Please Wait
9397
Dalam menjawab pertanyaan ini kita dapat menjawabnya dengan menyinggung beberapa poin berikut ini.
1. Manusia memiliki kapabilitas dan potensi untuk mencapai tingkatan kesempurnaan dengan melaksanakan pelbagai amalan yang diperintahkan Allah Swt. Sedemikian ia melakukan amalan-amalan tersebut sehingga ia sampai seluruh kesempurnaan dan pada akhirnya meraup maqam insan paripurna.
2. Mencapai maqam insan paripurna tidak bermakna bahwa mereka yang sampai pada maqam ini tidak memiliki kondisi yang beragam.
Menurut hemat kami dan kebanyakan kaum Muslimin, Imam Ali as merupakan teladan dan paragon bagi kaum Muslimin dan menggondol maqam insan paripurna. Namun demikian beliau memiliki ragam kondisi. Artinya terkadang beliau tidak merasakan sakit tatkala anak panah dicabut dari kakinya. Dan terkadang ketika menunaikan shalat, beliau mendengar suara seorang miskin lalu menyedekahkan cincinnya kepada orang miskin tersebut.
3. Apa yang dijelaskan pada poin kedua adalah bukti bahwa kondisi spiritual Imam Ali as pada kondisi pertama lebih tinggi daripada kondisi kedua. Namun dalam masalah ini terdapat ungkapan yang lebih akurat dan teliti yang dilontarkan oleh para arif.
Sebagai pendahuluan harus dikatakan bahwa:
1. Manusia memiliki kapabilitas dan potensi untuk mencapai tingkatan-tingkatan kesempurnaan dengan menunaikan pelbagai perbuatan yang diperintahkan oleh Allah Swt. Sedemikian ia mengamalkan perbuatan tersebut sehingga ia memiliki seluruh kesempurnaan dan pada akhirnya meraup maqam insan paripurna.
2. Masalah lainnya, meraup seluruh kesempurnaan dan menjadi manusia paripurna bagi para maksum as, pada tingkatan tertentu, menuntut kehidupan mereka berjalan seperti kehidupan manusia lainnya. Artinya mereka harus menjalani hidup secara normal dan sosial. Mengingat kondisi-kondisi kehidupan manusia tidak satu model, terkadang keamanan tersedia, terkadang kerusuhan terjadi dan sebagainya, secara natural perilaku dan perlakuan mereka harus sejalan dan sesuai dengan kondisi-kondisi tersebut. Misalnya, bahwa orang yang sedang dalam perjalanan harus menyingkat (qashar) ketika mengerjakan shalat (wajibnya) atau dalam keadaan perang ia harus melaksanakan shalat khauf dan seterusnya. Dengan demikian, sampainya seseorang pada maqam manusia paripurna tidak bermakna bahwa orang-orang yang sampai pada tingkatan ini tidak menjalani ragam kondisi, pendeknya tidak larut dalam urusan material dan duniawi.
Dengan memerhatikan dua pendahulan yang dijelaskan di atas kami akan menjawab kritikan yang dikemukakan: dua proposisi dan pendahuluan ini, adalah penjelas dua kondisi yang berbeda, dari pelbagai kondisi manusia paripurna seperti Baginda Ali as.
Ayatullah Syahid Muthahhari terkait dengan kritikan ini berkata, "Kritikan ini dilontarkan oleh orang-orang terdahulu seperti Fakhrurrazi yang menyatakan bahwa ketika mengerjakan shalat Ali as senantiasa sedemikian melupakan dirinya sehingga beliau tidak memerhatikan kondisi atau orang di sekelilingnya. Bagaimana Anda berkata bahwa beliau berlaku demikian tatkala shalat (menyerahkan cincin kepada orang fakir)? Jawaban atas kritikan ini adalah pertama: Bahwa Baginda Ali as melupakan dirinya tatkala menunaikan shalat merupakan sebuah kenyataan. Namun hal ini tidak berarti bahwa kondisi para wali Allah senantiasa sama dengan yang lain. Rasulullah saw sendiri diriwayatkan mengalami dua kondisi, terkadang dalam kondisi shalat beliau menemukan kondisi ekstase ketika beliau tidak kuasa menahan hingga azan berhenti. Beliau bersabda: "Arihna Ya Bilal! Segeralah Bilal kita tunaikan shalat. Terkadang juga tatkala beliau menunaikan shalat, dalam kondisi sujud, Imam Hasan dan Husain datang dan naik di atas pundaknya. Beliau dengan tenang bersabar dan memperpanjang sujudnya hingga beliau berdiri. Tiba-tiba, tatkala Nabi saw berdiri, seseorang meludah. Nabi Saw bergerak selangkah ke depan dan menutup ludah orang tersebut. Setelah itu Nabi Saw kembali (pada posisi semula). Hal ini dijadikan sebagai dasar oleh para fukaha dalam masalah shalat sehingga Sayid Bahrul Ulum berkata:
