Please Wait
10496
1. Yang dimaksud dengan ishmah adalah adanya sebuah kondisi dalam diri seorang maksum yang membuatnya terjaga dari melakukan kesalahan dan maksiat. Kondsi ini merupakan hasil dari ilmu yang dimiliki oleh maksum terhadap akibat buruk dari dosa atau dihasilkannya karena ketinggian tingkat pengenalan Tuhan dan keterikatannya terhadap Kamaliyah (kesempurnaan) Ilahi dan juga kecintaan mereka terhadap Sang Pencipta serta pemahamannya akan sifat Jamaliyah dan Jalaliyah-Nya.
2. Ishmah terdiri dari dua jenis, yaitu ishmah dalam ilmu dan amal, dimana kedua bagian ini secara substansi dan hakiki terlepas satu sama lain, akan tetapi para nabi memiliki kedua jenis ishmah ini, yaitu selain perbuatannya shaleh dan sesuai dengan hakikat, ilmu dan pengetahuan mereka pun muncul dari sebuah sumber yang di dalamnya sama sekali tidak terdapat kesalahan, kekeliruan, dan kelalaian.
3. Maqam ishmah bukanlah merupakan sebuah sifat alami (dzati) yang diberikan Tuhan kepada seseorang dan juga bukan suatu sifat yang hanya dimiliki (inhishâr) oleh seseorang atau kelompok manusia tertentu. Maqam dan sifat ini, dalam kaitannya dengan manusia, merupakan sebuah kedudukan yang bisa diperoleh dan untuk mencapainya harus melewati berbagai usaha, jerih payah, dan persistensi. Yang kedua, selain kedudukan ini diperoleh oleh para pemimpin agama, orang lain pun mampu memperoleh kedudukan ini, tentu saja posisi-posisi kunci semacam maqam nubuwwah (kenabian) dan imamah merupakan maqam bagi orang-orang khusus yang dipilih oleh Tuhan, yaitu tidak setiap maksum menggapai maqam tersebut.
4. Yang telah menjadi pertanyaan berkaitan dengan pahala seorang maksum adalah: telah terdapat asumsi karena maqam ishmah seorang maksum merupakan sebuah maqam kemuliaan, maka secara substansial mereka tentu telah terjauhkan dari dosa, dengan demikian berarti tidak perlu ada pahala dalam masalah ini karena memang di dalam diri mereka tidak ada keinginan untuk melakukan dosa, dan kedudukan ini sebagaimana kedudukan para malaikat di sisi Tuhan. Jawabannya adalah: harus diperhatikan bahwa kedudukan dan maqam Ishmah seorang maksum tidaklah alami atau dzati, sebagaimana halnya terjadinya sebuah dosa dari seorang maksum pun tidaklah merupakan hal yang absurd secara dzati karena para maksum pun merupakan jenis manusia bukan jenis malaikat, dan jika mereka tidak melakukan dosa, maka hal ini terjadi karena kehendak mereka sendiri dan inipun muncul karena keberadaan iman dan keyakinan mereka yang sempurna terhadap dzat suci Tuhan dan alam gaib, yang hal ini telah menghindarkan mereka dari melakukan perbuatan dosa dan maksiat, melainkan mereka tidak memberikan celah sedikitpun untuk berpikir melakukannya, hal ini dengan alasan karena seorang maksum memahami dan mengetahui dengan baik keburukan dan ketercelaan sebuah dosa. Jadi secara normal, manusia maksum memiliki pahala tersendiri di sisi-Nya atas perbuatan dan keterhindarannya dari hal-hal yang haram, sebagaimana halnya seorang non-maksum akan mendapatkan pahala atas perbuatannya untuk tidak melakukan dosa. Bisa jadi diklaimkan bahwa pahala yang didapatkan oleh seorang maksum dari tidak melakukan dosa merupakan pahala tambahan, karena dengan kebaikannya ini mereka melakukan dua hal, pertama: menjaga diri dari tidak melakukan dosa dan menghindarkan diri dari melakukan kemaksiatan, dan yang kedua: menjaga citra kedudukannya dan tidak melakukan pencemaran terhadap kehormatan maqam kenabian dan pemimpin agama. Hal ini sebagaimana jika seorang maksum –misalnya- telah melakukan perbuatan dosa, maka dosanya menjadi dua kali lipat, bahkan mungkin akan dihitung menjadi berkali-kali lipat, karena pertama: ia telah melakukan maksiat, dan yang kedua: ia tidak memperhatikan kedudukan suci yang dimilikinya. Walhasil, ishmah tidak bertentangan dengan keberadaan dan perolehan pahala di sisi Tuhan.
