Please Wait
Hits
7441
7441
Tanggal Dimuat:
2013/03/04
Ringkasan Pertanyaan
Apakah hadis Unwan Basri yang disinggung oleh Ayatullah Qadhi itu?
Pertanyaan
Apakah hadis Unwan Basri yang disinggung oleh Ayatullah Qadhi itu?
Jawaban Global
Hadis Unwan Basri adalah sebuah instruksi dan amalan praktis yang sangat berguna bagi para pengikut jalan para Imam Maksum yang menjadi perhatian para arif dan pesuluk.
Allamah Majlisi melihat secara langsung hadis tersebut dalam tulisan tangan Syaikh Bahai dan menukilnya dalam kitab Bihâr al-Anwâr.
Riwayat ini mencakup beberapa anjuran Imam Shadiq As kepada Unwan Basri dan seluruh pencari suluk (jalan) kepada Allah (suluk ilallah).
Allamah Majlisi melihat secara langsung hadis tersebut dalam tulisan tangan Syaikh Bahai dan menukilnya dalam kitab Bihâr al-Anwâr.
Riwayat ini mencakup beberapa anjuran Imam Shadiq As kepada Unwan Basri dan seluruh pencari suluk (jalan) kepada Allah (suluk ilallah).
Jawaban Detil
Hadis Unwan Basri[1] adalah sebuah instruksi dan amalan praktis yang sangat berguna bagi para pengikut jalan para Imam Maksum sehingga dengan memahami pesan-pesan dan mengamalkan kandungannya ia akan terbebas dari jebakan hawa nafsu dan meraih ilmu serta makrifat hakiki.
Instruksi praktis ini adalah mengungkap kisah seorang pria yang banyak menimba beragam ilmu pada masanya dan juga ingin menuntut ilmu dari ilmu-ilmu Ahlulbait As, namun ia berhadapan dengan realitas bahwa ilmu hakiki tidak akan diperoleh melalui pelajaran, melainkan sebuah cahaya yang dipancarkan oleh Allah Swt kepada hati manusia dan rahasia untuk sampai kepada cahaya tersebut harus ditemukan dalam hakikat penghambaan.
Terjemahan hadis penuh cahaya ini mencakup ulasan atas apa yang terjadi pada seseorang bernama Unwan Basri, pada perjumpaannya dengan Imam Shadiq As dan penerimaan instruksi praktis inklusif dari Imam Shadiq As akan dikutip sebagaimana berikut ini:
Diriwayatkan dari Unwan Basri,
“Saya telah lama belajar dari Malik bin Anas; karena Ja’far Shadiq datang ke Madinah, saya sering datang menjumpainya dan sebagiamana saya menuntut ilmu dari Malik, saya juga ingin belajar darinya. Imam Shadiq As suatu hari berkata kepada saya, “Saya sementara ini diawasi oleh pihak pemerintah. Di samping itu, pada waktu-waktu tertentu dalam 24 jam sehari, saya memiliki wirid dan dzikir yang saya lakukan dan saya meminta kamu jangan menghalangi saya untuk berdzikir. Pergilah kepada Malik untuk belajar ilmuku darinya sebagaimana sebelumnya engkau pergi kepadanya.” Saya menjadi sedih mendengar hal ini. Saya pamit dari hadapannya dan berkata kepada diri sendiri, “Sekiranya beliau melihat kebaikan pada diriku tentu beliau tidak akan melarangku untuk belajar dan menimba ilmu darinya.”
Kemudian saya pergi ke masjid Rasulullah Saw dan menyampaikan salam kepadanya. Esok harinya kembali saya pergi ke Raudha Nabawi dan mendirikan dua rakaat salat. Saya berkata, “Tuhanku! Tuhanku! Saya memohon kepadamu supaya Engkau membuat hati Ja’far condong kepadaku dan mengambil manfaat dari ilmunya hingga pada tataran yang dapat menghidayahiku ke jalan lurus.”
