Please Wait
8946
Pertama, bagaimana sebuah ilmu, apabila hal-hal yang keliru, tambahan-tambahan dan ulangan-ulangannya disampingkan, boleh jadi sebuah buku tidak akan mencapai seratus halaman, akan menjadi lebih unggul dari sebuah ilmu yang digunakan untuk mencatat realitas-realitas satu atom kecil di dalamnya seperti atom yang boleh jadi juga tidak mencukupi ribuan lembar? Dan bagaimana jalinan-jalinan pikiran sebagian so called pemikir di hadapan ragam pengetahuan tentang rahasia-rahasia alam semesta dan ciptaan agung Ilahi serta hukum-hukum yang berkuasa atasnya, dari sudut pandang signifikansi, berada pada tingkatan tertinggi? Sedemikian sehingga salah satu filosof berkata dalam bukunya, “Apabila filsafat tinggi (hikmah ulâ) kita serupakan sebagai manusia, filsafat rendah (hikmah suflâ) sebagai batu kerikil dalam diri manusia. Artinya sesuatu yang tidak bernilai dan bahkan merupakan beban dan menggangu dalam diri manusia. Menariknya Allah Swt yang menciptakan mereka tidak mengetahui ihwal tidak bernilainya batu kerikil tersebut.
Apa yang dapat diterapkan di sini terkait dengan pengetahuan manusia adalah terbatasnya pengetahuan manusia. Pembagian dan klasifikasi ilmu terjadi pada tingkatan berikutnya. Lagian pengetahuan manusia terkait dengan yang pertama yaitu filsafat ula (tinggi) sangat terbatas dan terbentuk dari beberapa informasi yang dicapai oleh akal atas swa-buktinya Tuhan dan berita-berita yang disampaikan Tuhan kepada para nabi tentang alam-alam yang mustahil diraih oleh manusia. Kebanyakan pengetahuan yang dapat dipahami manusia berkaitan dengan hukum-hukum yang berlaku di alam semesta dan segala sesuatu yang terdapat di dalamnya.
Di samping itu, apakah tidak terdapat kemungkinan bagi mereka yang menjawab pertanyaan-pertanyaan manusia dalam masalah hikmah suflâ (rendah) tidak terjangkiti ilusi (filosof Yunani kuno) yang sama dalam masalah hikmah ulâ (tinggi) dan semakin membenamkan manusia dalam lembah gelap kebodohan?
Nilai pengetahuan akan diukur dengan tujuan khususnya. Kriteria penilaian sebuah ilmu adalah terletak pada neraca produktifitasnya dalam mengantarkan manusia ke gerbang kebahagiaan. Ilmu-ilmu rasional, karena universalitas dan kelanggengannya, lebih produktif untuk menghantarkan manusia mencapai tujuan-tujuan transendentalnya (meski lebih banyak mendatangkan kesejahteraan duniawi namun dalam realisasi kebahagiaan manusia qua manusia namun peran ilmu-ilmu empirik sangatlah kecil). Adanya kesalahan dalam sebuah ilmu tidak dapat menjadi dalil atas invaliditas seluruh temuan-temuan ilmuan yang terkait dengan ilmu tersebut.
Demikian juga, banyaknya jumlah sebuah ilmu tidak dapat menjadi dalil atas lebih bernilainya ilmu tersebut; karena itu ilmu-ilmu Ilahi-rasional lebih bernilai untuk melesakkan dan mengantarkan manusia mencapai derajat tertinggi, meski para ilmuan dalam bidang ilmu-ilmu ini, dalam ilmu-ilmu alam atau bahkan ilmu-ilmu Ilahi, melakukan kesalahan.
Untuk menjawab pertanyaan Anda kiranya kita perlu membahas beberapa hal penting sebagai berikut:
A. Definisi Hikmah
Hikmah (filsafat) adalah penyempurnaan jiwa manusia dalam menggambarkan beberapa hal dan penegasan atas realitas-realitas teoritis dan praktis sesuai dengan kemampuan manusia. Hikmah terbagi menjadi hikmah praktis (ilmu yang dapat dicapai dan dipraktikkan) dan hikmah teoritis (ilmu yang dapat kita capai dan tidak dapat kita praktikkan).
