Please Wait
16560
"Badâ''" secara leksikal bermakna nampaknya (jelasnya) sesuatu setelah tersembunyi. Dan yang digunakan dalam al-Qur'an adalah makna leksikal ini: "wa badâ'a lahum minaLlâh mâ lam yakunu yahtasibun " Dan jelaslah bagi mereka azab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan." (Qs, al-Zumar [39]:47). Dan secara teknikal sebagian ulama berpandangan bahwa badâ' dalam urusan penciptaan (takwini) semacam nasakh dalam urusan tasyri'i (pelaksanaan syariat). Dan ia bermakna barunya sebuah "pendapat". Harus diketahui bahwa badâ' dan nasakh dari sisi Tuhan adalah sesuatu yang mustahil, lantaran hal ini meniscayakan, didahuluinya ilmu Tuhan dengan kejahilan, sementara Tuhan suci dari sifat jahil. Sebagaimana Imam Shadiq As bersabda: "Sesungguhnya Allah Swt tidak memulai sesuatu dengan kejahilan." Apa yang dapat digambarkan dari Tuhan adalah badâ' dan nasakh secara lahir; itu artinya memunculkan sesuatu bagi manusia yang tersembunyi bagi mereka sebelunya, dimana perkara ini telah diketahui oleh Tuhan semenjak azal. Dan semenjak permulaan dengan bentuk baru yang muncul ini Tuhan mengetahuinya, akan tetapi demi kemaslahatan yang dituntut pada tingkatan taklif membuat perkara itu tersembunyi bagi manusia. Kemudian sesuai kondisinya muncul dan makna ini dapat diterima oleh akal manusia.
Dalam al-Qur'an disebutkan: "Bagi tiap-tiap masa ada kitab (yang tertentu). Allah menghapuskan dan menetapkan apa yang Dia kehendaki, dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul Kitâb (Lauh Mahfûzh).” (Qs. Ar-Ra’ad [13]:39). Ayat ini merupakan ayat yang paling tegas membincang masalah perubahan dalam takdir adalah badâ''. Karena ilmu Tuhan, sebagaimana yang disabdakan oleh Imam Shadiq As, terdiri dari dua jenis: "Ilmu maknun dan ilmu makhzun yang tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah Swt, dimana badâ' sendiri diambil dari ilmu tersebut. Ilmu yang lainnya adalah ilmu yang diajarkan kepada para malaikat, para nabi dan kepada kami yang juga mengetahui ilmu tersebut."
Oleh karena itu, ilmu dimana badâ' bersumber adalah lauh mahfuz dan ilmu yang terkait dengan badâ'' adalah "lauh mawh wa itsbât." Sekarang mari kita amati bersama apa yang dimaksud dengan lauh mahfuz dan lauh mahw wa itsbât itu.
Lauh mahfûz dan lauh mahw wa itsbât
Yang dimaksud dengan lauh mahfuz (ummul kitab) adalah ilmu azali Tuhan dimana segala yang ditakdirkan dalam ilmu Tuhan tersebut bersifat tetap dan tidak dapat berubah. Menurut kebanyakan penafsir, lauh mahfuz dan kitabul mubin adalah satu. Karena kitab mubin adalah derajat ilmu Allah Swt, dan pada ayat ditegaskan bahwa "Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biar pun sebesar zarah (atom) di bumi atau pun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Kitab Mubin)." (Qs. Yunus [10]:61)
Adapun yang dimaksud dengan lauh mahw wa itsbât adalah lembaran kosmos, dunia eksistensi, dan pelataran tabiat dimana nasib dan takdir segala sesuatu tercatat di dalamnya, namun tidak satu pun dari nasib dan takdir ini bersifat tetap. Melainkan segala sesuatunya memiliki sisi tuntutan-tuntutan.
Hasil dari perubahan ini adalah berdasarkan kemaslahatan dan tuntutan ruang dan waktu dan sebagainya. Pada lauh mahw wa itsbât ini segalanya berproses dimana badâ' juga terkait di dalamnya. Berbeda dengan lauh mahfuzh (ilmu azali Tuhan) yang juga disebut sebagai "kitabul mubin" dan "ummul kitab", ia tidak berubah dan bersifat tetap.
Makna leksikal dan teknikal "badâ'"
Badâ'' derivatnya adalah buduww yang bermakna tampak nyata[1]1 dan secara teknis disebutkan bahwa sebagaimana nasakh memiliki dua makna:
1. Munculnya pendapat baru bagi Tuhan – yang tadinya tidak diketahui dan kemudian diketahui oleh Tuhan – makna dari badâ'' dalam artian ini adalah tidak benar dan dalam kaitannya dengan Allah Swt adalah tidak mungkin dan mustahil.