Wa masya khair al-khalq fi al-mihrâb
Yaftah minhu aktsar al-Abwâb
Maksudnya bahwa dalam kondisi shalat dengan bergerak dua langkah, Nabi saw telah memecahkan banyak masalah dalam bab shalat sehingga berangkat dari gerakan ini terdapat perbuatan di luar shalat yang dibolehkan atau tidak dibolehkan. Karena itu, kondisinya berbeda-beda.[1]
Syaikh Shaduq dalam Ilal al-Syarâi' dan Allamah Majlisi dalam Bihâr al-Anwâr menulis: Suatu hari Rasulullah saw menunaikan shalat dan para sahabat juga mengikutinya. Seorang bocah kecil menangis. Rasulullah saw menyudahi shalatnya dengan cepat. Setelah shalat para sahabat bertanya tentang sebabnya. Rasulullah Saw dalam menjawab pertanyaan para sahabat bersabda, "Apakah kalian tidak mendengar jeritan seorang bocah kecil? Aku menyudahi shalatku dengan cepat agar ibunya segera mengambil anaknya dan mendiamkannya.”[2]
Dalam mendeskripsikan ibadah Imam Sajjad as diriwayatkan bahwa suatu malam, salah seorang putra Imam Sajjad jatuh dari tempat ketinggian, tangannya patah dan menjerit-jerit.
Demikian juga diriwayatkan bahwa Imam Sajjad sedang menunaikan shalat dan sujud di rumahnya di sudut rumahnya. Tiba-tiba terjadi kebakaran. Orang-orang berteriak, “Wahai Putra Rasulullah! Kebakaran …Kebakaran..!” Imam Sajjad tetap sibuk beribadah dan tidak memerhatikan suara gaduh tersebut. Setelah api berhasil dipadamkan, Imam Zainal Abidin mengangkat kepalanya dari sujud. Dengan penuh ketenangan tanpa menghindahkan suara gaduh tersebut, beliau menyudahi shalatnya.[4]
Karena itu, para wali Allah memiliki kondisi yang berbeda-beda. Terkadang mereka mengalami kondisi medium[5] dan terkadang tenggelam dalam alam spiritual dan zat Allah Swt dan tidak melihat sesuatu yang lain selain zat kebesaran Allah Swt dan tidak menaruh perhatian sama sekali dengan apa yang terjadi di sekelilingnya. Bahkan terhadap badannya sendiri.
Sepertinya panca indra mereka tidak berfungsi tatkala tersedot magnet cinta dan irfan Rabbani. Sedotan ini membuat mereka tidak merasakan apa pun dengan segala yang terkait dengan panca indra mereka. Ditariknya anak panah dari kaki Amirul Mukminin termasuk dari kondisi semacam ini.[6]
Akan tetapi terdapat jawaban lain atas kritikan ini. Jawaban tersebut adalah bahwa di antara keunggulan penting para imam maksum dalam pelbagai kondisi kehidupan mereka senantiasa larut dan lebur dalam zat Allah Swt. Mereka tidak menghendaki segala sesuatu yang lain selain zat Allah Swt. Perhatian terhadap pelbagai kondisi dan tuntutan ruang dan waktu karena hal itu merupakan perintah Allah Swt dan media takarub kepada-Nya. Mereka berhasil menghimpun antara spiritualitas dan materialitas, antara mulk dan malakut. Apabila mereka menaruh perhatian kepada akhirat, mereka tidak melupakan dunia. Apabila mereka mengerjakan urusan duniawinya, maka mereka tidak melalaikan akhirat.
Dengan demikian, dari sudut pandang irfan, kondisi Amirul Mukminin dalam shalat ketika beliau bersedekah dengan sebuah cincin kepada seorang fakir adalah kondisi yang lebih tinggi daripada kondisi ketika anak panah dicabut dari kaki beliau.