Lalu dengan perasaan gundah dan sedih, saya kembali ke rumahku. Karena hatiku telah dipenuhi cinta kepada Ja’far saya tidak lagi pergi menemui Malik dan tidak lagi keluar rumah kecuali untuk menunaikan salat wajib hingga kesabaranku berakhir. Tatkala dadaku telah sesak dan kesabaranku telah berakhir saya memakai sendalku dan mengenakan jubahku, berniat untuk menjumpai Ja’far Shadiq. Pada waktu itu saya telah mendirikan salat Ashar. Tatkala saya tiba di kediamannya saya meminta izin untuk masuk. Kemudian pelayannya keluar dan berkata, “Ada keperluan apa?” Tanya pelayan itu. “Saya ingin menyampaikan salam kepadanya.” Jawabku. Pelayan itu berkata lagi, “Beliau sedang salat.” Kemudian saya duduk di depan pintu. Tidak lama kemudian, pelayan itu datang dan berkata, “Masuklah dengan keberkahan Allah.” Saya lalu masuk dan mengucapkan salam kepadanya. Beliau menjawab salam saya dan berkata, “Duduklah! Semoga Allah mengampunimu!” Kemudian saya duduk. Beberapa saat beliau berpikir sembari menundukkan kepalanya. (Tidak lama) kemudian beliau mengangkat kepalanya dan berkata, “Siapakah julukanmu?” “Abu Abdilllah,” “Kataku.” Beliau berkata, “Semoga Allah Swt mengokohkan julukanmu itu dan memberikan kepadamu kesukesan.” “Wahai Abu Abdillah! Apa pertanyaanmu?” Saya bergumam dalam hati, “Sekiranya tiada hal ini selain doa ini yang aku dapatkan pada pertemuan ini dan salam yang aku sampaikan maka itu juga sudah sangat banyak.”
Kemudian beliau mengangkat kepalanya dan bertanya, “Apa yang kau inginkan?” Saya berkata, “Saya bermohon kepada Allah Swt supaya hati Anda condong kepada saya dan menganugerahkan saya ilmu Anda serta berharap semoga Allah Swt mengabulkan permohonanku.”
Beliau bersabda, “Wahai Aba Abdillah! Ilmu itu tidak dipelajari. Ilmu adalah cahaya yang dipancarkan oleh Allah Swt yang diberikan kepada siapa saja yang dikehendakinya. Karena itu apabila engkau mencari ilmu maka carilah hakikat penghambaan pada dirimu sendiri dan tuntutlah ilmu dengan amal serta pintalah kepada Allah Swt supaya memahamkanmu maka Dia akan memahamkan kepadamu.”
Saya berkata, “Wahai Yang Mulia! Beliau berkata, “Katakanlah wahai Aba Abdillah! Saya berkata, “Wahai Aba Abadillah apakah hakikat penghambaan itu?”
Beliau berkata, “Tiga hal.”
Pertama: bahwa hamba tidak meyakini kepemilikian atas apa yang dititipkan Allah Swt kepada dirinya; karena para hamba tidak punya kepemilikan; melainkan ia harus melihat seluruh harta itu adalah milik Allah Swt dan membelanjakannya pada tempat yang diperintahkan Allah Swt.
Kedua: Hamba tidak mengatur dirinya sendiri (karena pengaturan hamba berada di tangan Tuannya).
Ketiga: Seluruh tugas hamba adalah menjalankan amalan yang dipernintahkan Tuhan kepadanya dan menjauhi segala apa yang dilarang-Nya.
Karena itu, ketika hamba tidak merasa memiliki atas apa yang dititipkan Allah Swt kepadanya, maka mendermakan pada apa yang telah diperintahkan Allah akan menjadi mudah baginya dan karena pengaturan hamba diserahkan pada Tuannya, maka segala kesusahan dunia akan menjadi enteng baginya. Dan karena seluruh kesibukannya fokus pada perintah dan larangan Tuhan maka tidak lagi tersisa baginya untuk menampilkan dirinya dan berbangga di hadapan manusia.
Apabila Allah Swt mengaruniai seseorang tiga hal ini maka urusan dunia, Iblis, manusia akan menjadi mudah dan enteng baginya. Ia tidak akan mencari-cari pelbagai kebanggaan duniawi dan tidak akan menuntut apa saja yang berada di tangan manusia untuk mendapatkan keunggulan dan kemuliaan serta tidak akan menyia-nyiakan waktunya untuk mencari hal-hal yang sia-sia. (Kesemua) ini adalah derajat pertama takwa sebagaimana firman Allah Swt, “Negeri akhirat itu, Kami anugerahkan kepada orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (Qs. Al-Qashash [28]:83)
Saya berkata, “Wahai Aba Abdillah! Nasihatilah aku! Beliau bersabda, “Saya menasihatkan kamu pada sembilan hal dimana sembilan hal ini adalah nasihat saya bagi semua murid thariqat kepada Allah. Dan saya memohon kepada Allah Swt supaya engkau dapat mengamalkan anjuran-anjuran ini.
