Please Wait
21185
Pengetahuan manusia diraih melalui jalan yang beragam. Salah satunya adalah berhubungan dengan alam gaib yang juga memiliki tingkatan yang beragam. Keragaman itu sesuai dengan kondisi, keluasan ruh, mental dan akal seseorang dan hubungannya dengan sumber Mahapemberi, Allah Swt.
Genus manusia sendiri membatasinya untuk meraih pengetahuan melalui jalan biasa dan natural. Karena itu, pengetahuan mereka umumnya terbatas pada "apa yang terjadi sekarang" dan pengetahuan mereka tentang masa lalu bergantung pada nukilan sejarah dan dokumen-dokumen sejarah. Adapun pengetahuan mereka terkait masa datang tidak lain kecuali berkaitan dengan prediksi-prediksi yang berhubungan dengan masa kini.
Akan tetapi manusia yang terlepas dari pasungan alam natural dan mendapatkan keluasan wujud sehingga ia mampu berhubungan dengan alam gaib, ia dapat mengakses informasi yang lebih luas tentang masa lalu, masa sekarang dan masa depan, itu pun dengan tingkat ketelitian yang tinggi dan tanpa kesalahan. Para wali yang mulia tergolong dalam orang-orang seperti ini. Pengetahuan disuntikkan kepada mereka melalui beragam jalan seperti wahyu, risalah, ilham, mimpi-mimpi benar, penyingkapan, penyaksian, perjalanan ke alam yang lebih tinggi. Dan terkadang didapatkan melalui warisan atau hubungan khusus atau tulisan yang disampaikan kepada mereka melalui tulisan seperti Jufr al-Jâmi’.
Sedemikian manusia dicipta sehingga ia dapat memperoleh pengetahuan melalui kanal dan jalan yang beragam di antaranya:
1. Pelbagai kecendrungan, insting, syahwat yang memberikan kepada manusia kemampuan untuk memenuhi pelbagai kebutuhan naturalnya, misalnya ilmu terhadap rasa lapar, dahaga, rasa sakit dan lelah dan sebagainya.
2. Fitrah yang memberikan kemampuan kepada manusia meraup pengetahuan tentang pelbagai keinginan transendental dan membimbing manusia kepadanya seperti perasaan bergantung terhadap entitas yang lebih tinggi (perasaan religiusitas atau ibadah), perasaan mencari kebenaran, perasaan cinta kepada kesempurnaan, keindahaan dan sebagainya.
3. Akal sehat yang memberikan kemampuan kepada manusia untuk mengenal segala swa-bukti (self-evident, badihiyat) misalnya kemustahilan berhimpunnya atau berpisahnya dua hal yang saling kontradiktif, dua lebih besar dari satu, atau satu lebih kecil dari dua dan sebagianya. Manusia menjadikan pelbagai swa-bukti ini sebagai asas dan dasar dan melalui media swa bukti ini ia bernalar dan mengambil kesimpulan lalu mendapatkan pelabagai pengetahuan baru.
4. Panca indra yang merupakan media jasmani yang memungkinkan manusia merajut hubungan dengan jasmaninya sendiri dan lingkungan di sekitarnya, tanpa atau dengan menggunakan media-media industri. Pelbagai informasi penting manusia didapatkan melalui jalan ini, dan bahkan terkadang menafikan kanal-kanal lainnya dan hanya bersandar pada kanal empirik (panca indra) yang dalam ranah Teologi dikenal dengan nama Empirisme.
5. Warisan: sebagian informasi atau pengetahuan manusia berpindah melalui warisan genetika khusus dan tetap dalam bentuk data tersembunyi dan tatkala diperlukan, maka ia akan muncul, seperti sebagian kondisi dan sifat-sifat yang ada pada diri manusia.
6. Memperoleh informasi dari gerakan dan aktifitas bintang-bintang atau sihir atau magik atau berhubungan dengan sebagian jin atau hari ini umumnya dikenal dengan hipnotisme dan juga melalui jalan mimpi berikut takwilnya. Jalan ini meski pada tingkatan tertentu bersifat metafisikal atau non-natural, akan tetapi kebanyakan perkara ini terhabas pada perkara duniawi saja.