2. Memunculkan suatu perkara bagi manusia yang tadinya terpendam dan tersembunyi; artinya perkara ini diketahui oleh Tuhan semenjak azal dan semenjak permulaan dengan bentuk barunya yang kemudian muncul, akan tetapi sesuai dengan kemaslahatan yang dituntut pada tingkatan taklif, untuk beberapa waktu terpendam dan tersembunyi bagi manusia kemudian dimunculkan sesuai dengan tuntutan maslahat yang ada. Makna badâ' yang sedemikian adalah makna yang dapat diterima dan masuk akal.[2] Yang diyakini oleh ulama Syiah sebagai makna badâ'' adalah bersandar kepada riwayat-riwayat Ahlulbait As seperti yang dinukil dari Imam Shadiq As yang bersabda: "Di samping mengikat janji tentang tauhid, Allah Swt juga mengikat janji dengan para nabi tentang iman terhadap badâ''."[3] Atau hadis yang lain yang menyebutkan bahwa: "Setiap orang yang beranggapan bahwa sebuah permasalahan menjadi jelas bagi Tuhan yang sebelumnya tidak diketahuinya, maka hendaklah ia berlindung kepada Allah Swt."[4] Imam Shadiq As menegaskan masalah ini, makna badâ'' tatkala disandarkan kepada Allah Swt adalah bermakna ibdâ', yang berarti memunculkan sesuatu yang tadinya tersembunyi, terpendam dan sebelumnya tidak terprediksi.[5]
Di antara ayat-ayat yang menunjukkan pada realitas ini adalah " Bagi tiap-tiap masa ada kitab (yang tertentu). Allah menghapuskan dan menetapkan apa yang Dia kehendaki, dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul Kitâb (Lauh Mahfûzh).” (Qs. Ar-Ra’ad [13]:38-39)
Penjelasan masalah ini adalah bahwa ilmu Tuhan yang dengannya Dia mengatur seluruh kondisi ciptaan-Nya terdiri dari dua jenis:
Yang pertama adalah ilmu makhzun yang tiada diketahui oleh siapa pun kecuali Tuhan yang disebut sebagai "Lauh Mahfuzh" dan yang kedua ilmu yang dianugerahkan Tuhan kepada para malaikat, para nabi dan wali-wali Tuhan lainnya yang disebut sebagai "lauh mahw wa itsbât" dimana badâ'' memiliki akses pada bagian ilmu ini.[6]
Imam Shadiq As bersabda: "Allah Swt memiliki dua jenis ilmu: Ilmu maknun dan ilmu makhzun yang tidak diketahui oleh siapa pun kecuali Allah Swt dimana badâ'' sendiri bersumber ilmu dari jenis ilmu ini. Yang lainnya adalah ilmu yang diajarkan kepada para malaikat, para nabi dan kami juga mengetahui ilmu ini."[7]
Oleh karena itu, kita memiliki dua jenis ilmu: Ilmu yang menjadi nara-sumber bagi badâ'' yang merupakan lauh mahfuzh dan ilmu yang terkait dengan badâ'' yang disebut sebagai lauh mahw wa itsbât. Dengan demikian, badâ'' adalah penghapusan (mahw) pertama dan penetapan (itsbât) kedua dan Allah Swt mengetahui keduanya. Hal ini merupakan realitas yang tidak dapat dinafikan dan diingkari oleh orang-orang yang berakal; karena untuk terwujud dan terealisirnya pelbagai peristiwa dan kejadian dua jenis prediksi yang dapat digambarkan: Yang pertama terjadinya peristiwa tersebut tanpa kekeliruan yang sesuai dengan tuntutan sebab-sebab nâqish (tidak sempurna), misalnya syarat atau sebab (illat) atau tiadanya halangan. Yang kedua terjadinya peristiwa tersebut tanpa kekeliruan yang selaras dengan pelbagai tuntutan sebab-sebab tâmmah (sempurna) peristiwa tersebut. Wujudnya bersifat tetap, tidak bersyarat dan tidak menyelisih dan kedua kitab tersebut yang disinggung dalam ayat yang disebutkan di atas; yaitu yang diperkenalkan sebagai kitab penghapusan (mahw), kitab penetapan (itsbât) dan ummul kitab, atau adalah dua tingkatan wujud, dan atau awal dari keduanya.[8]
Lauh mahfuzh, kitabul mubin, dan lauh mahw wa itsbât
"Dan pada sisi Kami pun ada kitab yang memelihara (mencatat segala sesuatu)." (Qs. Qaf [50]4), atau pada ayat, "yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfûzh." (Qs. Al-Buruj [85]:22) Kedua ayat ini menandaskan tentang sebuah kitab yang memelihara (mencatat) seluruh perbuatan manusia dan selainnya. Dan pada saat yang sama termasuk seluruh karakteristik seluruh peristiwa dan tipologi setiap orang dan segala perubahan yang terjadi pada keduanya. Namun kitab tersebut tidak mengalami perubahan dan pergantian. Sesuai dengan ucapan kebanyakan penafsir, lauh mahfuzh adalah kitab mubin (kitab yang nyata) itu sendiri. Karena yang dimaksud dengan kitab mubin adalah tingkatan ilmu Allah Swt; artinya seluruh maujud tercatat pada ilmu-Nya yang tak-terbatas. Dan bukti dari ucapan ini adalah: "Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biar pun sebesar zarah (atom) di bumi atau pun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfûzh). (Qs. Yunus [10]:61) dan pada ayat, "Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam dan tempat penyimpanan binatang itu. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (pada Lauh Mahfûzh pada kitab ilmu Tuhan)." (Qs. Hud [11]:6) dan menunjukkan bahwa semesta keberadaan yang membentang luas juga merupakan potret dari lauh mahfuzh ini. Dengan demikian yang dimaksud dengan lauh mahfuzh (ummul kitab) dan kitab mubin (kitab yang nyata) adalah ilmu azali Tuhan dimana seluruh takdir dan nasib manusia tercatat di dalamnya dan tidak dapat berubah.