Tiga darinya pada riyadhah nafs dan tiga ketabahan dan tiga lainnya pada ilmu. Karena itu wahai Unwan! Camkan baik-baik Sembilan hal ini dan sekali-kali jangan pernah engkau anggap remeh.
Unwan berkata, “Saya kosongkan pikiran dan hatiku untuk menerima apa yang disabdakan oleh Imam Shadiq.”
Adapun tiga hal yang berkaitan dengan riyâdhah nafs adalah bahwa jangan sampai engkau memakan sesuatu yang engkau tidak berselera padanya; karena hal itu akan menimbulkan kebodohan dan kedunguan. Dan jangan makan kecuali pada saat lapar dan tatkala engkau ingin memakan sesuatu maka makanlah yang halal dan sebutlah nama Allah Swt dan ingatlah hadis Rasulullah Saw yang bersabda, “Tiada wadah yang paling buruk yang diisi oleh manusia daripada perut.” Maka ketika engkau makan dan terpaksa harus makan maka sepertiganya kau khususnya untuk makanan, sepertiganya untuk minuman dan sepertinya untuk bernafas.
Adapun tiga hal yang berkenaan dengan ketabahan: (Pertama) Apabila seseorang berkata kepadamu, “Apabila engkau berkata satu kalimat maka engkau harus mendengarkan sepuluh perkataan. Maka katakanlah kepadanya, “Apabila engkau berkata sepuluh engkau juga tidak akan mendengarkan satu pun.” (Kedua) Ketika seseorang yang mencelamu maka katakanlah kepadanya, “Apabila apa yang engkau katakan itu benar maka saya memohon kepada Allah untuk memaafkan aku. Dan apabila engkau berkata dusta saya akan memohon kepada Allah untuk memaafkanmu.” (Ketiga) Apabila ada seseorang mengancammu sehingga ia berkata-kata buruk kepadamu maka berikanlah berita gembira kepadanya bahwa engkau akan menghadapinya dengan nasihat, kebaikan dan menjalankan hak-haknya.”
Adapun tiga hal bertautan dengan ilmu: (Pertama) Bertanyalah kepada ulama atas apa yang engkau tidak ketahui dan jangan pernah bertanya untuk menjatuhkan dan menguji seseorang. (Kedua) Janganlah beramal berdasarkan pendapatmu sendiri tentang sesuatu dan bersikap hati-hatilah pada segala sesuatu apabila memungkinkan. Dan (ketiga) berhati-hatilah dalam memberikan fatwa dan pendapat hukum sebagaimana engkau berhati-hati terhadap seekor singa dan jangan letakkan lehermu sebagai jembatan untuk dilalui masyarakat.
Wahai Aba Abdillah! Sekarang tiba saatnya engkau harus beranjak dariku karena aku telah memberikan nasihat kepadamu dan jangan usik lagi (waktu) dzikirku karena aku (adalah orang yang) sangat perhitungan dan ketat dengan waktu-waktuku serta salam dan keselamatan Allah Swt bagi orang-orang yang mengikuti petunjuk. [iQuest]
Instruksi praktis ini adalah mengungkap kisah seorang pria yang banyak menimba beragam ilmu pada masanya dan juga ingin menuntut ilmu dari ilmu-ilmu Ahlulbait As, namun ia berhadapan dengan realitas bahwa ilmu hakiki tidak akan diperoleh melalui pelajaran, melainkan sebuah cahaya yang dipancarkan oleh Allah Swt kepada hati manusia dan rahasia untuk sampai kepada cahaya tersebut harus ditemukan dalam hakikat penghambaan.