Untuk memperjelas jawaban di atas, hal pertama yang harus diketahui adalah definisi yang jelas tentang hakikat ishmah[1], dengan demikian ishmah para maksum dari dosa akan diketahui dengan baik.
Allamah Thabathabai mengatakan, "Yang dimaksud dengan ishmah adalah kondisi yang ada pada diri para manusia maksum yang menyebabkan mereka terjaga dari melakukan segala hal yang tidak diperbolehkan (seperti kesalahan dan maksiat)".[2] Tentu saja menurut pendapat beliau, para Nabi (dan seluruh wali Tuhan serta mereka yang telah terhidayahi secara khas) memiliki ishmah dan kesucian ini secara mutlak dimana di dalamnya meliputi berbagai ishmah khathaiyyah (kesalahan) yang hal ini mampu merangkum seluruh bagian ishmah.
Akan tetapi, dengan alasan pembahasan ishmah kami batasi hanya pada hal yang dipertanyakan saja, karena itu kami menghindarkan diri dari membahas seluruh dimensi-dimensi dan bagian-bagian ishmah lainnya. Untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap hendaklah merujuk pada kitab-kitab yang berkaitan dengannya.[3]
Menurut pendapat beliau, ishmah merupakan hasil dari ilmu para maksum terhadap akibat-akibat dosa, yaitu terdapatnya ilmu dan akal para maksum terhadap pengaruh yang ditimbulkan oleh dosa-dosa telah menyebabkan mereka sama sekali tidak akan terkalahkan di bawah kekuatan manusia lain, melainkan malah menguasai mereka.[4]
Mengenai ishmah ini, terdapat pula pendapat lain yang mengatakan: "Dikarenakan tingginya tingkat pengenalan terhadap Tuhan Yang Maha Tinggil dan eratnya keterikatan terhadap Keagungan dan Kesempurnaan-Nya, hal ini telah menyebabkan para maksum tidak pernah mengijinkan dirinya untuk melangkahkan kaki bertentangan dengan keridhaan-Nya. Kecintaan dan kerinduan mereka kepada Sang Pencipta, serta pemahaman mereka terhadap Keagungan dan Keindahan-Nya, juga kesadaran dan pengetahuan terhadap nikmat-nikmat-Nya yang tiada akhir, sedemikian rupa telah menciptakan kerendahan hati di dalam ruh-ruh suci ini yang selanjutnya menyebabkan mereka sama sekali tidak pernah berpikir tentang dosa, apalagi sampai ke tahap melakukannya."[5]
Konklusi dari kedua pendapat di atas adalah bahwa di dalam diri para maksum telah tercipta sebuah pembiasaan dan sifat yang substansial yang senantiasa akan menjauhkan mereka dari kelalaian, penyimpangan, dan penyelewengan, dan senantiasa menjaga kesuciannya dari dosa dan keterjerumusan.
Jenis Ishmah
Ishmah dikelompokkan dalam dua jenis yaitu ishmah ilmu dan ishmah amal. Kedua jenis ishmah ini secara hakiki terpisah satu sama lain. Mungkin saja terjadi seseorang maksum dalam keilmuannya,[6] akan tetapi tidak dalam amalannya, dan bisa pula terjadi yang sebaliknya; akan tetapi ishmah yang terdapat dalam diri para nabi melingkupi keduanya yaitu dalam ishmah ilmu dan amal, dengan artian bahwa selain perilaku dan perbuatan mereka ini shaleh dan sesuai dengan realitas hakiki, pengetahuan dan ilmu merekapun berasal dari sebuah sumber yang di dalamnya sama sekali tidak terdapat kesalahan, kelalaian, dan kekeliruan, karena mereka telah sampai pada tahapan akal murni yang nonmateri, penyaksian (musyâhadah) murni, dan perolehan yang benar dimana dalam tahapan yang seperti ini khayalan serta imajinasi pun akan menjadi pengikut akal sehingga dalam tahapan ini sama sekali tidak ada celah bagi kemunculan waswas setan, karena inti kejahilan, kebodohan, dan kesalahan hanya terdapat khusus pada khayal dan imajinasi manusia. Batasan khayal dan imajinasi hanyalah berhubungan dengan alam tabiat (materi) dan alam mitsal (barzakh), akan tetapi khayal dan imajinasi setan tidak akan mampu menggapai alam akal (sebagai alam tertinggi). Oleh karena itu, jika seseorang berada dalam posisi telah melewati alam materi dan alam mitsal, serta telah sampai pada sumber hakikat (alam akal), maka akan terdapat kemungkinan baginya untuk menggapai maqam ishmah dan karena ketinggian wujudnya akan mengantarkan jiwanya berada dalam posisi yang sejajar atau lebih tinggi dari kedudukan para malaikat.[7]
