partai-partai politik dengan wali fakih adalah sebagaimana hubungan rakyat dengan pemimpin.
Namun bukti-bukti sejarah pada beberapa negara Islam, di antaranya adalah Iran, senantiasa menunjukkan bahwa kehendak rakyat, pada kebanyakan urusan, senantiasa ada dan sangat jarang diekspresikan dalam bentuk partai-partai politik.
Dari sisi lain, apa yang hingga kini terbentuk dalam negeri (Iran), sangat jarang ada partai politik dalam artian sebenarnya yang dapat dijadikan sebagai contoh. Asosiasi-asosiasi (politik) dalam negeri hanyalah berkududukan sebagai penjelas selera tanpa adanya definisi dan basis yang terang terkait dengan hal-hal yang sentral dalam masalah-masalah politik. Karena itu, masyarakat tidak begitu menyambut untuk berpartai juga apa yang muncul sebagai partai sebenarnya tidak menjalankan fungsi yang sebenarnya sebagai partai. Salah satu kejelekan berpartai adalah ketika berbenturan antara kepentingan negara secara keseluruhan atau kepentingan masyarakat dan kemaslahatan partai maka orang-orang yang berpartai ghalibnya akan lebih memilih kemaslahatan partainya ketimbang kemaslahatan masyarakat atau negara. Tentu saja hal ini dalam negara Islam dan juga negara-negara rasional politik lainnya tidak akan dapat diterima.[6] [IQuest]
[1]. Mahdi Hadawi Tehrani, Wilâyat wa Diyânat, hal. 126.
[2]. Silahkan lihat, Shaduq, Man Lâ Yahdhuruhu al-Faqih, jil. 4, hal. 420, Bab al-Nawadir, Hadis 5919. Syaikh Shaduq, Kitâb al-Âmali, hal. 109, Majlis 34, Hadis 4. Syaikh Shaduq, ‘Uyûn Akhbâr al-Ridhâ As, jil. 2, hal. 37, Hadis 94. Syaikh Shaduq, Ma’âni al-Akhbâr, jil. 2, hal. 374, Bab 423. Al-Hurr al-‘Amili, Wasâil al-Syiah, jil. 18, hal. 65 & 66, Kitâb al-Qadhâ Abwâb Shifât al-Qâdhi, Bab 8, Hadis 50 & 53. Syaikh Nuri, Mustadrak al-Wasail, Kitab al-Qadha, Abwab Shifat al-Qadhi, Bab 8, Hadis 10, 11, 48 & 52. Allamah Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 20, hal. 25, Kitâb al-‘Ilm, Bab 8, Hadis 83. Muttaqi Hindi, Kanz al-‘Ummâl, jil. 10, hal. 229, Kitâb al-‘Ilm min Qism al-Aqwal, Bab 3, Hadis 29209. Syaikh Shaduq menukil dari Amirul Mukminin As bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Allahummahirham khulafai” (Tuhanku! Rahmatilah para khalifahku) Rasulullah Saw ditanya: “Siapakah para khalifah Anda?” Rasulullah Saw bersabda, “Alladzina ya’tuna min ba’di yarwuna haditsi wa sunnati” (Mereka adalah orang-orang yang datang setelahku dan meriwayatkan hadis dan sunnahku.” Syaikh Shaduq, Kamâl al-Din (Ikmâl al-Din), jil. 2, hal. 483, Bab 45, Al-Tauqi’at, al-Tauqi’ al-Rabi’. Syaikh Shaduq dalam kitab Kamâl al-Din (Ikmâl al-Din) menukil dari Ishaq bin Ya’qub bahwa Imam Wali Ashr Ajf dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan, beliau menjawabnnya dengan tulisan tangannya, “Amma al-Hawadits al-Waqi’a farji’u fiha ila Ruwât Haditsinâ, Fainnahum hujjati ‘alaikum wa Ana Hujjatullâh ‘alaihim.” Pada peristiwa-peristiwa yang terjadi maka merujuklah kepada para perawi hadis kami. Karena mereka adalah hujjaku bagi kalian dan Aku hujjatuLlah bagi mereka.”
[3]. Syaikh Shaduq, Kamâl al-Din (Ikmâl al-Din), jil. 2, hal. 483, Bab 45, Al-Tauqi’ât, al-Tauqi’ al-Râbi’.
[4]. (Qs. Al-Ahzab [33]:6).
[5]. Wilâyat wa Diyânat, hal. 127-129.
[6]. Wilâyat wa Diyânat, hal. 129-131.