Terjemahan hadis penuh cahaya ini mencakup ulasan atas apa yang terjadi pada seseorang bernama Unwan Basri, pada perjumpaannya dengan Imam Shadiq As dan penerimaan instruksi praktis inklusif dari Imam Shadiq As akan dikutip sebagaimana berikut ini:
Diriwayatkan dari Unwan Basri,
“Saya telah lama belajar dari Malik bin Anas; karena Ja’far Shadiq datang ke Madinah, saya sering datang menjumpainya dan sebagiamana saya menuntut ilmu dari Malik, saya juga ingin belajar darinya. Imam Shadiq As suatu hari berkata kepada saya, “Saya sementara ini diawasi oleh pihak pemerintah. Di samping itu, pada waktu-waktu tertentu dalam 24 jam sehari, saya memiliki wirid dan dzikir yang saya lakukan dan saya meminta kamu jangan menghalangi saya untuk berdzikir. Pergilah kepada Malik untuk belajar ilmuku darinya sebagaimana sebelumnya engkau pergi kepadanya.” Saya menjadi sedih mendengar hal ini. Saya pamit dari hadapannya dan berkata kepada diri sendiri, “Sekiranya beliau melihat kebaikan pada diriku tentu beliau tidak akan melarangku untuk belajar dan menimba ilmu darinya.”
Kemudian saya pergi ke masjid Rasulullah Saw dan menyampaikan salam kepadanya. Esok harinya kembali saya pergi ke Raudha Nabawi dan mendirikan dua rakaat salat. Saya berkata, “Tuhanku! Tuhanku! Saya memohon kepadamu supaya Engkau membuat hati Ja’far condong kepadaku dan mengambil manfaat dari ilmunya hingga pada tataran yang dapat menghidayahiku ke jalan lurus.”
Lalu dengan perasaan gundah dan sedih, saya kembali ke rumahku. Karena hatiku telah dipenuhi cinta kepada Ja’far saya tidak lagi pergi menemui Malik dan tidak lagi keluar rumah kecuali untuk menunaikan salat wajib hingga kesabaranku berakhir. Tatkala dadaku telah sesak dan kesabaranku telah berakhir saya memakai sendalku dan mengenakan jubahku, berniat untuk menjumpai Ja’far Shadiq. Pada waktu itu saya telah mendirikan salat Ashar. Tatkala saya tiba di kediamannya saya meminta izin untuk masuk. Kemudian pelayannya keluar dan berkata, “Ada keperluan apa?” Tanya pelayan itu. “Saya ingin menyampaikan salam kepadanya.” Jawabku. Pelayan itu berkata lagi, “Beliau sedang salat.” Kemudian saya duduk di depan pintu. Tidak lama kemudian, pelayan itu datang dan berkata, “Masuklah dengan keberkahan Allah.” Saya lalu masuk dan mengucapkan salam kepadanya. Beliau menjawab salam saya dan berkata, “Duduklah! Semoga Allah mengampunimu!” Kemudian saya duduk. Beberapa saat beliau berpikir sembari menundukkan kepalanya. (Tidak lama) kemudian beliau mengangkat kepalanya dan berkata, “Siapakah julukanmu?” “Abu Abdilllah,” “Kataku.” Beliau berkata, “Semoga Allah Swt mengokohkan julukanmu itu dan memberikan kepadamu kesukesan.” “Wahai Abu Abdillah! Apa pertanyaanmu?” Saya bergumam dalam hati, “Sekiranya tiada hal ini selain doa ini yang aku dapatkan pada pertemuan ini dan salam yang aku sampaikan maka itu juga sudah sangat banyak.”
Kemudian beliau mengangkat kepalanya dan bertanya, “Apa yang kau inginkan?” Saya berkata, “Saya bermohon kepada Allah Swt supaya hati Anda condong kepada saya dan menganugerahkan saya ilmu Anda serta berharap semoga Allah Swt mengabulkan permohonanku.”
Beliau bersabda, “Wahai Aba Abdillah! Ilmu itu tidak dipelajari. Ilmu adalah cahaya yang dipancarkan oleh Allah Swt yang diberikan kepada siapa saja yang dikehendakinya. Karena itu apabila engkau mencari ilmu maka carilah hakikat penghambaan pada dirimu sendiri dan tuntutlah ilmu dengan amal serta pintalah kepada Allah Swt supaya memahamkanmu maka Dia akan memahamkan kepadamu.”
Saya berkata, “Wahai Yang Mulia! Beliau berkata, “Katakanlah wahai Aba Abdillah! Saya berkata, “Wahai Aba Abadillah apakah hakikat penghambaan itu?”
Beliau berkata, “Tiga hal.”
Pertama: bahwa hamba tidak meyakini kepemilikian atas apa yang dititipkan Allah Swt kepada dirinya; karena para hamba tidak punya kepemilikan; melainkan ia harus melihat seluruh harta itu adalah milik Allah Swt dan membelanjakannya pada tempat yang diperintahkan Allah Swt.
