Please Wait
19467
Berdasarkan apa yang dapat disimpulkan dari ajaran-ajaran agama, pernikahan Rasulullah Saw dimotivasi oleh ragam kemaslahatan budaya, afeksi, politik, sosial, agama dan lain sebagainya.
Mengingat pelbagai problematika pemerintahan yang dihadapi oleh Rasulullah Saw dan dari dalam rumah tangga Rasulullah Saw juga sebagian istri beliau, membuat beliau kecewa sedemikian sehingga untuk menenangkan dan mengurangi beban masalah yang dihadapi Allah Swt menghilangkan kewajiban untuk menggilir istri-istri dan dibolehkan bagi Rasulullah Saw untuk meniadakan giliran dan urutan mendatangi para istri beliau. Hal itu disebabkan oleh seabrek persoalan pemerintahan yang dihadapi dan Rasulullah boleh memilih untuk mendatangi salah seorang istrinya berapa lama pun yang beliau inginkan tanpa harus mempertimbangkan istri lainnya.
Di samping itu, para istri Rasulullah Saw rela dengan hukum Allah Swt ini namun demikian Rasululllah Saw tetap saja menjaga giliran para istrinya bahkan ketika menderita sakit akut dan tatkala melakukan perjalanan, Rasulullah Saw mengundi di antara istrinya siapa yang dapat menyertai beliau dalam perjalanan? Sehingga dengan demikian Rasulullah Saw tidak memilih salah seorang istrinya untuk diajak melakukan perjalanan karena adanya kencendrungan lebih besar kepadanya.
Hal seperti ini menunjukkan sikap adil Rasulullah Saw terhadap para istrinya namun demikian tetap saja ada ungkapan kekecewaan sebagian istri Rasulullah Saw karena memandang Rasulullah tidak menggiliri mereka. Hal itu disebabkan oleh masalah akhlak mereka sendiri yang menjadi faktor munculnya kekecewaan ini.
Hal ini juga telah menyebabkan mereka membuat konspirasi dan plot atas Rasulullah Saw dan tatkala plot tersebut tidak membuahkan hasil akhiranya mereka menyatakan penyesalan atas tindakan tidak etis seperti itu kepada Rasulullah Saw.
Demikian juga keadilan yang harus dijalankan setiap orang kepada para istrinya tidak berkaitan dengan pembagian kecintaan secara merata di antara para istri melainkan apa yang dimaksud dalam al-Quran dan sebagian riwayat terkait dengan keadilan di antara para istri adalah terkait dengan masalah ranjang (tidur bersama), pangan dan sandang.
Sebelum menyodorkan jawaban kiranya makna keadilan (‘adâlah) harus diperjelas terlebih dahulu dalam masalah ini. Secara leksikal, kata “adâlah” bermakna i’tidâl dan titik tengah antara posisi tinggi dan rendah, posisi tengah antara dua kubu ekstrem, ifrath dan tafrith.[1] ‘Adâlah juga memiliki makna yang seimbang (ekuilibrium).[2]
Secara terminologis keadilan (‘adâlah) memiliki makna yang luas karena dalam pelbagai disiplin ilmu pelbagai definisi telah diajukan terkait dengan istilah ini. Misalnya ulama ilmu Akhlak berkata bahwa keadilan adalah sebuah kepemilikan inheren yang dengannya manusia tidak akan melakukan perbuatan dosa besar, terlepas apakah orang-orang melihatnya atau tidak.
Adapun keadilan dari sudut pandang Fikih adalah tidak menampakkan secara terang-terangan perbuatan dosa besar di hadapan masyarakat kendati mungkin seorang adil dalam pandangan urf melakukan dosa secara diam-diam. Dengan kata lain, boleh jadi seseorang dalam ilmu Fikih adalah seorang adil namun tidak adil dalam ilmu Akhlak.[3]
Sekarang mari kita lihat apa yang dimaksud dengan keadilan di antara para istri? Apakah keadilan ini berkaitan dengan urusan hidup seperti ranjang (tidur bersama), papan, pangan, kesejahteraan dan fasilitas atau yang dimaksud dengan keadilan adalah berada pada wilayah hati dan afeksi kemanusiaan?
