Please Wait
14073
Di belahan Timur Asia terdapat ragam tradisi mistisme (irfan) seperti mistisme Hindu, mistisme Budha, mistisme Jain, mistisme China, mistisme Zen yang kesemuanya berada pada satu hukum. Perbedaan antara mistisme Islam dan mistisme Timur dapat dikaji dan ditelusuri dari dua sisi: Pertama, dari sisi internal dan kedua dari sisi eksternal. Dari sisi internal, pada pelbagai mistisme (irfan) Timur tidak mengemuka wacana seperti kenabian yang disyariatkan. Satu-satunya yang mengedepan adalah mitos-mitos dan konsep-konsep abstrak. Dalam mistisme Timur, kita tidak berhadapan dengan wacana-wacana seperti maqam rububiyyah, khilafah Ilahi manusia, wali sempurna, baqa setelah kefanaan, maqam kecintaan seperti dalam mistisme Islam yang lebih jauh menjelajah dan menukik hingga dasar sedimenternya. Dari sisi eksternal, perbedaan yang mencolok antara mistisme Islam dan mistisme Timur terdapat pada tuntutan ditegakkannya keadilan, sikap revolusioner, perlawanan terhadap budaya politeis Barat yang sangat menonjol dalam mistisme Islam.
Kiranya di sini kami memandang perlu menyampaikan definisi atas beberapa istilah penting dalam makalah ini.
Irfan (mistisme): Irfan adalah sebuah jalan untuk sampai kepada Tuhan. Dengan kata lain, perasaan mendalam dalam diri seseorang dan penyerahan diri secara totalitas kepada-Nya dan cinta yang membuncah dengan sepenuh hati dan sepenuh jiwa yang berujung kepada sampainya orang tersebut kepada Tuhan. Dengan satu kata, irfan (mistisme) dapat disebut sebagai makrifat diri (makrifat nafs) yang berujung pada makrifat Tuhan.
Makrifat (makrifatuLlah): Yang dimaksud dengan makrifat adalah kondisi seorang arif yang disampaikan oleh Allah Swt ke maqam menjulang syuhud (penyaksian) yaitu menyaksikan Sang Kebenaran dimana hal ini tidak mungkin tercapai tanpa adanya perhatian dan kepedulian Tuhan kepadanya.
Irfan atau Mistisme Islam: Irfan (mistisme) Islam dapat dipandang sebagai makrifat dan pengetahuan yang dalam pengetahuan tersebut terdapat unsur cinta (isyq) yang terjalin berkelindan dengan bangunan wahyu dalam Islam.
Cinta (Isyq): Yang dimaksud dengan cinta adalah cinta kepada pelbagai penampakan (mazhâhir) Tuhan dan pada puncak cinta kepada manusia sempurna yang merupakan penampakan paripurna nama-nama dan sifat-sifat Tuhan dan tajalli-Nya di alam semesta.
Imam: Manusia sempurna atau imam (dalam terminologi Syiah) sebagai kutub dan kanun Irfan adalah seseorang yang membawa (hamil) urusan imâmah (shahib al-amr) atau ruh yang turun pada malam lailatul qadar sebagaimana redaksi al-Qur’an, pada surah al-Qadar (97) ayat 4, “Tanazzalu al-malaikah wa al-ruh bi idzni Rabbihim min kull Amrin.” (Pada malam itu, para malaikat dan ruh (malaikat Jibril) turun dengan izin Tuhan mereka untuk menentukan segala urusan). Beritik tolak dari sini, imam merupakan tempat turunnya risalah dan kediaman turunnya para malaikat dan ruh sebagaimana yang dinyatakan dalam sebuah redaksi ziarah.[1]
Realitas ini laksana bulan-bulan di samping sang imam yang merupakan surya bagi para arif yang memiliki tingkatan-tingkatan dan telah sampai pada kesempurnaan puncak manusia.[2]
Kami cukupkan hingga di sini hal-hal yang terkait dengan sisi-sisi teoritis mistisme Islam (Irfan) dan kami persilahkan Anda bagi yang berminat untuk merujuk pada literatur-literatur Irfan dalam dunia Islam.
