Please Wait
22387
Tolok ukur ikhitiarnya perbuatan-perbuatan bukanlah dari aspek kemandirian dalam keberadaannya yang bersifat mesti dan wajib, karena tidak ada satupun di alam yang memiliki kemandirian hakiki selain Tuhan.
Tolak ukur determinisme dan ikhtiar perbuatan-perbuatan dalam pandangan Hikmah Muta’aliyah adalah bahwa perbuatan yang hadir itu berpijak kepada irâdah dan kehendak, bukan merupakan rangkaian atau berada dalam cakupan hukum kausalitas.
Hukum kausalitas tidak mengandung kelemahan dan juga tidak menerima pengecualian, akan tetapi, sekedar mengetahui secara umum dan bersifat permukaan masalah ini tidak akan cukup untuk memahami secara mendalam problematika yang sedang dibahas ini.
Para teolog dalam menjawab persoalan ini menyangka bahwa kaidah tentang ‘ketidakterpisahan sebab dan akibat’ hanya terkhusus kepada sebab-sebab yang terpaksa dan tidak berkehendak, dan pelaku-pelaku (sebab-sebab) yang berkehendak seperti manusia – yang merupakan tema pertanyaan sekarang ini – tetap memiliki ikhtiar dan kebebasannya walaupun setelah adanya segenap bagian-bagian sebab-sempurna, sementara kaidah akal tidak akan menerima sejenis pengecualian.[1]
Jika kaidah ‘ketidakterpisahan sebab dan akibat’ adalah sejenis keterpaksaan, maka keterpaksaan yang ada di seluruh tempat dan alam adalah benar dan jika sejenis ikhtiar maka mencakup dan meliputi semua pelaku. Akan tetapi, sejatinya adalah bahwa tolak ukur determinisme dan keberadaan perbuatan-perbuatan adalah sedemikian sehingga tidak ada pertentangannya dengan pembahasan kausalitas dalam Hikmah Muta’aliyah dan kebergantungan hakiki segenap makhluk dan ketidakmandirian mereka terhadap Tuhan Sang pencipta.
Adalah benar bahwa irâdah manusia merupakan suatu realitas yang pada akhirnya berujung pada Tuhan sebagai sebab-akhirnya dan manusia terpaksa dalam keberikhtiarannya. Namun pertanyaan di sini adalah apakah hal ini akan menyebabkan manusia menjadi terpaksa dalam perbuatan-perbuatannya sendiri? Dan perbuatan-perbuatan ini tidak bisa dinisbahkan dan dialamatkan kepada manusia? Jawabannya adalah negatif. Adalah benar bahwa irâdah-takwini (irâdah dalam penciptaan segenap keberadaan) Tuhan berdasarkan tauhid-perbuatan yang mencakup perkara-perkara yang ada di alam, namun ini tidak bertentangan dengan irâdah-tasyri’i (irâdah dalam penetapan hukum-hukum agama seperti wajib, halal, haram, mustahab, makruh, dan mubah) Tuhan. Irâdah-tasyri’i Tuhan tidak lain terkait dengan perintah-perintah Tuhan kepada manusia untuk berbuat baik dan memberikan kepada manusia suatu ikhtiar dan kebebasan untuk memilih kebaikan-kebaikan dan menjauhi keburukan-keburukan. Oleh karena itu, walaupun seluruh perbuatan itu tidak terpisah dan mustahil mandiri dari kodrat Ilahi secara takwini dan alami, atau dalam ungkapan lain, termasuk qadha (ketentuan) Tuhan, namun keridhaan Tuhan hanyalah meliputi perbuatan-perbuatan yang baik dan akhlak yang mulia. Manusialah yang berkehendak untuk memilih berbuat perbuatan-perbuatan yang buruk dan akhlak yang tercela.
Dengan penjelasan lain, tolok ukur kebebasan dan keberikhtiaran perbuatan-perbuatan adalah tidak terkait dengan kemandirian dalam keberadaan, karena tidak satupun makhluk di alam ini yang berada secara mandiri selain Tuhan, segenap makhluk bergantung secara mutlak kepada Tuhan. Namun, tolok ukur kebebasan dan keberikhtiaran perbuatan-perbuatan dalam perspektif Mulla Sadra hanyalah bahwa perbuatan yang hadir itu berpijak kepada suatu irâdah dan kehendak, bukan dalam ranah bahwa perbuatan itu berada dalam cakupan hukum kausalitas dan bergantung mutlak kepada Tuhan.