Tanpa ragu “keadilan” dalam masalah kecintaan-kecintaan hati berada di luar kekuasaan dan wewenang manusia. Siapa yang dapat mengontrol kecintaan seorang manusia yang faktor berseminya kecintaan ini berada di luar dirinya? Atas dasar itu, bersikap adil terkait dengan masalah ini tidak diwajibkan oleh Allah Swt dan apabila pada ayat 129 surah al-Nisa, Allah Swt berfirman, “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian.” Yang dimaksud tidak akan dapat berlaku adil sesuai dengan pendapat para ahli tafsir adalah tiadanya kemampuan manusia menciptakan keadilan dalam membagi kecintaan.
Karena itu, kecintaan-kecintaan batin sepanjang menyebabkan timbulnya preferensi sebagian istri atas sebagian lainnya bukanlah hal terlarang; artinya apa yang dilarang dalam syariat adalah melebihkan salah satu dari istri atas yang lain dalam masalah sandang, pangan dan ranjang bukan kecendrungan-kecendrungan hati; karena sebagaimana yang telah disinggung bahwa bersikap adil dalam pelbagai kecendrungan hati berada di luar kekuasaan manusia dan karena itu keadilan dari sudut pandang ini tidak dapat menjadi syarat poligami.
Adapun sehubungan dengan sikap Nabi Saw terhadap para istrinya kiranya kita perlu menyebutkan beberapa hal sebagai berikut:
- Pernikahan pertama Nabi Saw dengan Khadijah Kubra As. Nabi Saw hidup selama kurang lebih dua puluh tahunan hanya hidup dengan satu istri (yang kurang lebih sepertiga dari usianya) dan mencukupkan diri dengan satu istri, selama tiga belas tahun setelah kenabian dan sebelum hijrah (dari Mekah ke Medinah).
Kemudian – dalam kondisi tiada istri lain – Nabi Saw berhijrah dari Mekah ke Madinah dan melakukan dakwah dan penyebaran agama. Kemudian setelah menginjak usia lebih dari lima puluh tahun, Nabi Saw menikah dengan wanita-wanita yang sebagian dari mereka adalah perawan dan sebagian lainnya adalah janda demikian juga sebagian darah muda dan sebagian lainnya sudah berusia. Seluruh pernikahan ini dilakukan dalam masa hampir lima tahun dan setelah pernikahan ini seluruh wanita diharamkan bagi Rasulullah Saw kecuali beberapa wanita yang telah menikah dengan Rasulullah Saw.
Jelas bahwa tindakan ini dengan tipologi seperti ini mustahil dilakukan dengan motivasi cinta kepada wanita, karena bersenggama dan bergaul dengan wanita-wanita seperti ini itu pun pada usia-usia senja dan tidak mengurusi hal-hal yang lain pada akhir usianya sangat jauh bagi Rasulullah Saw.[4]
- Rasulullah Saw menikah dengan sebagian istrinya dengan maksud untuk memperoleh kekuatan dan jumlah orang yang lebih banyak. Di samping itu, dengan maksud untuk menarik perhatian dan simpati serta selamatnya mereka dari kejahatan keluarga sebagian istrinya. Sebagian lainnya dengan maksud untuk meringankan beban biaya hidup dan sebagian lainnya dengan maksud untuk menjaga wanita-wanita tua yang tuna wisma dan seorang diri tidak memiliki siapa-siapa sehingga orang-orang beriman menjadikan perilaku beliau sebagai teladan.
Terlebih, maksud Rasulullah Saw menikah dengan sebagian istrinya adalah untuk memerangi sebuah tradisi jahiliyah dan secara praktis menggugurkan tradisi jahiliyah itu seperti pernikahannya dengan Zainab binti Jahsy.[5]
- Dalam sebagian riwayat disebutkan bahwa Rasulullah Saw pada saat-saat kritis menderita sakit beliau bertanya giliran siapakah dari istrinya malam itu sehingga beliau dibawa ke kamarnya.[6] Demikian juga terdapat sebagian riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw sebelum melakukan perjalanan jauh mengundi siapakah di antara istrinya yang dapat menyertainya dalam perjalanan.[7]
- Sehubungan dengan sebab-sebab pewahyuan ayat-ayat pertama surah al-Tahrim[8] terdapat banyak riwayat yang dinukil dalam kitab-kitab tafsir dan hadis serta sejarah Syiah dan Sunni yang menyebutkan bahwa: “Terkadang Rasulullah Saw mendatangi Zainab binti Jahsy (salah satu istrinya), Zainab menahannya dan menyuguhkan madu yang ia siapkan untuk Rasulullah Saw. Hal ini sampai kepada Aisyah. Ia mendongkol dan berkata, “Saya dan Hafshah (salah seorang istri Rasulullah Saw yang lain) sepakat bahwa bilamana Rasulullah Saw datang kepada salah seorang dari kita maka kita harus berkata kepadanya, “Apakah Anda telah memakan Maghafir?” (Maghafir adalah sebuah buah yang merupakan salah satu pohon Hijaz bernama Urfuth dan berbau busuk) sementara Rasulullah Saw selalu berusaha supaya tidak menyebarkan bau yang tidak sedap karena beliau tidak suka dengan bau yang tidak sedap. Sebaliknya beliau senantiasa berusaha untuk berbau wangi dan semerbak!