Mistisme Timur (Irfan Oksidentalis)
Mistisme Timur merupakan sebuah terma yang umumnya digunakan untuk memperkenalkan ragam tradisi mistisme (irfan) Timur Asia. Di belahan Timur Asia terdapat ragam tradisi mistisme, seperti mistisme Hindu, mistisme Budha, mistisme Jain, mistisme China dan Zen yang dapat dihukumi sebagai sebuah tradisi. Hal ini bermakna bahwa Timur Asia memiliki satu tradisi dan hukum yang berkenaan dengan ajaran agama Hindu, yang juga dapat dikenakan pada ajaran Budha dan Zen. Dengan kata lain, kendati ajaran Hindu berbeda dengan ajaran Budha demikian juga ajaran Budha berbeda dengan ajaran Zen dan sejatinya orang-orang Hindu memandang ajaran Budha sebagai ajaran illegal namun hal itu tidak menjadi masalah untuk memandang bahwa ajaran mereka adalah satu ajaran tunggal yang seluruhnya merupakan ajaran-ajaran Timur.
Perbandingan Mistisme Islam dan Mistisme Timur
Mistisme Islam memiliki kesamaan dengan mistisme Timur dari beberapa sisi. Sisi kesamaan itu dapat ditempatkan pada satu deretan namun terdapat sisi perbedaan nyata antara mistisme Islam dan mistisme-mistisme lainnya baik itu mistisme Timur dan juga mistisme Barat. Mengingat pertanyaan yang dilontarkan sekaitan dengan perbedaan mistisme Islam dan mistisme Timur maka di sini kami hanya akan menyebut sisi-sisi perbedaan antara mistisme Islam dan mistisme Timur.
Sisi-sisi Perbedaan Mistisme Islam dan Mistisme Timur
Sisi-sisi perbedaan mistisme Islam dan mistisme Timur dapat dikaji melalui dua sisi: Pertama, dari sisi internal dan kedua dari sisi eksternal serta hubungan-hubungan mistisme ini dengan dunia baru. Pertama-tama kita akan mengkaji sisi internal perbedaan dua jenis mistisme ini kemudian sebagai kelanjutannya membahas sisi eksternalnya.
1. Sisi internal perbedaan:
Sisi perbedaan ini dapat disimpulkan dalam tiga masalah:
A. Dalam sebuah perjalanan yang dilintasi oleh seorang sâlik (pelancong ruhani) dalam ajaran Budha tingkatan puncaknya adalah sampai kepada Nirwana. Seluruh dahaga dan kecendrungannya akan berakhir dan sampai kepada tepi kediaman (Nirwana). Karena itu, dalam pemikiran Timur Asia puncak tujuan dan kesempurnaan jalan adalah fana dalam Tuhan.
Dengan kata lain, apa yang dimaksud dengan maktab-maktab Timur Asia dan pada dunia kiwari yang menjadi obyek perhatian adalah busana-busana tingkatan penciptaan manusia keluar dari raga sehingga manusia melalui jalan ini kembali kejalannya semula. Karena itu, kefanaan adalah titik akhir perjalanan. Boleh jadi kefanaan ini bergabungnya Atma menjadi Brahma atau sampai kepada Nirwana. Namun dalam mistisme Islam setelah tingkatan fana salik akan sampai pada tingkatan baqa setelah fana. Dan arif adalah seorang yang setelah fana akan sampai pada tingkatan baqâ billâh dan menjadi jelmaan Tuhan dan tempat tajalli-Nya.
