Please Wait
9292
Orang-orang yang tidak menerima agama Islam terdiri dari dua kelompok:
1. Kelompok yang secara teknis dikenal sebagai jahil muqasshir dan kafir. Artinya Islam telah sampai kepada mereka dan memahami hakikatnya namun karena sikap keras kepala dan membangkang mereka tidak siap menerima kebenaran. Tentu saja kelompok ini layak mendapatkan azab dan abadi dalam neraka.
2. Kelompok yang secara teknis disebut sebagai jahil qâshir. Artinya Islam atau pesan Islam tidak sampai kepada mereka atau tidak sempurna dan tidak faktual disampaikan kepada mereka. Anggapan mereka bahwa Islam berada sejejeran dengan agama-agama India, China sebagaimana anggapan orang-orang Yahudi dan Kristen. Orang-orang seperti ini lantaran kejujuran mereka dalam agama dan ajarannya maka tergolong sebagai orang-orang selamat.
Islam adalah agama hak yang diterima dan disokong oleh akal sehat. Islam adalah agama mudah dan hakikatnya dapat ditelusuri dan dikaji. Untuk dapat menelusuri dan mengakses hakikat ini, Islam menawarkan dua duta, duta lahir dan duta batin, yaitu “para nabi dan wali Allah serta akal” kepada manusia.[1]
Islam bertentangan secara diametral dengan pluralisme agama. Lantaran pluralism agama berasaskan bahwa seluruh keyakinan itu sama. Muslim, Hindu, Kristen dan Yahudi semuanya sama dan sejajar. Dalam pandangan penyokong pluralisme tiada satu pun dalil yang menyatakan kebatilan akidah setiap agama. Karena hakikat adalah sesuatu yang tidak dapat dijangkau. Adapun agama adalah sesuatu yang nisbi yang dan sangat personal. Bukan hanya hakikat dan kandungannya tidak dapat dijangkau dan masing-masing punya kesimpulan sendiri-sendiri terhadap agama, melainkan terdapat hakikat-hakikat dan banyak jalan dan benar untuk sampai kepada keselamatan dan kebahagiaan.
Pandangan seperti ini sama sekali tidak sejalan dengan agama Islam yang merupakan himpunan pokok keyakinan dan cabang-cabang amalan, fikih dan akhlak.[2] Namun demikian Islam berbicara tentang pluralism (kejamakan) dan pluralisme (kejamakan) itu berada pada tataran perbuatan yaitu bersikap moderat dengan orang-orang yang jauh dari hakikat Islam. Dengan kata lain, orang-orang yang tidak menerima Islam itu terdiri dari dua kelompok:
1. Kelompok yang secara teknis dikenal sebagai jahil muqasshir dan kafir. Artinya Islam telah sampai kepada mereka dan memahami hakikatnya namun karena sikap keras kepala dan membangkang mereka tidak siap menerima kebenaran. Orang-orang seperti ini adalah kafir penentang dan layak mendapatkan azab dan abadi dalam neraka. Lantaran mereka mengenal hak dan hakikat namun mengikuti hawa nafsunya menentang hak dan hakikat itu dengan sengaja dan ilmu yang dimiliknya. Kelompok seperti ini sebenarnya dapat menjadi orang-orang selamat. Meski secara lahir berperilaku baik, karena menutupi kebenaran dan menentang serta bersikap keras kepala terhadap hakikat, sejatinya mereka telah menutup gerbang keselamatan bagi diri mereka sendiri. Sebagai kesimpulannya mereka memilih tempatnya sendiri.
2. Kelompok yang secara teknis disebut sebagai jahil qâshir. Artinya Islam atau pesan Islam tidak sampai kepada mereka atau tidak sempurna dan tidak faktual disampaikan kepada mereka. Anggapan mereka bahwa Islam berada sejejeran dengan agama-agama India, China sebagaimana anggapan orang-orang Yahudi dan Kristen.
Jelas bahwa kelompok ini baik yang hidup di negeri yang sangat jauh atau di benua Eropa dan Amerika dan tempat peradaban, karena mereka tidak bersalah atas ketidakimanan mereka maka mereka tidak akan terperosok dalam azab neraka. Karena azab neraka yang menimpa para pendosa akibat dari perbuatan mereka. Pesan Islam dan kebenarannya tidak sampai kepada mereka atau disampaikan secara keliru atau berbeda dengan kenyataan yang ada, sehingga mereka tidak memiliki ilmu terhadap kebenaran agama Islam. Mereka tidak menerima Islam bukan karena kesalahan mereka sehingga tergolong sebagai para pendosa.
Amat disayangkan sedemikian banyak anti-propaganda yang dilancarkan melawan Islam yang menimpa orang-orang yang bepikir bebas dan pencari kebenaran sehingga mereka tidak dapat membedakan antara kebenaran dan kebatilan.
Kenyataannya adalah bahwa meski dengan pelbagai kemajuan materi namun manusia dari sisi spiritual sangat terbelakang. Faktor utama atas petaka ini adalah para penguasa arogan dunia, media-media propaganda dan seni dengan segala kekuatan yang dimiliki berada pada tataran mengganti dan menyelewengkan kebenaran. Karena itu, kebanyakan orang bahkan yang hidup pusat-pusat peradaban sama sekali tidak ada informasi tentang Islam dan mazhab Ahulbait. Dan yang lebih buruk dari itu, mereka disuguhkan informasi-informasi tidak benar tentang Islam sedemikian sehingga agama kasih sayang, cinta dan keadilan diperkenalkan sebagai agama kekerasan dan tirani.
Sesuai dengan pandangan Islam, orang-orang seperti ini apabila bersikap jujur kepada agama dan ajarannya – yang bersandar pada fitrah – misalnya tidak berdusta dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan anti kemanusiaan maka mereka tergolong sebagai orang-orang selamat dan berharap pada rahmat Tuhan Yang Mahakuasa. Masalah ini juga berlaku bagi ilmuan-ilmuan monotheis dan mengenal Tuhan yang tidak mengenal Islam dengan baik karena diinformasikan secara keliru atau seperti Ahlusunnah yang tidak mengenal dengan baik kebenaran Ahlulbait.
Kesimpulannya bahwa setiap orang yang tidak sampai kebenaran kepadanya dan ia juga tidak bersalah (muqasshir) dalam kebenaran ini maka ia tidak layak menjadi penghuni neraka lantara neraka adalah tempat para pendosa bukan bagi orang-orang yang tidak mengetahui kebenaran.[3] [IQuest]
[1]. Ushûl Kâfi, jil. 1, hal. 25, Hadis 22, kitab Aql wa Jahl.
[2]. Untuk pembahasan detil tentang Pluralisme Agama, silahkan lihat, Fashl Nâme Kitâb-e Naqd, No. 4, Paiiz, 86, Pluralism-e Dini wa Takatssur Gerâi, khusunya wawancara dengan Dr. Legenhausen dengan judul, “Mafhum-e Nubuwat ra Kharab Nakunim” dan artikel “Ayatullah Jawadi Amuli wa Pluralism-e Dini.” Abdullah Nashri, Yaqin-e Gumsyude, Intisyarat-e Surusy, wawancara dengan Hadi Shadiqi, hal-hal. 319-327.
[3]. Muthahhari, Adl Ilahi, Intisyarat-e Islami, Teheran, Bag. 8, hal-hal. 327-319, Kitâb-e Naqd, artikel “Kafir Musalman wa Musalman-e Kafir,” Muhammad Hasan Qaramaliki.