Karena itu, suatu hari Rasulullah Saw datang kepada Hafsah dan dia menyampaikan hal ini kepada Rasulullah Saw. Rasulullah Saw berkata, “Saya tidak makan Maghafir, melainkan meminum madu ketika berkunjung ke rumah Zainab binti Jahsy dan saya bersumpah untuk tidak lagi meminum madu (jangan-jangan lebah madu tersebut hinggap pada bunga yang tidak baik dan kemungkinan ada Maghafirnya), namun jangan engkau sampaikan hal ini kepada siapa pun (jangan sampai tersebar di tengah masyarakat dan berkata mengapa Rasulullah Saw mengharamkan makanan halal untuk dirinya?) atau mengikut Rasulullah Saw dalam hal ini atau sampai ke telinga Zainab sehingga ia kecewa.
Namun pada akhirnya rahasia ini terbongkar dan kemudian ketahuan bahwa inti dari peristiwa ini adalah plot. Rasulullah Saw sangat bersedih atas hal ini dan ayat-ayat di atas turun dan mengakhiri peristiwa ini sedemikian sehingga kejadian seperti ini tidak lagi berulang dalam rumah tangga Rasululah Saw.[9]
- Sehubungan dengan penafsiran ayat 51 surah al-Ahzab[10] disebutka bahwa kata “turja” derivatnya dari kata “irja” yang bermakna menangguhkan dan memutar. Pada ayat ini merupakan kiasan dari kata menolak dan tidak menerima. Adapun kata “tu’wwi’ berasal dari kata “iwa” yang bermakna menampung pada sebuah tempat dan di sini merupakan kiasan yang bermakna menerima dan mendekatkan kepadanya.[11]
Menurut ahli tafsir bahwa tatkala sebagian istri Rasulullah Saw menyakiti Rasulullah disebabkan oleh kecumburuan dan menuntut nafkah lebih besar dan Rasulullah Saw menjauhi mereka kemudian ayat-ayat 28 dan 29[12] dari al-Ahzab surah ini turun.[13]
Rasulullah Saw ditugaskan untuk mengusulkan kepada para istrinya untuk memilih antara dunia dan akhirat. Apabila mereka memilih dunia maka Rasulullah Saw diminta untuk menceraikan mereka. Mereka yang memilih Allah Swt dan Rasul-Nya akan disebut sebagai Ummul Mukminin dan tidak dibolehkan menikah lagi setelah Rasulullah Saw. Rasulullah Saw juga memiliki pilihan siapa pun yang diinginkannya untuk diberikan tempat dan menunda giliran salah satu dari mereka.
Para istri Rasulullah Saw juga akhirnya rela apakah mereka mendapatkan giliran atau tidak. Demikian juga mereka rela dari sisi nafkah bagaimanapun caranya Rasulullah Saw membaginya. Namun Rasulullah Saw dengan keluasan pandangannya dan kewenangan yang diberikan Allah Swt kepadanya beliau berikan kepada mereka dan menyerahkan nafkah secara seimbang kepada mereka.[14]
Apa yang dapat disimpulkan dari ajaran-ajaran agama adalah bahwa keadilan yang harus kita tegakkan pada istri-istri kita adalah berada pada batasan menyediakan pakaian, makanan dan ranjang bukan membagi rata kasih sayang dan cinta di antara para istri yang mustahil dapat dilakukan. Bahkan Rasulullah Saw sekali pun yang merupakan teladan akhlak tidak mampu menegakkan keadilan seperti ini.