Bagaimanapun masalah ini merupakan perbedaan utama antara mistisme Timur Asia dan mistisme Islam. Mistisme di Timur Asia menyasar fanâ fillâh (fana dalam Tuhan) dan kita tidak akan menyaksikan baqâ billâh (lestari dalam Tuhan). Lantaran apabila kita memiliki baqaa billah maka seharusnya kita akan menyaksikan dalam kondisi seperti itu pada saat bertahannya manusia juga terjelma dan termanifestasinya sifat-sifat Ilahi pada diri manusia. Namun hal ini tidak akan pernah terealisir pada mistisme Timur Asia.
Karena itu, tidak ada sisi baqa setelah fana dalam mistisme Timur Asia sementara dalam mistisme Islam seorang salik di jalan Allah setelah sampai tingkatan fana pada Allah, maka ia akan melewati kediaman baqa setelah fana. Khaja Abdullah Anshari dalam Risâlah Shad Meidân yang menjelaskan seratus tingkatan dan derajat suluk setelah tingkatan sembilan puluh sembilan (fana) terdapat tingkatan seratus yaitu baqa.[3]
B. Dalam perspektif mistisme Islam, manusia yang memiliki corak Ilahiah dan berdirinya bersandar pada Tuhan, Tuhan memikul pekerjaan-pekerjaannya. Ucapannya adalah ucapan kebenaran. Sementara hal ini tidak dijumpai pada mistisme Timur Asia. Artinya pada mistisme Islam kita menyaksikan adanya penampakan manusia, yang pada saat ia tetap sebagai manusia ia juga memiliki corak Ilahiah pada dirinya. Dalam Islam Rububiyat merupakan hasil dari penghambaan (ubudiyyah). Namun tingkatan rububiyah dan khilafah Ilahiah manusia tidak akan kita dapatkan pada mistisme Timur Asia. Hal itu lantaran manusia seperti ini tidak akan pernah muncul, dan sebagai hasilnya maqam kenabian juga tidak akan pernah muncul. Dengan demikian, tidak satu pun pembesar mistisme Timur Asia baik itu dewa-dewa atau orang-orangnya seperti Sangkara atau bahkan Budha sendiri tidak pernah memandangnya dirinya diutus dan mendapat tugas kenabian.
Singkat kata perbedaan antara mistisme Timur dan mistisme Islam dapat disimpulkan dalam satu bait masyhur Hafiz Syirazi, makrifat yang diraup dalam mistisme Timur, “(Dulu) Aku adalah malaikat dan firdaus adalah tempat kediamanku.”[4] sementara hakikat mistisme Islam, “Adam membawa (ku) menjejak bumi yang rusak (kemudian aku makmurkan).”[5]
C. Masalah manusia dan cinta dalam mistisme Islam dibahas secara serius. Sementara cinta ini tidak terdapat dalam pemikiran Timur Asia. Artinya apabila kita ingin mengalegorikan mistisme Islam laksana samudra yang bergejolak dengan cinta. Alegori yang dapat kita tunjukkan untuk mistisme Timur Asia adalah pelukis satu gunung menjulang, tenang, dingin dan sedang tidur serta tidak satu pun badai semenjak azal hingga abad yang mampu menggoyangnya. Mistisme Islam lantaran adanya cinta dan manusia memiliki roman yang lain. Karena dalam mengapresiasi bumi maka lahirnya manusia.
Feresyte Isyq nadanad ke cist qesshe makhun
Bekha jam wa gulabi be khak Adam riz.[6]
Malaikat tidak mengenal apa itu cinta. Kisah mau dan tidak mau piala yang berisi cerry dituang ke tanah Adam.
Artinya cinta tergantung pada tingkatan kemanusiaan dan ekstraksi keindahan sang kinasih.
Kebanyakan konsep yang mengemuka pada Timur Asia adalah konsep-konsep abstrak kendati pada cabang mistisme Hindu kita menyaksikan adanya jelmaan-jelmaan cinta, inteleksi, mania. Namun jelmaan-jelmaan ini terpengaruh oleh mistisme Islam. Mistisme Timur Asia sejatinya lebih banyak diam, hening dan tenggelam dalam kefanaan.
