Please Wait
10272
Sumber-sumber fikih kaum Muslimin tidak terbatas semata-mata pada al-Qur’an. Syiah dan Sunni memiliki sumber-sumber lain selain al-Qur’an. Sumber yang paling penting setelah al-Qur’an bagi kedua mazhab ini adalah Sunnah.
Kebanyakan hukum dan bagian-bagian partikularnya menjadi jelas bagi kita dengan bersandar pada Sunnah Rasulullah Saw dan Ahlulbait As.
Karena itu, sesuai dengan pendapat seluruh kaum Muslimin, mereka tidak mencukupkan hanya dengan bersandar pada al-Qur’an untuk mengambil hukum-hukum agama. Di antara hukum-hukum tersebut adalah keharaman pernikahan saudari orang yang telah disodomi yang merupakan hal-hal yang memiliki dalil-dalil referensialnya (naqli).
Demikian juga, menurut sebagian juris bahwa baligh dalam hukum ini (keharaman pernikahan putri, saudari, ibu orang yang disodomi atau yang mensodomi) sebagai syarat dan dengan adanya keraguan apakah ia telah mencapai baligh atau tidak maka perbuatan itu tidak dapat dihukumi haram.
Namun sebagian juris lainnya tidak memandang baligh sebagai syarat. Keharaman berlaku dalam dua kondisi di atas. Benar bahwa apabila yang Anda maksud bentuk keraguan, yaitu ragu dalam inti terjadinya sodomi (masuk atau tidak) maka harus dikatakan bahwa tiada seorang pun juris dan fakih Syiah yang memberikan hukum keharaman dalam masalah ini.
Dalam pandangan Ahlusunnah dan Syiah, al-Qur’an merupakan sumber terpenting fikih dan hukum-hukum agama Islam. Namun al-Qur’an sekali-kali bukan satu-satunya sumber. Karena sebagaimana Muhammad bin Idrsi Syafi’i, salah seorang dari empat imam besar Ahlusunnah, berkata, “Dari satu sisi, seluruh seluruh kebutuhan (umat manusia) tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan dari sisi lain, dari apa yang disebutkan juga kebanyakan memerlukan penjelasan dan pemaparan. Tidak ada yang mampu melakukan dua hal ini selain Rasulullah Saw. Karena sesuai dengan tuntutan hukum risalah yang dimiliki, beliau harus memaparkan al-Qur’an. Dan apabila kita menolak sunnah secara umum maka kita berhadapan dengan problem besar misalnya ayat-ayat Ilahi yang tidak menyebutkan jumlah bilangan raka’at salat harian sebagiamana jenis-jenis dan ukuran-ukuran zakat juga tidak disebutkan dalam al-Qur’an.[i]
Atas dasar itu, seluruh kaum Muslimin memandang Sunnah sebagai salah satu sumber penting fikih dan kebanyakan hukum-hukum dikeluarkan dan dimanfaatkan dari Sunnah tersebut.
Di antara hukum-hukum syariat kita menjumpai banyak hal yang diakui dan diterima oleh kaum Muslimin namun tidak disebutkan dalam al-Qur’an. Seperti jumlah bilangan rakaat salat wajib yang tidak disebutkan dalam al-Qur’an. Hal ini merupakan sebaik-baik dalil bahwa hukum-hukum ini diperoleh dari sumber-sumber lain selain al-Qur’an yang diterima oleh kaum Muslimin.