Berdasarkan kaidah ‘prinsipalitas wujud’ dan ‘kesatuan wujud’ dalam filsafat Mulla Sadra, segala makhluk memiliki satu kesamaan dalam cahaya tunggal Tuhan yang “mengalir” dalam hakikat segala makhluk. Setiap makhluk-makhluk ini adalah citra dan citra-citra Tuhan termasuk manusia.
Irâdah, ikhtiar, dan perbuatan-perbuatan manusia mengikuti keberadaannya. Oleh karena itu, manusia itu sendiri memiliki suatu tingkatan ikhtiar yang sederajat dengan tingkatan wujudnya sendiri, dan ini tidak lain adalah perkara yang Mulla Sadra katakan: irâdah dan ikhtiar manusia adalah rangkaian menurun dari irâdah Tuhan. Dengan demikian, hukum kausalitas dari perspektif ini adalah sesuai secara sempurna dengan irâdah dan ikhtiar manusia (karena ikhtiar itu sendiri memiliki tingkatan-tingkatan yang diberikan kepada setiap makhluk sesuai dengan derajat keberadaannya); jika kebergantungan manusia semakin tinggi (yakni manusia secaa eksistensial semakin dekat kepada Tuhan) maka manisfestasi irâdah dan kehendaknya pun semakin tinggi, bukan malah semakin terjebak dalam keterpaksaan.
Kesimpulannya, ikhtiar memiliki tingkatan dan ikhtiar yang tertinggi dimiliki oleh Tuhan, karena bukan hanya Dia tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal melainkan Dia pun suci dari kecenderungan-kecenderungan internal yang saling berkontradiksi. Tingkatan dibawah-Nya dimiliki oleh makhluk-makhluk nonmateri-sempurna, karena semata-mata hanya dipengaruhi oleh irâdah Tuhan, namun masih mungkin dipengaruhi oleh kecenderungan-kecenderungan internal yang saling kontradiksi dan berkuasanya salah satu dari kecenderungan atas kecenderungan-kecenderungan yang lain. Sementara jiwa-jiwa yang terkait dengan alam materi (seperti jiwa manusia) memiliki tingkatan ikhtiar yang lebih rendah dan kurang lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal dan internal. Akan tetapi, jika manusia memberikan perhatian yang sangat penting kepada pensucian jiwanya dari kecenderungan-kecenderungan yang buruk, maka akan mencapai derajat ikhtiar yang tinggi hingga pada tingkatan irâdah Ilahi.
Manusia akan bisa melebihi tingkatan yang dimiliki oleh makhluk nonmateri-sempurna dan menggapai suatu derajat irâdah dan tingkatan ikhtiar tertinggi yang bisa dimiliki oleh makhluk Tuhan. Perspektif inilah juga menegaskan bahwa ikhtiar - dengan makna khususnya - adalah suatu amanat Tuhan dan mencakup ikhtiar yang paling luas di alam penciptaan[2] yang terkhusus dicapai oleh makhluk bernama manusia.
Lebih lanjut, berdasarkan perspektif Hikmah Muta’aliyah (khususnya berpijak pada kaidah gradasi wujud dan irâdah) yang telah dijelaskan di atas, jawaban lain atas persoalan tersebut bisa dijabarkan melalui pendekatan irfani terkait dengan hakikat irâdah dan ikhtiar manusia.
Sepanjang manusia belum mengetahui posisi hakikat keberadaannya di alam penciptaan – yakni maqam khilafah Ilahi – maka mustahil ia bisa memahami secara hakiki maqam tertinggi ikhtiar kemanusiaannya sendiri, dan ia senantiasa terjebak dalam keterpaksaan-keterpaksaan dan kontradiksi-kontradiksi yang muncul dari pengaruh faktor-faktor yang bukan pengetahuan hakiki, hal-hal yang tidak diinginkan, dan terus berada dalam kebingungan. Model pandangan ini akan berujung pada kelemahan dan ketidaksempurnaan manusia, karena manusia senantiasa memandang dirinya sendiri terpaksa dalam segala sesuatu dan tidak merasa memiliki sedikitpun tanggung jawab. Hal ini akan sangat berbeda jika manusia memiliki pandangan bahwa sebab-sempurna irâdah manusia adalah manusia itu sendiri atau hakikat wujudnya sendiri.