Hal ini dapat dijelaskan demikian bahwa para arif, dalam menerangkan sair dan suluk manusia, menyebutkan empat perjalanan:
- Perjalanan dari makhluk (khalq) kepada Tuhan (Hak)
- Perjalanan dari Tuhan menuju Tuhan bersama Tuhan
- Perjalanan dari Tuhan menuju makhluk bersama Tuhan
- Perjalanan dari makhluk menuju makhluk bersama Tuhan
Pada perjalanan pertama, seorang pesalik meleburkan zatnya pada zat Tuhan. Karena itu, wujudnya berubah menjadi wujud Haqqani dan ia tersifati dengan kondisi mahw (enyah). Dalam perjalanan kedua, seorang pesalik lebur (fana) dalam sifat dan perbuatan Tuhan. Pada perjalanan ketiga, kondisi mahw (enyah) ini hilang dan yang muncul adalah sahw tam. Ia baqa (abadi) dalam baqa (keabadian) Tuhan. Dan melakukan perjalanan pada alam-alam jabarut, malakut, nasut. Ia menyaksikan seluruh alam dengan segala entifikasinya yang mewartakan seluruh makrifat, sifat dan zat Tuhan. Pada perjalanan keempat, ia menyaksikan seluruh makhluk, efek, manfaat dan mudarat duniawi-ukhrawinya, kembalinya seluruh makhluk ini kepada Tuhan, dan bagaimana proses kembalinya. Pada seluruh tiga tingkatan terakhir, ia bersama Tuhan, karena wujudnya telah manunggal dengan Tuhan dan perhatiannya terhadap sesuatu tidak membuatnya lalai dari mengingat Tuhan.[7] Tatkala Baginda Ali as menyerahkan cincin kepada seorang peminta-minta dalam shalat, maka hal itu sejalan dengan kondisi sair dan suluk (pelancongan ruhani) tingkatan keempat. Dari sisi lain, para arif berkata bahwa manusia dalam meniti jalan menuju kesempurnaan akan sampai pada sebuah kondisi atau kedudukan jamak dan kedudukan jamak ini terdiri dari dua jenis:
A. Mereka yang menghimpunkan alam material dan spiritual secara sempurna.
B. Mereka yang menghimpunkan dua alam ini dengan tidak sempurna. Artinya apabila ia melancong pada dunia pengetahuan-pengetahuan metafisika dan tertahan dengan mekanisme alam fisika dan nasut dan ia hanya mampu berkata-kata sesuai dengan tuntutan kondisi yang diberikan kepadanya serta tidak memerhatikan seluruh kondisi yang ada. Di sinilah ia terkadang terjebak pada ucapan-ucapan yang terkadang melantur (syatah).[8]
Para Imam karena mereka maksum sesuai dengan tuntutan "laa yasghulu sya'n 'an sya'n (tidak disibukkan ketika mengerjakan sesuatu) tatkala mereka di alam material (fisika), maka pada saat yang sama mereka juga berada di alam metafisika. Selagi mereka di alam metafisika, mereka juga berada di alam fisika. Mereka adalah cermin dari “'Âlin fi dunuwwihi wa dânin fii 'uluwwihi" (tinggi dalam kerendahannya dan rendah dalam ketinggiannya). Pendeknya mereka telah mencapai maqam jamak salim. Karena itu, mereka sekali-kali tidak akan pernah bertutur kata yang tidak sejalan dengan muhkamat awwaliyah, yakni tidak bertutur kata yang bersifat permukaan.[9]
Demikianlah kondisi yang dialami oleh Amirul Mukminin ketika dalam keadaan rukuk menyerahkan cincinnya kepada seorang peminta-minta.[10] Hal ini merupakan penjelas kondisi jamak salim, yaitu selagi ia asyik berdua-duaan dengan Tuhan ia juga tidak melupakan kondisi di sekelilingnya. Bukan lalai dari Tuhan dan memerhatikan orang fakir, melainkan sedemikian perhatiannya tersedot secara sempurna kepada Tuhan sehingga pada saat tersebut beliau menyaksikan seluruh semesta nampak secara telanjang di hadapannya. Dengan kata lain, sedotan magnet pada Sang Kinasih terkadang sempurna dan terkadang kurang sempurna. Dan, ekstase kurang sempurna (naqish) terjadi tatkala manusia larut dan tenggelam dalam samudera Sang Kinasih, tetap dan terlena untuk-Nya.
Ayatullah Syahid Muthahhari terkait dengan hal ini berkata,
“Apabila keasyikannya sempurna maka ia akan kembali pada kondisi tersebut, yakni seseorang selagi ia asyik berdua-duaan dengan Tuhan, ia juga sibuk dengan segala sesuatu selain-Nya. Seperti pada masalah tatkala ruh meninggalkan badan. Orang-orang yang baru sampai pada tingkatan seperti ini, dua detik atau sejam ruhnya terpisah dari badannya. Akan tetapi terdapat orang-orang senantiasa dalam kondisi ruhnya terpisah dari badannya; misalnya mereka duduk bersama kami dan Anda, dan pada saat yang sama ruhnya meninggalkan badannya.”[11]
Sebagai contoh nyata dari insan kamil atau insan paripurna ini adalah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib. Tatkala beliau menyerahkan cincinnya kepada seorang peminta-minta, beliau merasakan keasyikan sempurna (injidzâb kamil).