Hikmah praktis terbagi menjadi Ilmu Pengetahuan Alam (hikmah suflâ) yang mencakup segala sesuatu yang bergerak dan berubah; Matematika (hikmah wusthâ) adalah sebuah hikmah (ilmu) yang mencakup segala sesuatu yang permanen dalam pikiran, meski bercampur dengan perubahan di alam luaran. Dan Teologi (hikmah u’lâ) yang merupakan sebuah hikmah yang tidak bercampur dengan gerakan dan perubahan dalam entitasnya.[1]
B. Kriteria Penilaian Ilmu
Tatkala nilai sesuatu ditimbang, penilaian ini harus dilakukan dengan sebuah kriteria sehingga kita dapat berkata bahwa hal ini bernilai atau tidak bernilai. Kalau tidak demikian, kita lepaskan sesuatu secara absolut maka kita tidak dapat memberikan nilai atasnya. Misalnya, tatkala kita ingin melihat sepotong emas memiliki nilai atau tidak, maka kita harus emas itu dinilai untuk keperluan apa. Boleh jadi emas yang ada digunakan sebagai ornamen dan memiliki nilai tinggi, namun bagi orang yang berada di tengah sahara menanti kematian karena kelaparan emas tersebut sama sekali tidak bernilai baginya; karena itu, tatkala kita ingin memberikan peniliaian atas sebuah ilmu maka kita harus menetapkan atas dasar dan untuk keperluan apa kita melakukan peniliaian tersebut. Apabila penilaian tidak memiliki kriteria dan standar khusus, sejatinya penilaian yang dilakukan sama sekali tidak berdasar.
Nah sekarang harus kita cermati sehubungan dengan penilaian ilmu-ilmu yang mengemuka pada pembahasan ini. Kriteria dan pemikiran apa yang digunakan dalam melakukan penilaian. Apakah pemikiran kita bercorak materialis atau Ilahi. Nilai material ilmu yang diamati atau nilai spiritualnya. Dalam penilaian ilmu yang harus menjadi kriteria dan pakem adalah kebahagiaan abadi manusia. Karena manusia adalah entitas perennial dan tidak akan sirna. Kehidupan duniawi bagi manusia hanyalah sebuah tingkatan dari kehidupan yang segera akan berlalu (transient); sebagaimana yang Anda utarakan dalam format sebuah argumentasi yang merupakan sebuah argumentasi rasional dan universal, bukan empirikal dan partikular.
Benar bahwa ilmu-ilmu material menjelaskan pelbagai sublimitas dan subtlitas namun ilmu-ilmu material tidak dapat dengan sendirinya melangkah menemani manusia menuju Tuhan dan memenuhi kebutuhan ukhrawi manusia, kecuali disertai dengan perhatian-perhatian terhadap ilmu-ilmu Ilahi.
Misalnya ilmu tentang atom yang Anda sebutkan, bahkan apabila terdiri dari ribuan lembar merupakan sebuah disiplin ilmu dapat dapat dibaurkan dengan kekufuran. Kebanyakan para ilmuan masa kini dan masa lalu, pemikiran mereka adalah pemikiran materialistik. Ilmu mereka sama sekali tidak memberikan keuntungan bagi mereka, bahkan pada banyak hal, digunakan untuk memberangus kebahagiaan manusia.
Karena itu, ilmu-ilmu semacam ini apabila diarahkan untuk tujuan-tujuan suci dan digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt maka ia akan bernilai dan hal ini tidak akan dapat dicapai kecuali dengan ilmu-ilmu kognitif dan insani serta satu pandang dunia inklusif Ilahi yang dibahas dalam ilmu-ilmu Ilahi.
Dengan demikian, ilmu-ilmu kognitif dan Ilahi, dalam pandangan seorang alim rabbani, meski terdiri dari satu halaman sekali pun, lebih bernilai ketimbang ribuan lembar ilmu-ilmu yang tidak menghantarkan manusia meraih kebahagiaan dan kedekatan kepada Tuhan meski ia telah banyak berusaha dalam meraih ilmu ini. Karena apabila ilmu ini tidak diraih maka hal itu tidak akan menciderai kehabagiaan abadi manusia meski boleh jadi adanya ilmu seperti itu menjadi sebab kesejahteraan duniawi manusia.
Coba Anda gambarkan apabila dengan satu argumentasi rasional kita dapat menetapkan Tuhan dengan sifat-sifat utama-Nya, lembaran-lembaran terbatas ini akan dapat merubah seluruh kehidupan duniawi dan ukhrawi seorang manusia tanpa ia harus membutuhkan kepada yang lain; sebagaimana ilmu tentang atom, dengan satu premis rasional dapat digunakan sebagai argumen untuk menetapkan Sang Pencipta dan Pengatur alam semesta. Apabila Anda melakukan hal ini, Anda telah bersandar pada ilmu-ilmu rasional dan ilmu ini merupakan salah satu masalah yang mengemuka dalam ilmu-ilmu ini.