Kanal-kanal informasi di atas terdapat secara umum pada diri manusia dan dapat diajarkan kepada manusia. Para psikolog, epistemolog dan filosof membagi kanal-kanal informasi dan pengetahuan ini menjadi kanal universal dan ilmu perolehan. Bukan tempatnya disini untuk merinci pembagian kanal informasi dan pengetahuan ini. Oleh itu, kami persilahkan Anda untuk mengkajinya pada buku-buku yang mengulas pembahasan tersebut.
7. Kaum teolog meyakini kanal lainnya bernama "hubungan dengan alam gaib". Akan tetapi puak materialisme dan empirisisme, yang mengingkari alam gaib dan alam-alam metafisika, menafikan dengan tajam kanal informasi ini. Mereka mengklaim dan menuding bahwa kanal-kanal ini banyak digunakan oleh para pesihir dan ahli magik. Menafikan dan menetapkan kanal ini merupakan dialektika terpenting yang senantiasa menyertai para rasul dan nabi dari satu sisi dan para pembangkang dan penentang keras kepala dari sisi lain. Hal ini tidak terkhusus pada era industri dan sains dewasa ini. [1]
Para periset Islam menyatakan bahwa kanal ini dapat dilalui melalui jalan beragam:
1. Ilham-ilham kalbu, seperti ilham yang diterima oleh Bunda Musa As supaya meletakkan Musa dalam sebuah kotak dan melepaskannya di Sungai Nil lalu bertawakkal kepada Tuhan hingga Allah Swt memilih Musa As sebagai rasul-Nya.[2]
2. Mimpi-mimpi yang benar: sebagaiman dalam kisah Ibrahim yang bermimpi menyembelih putranya, Ismail As, "Ibrahim berkata, “Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab, “Hai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (Qs. Shaffat [37]:102-106) dan juga pada kabar tentang penaklukan kota Mekah di masa mendatang yang diterima oleh Nabi Saw melalui mimpi.[3]
3. Wahyu yang terealisir melalui empat jalan: Pertama, wahyu yang disampaikan kepada qalbu atau pendengaran kepada lawan bicara tanpa media. Kedua, melihat malaikat dalam bentuk aslinya dan menerima wahyu darinya. Ketiga, (nabi) hanya mendengar suara malaikat dan menerima pesan darinya. Akan tetapi ia tidak melihatnya. Keempat, malaikat menjelma menjadi manusia dan menyampaikan pesan Ilahi kepada lawan bicaranya (baca: nabi).[4]
Akan tetapi harus diperhatikan bahwa adanya hubungan ini tidak meniscayakan penetapan kedudukan seorang nabi atau imam, kendati tidak seorang pun rasul atau imam yang dapat digambarkan tanpa melaui media ini. Dengan kata lain, seluruh nabi dan washi memiliki hubungan ini melalui satu kanal, akan tetapi sebagian nabi seperti Nabi Saw memiliki hubungan dengan keempat kanal ini. Nabi Saw memanfaatkan keempat kanal ini. akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa barang siapa yang memiliki hubungan sedemikian pastilah ia adalah seorang nabi atau washi, kalau demikian adanya maka kenabian dan imamah natau atau imam harus melalui jalan lain – misalnya klaim kenabian dan kepemimpinan, menunjukkan mukjizat dan berita gembira dari nabi sebelumnya (melalui nash) dan pelbagai petunjuk, bukti dan indikasi lainya.[5] dengan demikian kendati Hadhrat Zahra As dan Maryam As, menjadi obyek dan lawan bicara Jibril, akan tetapi keduanya bukan seorang nabi atau seorang imam.
4. Melancong di pelbagai alam metafisika, pada saat mukasyafah atau terjaga dan benar-benar sadar seperti mikraj Nabi Saw.[6]
5. Merujuk pada pelbagai referensi dan sanad yang dimiliki oleh para ahli dalam bidang ini, misalnya ilmu terhadap batin-batin al-Qur'an, takwil dan tafsir ayat-ayat al-Qur'an oleh para maksum dan transformasi Jufr al-Jâmi' dari Imam Ali kepada para imam lainya.
6. Transformasi pelbagai pengetahuan kepada orang lain melalui air liur atau makanan yang setengah dikunyah salah seorang wali Allah atau misalnya keramat yang diraup oleh Karbalai Kazhim Saruqi dan (sekejap) menjadi penghafal al-Qur'an.[7]
Rincian poin-poin yang disebutkan di atas dapat dijumpai pada pelbagai kitab maarif, tentang pembahasan kenabian dan wahyu. Dan pelbagai penyingkapan (mukasyafah) sebagian wali Allah Swt dan ulama agama dapat ditelusuri pada kitab sejarah dan sirah. Akan tetapi kami akan menjelaskan secara ringkas tentang apa yang dimaksud dengan "Jufr Jami'" sebagai berikut:
Imam Ali As sebagaimana dalam khutbah 93 Nahj al-Balaghah dijelaskan, semenjak masa kecil senantiasa bersama Rasulullah Saw – kecuali pada tugas-tugas yang diamanahkan kepadanya – sekali-kali beliau tidak pernah berpisah dari Rasulullah Saw dan senantiasa berada di bawah pengajaran dan penggemblengan Nabi Saw. Imam As terkait dengan ilmu ghaibnya bersabda: "Nabi Saw memelukku, beliau membuka lisannya ..dan seribu gerbang ilmu terbuka bagiku dari air liur baginda Nabi Saw dan masing-masing dari gerbang tersebut terbuka seribu gerbang lagi."[8]
"Abu Hamid Ghazali menulis bahwa di tangan Imam al-Muttaqin – Ali bin Abi Thalib As – terdapat sebuah kitab yang disebut sebagai Jufr Jami' al-Dunya wa al-Akhirah dan kitab tersebut mengandung seluruh ilmu, hakikat, rahasia, segala yang gaib, tipologi segala sesuatu, segala yang ada di alam dan tipologi nama-nama dan huruf-huruf, dimana selain Ali bin Abi Thalib dan kesebelas putranya yang memiliki makam imâmah dan wilâyah yang mendapatkan nash dari Rasulullah Saw, tidak seorang pun yang dapat mengatahuinya dan merupakan warisan yang mereka warisi."[9]
"Dalam kitab tersebut termaktub segala peristiwa dan kejadian yang terjadi pada masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang, bahkan nama-nama putra-putri, cucu, sahabat, musuh mereka. Dan apa yang akan masuk kepada mereka hingga hari kiamat semuanya tercatat dalam buku tersebut. Jufr Jami' ini ditulis dengan huruf-huruf misterius, dan kunci untuk memahami yang diwarisi oleh para imam As dan tiada yang dapat memahaminya kecuali mereka.
Umumnya peristiwa dan kejadian penting diketahui oleh para imam berasal dari kitab tersebut, segala yang universal dan partikular pelbagai perkara atau berita, segala duka dan suka yang dialami oleh Ahlulbait As dan Syiah dipetik dari kitab tersebut. Sebagiamana dalam kitab-kitab riwayat dan tercatat panjang lebar…"[10]
Jufr ini adalah kulit domba, yang disamak, yang disembelih atas perintah Jibril.[11] Karena itu, berita-berita ghaib yang ditunjukkan Jibril kepada Rasululllah Saw dan beliau mendiktekannya kepada Imam Ali As, dan sedemikian banyak ditulis oleh Imam Ali hingga seluruh kulit dan bahkan bagian tangan dan kakinya. Seluruh berita-berita tentang masa depan dan masa lalu tercatat di dalamnya dan berpindah ke tangan para Imam Maksum sebagai warisan. Namun ilmu para imam tidak terbatas pada penggunaan kitab Jufr ini, melainkan mereka memanfaatkan pelbagai ilham ghaib dan mereka memiliki muksyafah (peyingkapan) serta hubungan khusus dengan alam-alam malakut; seperti pada peristiwa perjalanan Imam Husain As ke Karbala, hal ini dapat disaksikan pada tingkatan-tingkatan yang berbeda dan di Karbala. Demikian juga mereka memanfaatkan mimpi-mimpi benar (shâdiq) dan juga menerima kabar-kabar ghaib sebelum terjadinya pelbagai peristiwa dan mereka mengetahui tentang peristiwa yang terjadi selanjutnya, seperti hari siang bolong yang hadir di hadapan mata.