Ketidakalamian dan ketidakkhususan sifat ishmah
Poin lain yang harus diperhatikan di sini adalah meskipun substansi ishmah merupakan kemuliaan dan taufik yang diperoleh dari sisi Tuhan, akan tetapi sifat ishmah bukan merupakan sifat yang alami, bawaan, tipikal, dan khusus (inhishar), melainkan bersifat perolehan yang dicapai melalui suatu kehendak pribadi yang kuat, sehingga selain para nabi pun mampu sampai pada substansi sifat ishmah ini karena metode riyadhah (olah batin), usaha keras, dan perlawanan jiwa bisa dilakukan oleh semua manusia dan perolehan ilmu tersebut juga berlaku untuk segala individu. Hal ini sebagaimana difirmankan oleh-Nya dalam salah satu ayat al-Quran, "Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu (kekuatan) pembeda (antara yang hak dan yang batil di dalam hatimu), menghapuskan segala kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar." (Qs. Al-Anfal [8]: 29) Dengan pensucian jiwa, takwa, menjaga seluruh anggota tubuh, pikiran-pikiran, menjaga makanan dengan memakan makanan halal, melakukan penjagaan dan perhitungan dan lain sebagainya, maka akan mampu mengantarkan manusia pada pencapaian ilmu dan amal yang agung ini serta memperoleh kehendak yang membaja.
Akan tetapi, harus diperhatikan bahwa maqam kenabian dan imamah merupakan maqam yang bersifat eksklusif (inhishar), yaitu bahkan tidak setiap maksum memperoleh maqam tersebut dan Tuhan tidak memberikan posisi-posisi perwakilan yang vital dan sensitif kepada setiap manusia bahkan bagi maksum sekalipun.[8]
Penggapaian dan perolehan (iktisab) sifat ishmah
Kunci jawaban terhadap kontradiksi kemuliaan ishmah dan pahala adalah dengan memperhatikan poin berikut bahwa ishmah yang terdapat pada para Nabi, para pemimpin agama, dan juga pada setiap maksum yang lain bukanlah merupakan ishmah yang bersifat bawaan (dzati), melainkan ishmah itu merupakan perolehan (iktisab) dimana sumbernya adalah iman dan keyakinan sempurna yang terdapat di dalam diri manusia-manusia sempurna yang senantiasa menyaksikan dirinya berada di hadapan Tuhan Yang Maha Mengetahui segala sesuatu dan meliputi seluruh persoalan. Oleh karena itulah terjadinya dosa dari para maksum bukanlah suatu kemustahilan, karena jika merupakan suatu kemustahilan secara alami dan esensial maka tidak akan dapat diperbuat olehnya, dan jika demikian maka tidak akan mendapatkan taklif dan kewajiban dari Tuhan, sementara kewajiban dalam agama berlaku bagi semua manusia (baik yang maksum maupun orang biasa).
Jika dosa dan maksiat merupakan kemustahilan secara dzati, maka ketaatan dan ketundukan pun akan merupakan sebuah realitas yang dzati, dan dalam keadaan seperti ini ketaatan pun tidak akan terletak dalam posisi sebuah tugas, dengan demikian tidak akan ada lagi tempat untuk memperingati, menasehati, dan menjanjikan. Dengan alasan inilah para malaikat tidak berada dalam posisi mengemban tugas dan kewajiban, karena ishmah yang mereka miliki adalah ishmah dzati dan alami bukan perolehan (iktisabi).