Kedua: Hamba tidak mengatur dirinya sendiri (karena pengaturan hamba berada di tangan Tuannya).
Ketiga: Seluruh tugas hamba adalah menjalankan amalan yang dipernintahkan Tuhan kepadanya dan menjauhi segala apa yang dilarang-Nya.
Karena itu, ketika hamba tidak merasa memiliki atas apa yang dititipkan Allah Swt kepadanya, maka mendermakan pada apa yang telah diperintahkan Allah akan menjadi mudah baginya dan karena pengaturan hamba diserahkan pada Tuannya, maka segala kesusahan dunia akan menjadi enteng baginya. Dan karena seluruh kesibukannya fokus pada perintah dan larangan Tuhan maka tidak lagi tersisa baginya untuk menampilkan dirinya dan berbangga di hadapan manusia.
Apabila Allah Swt mengaruniai seseorang tiga hal ini maka urusan dunia, Iblis, manusia akan menjadi mudah dan enteng baginya. Ia tidak akan mencari-cari pelbagai kebanggaan duniawi dan tidak akan menuntut apa saja yang berada di tangan manusia untuk mendapatkan keunggulan dan kemuliaan serta tidak akan menyia-nyiakan waktunya untuk mencari hal-hal yang sia-sia. (Kesemua) ini adalah derajat pertama takwa sebagaimana firman Allah Swt, “Negeri akhirat itu, Kami anugerahkan kepada orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (Qs. Al-Qashash [28]:83)
Saya berkata, “Wahai Aba Abdillah! Nasihatilah aku! Beliau bersabda, “Saya menasihatkan kamu pada sembilan hal dimana sembilan hal ini adalah nasihat saya bagi semua murid thariqat kepada Allah. Dan saya memohon kepada Allah Swt supaya engkau dapat mengamalkan anjuran-anjuran ini.
Tiga darinya pada riyadhah nafs dan tiga ketabahan dan tiga lainnya pada ilmu. Karena itu wahai Unwan! Camkan baik-baik Sembilan hal ini dan sekali-kali jangan pernah engkau anggap remeh.
Unwan berkata, “Saya kosongkan pikiran dan hatiku untuk menerima apa yang disabdakan oleh Imam Shadiq.”
Adapun tiga hal yang berkaitan dengan riyâdhah nafs adalah bahwa jangan sampai engkau memakan sesuatu yang engkau tidak berselera padanya; karena hal itu akan menimbulkan kebodohan dan kedunguan. Dan jangan makan kecuali pada saat lapar dan tatkala engkau ingin memakan sesuatu maka makanlah yang halal dan sebutlah nama Allah Swt dan ingatlah hadis Rasulullah Saw yang bersabda, “Tiada wadah yang paling buruk yang diisi oleh manusia daripada perut.” Maka ketika engkau makan dan terpaksa harus makan maka sepertiganya kau khususnya untuk makanan, sepertiganya untuk minuman dan sepertinya untuk bernafas.
Adapun tiga hal yang berkenaan dengan ketabahan: (Pertama) Apabila seseorang berkata kepadamu, “Apabila engkau berkata satu kalimat maka engkau harus mendengarkan sepuluh perkataan. Maka katakanlah kepadanya, “Apabila engkau berkata sepuluh engkau juga tidak akan mendengarkan satu pun.” (Kedua) Ketika seseorang yang mencelamu maka katakanlah kepadanya, “Apabila apa yang engkau katakan itu benar maka saya memohon kepada Allah untuk memaafkan aku. Dan apabila engkau berkata dusta saya akan memohon kepada Allah untuk memaafkanmu.” (Ketiga) Apabila ada seseorang mengancammu sehingga ia berkata-kata buruk kepadamu maka berikanlah berita gembira kepadanya bahwa engkau akan menghadapinya dengan nasihat, kebaikan dan menjalankan hak-haknya.”
Adapun tiga hal bertautan dengan ilmu: (Pertama) Bertanyalah kepada ulama atas apa yang engkau tidak ketahui dan jangan pernah bertanya untuk menjatuhkan dan menguji seseorang. (Kedua) Janganlah beramal berdasarkan pendapatmu sendiri tentang sesuatu dan bersikap hati-hatilah pada segala sesuatu apabila memungkinkan. Dan (ketiga) berhati-hatilah dalam memberikan fatwa dan pendapat hukum sebagaimana engkau berhati-hati terhadap seekor singa dan jangan letakkan lehermu sebagai jembatan untuk dilalui masyarakat.