Di sini irâdah manusia menyatu dengan irâdah Tuhan atau irâdahnya adalah irâdah Tuhan itu sendiri sebagaimana manusia sempurna dinamakan sebagai manifestasi irâdah Tuhan dan manusia yang memiliki irâdah adalah manusia yang menempatkan dirinya pada maqam manifestasi irâdah Tuhan dan ia memandang tanggung jawabnya bersumber dari irâdah Tuhan (yakni tanggung jawab utamanya adalah memperbaiki dirinya sendiri dan orang lain berdasarkan agama yang diturunkan oleh Tuhan kepada para nabi dan rasul-Nya).
Pada dasarnya, hakikat kedirian kita tersembunyi di balik perspektif-perspektif yang keliru dan salah tentang hakikat irâdah manusia, kekeliruan perspektif ini hanya bisa tersingkap jika manusia mengetahui hakikat jiwa dan dirinya sendiri secara tepat. Dengan dasar inilah manusia pada akhirnya akan mengetahui bahwa hakikat dirinya adalah khalifah Tuhan dan seorang yang menerima irâdah agung dari sisi Tuhan. Berkaitan dengan manusia sebagai penanggung jawab (karena sebagai khalifah dan penerima irâdah Ilahi maka ia bertanggung jawab untuk memperbaiki dirinya sendiri dan bertugas mengatur segenap makhluk di alam ini), maka kesempurnaannya terletak pada sejauh mana ia menerima dan menjalankan tanggung jawab yang diamanatkan oleh Tuhan kepadanya. Jika tidak demikian, maka ia terus menerus terpenjara dalam berbagai jenis keterpaksaan-keterpaksaan. Karena manusia telah tercerahkan, maka ia dapat mengubah segala keterpaksaan itu menjadi kebebasan dan ikhtiar. Dan pada dasarnya, manusia sendirilah yang memilih dan berikhtiar untuk meniti jalan keterpaksaan dan memenjarakan dirinya sendiri dalam perspektif keterpaksaan di alam keberadaan ini. Jadi manusialah yang berikhtiar untuk tetap berkehendak atau berada dalam keterpaksaan. Atau manusia terpaksa untuk berikhtiar dan berkehendak.
Manusia akan mencapai pengetahuan hakiki tentang hakikat keberadaannya melalui pengenalan yang tepat terhadap dirinya sendiri, yakni ia mendekati maqam imamah dan kekhalifaan (yang merupakan manifestasi sempurna Tuhan di alam penciptaan ini). Dengan demikian, bukan hanya ia dapat mengontrol dan mengendalikan jiwanya sendiri, melainkan ia juga memiliki kemampuan luar biasa (kodrat Ilahi) untuk mengubah dan mengatur selain dirinya. Di sinilah irâdah manusia menyatu dengan irâdah Tuhan dan manusia menggapai derajat ikhtiar yang paling tinggi. Ini tidak lain adalah kodrat dan kekuatan yang karenanya manusia diciptakan oleh Tuhan di alam ini, namun sangat disayangkan bahwa mayoritas manusia tidak mengetahui tujuan penciptaannya itu.
Oleh karena itu, hukum kausalitas di sini adalah bermakna Ilahi dan hukum tentang kebergantungan mutlak eksistensi manusia kepada Tuhan yang tidak hanya bernuasa keterpaksaaan melainkan diartikan sebagai ikhtiar itu sendiri. Mengenai hubungan antara sebab dan akibat yakni hubungan antara Tuhan dan khalifah Tuhan adalah bersifat murni ikhtiar dengan segenap keberadaan yang dalam tradisi irfan dinamakan sebagai ‘cinta’. [iQuest]
[1]. Mishbah Yazdi, Âmusyesy-e Falsafeh, jil. 2, hal. 58. Teheran: Syerkat-e Cob wa Nasyr-e Bainul Milali Wobasteh beh Intesyarat Amir Kabir, Cetakan Kelima, Zemistan 1385 S.
[2]. “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, lalu semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan khawatir akan mengkhianatinya. Tetapi manusia (berani) memikul amanat itu. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh (lantaran ia tidak mengenal amanat itu dan menzalimi dirinya sendiri).” (Qs. Ahzab: 72)