Please Wait
Hits
23392
23392
Tanggal Dimuat:
2015/01/07
Kode Site
id23458
Kode Pernyataan Privasi
53292
- Share
Ringkasan Pertanyaan
Makna shalat dan shalawat secara leksikal dan teknikal syar’i?
Pertanyaan
Apa hikmah kata sholat dan sholawat bersamaan menggunakan huruf shod dan lam? Apa hubungan di antara keduanya? Demikian juga pada kata sholu pada kalimat "sholu ala muhammad" dan "sholu kama roaitu muni usholli" ?
Jawaban Global
Kata salat (Arab: shalat) sepert puasa (shaum), zakat dan haji adalah sebuah lafaz yang mengalami perubahan dari makna leksikalnya menjadi makna baru dalam syariat.
Asli kata shalat secara leksikal derivatnya dari akar kata shalu yang bermakna doa dan istighfar.[1] Kata shalawat adalah bentuk jamak dari kata shalat.[2] Shalawat adalah kalimat doa dan salam khusus atas Rasulullah Saw yang disampaikan oleh kaum Muslim tatkala menyebutkan nama Nabi Muhammad Saw dengan cara yang beragam seperti, «اللهم صلّ علی محمد و آل محمد» “Allahuma shalli ‘ala Muhammad wa Ali Muhammad.”
Shalawat Allah Swt kepada Rasulullah Saw bermakna rahmat, “
«إِنَّ اللّٰهَ وَ مَلٰائِکَتَهُ یُصَلُّونَ عَلَى النَّبِیِّ یٰا أَیُّهَا الَّذِینَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَیْهِ وَ سَلِّمُوا تَسْلِیماً»
Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya. (Qs. Al-Ahzab [33]:56)
Shalawat dari sisi para malaikat bermakna doa dan istighfar. [3] Mengingat bahwa dalam salat terdapat doa dan permohonan ampun karena itu disebut sebagai salat. Dalam makna khusus ini (ibadah khusus dan memiliki rukun serta aktivitas tersendiri) menjadi makna hakiki. Karena itu, menjadi jelas bahwa shalat juga bermakna doa dan juga bermakna ibadah khusus yaitu salat.
Jelas bahwa sebagian lafaz digunakan bukan pada makna leksikalnya dan dipakai secara majas oleh ahli syariat yang kemudian secara perlahan menemukan makna-makna baru. Misalnya penggunaan salat terkait dengan kegiatan-kegiatan tertentu setelah sebelumnya bermakna doa secara leksikal (lughawi).[4] Penggunaan kata zakat juga demikian yang bermakna sejumlah harta yang dikeluarkan setelah makna yang ditetapkan untuknya adalah berkembang dan tumbuh.[5] Di samping itu, penggunan kata haji yang bermakna pelaksanaan manasik tertentu setelah secara leksikal (lughawi) ditetapkan bermakna niat atau qashd.[6]
Setelah peralihan makna ini, terdapat perbedaan pendapat apakah yang melakukan peralihan dan perubahan ini dilakukan oleh Syari’ (Pembuat Syariat)? Apakah Pembuat Syariat yang menentukan lafaz ini sedemikian sehingga hal tersebut dapat menujukkan makna yang dimaksud tanpa adanya indikasi sehingga ia menjadi hakikat syar’iah atau disebabkan oleh penggunaan lafaz pada makna ini mendominasi dan Pembuat Syariat menggunakan lafaz ini secara majas sehingga dalam hal ini hanya menjadi hakikat urfiyah bukan syar’iah.
Hasil dari perbedaan pendapat ini apabila dalam ucapan Pembuat Syariat digunakan tanpa adanya sebuah indikasi apa pun berdasarkan pendapat pertama maka hal itu dipredikasikan pada makna sekundernya, namun sesuai dengan pendapat kedua dipredikasikan dengan makna leksikalnya. Namun apabila dalam tuturan Pembuat Syariat tentu saja dipredikasikan dengan makna-makna syar’i.[7] Sebagai contoh, dalam hadis Imam Shadiq As bersabda, “Shalatlah di samping kuburan Nabi Muhammad Saw, meski salat (shalawat) orang-orang beriman dapat sampai kepadanya dimanapun mereka berada.”[8] Saya tidak tahu apakah maksud Imam Shadiq As itu adalah salat di samping kuburan Rasulullah Saw atau shalawat dan salam untuknya?