C. Kesalahan dalam Ilmu
Poin lainnya yang patut disebutkan di sini adalah bahwa semata-mata terdapat kemungkinan adanya kesalahan dalam sebuah ilmu sama sekali tidak dapat menetapkan kesalahan dalam ilmu tersebut. Bahkan terjadinya sebuah kesalahan dalam sebuah ilmu tidak akan mendegradasi nilai bagian-bagian lain dari ilmu tersebut.
Dalam ilmu-ilmu rasional yang menjadi obyek perhatian para filosof pada masa Yunani kuno sangat jarang terjadi perubahan dan perbagian dibandingkan dengan ilmu-ilmu empirik. Kebanyakan kesalahan fatal dan nyata terjadi pada ilmu-ilmu empirik.
Apabila Anda perhatikan logika Aristotelian, Anda akan dapatkan bahwa meski telah berabad usianya namun logika tersebut tetap diterima dan digunakan oleh kebanyakan filosof. Sementara dalam ilmu-ilm empirik kita tidak mendapatkan hal yang serupa. Kita senantiasa mendapatkan perubahan asasi dalam ilmu-ilmu empirik. Anda perhatikan perbedaan dalam ilmu Fisika Newton dan Fisikan Einstein. Atau pada Astronomi kuno dan Astronomi moderen alangkah banyaknya perubahan yang terjadi. Sementara dalam ilmu-ilmu rasional sangat jarang terjadi perubahan di dalamnya.
D. Tidak Tepat Menggunakan Ucapan Pejoratif dalam Pembahasan Ilmiah
Dalam pembahasan-pembahasan ilmiah menggunakan ucapan-ucapan pejoratif merupakan salah satu fallasi yang berkembang yang sama sekali jauh dari kedudukan seseorang yang membahas sebuah masalah ilmiah.
Alangkah tepatnya dalam pembahasan-pembahasan ilmiah kita tetap menjaga etika dan sopan santun serta menjaga martabat sebuah pembahasan ilmiah. Demikian juga dalam pembahasan-pembahasan ilmiah, nilai ilmu tidak dapat diukuran dengan meteran sehingga kita ingin mengukur panjang lebarnya sebuah ilmu, jumlah lembaran atau volume buku. Melainkan kemuliaan ilmu terkait dengan objek keilmuan yang dibahas di dalamnya. Dan karena ilmu-ilmu rasional membahas ihwal Sang Pencipta dan sebaik-baik makhluk – yaitu manusia – karena itu ilmu-ilmu ini merupakan sebaik-baik ilmu. Meski jumlah baris dan halamannya lebih minim daripada ilmu-ilmu empirik. Kindi berkata, “Semulia-mulia dan setinggi-tinggi bagian filsafat adalah filsafat pertama (falsafah ula) yang dengan perantaranya pengenalan dan makrifatuLlah yang merupakan Sebab segala sesuatu dapat diraih; karena itu, filosof sempurna dan mulia adalah filosof yang menguasi secaar sempurna terhadap ilmu ini; karena ilmu terhadap sebab lebih mulia daripada ilmu terhadap akibat.[2]
Di samping itu, bukannya dalam ilmu-ilmu empirik kriteria penilaian adalah isinya? Apabila Anda mengumpulkan hukum-hukum Fisika Newton tidak lebih dari beberapa lembar jumlahnya. Namun bertahun lamanya manusia mendapatkan kegunaan dari ilmu tersebut bahkan nilainya melebihi ribuan lembar buku; oleh itu bahkan dalam ilmu-ilmu empirik juga kriteria penilaian yang digunakan adalah bukanlah isi, baris dan jumlah halaman ilmu tersebut. [iQuest]
[1]. Ibnu Sina, Tis’ Rasâil fi al-Hikmah wa al-Thabi’iyyât, hal. 106, Cetakan Kedua, Dar al-‘Arab, Kairo, 1326 H. Rasail Ibnu Sina, hal. 30 dan 31, Instiyarat Bidar, Qum, 1400 H.
[2]. Syaikh al-Rais Ibnu Sina, Thabi’iyyat Dânesynâme ‘Alai, Pisyguftâr, hal. 13, Sayid Muhammad Misykawat, Cetakan Kedua, Danesygah Bu ‘Ali Sina, Hamadan 1383 S.