Terdapat beberapa ayat yang menyoroti masalah ilmu ghaib yang terkhusus untuk Tuhan dan menafikan ilmu ghaib yang dimiliki oleh Nabi Saw, kedua masalah ini tidak saling berseberangan.[12] Karena ayat-ayat ini dan ayat-ayat lainnya menandaskan bahwa Tuhan memberikan akses terhadap ilmu ghaib hingga batasan tertentu[13] dimana dalam hal ini terdapat pengkhususan (takhsis).
Dengan kata lain, ilmu Tuhan terhadap alam ghaib adalah ilmu esensial (dzati) dan azali. Akan tetapi ilmu para wali Allah terhadap alam ghaib (peristiwa dahulu, kini dan akan datang) adalah ilmu aksidental ('aradhi) dan perolehan (hushuli) yang dicapai berkat izin dari Allah Swt dan terbatas pada apa yang diizinkan Tuhan, tidak lebih.
Dari sisi lain, ilmu ghaib ini tidak bermakna bahwa tiada satu pun perkara yang tersembunyi dari mereka, misalnya pada perjalanan menuju Tabuk, unta Rasulullah Saw raib entah kemana dan Nabi Saw tidak ada pengetahuan tentang dimana untanya; seseorang mengejek bagaimana bisa Anda seorang nabi sementara Anda tidak mengetahui dimana gerangan unta Anda? Nabi Saw bersabda: "Aku bersumpah kepada Tuhan, aku tidak tahu kecuali apa yang diajarkan Tuhan kepadaku. Dan sekarang Tuhan mengabarkan kepadaku bahwa unta tersebut tersandung sesuatu di sebuah pohon, pergilah kalian dan bawalah unta tersebut kemarin."[14] Hal serupa juga pernah dialami oleh Imam Shadiq As dengan budaknya.[15]
Kesimpulanya adalah bahwa ilmu para wali Allah terhadap apa yang terjadi pada masa lalu, masa kini dan masa akan datang melalui hubungan dengan alam ghaib (metafisika) dan lebih tinggi dari kanal dan media biasa. Akan tetapi hubungan dengan alam ghaib ini dapat terealisir dengan berbagai jalan yang seluruhnya dapat dilalui oleh sebagian orang dan memanfaatkyan jalur tersebut di mana saja dan kapan saja. Dan sebagian kelompok hanya mampu melalui satu jalur dari beberapa jalur yang ada. Yang penting adalah jalur-jalur ini dan perbedaannya, bergantung dan sejalan dengan kecerlangan hati dan kemampuan mental-spritual seseorang.
Perkara ini patut mendapat perhatian bahwa pelbagai peristiwa yang ditakdirkan dan kejadian di alam eksistensi (dunia dan akhirat) terjadi sebelum kemunculannya dan – tanpa menafikan ikhtiar manusia – berlaku pada seluruh alam keberadaan termasuk manusia dan setelah sirnanya dunia juga, peristiwa-peristiwa tersebut – tertentu dan jelas – akan tetap dan perkara-perkara yang berhubungan dengan setiap manusia akan diserahkan dalam bentuk catatan amal-perbuatan kepadanya. Dengan memperhatikan perkara ini, hubungan dengan alam ghaib dan informasi akurat tentang apa yang terjadi pada masa lalu, kini dan akan datang menemukan maknanya dan dapat diilustrasikan.[16][]
Daftar Pustaka:
1. Rawân Syinâsi Rusyd, Nasir Biriya, jil. 1, Samt (Daftar-e Hamkari), cetakan pertama, 1375, Teheran.
2. Tahrir Tamhid al-Qawâid, Abdullah Jawadi Amuli, al-Zahra, cetakan pertama, 1375, Teheran.
3. Hayât-e 'Ârifane Imâm 'Ali As, Abdullah Jawadi Amuli, Isra, cetakan pertama, 1380, Qum.
4. Fitrat dar Qur'ân, Abdullah Jawadi Amuli, Isra, cetakan kedua, 1379, Qum.
5. Ma'rifat Syinâsi dar Qur'ân, Abdullah Jawadi Amuli, cetakan kedua, 1379, Qum.
6. Mardân-e 'Ilm dar Meidân-e 'Amal, Ni'matullah Husaini, Daftar Nasyr-e Islami, 1375, Qum.
7. Farâz-haye az Târikh Islâm, Ja'far Subhani, Masy'ar, cetakan 1381, Teheran.
8. Syabhâ-ye Paisyawar, Sultan al-Wai'zhin Syirazi, hal. 861-940, Dar al-Kitab al-Islamiya, cetakan keempat, 1378, Teheran.
9. Wilâyat dar 'Irfân, Abul Fadhl Kiyasyamsyeki, Dar al-Shadiqin, cetakan pertama, 1378, Teheran.
10. Âmuzesy-e 'Aqâid, (Iman Semesta) Muhammad Taqi Misbah Yazdi, jil. 1-2, Sazeman-e Tablighat-e Islami, cetakan keenam, 1370, Qum.
11. Ma'ârif Qur'ân, Muhammad Taqi Misbah Yazdi, jil. 4-5, Muassese Amuzesy wa Pazuhesy Imam Khomeini Ra, cetakan pertama, 1376, Qum.
[1]. “Demikianlah, tidak seorang rasul pun yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, melainkan mereka mengatakan, “Ia adalah seorang tukang sihir atau orang gila.”(Qs. Al-Dzariyat [51]:52); “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (beberapa rasul) sebelum kamu kepada umat-umat yang terdahulu. Dan tidak datang seorang rasul pun kepada mereka, melainkan mereka selalu memperolok-olokkannya. Demikianlah, Kami memasukkan Al-Qur’an ke dalam hati orang-orang yang berdosa (orang-orang kafir), tapi mereka tidak beriman kepadanya, dan sesungguhnya sunah (sikap) orang-orang terdahulu juga berlalu demikian. Dan jika seandainya Kami membukakan kepada mereka salah satu pintu langit, lalu mereka terus menerus naik ke atasnya, tentulah mereka berkata, “Sesungguhnya pandangan kamilah yang dikaburkan, bahkan kami adalah orang-orang yang terkena sihir.” (Qs. Al-Hijr [15]:10-15)
[2]. “Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa, “Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya, maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul.” (Qs. Al-Qashash [28]:7); “Dan sesungguhnya Kami telah memberi anugerah kepadamu pada kali yang lain, yaitu ketika Kami mengilhamkan kepada ibumu suatu yang diilhamkan, yaitu, ‘Letakkanlah ia (Musa) di dalam peti, kemudian lemparkanlah ia ke sungai (Nil), lalu sungai itu pasti membawanya ke tepi, supaya diambil oleh (Fira‘un) musuh-Ku dan musuhnya.’ Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku; dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku. (yaitu) ketika saudara perempuanmu berjalan (di dekat istana Fira‘un), lalu ia berkata kepada (keluarga Firaun), ‘Bolehkah saya menunjukkan kepadamu orang yang akan memeliharanya?’ Maka Kami mengembalikanmu kepada ibumu, agar senang hatinya dan tidak berduka cita. Dan kamu pernah membunuh seorang manusia, lalu Kami selamatkan kamu dari kesusahan dan Kami telah mencobamu dengan beberapa cobaan. Setelah itu kamu tinggal beberapa tahun di antara penduduk Madyan, kemudian kamu datang (ke sini) menurut waktu yang ditetapkan (untuk menerima risalah) hai Musa.” (Qs. Thaha [20]:37-40)
[3]. “Sesungguhnya Allah telah membuktikan kepada rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya; (yaitu) sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Tetapi Allah mengetahui apa yang tidak kamu ketahui, dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat.”(Qs. Al-Fath [48]:27)
[4]. “Dan tidak layak Allah berbicara dengan seorang manusia pun kecuali dengan perantaraan wahyu, di belakang tabir, atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu utusan itu mewahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu seorang ruh dengan perintah Kami (sebagaimana Kami juga telah mengutus seorang ruh kepada para nabi sebelummu). Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah al-Kitab (Al-Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu. Tetapi Kami menjadikan Al-Qur’an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengannya siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Qs. Al-Syura [42]:51-52)
[5]. Silahkan lihat, Ja’far Subhani, al-Ilahiyyât, jil. 3, hal. 65 & 218.