Pernikahan-pernikahan Rasulullah Saw (selain dengan Khadijah Kubra As) pada sepuluh tahun terakhir usia beliau yang dilakukan berdasarkan pelbagai pertimbangan kemaslahatan budaya, politik, sosial, afeksi, agama dan lain sebagainya. Mengingat pelbagai problematika pemerintahan yang dihadapi oleh Rasulullah Saw dan dari dalam rumah tangga Rasulullah Saw juga sebagian istri beliau, membuat beliau kecewa sedemikian sehingga untuk menenangkan dan mengurangi beban masalah yang dihadapi Allah Swt menghilangkan kewajiban untuk menggilir istri-istri dan dibolehkan bagi Rasulullah Saw untuk meniadakan giliran dan urutan mendatangi para istri beliau. Hal itu disebabkan oleh seabrek persoalan pemerintahan yang dihadapi dan Rasulullah boleh memilih untuk mendatangi salah seorang istrinya berapa lama pun yang beliau inginkan tanpa harus mempertimbangkan istri lainnya.
Di samping itu, para istri Rasulullah Saw rela dengan hukum Allah Swt ini sementara Rasululllah Saw tetap menjaga giliran para istrinya bahkan ketika menderita sakit akut dan tatkala melakukan perjalanan, Rasulullah Saw mengundi di antara istrinya siapa yang dapat menyertai beliau dalam perjalanan? Rasulullah Saw tidak memilih salah seorang istrinya untuk diajak melakukan perjalanan bersadarkan adanya kencendrungan lebih besar kepadanya. Demikianlah model bagaimana Rasulullah Saw memperlakukan para istrinya dengan adil dan juga tidak ada keraguan bahwa beliau berupakan sebaik-baik teladan dan model akhlak bagi umat manusia. [iQuest]
[1]. Allamah Thabathabai, Tafsir al-Mizân, Terjemahan Persia oleh Sayid Baqir Musawi Hamadani, jil. 6, hal. 297, Cetakan Jamiah Mudarrisin, Qum, 1376 S.
[2]. Raghib, al-Mufradât fi Gharib al-Qur’ân, hal. 551.
[3]. Allamah Thabathabai, Tafsir al-Mizân, Terjemahan Persia oleh Sayid Baqir Musawi Hamadani, jil. 6, hal. 299.
[4]. “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Nisa [4]:129)
[5]. Allamah Thabathabai, Tafsir al-Mizân, Terjemahan Persia oleh Sayid Baqir Musawi Hamadani, jil. 4, hal. 307.
[6]. Allamah Thabathabai, Tafsir al-Mizân, Terjemahan Persia oleh Sayid Baqir Musawi Hamadani, jil. 4, hal. 309.
[7]. Tafsir Âsân, jil. 4, hal. 23, Cetakan Pertama, Intisyarat-e Islamiyah, Teheran, 1398 H.
[8]. “Ingatlah ketika nabi membicarakan suatu rahasia kepada salah seorang dari istri-istrinya. Tatkala istri itu membocorkan rahasia itu dan Allah memberitahukan hal (pembocoran rahasia) itu kepada Muhammad, Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepadanya) dan menyembunyikan sebagian yang lain (kepada istri tersebut). Ketika Muhammad memberitahukan pembocoran rahasia itu kepada istri tersebut, istri itu bertanya, “Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?" Nabi menjawab, “Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mendengar telah memberitahukan kepadaku.”
[9]. Allamah Thabathabai, Tafsir al-Mizân, Terjemahan Persia oleh Sayid Baqir Musawi Hamadani, jil. 15, hal. 137.
[10]. “Kamu boleh menangguhkan (giliran) siapa yang kamu kehendaki di antara mereka (istri-istrimu) dan (boleh pula) menampung siapa yang kamu kehendaki. Dan siapa saja yang kamu inginkan untuk menampungnya kembali dari perempuan yang telah kamu cerai, maka tidak ada dosa bagimu. Yang demikian itu adalah lebih dekat untuk supaya hati mereka tenang dan mereka tidak merasa sedih serta rela dengan apa yang telah kamu berikan kepada mereka. Dan Allah mengetahui apa yang (tersimpan) dalam hati kamu sekalian. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.”
[11]. Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 272.
[12]. “Hai nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, “Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu sebuah hadiah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridaan) Allah dan rasul-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik di antaramu pahala yang besar.”
[13]. Allamah Thabathabai, Tafsir al-Mizân, Terjemahan Persia oleh Sayid Baqir Musawi Hamadani, jil. 16, hal. 504.
[14]. Ali Ridha Dzakawati, Asbâb al-Nuzûl, hal. 189, Cetakan Pertama, Teheran, 1383 S.