Dengan memperhatikan beberapa poin yang disampaikan di atas, mengingat penggunaan ini dilakukan setelah Pembuat Syariat, karena itu dipredikasikan dengan makna syar’i (salat) kecuali – seperti riwayat di atas – terdapat sebuah indikasi yang menunjukkan bahwa maksud Imam Shadiq As adalah shalawat dan salam.[9]
Adapun terkait dengan dua kaliamt “Shallu ‘ala Muhammad” dan “Shallu kama raitumuni ushalli” dalam dua hal terdapat indikasi; karena dengan memperhatikan kalimat pertama terdapat preposisi ‘ala (atas) tentu saja bermakna shalawat dan salam. Demikian juga pada kalimat kedua mengingat yang dilakukan oleh Rasulullah Saw adalah shalat maka shalat di sini bermakna salat (yang memiliki rukun, bacaan dan kegiatan tertentu). [iQuest]
Asli kata shalat secara leksikal derivatnya dari akar kata shalu yang bermakna doa dan istighfar.[1] Kata shalawat adalah bentuk jamak dari kata shalat.[2] Shalawat adalah kalimat doa dan salam khusus atas Rasulullah Saw yang disampaikan oleh kaum Muslim tatkala menyebutkan nama Nabi Muhammad Saw dengan cara yang beragam seperti, «اللهم صلّ علی محمد و آل محمد» “Allahuma shalli ‘ala Muhammad wa Ali Muhammad.”
Shalawat Allah Swt kepada Rasulullah Saw bermakna rahmat, “
«إِنَّ اللّٰهَ وَ مَلٰائِکَتَهُ یُصَلُّونَ عَلَى النَّبِیِّ یٰا أَیُّهَا الَّذِینَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَیْهِ وَ سَلِّمُوا تَسْلِیماً»
Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya. (Qs. Al-Ahzab [33]:56)
Shalawat dari sisi para malaikat bermakna doa dan istighfar. [3] Mengingat bahwa dalam salat terdapat doa dan permohonan ampun karena itu disebut sebagai salat. Dalam makna khusus ini (ibadah khusus dan memiliki rukun serta aktivitas tersendiri) menjadi makna hakiki. Karena itu, menjadi jelas bahwa shalat juga bermakna doa dan juga bermakna ibadah khusus yaitu salat.
Jelas bahwa sebagian lafaz digunakan bukan pada makna leksikalnya dan dipakai secara majas oleh ahli syariat yang kemudian secara perlahan menemukan makna-makna baru. Misalnya penggunaan salat terkait dengan kegiatan-kegiatan tertentu setelah sebelumnya bermakna doa secara leksikal (lughawi).[4] Penggunaan kata zakat juga demikian yang bermakna sejumlah harta yang dikeluarkan setelah makna yang ditetapkan untuknya adalah berkembang dan tumbuh.[5] Di samping itu, penggunan kata haji yang bermakna pelaksanaan manasik tertentu setelah secara leksikal (lughawi) ditetapkan bermakna niat atau qashd.[6]
Setelah peralihan makna ini, terdapat perbedaan pendapat apakah yang melakukan peralihan dan perubahan ini dilakukan oleh Syari’ (Pembuat Syariat)? Apakah Pembuat Syariat yang menentukan lafaz ini sedemikian sehingga hal tersebut dapat menujukkan makna yang dimaksud tanpa adanya indikasi sehingga ia menjadi hakikat syar’iah atau disebabkan oleh penggunaan lafaz pada makna ini mendominasi dan Pembuat Syariat menggunakan lafaz ini secara majas sehingga dalam hal ini hanya menjadi hakikat urfiyah bukan syar’iah.
Hasil dari perbedaan pendapat ini apabila dalam ucapan Pembuat Syariat digunakan tanpa adanya sebuah indikasi apa pun berdasarkan pendapat pertama maka hal itu dipredikasikan pada makna sekundernya, namun sesuai dengan pendapat kedua dipredikasikan dengan makna leksikalnya. Namun apabila dalam tuturan Pembuat Syariat tentu saja dipredikasikan dengan makna-makna syar’i.[7] Sebagai contoh, dalam hadis Imam Shadiq As bersabda, “Shalatlah di samping kuburan Nabi Muhammad Saw, meski salat (shalawat) orang-orang beriman dapat sampai kepadanya dimanapun mereka berada.”[8] Saya tidak tahu apakah maksud Imam Shadiq As itu adalah salat di samping kuburan Rasulullah Saw atau shalawat dan salam untuknya?