Baik dalam fikih Syiah dan juga empat mazhab Ahlusunnah, selain ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah (riwayat-riwayat dari Rasulullah Saw dan Ahlulbait As) menerima sumber-sumber lain seperti akal dan ijma. Dan bahkan sebagian Ahlusunnah (Maliki dan Hanbali) memandang Sadd Dzarai’[ii] sebagai dalil di samping dalil-dalil dan sumber-sumber lainnya.[iii] Dan apa yang terkenal dari Abu Hanifah adalah qiyas yang dapat digunakan sebagai dalil di samping sumber-sumber lainnya.[iv]
Dengan menyebutkan pendahuluan ini maka dapat kita katakana bahwa keharaman pernikahan dengan saudari, ibu, dan putri orang yang disodomi atas orang yang mensodomi merupakan salah satu masalah yang disimpulkan dari riwayat-riwayat para Imam Maksum As. Meski hukum ini telah dibahas secara rinci dalam literatur-literatur fikih ulama Syiah[v] namun hukum ini bukanlah terkhusus sebagai hukum Syiah dan juga disandarkan kepada sebagian pembesar Ahlusunnah seperti Ahmad bin Hanbal dan Awza’i.[vi]
Di antara para juris, sebagiannya dengan bersandar pada riwayat-riwayat para Imam Maksum As juga menyimpulkan demikian bahwa kehormatan saudari orang yang disodomi atas orang yang mensodomi bergantung pada baligh tidaknya orang yang mensodomi. Apabila orang yang mensodomi belum mencapai usia baligh maka kondisi ini tidak akan menjadikan hukum tersebut menjadi haram. Berdasarkan hal ini, apabila seseorang meragukan baligh tidaknya orang yang mensodomi, yaitu ragu apakah ketika melakukan perbuatan itu ia telah mencapai baligh atau tidak? Maka saudari orang yang disodomi tidak akan haram baginya.
Namun menurut sebagian juris lainnya, mereka menyatakan bahwa usia baligh bukan menjadi syarat. Artinya bahwa orang yang mensodomi apatah lagi orang yang disodomi, baik ia telah baligh atau belum baligh, ibu, saudari dan putri orang yang disodomi akan menjadi haram baginya. Ragu dan sangsi apakah ia telah baligh atau tidak sama sekali tidak ada perannya dalam hukum ini. Dalam dua kondisi di atas hukum keharaman berlaku baginya.[vii]
Benar apabila maksud Anda tentang ragu adalah ragu terhadap inti kejadian sodomi harus dikatakan bahwa tiada seorang pun dari kalangan fakih dan juris Syiah yang mengeluarkan hukum haram dalam kondisi seperti ini. Hal ini dinyatakan secara tegas dalam risalah-risalah amaliah (Buku Fikih Praktis) bahwa apabila seseorang menyangka (baca: tidak yakin) pensil telah masuk ke dalam botol atau ragu pensil telah masuk atau tidak, maka hukum haram tidak akan berlaku baginya.[viii]
Namun harus diperhatikan bahwa hukum haram ini dengan asumsi bahwa sodomi tidak terjadi setelah pernikahan dengan ibu, saudari atau putri orang yang disodomi. Karena itu, apabila seseorang menikah dengan ibu, saudari atau putri seseorang dan kemudian setelah menikah ia melakukan sodomi dengannya maka ibu, saudari dan putri orang tersebut tidak akan menjadi haram baginya.[ix] [IQuest]
[i]. Isa Wilai, Farhang Tasyrihi Ishthilâhi ‘Ilm Ushûl, hal. 216 dan 217, Nasyr Nei.
[ii]. Secara literal, makna Sadd Dzarai; menutup jalan-jalan dan perantara-antara sehingga tidak menyampaikan kepada tujuan yang dimaksudkan. Menurut as-Syhatibi, Zarai ialah perantara yang mendekatkan perkara maslahah kepada perkara mafsadah. Dengan demikian, pengertian Zarai’ adalah menyekat perantara-perantara kerusakan (mafsadah) dengan melarang perbuatan yang dibolehkan karena perkara tersebut akan sampai kepada yang dilarang.
[iii]. Ibid, hal. 213.
[iv]. Ismail Muizzi Malayiri, Jâmi’ Ahâdits al-Syiah, jil. 1, hal. 391, Hal. 532, kritikan Imam Shadiq atas Abu Hanifah yang mempraktikkan qiyas (analogi).
[v]. Sayid Murtadha ‘Alamal Huda, al-Intishâr, hal. 256, Inisyarat-e Islami berafiliasi dengan Jami’ah Mudarrisin Hauzah Ilmiah Qum.
[vi]. Muhyiddin al-Nawawi, al-Majmu’, jil. 6, hal. 221, Intisyarat-e Dar al-Fikr.
[vii]. Taudhih al-Masail Marâji’, jil. 2, hal. 473, Masalah 2405.
[viii]. Ibid.
[ix]. Ibid, Masalah 2406.