Wahai Aba Abdillah! Sekarang tiba saatnya engkau harus beranjak dariku karena aku telah memberikan nasihat kepadamu dan jangan usik lagi (waktu) dzikirku karena aku (adalah orang yang) sangat perhitungan dan ketat dengan waktu-waktuku serta salam dan keselamatan Allah Swt bagi orang-orang yang mengikuti petunjuk. [iQuest]
[1]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihar al-Anwar, jil. 1, hal. 224, Muassasah al-Wafa, Beirut, 1404 H.
«أَقُولُ وَجَدْتُ بِخَطِّ شَيْخِنَا الْبَهَائِيِّ قَدَّسَ اللَّهُ رُوحَهُ مَا هَذَا لَفْظُهُ قَالَ الشَّيْخُ شَمْسُ الدِّينِ مُحَمَّدُ بْنُ مَكِّيٍّ نَقَلْتُ مِنْ خَطِّ الشَّيْخِ أَحْمَدَ الْفَرَاهَانِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ عَنْ عُنْوَانَ الْبَصْرِيِّ وَ كَانَ شَيْخاً كَبِيراً قَدْ أَتَى عَلَيْهِ أَرْبَعٌ وَ تِسْعُونَ سَنَةً قَالَ كُنْتُ أَخْتَلِفُ إِلَى مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ سِنِينَ فَلَمَّا قَدِمَ جَعْفَرٌ الصَّادِقُ ع الْمَدِينَةَ اخْتَلَفْتُ إِلَيْهِ وَ أَحْبَبْتُ أَنْ آخُذَ عَنْهُ كَمَا أَخَذْتُ عَنْ مَالِكٍ فَقَالَ لِي يَوْماً إِنِّي رَجُلٌ مَطْلُوبٌ وَ مَعَ ذَلِكَ لِي أَوْرَادٌ فِي كُلِّ سَاعَةٍ مِنْ آنَاءِ اللَّيْلِ وَ النَّهَارِ فَلَا تَشْغَلْنِي عَنْ وِرْدِي وَ خُذْ عَنْ مَالِكٍ وَ اخْتَلِفْ إِلَيْهِ كَمَا كُنْتَ تَخْتَلِفُ إِلَيْهِ فَاغْتَمَمْتُ مِنْ ذَلِكَ وَ خَرَجْتُ مِنْ عِنْدِهِ وَ قُلْتُ فِي نَفْسِي لَوْ تَفَرَّسَ فِيَّ خَيْراً لَمَا زَجَرَنِي عَنِ الِاخْتِلَافِ إِلَيْهِ وَ الْأَخْذِ عَنْهُ فَدَخَلْتُ مَسْجِدَ الرَّسُولِ ص وَ سَلَّمْتُ عَلَيْهِ ثُمَّ رَجَعْتُ مِنَ الْغَدِ إِلَى الرَّوْضَةِ وَ صَلَّيْتُ فِيهَا رَكْعَتَيْنِ وَ قُلْتُ أَسْأَلُكَ يَا اللَّهُ يَا اللَّهُ أَنْ تَعْطِفَ عَلَيَّ قَلْبَ جَعْفَرٍ وَ تَرْزُقَنِي مِنْ عِلْمِهِ مَا أَهْتَدِي بِهِ إِلَى صِرَاطِكَ الْمُسْتَقِيمِ وَ رَجَعْتُ إِلَى دَارِي مُغْتَمّاً وَ لَمْ أَخْتَلِفْ إِلَى مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ لِمَا أُشْرِبَ قَلْبِي مِنْ حُبِّ جَعْفَرٍ فَمَا خَرَجْتُ مِنْ دَارِي إِلَّا إِلَى الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ حَتَّى عِيلَ صَبْرِي فَلَمَّا ضَاقَ صَدْرِي تَنَعَّلْتُ وَ تَرَدَّيْتُ وَ قَصَدْتُ جَعْفَراً وَ كَانَ بَعْدَ مَا صَلَّيْتُ الْعَصْرَ فَلَمَّا حَضَرْتُ بَابَ دَارِهِ اسْتَأْذَنْتُ عَلَيْهِ فَخَرَجَ خَادِمٌ لَهُ فَقَالَ مَا حَاجَتُكَ فَقُلْتُ السَّلَامُ عَلَى الشَّرِيفِ فَقَالَ هُوَ قَائِمٌ فِي مُصَلَّاهُ فَجَلَسْتُ بِحِذَاءِ بَابِهِ فَمَا لَبِثْتُ إِلَّا يَسِيراً إِذْ خَرَجَ خَادِمٌ فَقَالَ ادْخُلْ عَلَى بَرَكَةِ اللَّهِ فَدَخَلْتُ وَ سَلَّمْتُ عَلَيْهِ فَرَدَّ السَّلَامَ وَ قَالَ اجْلِسْ غَفَرَ اللَّهُ لَكَ فَجَلَسْتُ فَأَطْرَقَ مَلِيّاً ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ وَ قَالَ أَبُو مَنْ قُلْتُ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ قَالَ ثَبَّتَ اللَّهُ كُنْيَتَكَ وَ وَفَّقَكَ يَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ مَا مَسْأَلَتُكَ فَقُلْتُ فِي نَفْسِي لَوْ لَمْ يَكُنْ لِي مِنْ زِيَارَتِهِ وَ التَّسْلِيمِ غَيْرُ هَذَا الدُّعَاءِ لَكَانَ كَثِيراً ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ ثُمَّ قَالَ مَا مَسْأَلَتُكَ فَقُلْتُ سَأَلْتُ اللَّهَ أَنْ يَعْطِفَ قَلْبَكَ عَلَيَّ وَ يَرْزُقَنِي مِنْ عِلْمِكَ وَ أَرْجُو أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَجَابَنِي فِي الشَّرِيفِ مَا سَأَلْتُهُ فَقَالَ يَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ لَيْسَ الْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ إِنَّمَا هُوَ نُورٌ يَقَعُ فِي قَلْبِ مَنْ يُرِيدُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَ تَعَالَى أَنْ يَهْدِيَهُ فَإِنْ أَرَدْتَ الْعِلْمَ فَاطْلُبْ أَوَّلًا فِي نَفْسِكَ حَقِيقَةَ الْعُبُودِيَّةِ وَ اطْلُبِ الْعِلْمَ بِاسْتِعْمَالِهِ وَ اسْتَفْهِمِ اللَّهَ يُفْهِمْكَ قُلْتُ يَا شَرِيفُ فَقَالَ قُلْ يَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ قُلْتُ يَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ مَا حَقِيقَةُ الْعُبُودِيَّةِ قَالَ ثَلَاثَةُ أَشْيَاءَ أَنْ لَا يَرَى الْعَبْدُ لِنَفْسِهِ فِيمَا خَوَّلَهُ اللَّهُ مِلْكاً لِأَنَّ الْعَبِيدَ لَا يَكُونُ لَهُمْ مِلْكٌ يَرَوْنَ الْمَالَ مَالَ اللَّهِ يَضَعُونَهُ حَيْثُ أَمَرَهُمُ اللَّهُ بِهِ وَ لَا يُدَبِّرُ الْعَبْدُ لِنَفْسِهِ تَدْبِيراً وَ جُمْلَةُ اشْتِغَالِهِ فِيمَا أَمَرَهُ تَعَالَى بِهِ وَ نَهَاهُ عَنْهُ فَإِذَا لَمْ يَرَ الْعَبْدُ لِنَفْسِهِ فِيمَا خَوَّلَهُ اللَّهُ تَعَالَى مِلْكاً هَانَ عَلَيْهِ الْإِنْفَاقُ فِيمَا أَمَرَهُ اللَّهُ تَعَالَى أَنْ يُنْفِقَ فِيهِ وَ إِذَا فَوَّضَ الْعَبْدُ تَدْبِيرَ نَفْسِهِ عَلَى مُدَبِّرِهِ هَانَ عَلَيْهِ مَصَائِبُ الدُّنْيَا وَ إِذَا اشْتَغَلَ الْعَبْدُ بِمَا أَمَرَهُ اللَّهُ تَعَالَى وَ نَهَاهُ لَا يَتَفَرَّغُ مِنْهُمَا إِلَى الْمِرَاءِ وَ الْمُبَاهَاةِ مَعَ النَّاسِ فَإِذَا أَكْرَمَ اللَّهُ الْعَبْدَ بِهَذِهِ الثَّلَاثَةِ هَان عَلَيْهِ الدُّنْيَا وَ إِبْلِيسُ وَ الْخَلْقُ وَ لَا يَطْلُبُ الدُّنْيَا تَكَاثُراً وَ تَفَاخُراً وَ لَا يَطْلُبُ مَا عِنْدَ النَّاسِ عِزّاً وَ عُلُوّاً وَ لَا يَدَعُ أَيَّامَهُ بَاطِلًا فَهَذَا أَوَّلُ دَرَجَةِ التُّقَى قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَ تَعَالَى تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُها لِلَّذِينَ لا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ وَ لا فَساداً وَ الْعاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ قُلْتُ يَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ أَوْصِنِي قَالَ أُوصِيكَ بِتِسْعَةِ أَشْيَاءَ فَإِنَّهَا وَصِيَّتِي لِمُرِيدِي الطَّرِيقِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى وَ اللَّهَ أَسْأَلُ أَنْ يُوَفِّقَكَ لِاسْتِعْمَالِهِ ثَلَاثَةٌ مِنْهَا فِي رِيَاضَةِ النَّفْسِ وَ ثَلَاثَةٌ مِنْهَا فِي الْحِلْمِ وَ ثَلَاثَةٌ مِنْهَا فِي الْعِلْمِ فَاحْفَظْهَا وَ إِيَّاكَ وَ التَّهَاوُنَ بِهَا قَالَ عُنْوَانُ فَفَرَّغْتُ قَلْبِي لَهُ فَقَالَ أَمَّا اللَّوَاتِي فِي الرِّيَاضَةِ فَإِيَّاكَ أَنْ تَأْكُلَ مَا لَا تَشْتَهِيهِ فَإِنَّهُ يُورِثُ الْحِمَاقَةَ وَ الْبُلْهَ وَ لَا تَأْكُلْ إِلَّا عِنْدَ الْجُوعِ وَ إِذَا أَكَلْتَ فَكُلْ حَلَالًا وَ سَمِّ اللَّهَ وَ اذْكُرْ حَدِيثَ الرَّسُولِ ص مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرّاً مِنْ بَطْنِهِ فَإِنْ كَانَ وَ لَا بُدَّ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَ ثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَ ثُلُثٌ لِنَفَسِهِ وَ أَمَّا اللَّوَاتِي فِي الْحِلْمِ فَمَنْ قَالَ لَكَ إِنْ قُلْتَ وَاحِدَةً سَمِعْتَ عَشْراً فَقُلْ إِنْ قُلْتَ عَشْراً لَمْ تَسْمَعْ وَاحِدَةً وَ مَنْ شَتَمَكَ فَقُلْ لَهُ إِنْ كُنْتَ صَادِقاً فِيمَا تَقُولُ فَأَسْأَلُ اللَّهَ أَنْ يَغْفِرَ لِي وَ إِنْ كُنْتَ كَاذِباً فِيمَا تَقُولُ فَاللَّهَ أَسْأَلُ أَنْ يَغْفِرَ لَكَ وَ مَنْ وَعَدَكَ بِالْخَنَا فَعِدْهُ بِالنَّصِيحَةِ وَ الرِّعَاءِ وَ أَمَّا اللَّوَاتِي فِي الْعِلْمِ فَاسْأَلِ الْعُلَمَاءَ مَا جَهِلْتَ وَ إِيَّاكَ أَنْ تَسْأَلَهُمْ تَعَنُّتاً وَ تَجْرِبَةً وَ إِيَّاكَ أَنْ تَعْمَلَ بِرَأْيِكَ شَيْئاً وَ خُذْ بِالِاحْتِيَاطِ فِي جَمِيعِ مَا تَجِدُ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَ اهْرُبْ مِنَ الْفُتْيَا هَرَبَكَ مِنَ الْأَسَدِ وَ لَا تَجْعَلْ رَقَبَتَكَ لِلنَّاسِ جِسْراً قُمْ عَنِّي يَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ فَقَدْ نَصَحْتُ لَكَ وَ لَا تُفْسِدْ عَلَيَّ وِرْدِي فَإِنِّي امْرُؤٌ ضَنِينٌ بِنَفْسِي وَ السَّلامُ عَلى مَنِ اتَّبَعَ الْهُدى».
Terjemahan dalam Bahasa Lain
Komentar