2. Sisi Eksternal Perbedaan:
Adapun sisi eksternal perbedaan mistisme-mistisme Timur berbeda dengan mistisme Islam yang tidak bermasalah dengan kebudayaan politheis modernism dan peradaban liberal Barat. Dan satu-satunya wilayah yang sangat bermasalah dengan kebudayaan Barat adalah Islam. Al-Qur’an memperkenalkan syirik (politheis) sebagai aniaya terbesar. Di lain pihak, al-Qur’an memperkenalkan orang-orang beriman yang terjaga dari noda-noda syirik. Namun peradaban yang mengandung tradisi Budha dan Konfucu dengan mudah dapat berdampingan dengan Barat. Hal itu karena mistisme-mistisme Timur adalah pengikut ajaran-ajaran warisan dan tanpa jiwa. Dikarenakan hampa makrifat dan cinta kepada wali sempurna dan syariat yang hidup, usang dan mengalami penyimpangan maka untuk mengisi kekosongan makrifatnya pada wilayah-wilayah sosial, mereka dengan mudah tunduk patuh di hadapan peradaban Barat. Hanya mistisme Islam dengan perantara ajaran cinta terhadap jelmaan-jelmaan Tuhan dan perhatian terhadap batin agama pada saat yang sama perhatian terhadap syariat, mampu menjauhkan dirinya dari wabah modernisme. Karena itu, kita saksikan mental permissif peradaban Barat lebih cocok dengan mistisme-mistisme yang hampa syariat dan fikih seperti mistisme Budha dan Tao bukan dengan mistisme Islam.
Dari sisi lain, cinta merupakan ajaran tertinggi mistisme Islam yang membebaskan seorang arif Muslim dari kelemahan dan mati rasa kemudian merubahnya menjadi seorang manusia revolusioner. Karena itu, tuntutan penegakan keadilan dan semangat revolusi yang tertanam dalam dada setiap arif Muslim merupakan salah satu perbedaan lainnya mistisme Islam dan mistisme Timur. [IQuest]
[1]. Syaikh Shaduq, Man Lâ Yahdhur al-Faqih, jil. 2, hal. 609, Intisyarat-e Jame’e Mudarrisin, Qum, 1413. «السَّلَامُ عَلَیْکُمْ یَا أَهْلَ بَیْتِ النُّبُوَّةِ وَ مَوْضِعَ الرِّسَالَةِ وَ مُخْتَلَفَ الْمَلَائِکَةِ وَ مَهْبِطَ الْوَحْیِ وَ مَعْدِنَ الرَّحْمَة»
[2]. Imam Khomeini Ra dalam menafsirkan surah al-Qadar memandang irfan (mistisme) sebagai ahli makrifat, memahami dua peristiwa naik dan turunnya hakikat (ruh). Beliau dengan penafsiran irfani, redaksi-redaksi “layâli” dan “ayyâm” melakukan pembahasan hermenutik (takwil) dan memperkenalkan dua redaksi ini seabgai dua peristiwa agung naik dan turunnya ruh.
“Ahli makrifat berkata bahwa tingkatan turunnya hakikat wujud berdasarkan tirai-tirai matahari adalah hakikat pada ufuk pelbagai entifikasi dan hal itu disebut “layali”. Dan tingkatan naiknya (shu’ud) berdasarkan keluarnya mentari hakikat pada ufuk entifikasi-entifikasi, dan hal itu disebut sebagai “ayyam.” Imâmah wa Insân Kâmil az Didgâh Imâm Khomeini, Teheran, Muassasa Tanzhim-e wa Nasyr-e Atsar-e Imam Khomeini, Cetakan Kedua, 1385, hal. 189.
[3]. Khaja Abdullah Anshari, Risâlah Shad Meidân, Ridha Baqiriyyan Muwahhid, Qum, Hudhur, 1385, hal. 117.
[4]. Man malak budam wa firdaus barinjayam bud.
[5]. Adam awarad dar in Kharab Abadam.
[6]. Diwân-e Hâfiz.