Dengan memperhatikan beberapa poin yang disampaikan di atas, mengingat penggunaan ini dilakukan setelah Pembuat Syariat, karena itu dipredikasikan dengan makna syar’i (salat) kecuali – seperti riwayat di atas – terdapat sebuah indikasi yang menunjukkan bahwa maksud Imam Shadiq As adalah shalawat dan salam.[9]
Adapun terkait dengan dua kaliamt “Shallu ‘ala Muhammad” dan “Shallu kama raitumuni ushalli” dalam dua hal terdapat indikasi; karena dengan memperhatikan kalimat pertama terdapat preposisi ‘ala (atas) tentu saja bermakna shalawat dan salam. Demikian juga pada kalimat kedua mengingat yang dilakukan oleh Rasulullah Saw adalah shalat maka shalat di sini bermakna salat (yang memiliki rukun, bacaan dan kegiatan tertentu). [iQuest]
[1] . Khalil bin Ahmad Farahidi, Kitab al-‘Ain, jil. 7, hal. 153, Qum, Intisyarat Hijrat, Cetakan Kesepuluh, 1410 H. «صلو: الصَّلَاة ألفها واو لأن جماعتها الصَّلَوَات»; Ibnu Manzhur, Lisan al-‘Arab, jil. 14, hal. 464, Beirut, Dar Shadir, Cetakan Ketiga, 1414 H. «الصلاةُ: الدُّعاءُ و الاستغفارُ»
[2]. Kitab al-‘Ain, jil. 7, hal.. 153; Shahib bin Ibad, al-Muhith fi al-Lughah, jil. 8, hal. 184, Beirut, Alam al-Kitab, Cetakan Pertama, 1414 H.
[3]. Lisân al-‘Arab, jil. 14, hal. 465.
[4]. Ibid.
[5]. Raghib Isfahani, Husain bin Muhammad, Mufradât Alfâzh al-Qur’ân, hal. 380, Beirut, Dar al-Qalam, Cetakan Pertama, 1412 H.
[6]. Muhammad bin Hasan Ibnu Duraid, Jamharah al-Lughah, Beirut, Dar al-‘Ilm lil Malayin, Cetakan Pertama, 1988 M.
[7]. Hasan bin Zainuddin, Ma’âlim al-Din, hal. 35, Qum, Daftar Intisyarat Islami, Cetakan Kelima, Tanpa Tahun.
[8]. Muhammad bin Yakub Kulaini, al-Kâfi, hal. 256, Qum, Dar al-Hadits, Cetakan Pertaa, 1429 H.
«صَلُّوا إِلىٰ جَانِبِ قَبْرِ النَّبِیِّ، وَ إِنْ کَانَتْ صَلَاةُ الْمُؤْمِنِینَ تَبْلُغُهُ أَیْنَمَا کَانُوا»
«صَلُّوا إِلىٰ جَانِبِ قَبْرِ النَّبِیِّ، وَ إِنْ کَانَتْ صَلَاةُ الْمُؤْمِنِینَ تَبْلُغُهُ أَیْنَمَا کَانُوا»
[9]. Muhammad Baqir Majlisi, Mir’at al-‘Uqul fi Syarh Akhbâr Ali al-Rasul, Riset oleh Sayid Hasyim Rasuli, jil. 18, hal. 264, Tehran, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Cetakan Kedua, 1404 H.
«قوله علیه السلام: "صلوا" المراد بالصلاة فی الموضعین أما الأرکان و الأفعال المخصوصة کما هو الظاهر فیدل على استحباب الصلاة له صلى الله علیه و آله فی جمیع الأماکن أو بمعنى الدعاء إلیه علیه السلام، و احتمال کونها فی الأول الأرکان و فی الثانی الدعاء بعید جدا و الله یعلم».
«قوله علیه السلام: "صلوا" المراد بالصلاة فی الموضعین أما الأرکان و الأفعال المخصوصة کما هو الظاهر فیدل على استحباب الصلاة له صلى الله علیه و آله فی جمیع الأماکن أو بمعنى الدعاء إلیه علیه السلام، و احتمال کونها فی الأول الأرکان و فی الثانی الدعاء بعید جدا و الله یعلم».
Terjemahan dalam Bahasa Lain
Komentar