Akan tetapi, dalam ishmah iktisabi dan non-dzati, di dalamnya terdapat ikhtiar dan kehendak sehingga menindaki dan meninggalkan sebelum melakukannya bisa dinisbatkan kepada maksum dalam bentuk "proposisi yang mungkin" sehingga meskipun terjadinya dosa dari para maksum merupakan sebuah kemustahilan yang wajar, akan tetapi hal ini merupakan sebuah kemustahilan yang dikehendaki olehnya dimana hal ini tidak kontradiksi dengan keberadaan ikhtiar. Hal ini pun dengan alasan bahwa para maksum melihat keburukan dan kiamatnya dosa, dan seluruh khayalan-khayalannya adalah bersifat rahmat dan bukan bersifat setan.[9]
Dengan demikian, tidak dapat dikatakan bahwa seorang maksum tidak akan memperoleh pahala dengan tindakan meninggalkan dosa, melainkan beliau pun adalah seorang manusia biasa (yang memiliki ikhtiar dan kebebasan dalam bertindak), sebagaimana firman-Nya, "Katakanlah, “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu …"[10], akan tetapi dengan inayah dan kemuliaan-Nya telah berada dalam lingkup iman yang sempurna, dan kecintaan kepada-Nya serta ketakwaannya dalam tingkatan yang tinggi telah memberikannya maqam ishmah. Namun, ikhtiar untuk melakukan dosa pada para maksum ini tetap tidak ternegasikan dan kapanpun juga apabila berkehendak mereka pun bisa terjerumus dalam perbuatan maksiat, akan tetapi dengan ikhtiar dan kehendaknya sendiri serta perolehan bantuan dari kekuatan Ilahi yang diiringi dengan kehendak kuat yang dimiliki telah mampu membuat para maksum ini bertahan di hadapan gempuran godaan nafsu amarah dan setan, dan tidak pernah membiarkan dirinya ternodai oleh dosa. Tentu saja dengan perlawanan yang mereka lakukan dalam menghadapi hawa nafsu ini mereka akan mendapatkan pahala.
Dan bisa dikatakan bahwa seorang maksum pun mendapat pahala dari kebaikan-kebaikan yang dilakukan dan dari dosa yang ditinggalkannya, karena kebaikan dari seseorang yang mengharapkan sesuatu yang berharga dari mereka mempunyai dua kesimpulan: salah satunya adalah telah melakukan perlawanan dengan jiwa dan yang satunya adalah tidak menodai kehormatan maqamnya melainkan menjaga citra dengan baik. Sebagaimana apabila terjebak dalam perbuatan yang tercela, maka dosanya akan menjadi dua kali lipat dan bahkan akan dihitung berkali-kali lipat, karena, pertama: dia telah terjebak dalam perbuatan tercela, dan yang kedua: dia telah menodai maqam suci yang dimilikinya. Dari sinilah kemudian bisa kita saksikan dalam ayat-ayat al-Quran dimana di dalamnya terdapat peringatan yang sangat keras kepada para Nabi, sebagai contohnya dalam salah satu ayat Allah Swt memberikan peringatan kepada Rasulullah sawdengan firman-Nya, "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan terhapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi." (Qs. Az-Zumar [39]: 65)
Konklusinya adalah keberadaan ishmah tidak bertentangan dengan perolehan pahala dari Tuhan, dan para Maksum pun akan menerima pahala dikarenakan melakukan perbuatan yang baik serta kekokohannya ketika berhadapan dengan dosa dan maksiat.[]
[1] . Silahkan lihat indeks: Ismah Para Nabi, pertanyaan ke 998, Tanda-tanda Ismah dan Ketiadaan Ismah Para Nabi Dalam Al-Quran, pertanyaan ke 129, dan Ismah pada Manusia-manusia Biasa, pertanyaan ke 861
[2] . Thabathabai, Sayyid Muhammad Husain, Al-Mizân fi Tafsir al-Qurân, jil. 2, hal. 134.
[3] . Ibid, jil. 2, hal. 134-136; jil. 5, hal. 75-77; Jawadi Amuli, Abdullah, Tafsir Maudu'i Quran Karim, jil. 3, hal. 197-292.
[4] . Ibid, jil. 5, hal. 78.
[5] . Subhani, Ja'far, Mansyur Jâwid, jil. 5, hal. 14.
[6] . Perlu diingatkan, meskipun ismah amali dapat digapai oleh selain Maksum, akan tetapi mayoritas ulama sepakat bahwa ismah amali ini tidak bisa didapatkan oleh selain Maksum.
[7] . Bahasan ini diadaptasi dari penjelasan Ayatullah Jawadi Amuli, Tafsir Maudu'i Quran Majid, jil. 3, hal. 199-202.
[8] . Jawadi Amuli, Abdullah,Tafsir Maudu'i Quran Majid, jil. 3, hal. 208.
[9] . Ibid, hal. 208-209 dengan sedikit perubahan.
[10] . (Qs. al-Kahf [18]: 110).