Berbeda dengan lauh mahw wa itsbât, dimana nasib dan takdir segala sesuatu tercatat, namun tidak satu pun dari takdir ini bersifat tetap, melainkan seluruhnya memiliki dimensi maslahat. Yang dimaksud dengan lauh mahw dan itsbât adalah lembaran kosmos, semesta eksistensi dan dunia natural dimana takdir segala sesuatu pada tabiatnya, berdasarkan kemaslahatan dan tiadanya halangan, tersedianya sebab sempurna (illat tammah) bagi terpenuhinya sesuatu dan kita tidak memiliki pengetahuan terkait dengan halangan yang dimaksud. Sementara Allah Swt mengetahui halangan tersebut. Atas alasan ini, Imam 'Ali bin Husain As bersabda: "Sekiranya tiada ayat dalam Kitabullah, aku akan menyebutkan apa yang akan terjadi hingga hari Kiamat." Zurarah berkata, "Aku bertanya, ayat yang mana?" Imam menjawab: "Allah menghapuskan dan menetapkan apa yang Dia kehendaki, dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul Kitâb (Lauh Mahfûzh).” (Qs. Ar-Ra’ad [13]:38-39)[9].
Dengan demikian lauh mahw dan itsbât adalah hukum yang bersifat umum yang termasuk di dalamnya seluruh peristiwa yang terbatas pada masa dan waktu. Dengan kata lain, seluruh maujud yang terdapat pada tujuh petala langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya tunduk pada hukum ini. Sebagaimana Allah Swt berfirman: "Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya melainkan dengan benar dan untuk waktu yang ditentukan. (Qs. Ahqaf [46]:3)
Dari keseluruhan pembahasan dapat disimpulkan bahwa perubahan berdasarkan kemaslahatan dan tuntutan ruang dan waktu dan sebagainya terproses pada lauh mahw wa itsabt. Berbeda dengan lauh mahfuzh (ilmu azali Ilahi) yang tidak mengalami perubahan. Oleh karena itu, seluruh maujud berdimensi ganda, dimensi pertama perubahan terkait dengan kematian, kehidupan, sirna dan tetap, dan segala jenis perubahan. Dan dimensi kedua yang memiliki corak permanen yang tidak mengalami perubahan dan bada' adalah termasuk pada dimensi yang pertama.[]
[1]. Kamus Qur'an, Qarasyi, Sayid Ali Akbar, jil, 1, hal. 172
[2]. Hadi Ma'rifat, Tafsir wa Mufassirân, Muassasah Farhang-e al-Tamhid, cetakan pertama, Urdibehesyt, 1379, jil. 1, hal. 522.
[3]. Kâfi, Dar al-Kitab al-Islami, Teheran, 1265, hal. 148, hadis 15.
[4]. Safina al-Bihâr, jil. 1, hal. 51, dan Kafi, idem, hal 148, hadis 9 yang mirip dengan redaksi ini.
[5]. Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 10, 249.
[6]. Hadi Ma'rifat, Tafsir wa Mufassirân, idem, hal. 523.
[7]. Allamah Majlisi, Bihâr al-Anwâr , jil. 4, hal. 109-110, no.27 dan Kafi, hal 423, hadis 8 yang mirip dengan redaksi ini.
[8] . Allamah Thaba-thabai, Tafsir al-Mizan, terjemahan Musawi Hamadani, jil. 11, hal. 584
[9]. 'Arusi Huwaizi, Tafsir Nur al-Tsaqalain, Muassaah Ismailiyyan, 1373, jil. 2, hal. 512.