Please Wait
49866
Untuk dapat mengenal lingkungan sekitar kita memerlukan beberapa media. Ulama Islam memandang beberapa media pasti yang dapat digunakan mengenal lingkungan sekitar. Pertama, indra; seperti indra penglihatan, indra pendengaran dan lain sebagianya. Kedua, akal. Ketiga, hati.
Seluruh media untuk memperoleh pengetahuan, melalui jalan penyingkapan intrinsik, penyingkapan-penyingkapan dan pandangan barzakhi yang merupakan jenis penyingkapan-penyingkapan berhubungan dengan pengenalan syuhudi (penyaksian) yang menggunakan media hati. Seseorang yang memiliki pandangan barzakhi haruslah seorang yang bertakwa dan suci sehingga kita dapat memberikan kemungkinan bahwa ia telah mencapai derajat ini. Di samping itu, ia tidak pernah menyalahgunakan media ini dan tidak berada pada tataran menyerang orang serta komitmen terhadap masalah-masalah syar’i.
Pertama-tama untuk mengetahui sebuah pembahasan seperti pandangan barzakhi termasuk dalam bagian mana ajaran agama kita maka kiranya kita harus mengemukakan sebuah pendahuluan singkat:
Pada alam ril dan luaran, kita memerlukan beberapa media pengenalan untuk dapat mengenal lingkungan sekitar; misalnya apabila kita tidak memiliki mata dan telinga maka kita tidak akan memiliki sebagian pengetahuan dan pemahaman terkait dengan apa yang dapat dilihat dan didengar. Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait dengan berapa banyak jumlah media-media ini.
Plato memandang akal sebagai satu-satunya media pengenalan. Sebagai kebalikannya para ilmuan empirik Eropa seperti Hume memandang peran akal sangat lemah dan segala sesuatu yang diperoleh adalah melalui indra manusia.[1]
Di antara ulama Islam, media pengenalan terdiri dari beberapa jenis. Pertama: indra seperti indra penghlihatan, indra pendengaran dan lain sebagainya. Kedua: Akal. Ketiga: Hati.
Karena itu, sesuai dengan media-media ini, kita memiliki tiga jenis pengenalan:
- Pengenalan empirik, : seluruh ilmu yang diperoleh melalui panca indra.
- Pengenalan rasional, seperti ilmu Logika dan Filsafat.
- Pengenalan syuhudi (penyaksian), seperti pelbagai ilmu yang diperoleh melalui jalan irfan dan syuhud.[2]
Seluruh media untuk memperoleh pengetahuan, melalui jalan penyingkapan intrinsik (batin), penyingkapan-penyingkapan dan pandangan barzakhi yang merupakan jenis penyingkapan-penyingkapan berhubungan dengan pengenalan syuhudi (pengenalan) yang menggunakan media hati.
Pengenalan syuhudi merupakan suatu hal yang pasti dan diterima dalam ajaran Islam dan al-Qur’an. Untuk sampai pada tingkatan ini yang perlu dilakukan hanyalah penyucian jiwa, takwa Ilahi dan bersikap wara terhadap dunia sedemikian sehingga meminjam Mulla Shadra yang memberikan definisi tentang mukâsyafah, “Ilmu mukasyafah adalah sebuah cahaya yang akan muncul dalam diri manusia setelah manusia menyucikan hati dan qalbunya dari sifat-sifat tercela.”[3]
Al-Qur’an dalam hal ini menyatakan, “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu (kekuatan) pembeda (antara yang hak dan yang batil di dalam hatimu), menghapuskan segala kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (Qs. Al-Anfal [8]:29) atau firman Allah Swt, “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Qs. Al-Ankabut [29]:69)[4] Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa satu-satunya cara untuk memperoleh jenis pengetahuan seperti ini adalah hanyalah melalui penyucian jiwa dari segala kekotoran sehingga setelah penyucian jiwa cahaya kebenaran akan bersinar benderang dalam jiwa. Terdapat banyak dalil untuk menetapkan jenis pengenalan ini yang tentu bukan tempatnya di sini untuk kita bicarakan, namun cukup untuk dikatakan bahwa di antara filosof Eropa orang-orang seperit William James dan banyak lagi filosof lainnya yang menerima jenis pengenalan syuhudi ini.[5]
Pelbagai hal yang diilhamkan pada hati manusia dan mukâsyafah terdiri dari empat bagian:
- Yang bertalian dengan ilmu dan pengetahuan. Ilham seperti ini disebut sebagai ilham Rabbani.