[6]. “Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Dan Kami berikan kepada Musa Kitab (Taurat) dan Kami jadikan Kitab (Taurat) itu petunjuk bagi Bani Isra’il (dengan firman), “Janganlah kamu mengambil pengayom selain Aku.” Qs. Al-Isra [17]:1-2); Silahkan lihat kitab-kitab tafsir yang membahas ayat terkait.
[7]. Silahkan lihat, Muhammad Muhammadi Rei Syahri, Karbalai Kazhim, Muassasah Dar Rah-e Haq.
[8]. Sultan al-Wa’izhin Syirazi, Syabha-ye Pisyawar, hal. 861-927.
[9]. Ibid, hal. 928-931.
[10]. Ibid.
[11]. Ibid, hal. 931-936.
[12]. “Katakanlah, “Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang gaib, serta tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.” Katakanlah, “Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat? Maka mengapa kamu tidak mau berpikir?” & “Dan hanya di sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tiada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak sebutir biji pun yang jatuh dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfûzh).” (Qs. Al-An’am [6]:50 & 59); “Katakanlah, “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa. Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (Qs. Al-Kahf [18]:110); “Katakanlah, “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudaratan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang gaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa keburukan (dan kemudaratan). Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (Qs. Al-A’raf [7]:188); “Nuh menjawab, “Hanyalah Allah yang akan mendatangkan azab itu kepadamu jika Dia menghendaki, dan kamu sekali-kali tidak dapat melepaskan diri (darinya). (Qs. Al-Hud [11]:33); Sebenarnya pengetahuan mereka (musyrikin) tentang akhirat tidak sampai (ke sana), malahan mereka ragu-ragu tentang akhirat itu, lebih-lebih lagi mereka buta berkenaan dengannya.” (Qs. Al-Naml [27]:66); “Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa dan mereka mengikuti keridaan Allah. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (Qs. Ali Imran [3]:174)
[13]. “(Dia adalah Tuhan) yang mengetahui yang gaib dan Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu. kecuali kepada rasul yang diridai-Nya.”(Qs. Al-Jin [72]:26); “Yang demikian itu adalah sebagian dari berita-berita gaib yang Kami wahyukan kepadamu (hai Muhammad), padahal kamu tidak hadir beserta mereka ketika mereka melemparkan pena-pena mereka (untuk mengundi) siapa di antara mereka yang akan memelihara Maryam. Dan kamu tidak hadir di sisi mereka ketika mereka bersengketa.” (Qs. Ali Imran [3]:43); “Hai kaumku, aku tidak meminta upah kepadamu bagi seruanku ini. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah yang telah menciptakanku. Maka tidakkah kamu merenungkan?” (Qs. Hud [11]:51); “(Yaitu) jalan Allah yang kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Ingatlah, bahwa kepada Allah-lah kembali semua urusan.” (Qs. Al-Syura [24]:53)
[14]. Ja’far Subhani, Târikh Payâmbar-e Islâm, hal. 480.
[15]. Kulaini, Ushul Kâfi, jil. 1, hal. 257; Amuzesy-e Aqaid, Pelajaran 39, hal. 368-374.
[16]. Lihat indeks, Rutab (sesuatu yang basah), Yabis (dan sesuatu yang kering) dan Kitab al-Mubin dalam al-Qur’an.