Dengan ungkapan lain, manusia sempurna sampai pada sebuah tingkatan ketika seluruh alam adalah panca indranya.[12] Dalam kondisi seperti ini tingkatan wujudnya dan tugas yang diperoleh dari sisi Allah Swt menuntutnya untuk memerhatikan seluruh alam dan seluruh tingkatan ini diperoleh tatkala lebur dalam Zat Allah Swt. Karena itu, kondisi-kondisi yang berbeda-beda ini sewaktu shalat, bukan hanya tidak kontradiksi antara satu dengan yang lain, namun sejalan, selaras dan menegaskan antara satu dengan yang lain. Inilah rahasia ucapan para arif yang menyatakan bahwa kondisi Amirul Mukminin tatkala memberikan cincinnya kepada seorang peminta-minta lebih tinggi dari kondisi tatkala anak panah dicabut dari kakinya.[]
[1] Murtadha Muthahhari, Imâmat wa Rahbari, hal. 180-181 (dengan sedikit perubahan).
[2] Bihâr al-Anwâr, jil. 88, hal. 93.
[3] Muntahâ al-Âmal, jil. 2, hal. 10.
[4] Ibid.
[5] Seperti kisah Nabi Ya'qub dan Nabi Yusuf as: Lantaran kekurangajaran saudara-saudaranya, Nabi Yusuf dilemparkan ke dalam sumur. Akan tetapi, Ya'qub tidak mengetahui persoalan ini. Setelah beberapa tahun berlalu, Yusuf kemudian menjadi gubernur Mesir (Azis). Saudara-saudaranya datang kepadanya dan membawa pulang kemeja Yusuf ke hadapan ayah mereka (Nabi Ya'qub). Al-Qur'an menuturkan kisah ini dengan indah: " Tatkala kafilah itu telah keluar (dari negeri Mesir), ayah mereka berkata, “Sesungguhnya aku mencium bau Yusuf." (Qs. Yusuf [12]:94). Sa'adi pujangga besar Iran, membandingkan dua peristiwa ini dan bertanya: Bagaimana Nabi Ya'qub tidak mengetahui bahwa Yusuf jatuh (baca: dijatuhkan) ke dalam sumur? Namun beliau dapat mencium bau kemeja Yusuf dari Mesir?
Seorang bertanya kepada orang yang kehilangan putranya
Ia bertanya: Wahai jiwa cerlang renta yang berakal
Engkau mencium kemeja dari Mesir
Namun tidak melihat sumur di Kan'an
Konon keadaan kita bak petir di dunia
Terkadang tampak terkadang hilang
Terkadang melihat ketinggian di angkasa
Terkadang abai melihat kaki sendiri. Kulliyât-e Sa'adi, hal. 53.
[6] http://www.imamalinet.net/per/ertebat/er4/ertebat1.htm
[7] Muhammad Ridha Hakim Ilahi Qumsyei Isfahani, Hâsyiye-i Asfar, jil. 1, hal. 13-16, dengan ringkasan.
[8] Syatah secara leksikal bermakna “melubernya isi panic”. Kalimat ini juga digunakan untuk mengusir dan menjauhkan anak kambing demikian juga bermakna keluarnya sesuatu dari hukum-hukum normatif. Farhangg-e Farsi Moin dan Dekhoda. Dalam terminologi irfan dan tasawuf, syatah adalah kalimat-kalimat atau ucapan-ucapan yang secara lahir berisi kekufuran dan bertentangan dengan fondasi-fondasi syariat. Ucapan-ucapan yang dilontarkan oleh sebagian arif ketika merasa trance disebut sebagai syathiyyat. Tatkala mengucapkan hal ini secara umum mereka lalai dari dirinya dan fana dalam zat Allah. Jenis kalimat ini secara lahir sulit untuk diterima dan bermuatan kekufuran – sedemikian sehingga ketika orang-orang mendengarnya akan menjauh dari mereka. Akan tetapi mereka memiliki pelbagai justifikasi dan takwil yang dapat diterima atas ucapan-ucapannya yang sepintas melantur dan bermuatan kekufuran itu.
[9] Terjemahan Risalah al-Wilayah, Guftar-e Ayatullah Jawadi Amuli.
[10] "Sesungguhnya pemimpinmu hanyalah Allah, rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan salat dan menunaikan zakat, sedang mereka dalam kondisi rukuk." (QS Al-Maidah [5]:55)
[11] Murtadha Muthahhari, Imamat wa Rahbari, hal. 181.
[12] Ayatullah Hasan Zadeh Amuli, Nahj al-Wilâyah, hal. 167.