- Ilham yang mengajak kepada kebaikan dan kemuliaan. Ilham seperti ini disebut sebagai malaki.
- Ilham yang mengajak pada kelezatan-kelezatan fisikal dan mental. Bagian ini disebut sebagai ilham nafsani.
- Ilham yang mengajak pada pembangkangan dan maksiat terhadap kebenaran. Ilham ini disebut sebagai ilham setani.[6]
Dengan memperhatikan beberapa poin di atas menjadi jelas bahwa segala urusan non-empirik tidak dapat dinilai sebagai ilham Rabbani; karena pada tingkatan ini, banyak kejadian ilham-ilham nafsani dan setani disalahpahami sebagai ilham rabbani. Rasyiduddin Maibadi, terkait dengan kepelikan dalam mengidentifikasi ilham-ilham hati dari ucapan seorang arif, berkata, “Apabila seseorang masuk ke dalam sebuah taman lalu melihat seluruh burung hingga di atas ranting-ranting pohon dan berkata, “Salam padamu wahai wali Allah!” Sekiranya ia tidak takut bahwa ini adalah tipuan, namun tetap saja dapat terjadi penipuan.”[7]
Kriteria-kriteria Identifikasi
- Ilham-ilham qalbi (hati) ini terlepas apakah dia untuk pribadi orang itu atau orang lain tidak boleh bertentangan dengan hukum-hukum rasional. Salah satu hukum terpenting atas masalah ini adalah bahwa ilham-ilham yang ada sama sekali tidak akan pernah mendukung kezaliman (dalam artian luas) dan sebaliknya mendukung keadilan dan menentang kezaliman.
- Ilham-ilham ini tidak boleh bertentangan dengan ajaran-ajaran agama. Untuk mengidentifikasi masalah ini harus diserahkan kepada para ahli agama.
- Ilham-ilham ini tidak boleh berseberangan dengan hukum-hukum agama. Apabila ilham-ilham ini memotivasi orang untuk meninggalkan bentuk lahir syariat maka pastilah bukan ilham-ilham rabbani; karena orang yang paling sempurna seperti Rasulullah Saw dan para imam lainnya senantiasa beramal dengan bentuk lahir syariat.
- Seseorang yang melontarkan klaim-klaim ini; seperti memiliki pandangan barzakhi haruslah seorang yang bertakwa dan suci sehingga kita dapat memberikan kemungkinan ini. Di samping itu, ia tidak pernah menyalahgunakan media ini dan tidak berada pada tataran menyerang orang serta komitmen terhadap masalah-masalah syar’i; karena sebagaimana yang telah kami sampaikan bahwa hal ini hanya dapat diperoleh dengan penyucian jiwa dan apabila terdapat seseorang memiliki pandangan barzakhi tidak melalui jalan ini maka sekali-kali ia tidak dapat diterima. [iQuest]
Untuk mengenal sifat-sifat manusia pemilik keramat kami persilahkan Anda untuk melihat Pertanyaan No. 4301 (Site: 4561)
[1]. Murtadha Muthahhari, Mas’ale-ye Syenâkht, hal. 48 dan 49, Intisyarat-e Shadra, Teheran, 1376 S.
[2]. Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Âmuzesy-e ‘Aqâid, hal. 36, Intisyarat-e Bainal Milal, Teheran, 1377 S. Sehubungan dengan masalah ini Anda dapat melihat indeks: Kemungkinan Pengenalan Tuhan, Pertanyaan 98.
[3]. Shadr al-Muta’allihin Syirazi, Muhammad bin Ibrahim, Tafsir al-Qur’an al-Karim, jil. 2, hal. 69, Nasyr Bidar, Qum, 1366.
[4]. Mujahadah di sini juga mencakup mujahadah nafsani. Silahkan lihat, Mas’ale-ye Syenâkht, hal. 67 sampai 72.
[5]. Silahkan lihat, Mas’ale-ye Syenâkht, hal. 66.
[6]. Makala Barrasi Râbethe Mukâsyafah dar Irfân-e Islâmi wa Tajrebe-ye Dini dar ‘Irfân wa Falsafe-ye Gharb, Muhsin Qummi dan Muhammad Husain Zadeh. Diadaptasi dari site Tebyan.
[7]. Rasyid al-Din Ahmaad bin Abi Sa’ad Maibadi, Kasyf al-Asrâr, jil. 7, hal. 222, Intisyarat-e Amir Kabir, Teheran, 1371 S.