Please Wait
10929
Dalam sejarah filsafat Islam, telah banyak uraian yang diajukan terkait dengan burhân shiddiqin (Argument of Veracious). Filosof pertama yang melakukan hal tersebut adalah Ibnu Sina dalam Isyârat.
Di samping itu, uraian yang terbaik disuguhkan oleh Mulla Shadra Syirazi pendiri maktab Filsafat Hikmah – dengan memperhatikan prinsip maktab ini – sebagaimana berikut, “Apabila wujud, sesuai dengan prinsip kehakikian wujud, adalah yang hakiki maka ia tidak membutuhkan pada yang lain. Maka ideal kita telah tercapai dan Wâjib al-Wujud dapat ditetapkan. Namun apabila ia tidak kaya secara esensial, maka dalam hal ini ia adalah akibat dan secara esensial membutuhkan terhadap sebuah entitas yang kaya secara esensial; karena realisasi suatu hal yang fakir secara esensial dan identik dengan ketergantungan dan hubungan (rabth), tanpa adanya entitas mandiri yang kaya dan sempurna, adalah suatu hal yang mustahil.
Argumen shiddiqin memiliki beberapa keunggulan yang menjadikan argumen ini sebagai argumen atau burhan yang paling kokoh karena beberapa alasan:
1. Burhân shiddiqin menggunakan tingkatan yang paling meyakinkan.
2. Argumen ini merupakan argumen yang paling kokoh dalam menetapkan keberadaan Tuhan, karena dengan bersandar pada hakikat wujud maka ia mendapatkan jalan sampai pada Wajib Ta’ala, sementara argumen-argumen lainnya yang menjadi medianya adalah makhluk-makhluk yang bercampur dengan ketiadaan dan cela.
3. Burhân shiddiqin merupakan argumen yang paling simpel dan sederhana. Sesuai dengan uraian yang diajukan Mulla Shadra, argumen ini tidak dapat digugurkan oleh daur (circular reasoning) dan tasalsul (infinite reasoning).
4. Burhân shiddiqin memanfaatkan imkan wujudi (kontingen eksistensial) dalam proposisinya yang menyebabkan adanya simplesitas dan kehakikian wujud; berbeda dengan metode filsafat Peripatetik yang menggunakan imkan dzati mahuwi (kontingen esensial kuiditas).
5. Burhân shiddiqin dengan sendirinya telah memadai untuk mengenal Zat Tuhan, tauhid zat, mengenal sifat-sifat Tuhan, tauhid sifat, mengenal perbuatan-perbuatan Tuhan, dan tauhid af’ali, berbeda dengan argumen-argumen lainnya.
Argumen-argumen pembuktikan keberadaan Tuhan dari satu sisi dapat dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama argumen-argumen ini, yang dijadikan sebagai media penalaran dan argumentasi adalah para makhluk dan menetapkan Tuhan dengan bantuan makhluk. Namun pada bagian lain argumen-argumen ini, makhluk tidak dijadikan media untuk menetapkan keberadaan Tuhan, melainkan melalui konsep tentang wujud dan melalui realitas jantung keberadaan itu sendiri, sehingga manusia dapat sampai kepada Tuhan.
Argumen-argumen bagian pertama disebut sebagai inni (a priori argument; argumen dari akibat ke sebab). Argumen-argumen bagian kedua disebut sebagai limmi (a posteriori argument; argumen dari sebab ke akibat) atau terkadang disebut sebagai pseudo-inni.[1]
Argumen yang menjadi obyek bahasan kita pada kesempatan ini adalah Burhân Shiddiqin (Argument of Veracious) yang merupakan kelompok argumen bagian kedua (argumen dari sebab ke akibat). Burhân Shiddiqin adalah sebuah argumen yang menggunakan penalaran dari Zat Tuhan sendiri untuk menetapkan Zat Tuhan. Argumen ini tidak menggunakan sesuatu yang lain selain Tuhan untuk menetapkan keberadaan Tuhan.
Dengan memperhatikan definisi shiddiq, boleh jadi penamaan shiddiqin atas argumen (burhan) ini karena beberapa hal sebagai berikut:
1. Manusia shiddiq berada pada maqam penyaksian (mukâsyafah) Zat Tuhan sehingga menggunakan metode ini.
2. Argumen ini merupakan argumen yang paling kuat dan paling sublim untuk menetapkan keberadaan Tuhan.[2]
3. Metode ini merupakan metode dan jalan untuk sampai kepada Tuhan. Jalan ini adalah jalan para nabi shiddiq dan demikianlah metode shiddiqin yang tingkatannya berada setelah maqam para nabi Ilahi.
Filosof Muslim sejak dulu hingga kini telah banyak menyodorkan pelbagai ulasan dan uraian beragam atas argumen yang akan kami singgung sebagian secara sepintas sebagai berikut:
1. Uraian Ibnu Sina atas Burhân Shiddiqin:
Terminologi burhân shiddiqin pertama kali digunakan oleh Ibnu Sina untuk menetapkan keberadaan Tuhan. Ia menguraikan argumen ini dalam kitabnya, Isyârat, sebagai berikut, “Setiap eksisten dari sisi zatnya, adakalanya ia bersifat Wâjib al-Wujud (Wujud Mesti) atau bersifat mumkin al-wujud. Apabila eksisten tersebut adalah Wâjib al-Wujud maka ideal kita telah terbukti. Namun apabila ia adalah wujud kontingen (mumkin al-wujud) maka wujud kontingen memerlukan sesuatu untuk mengada. Nah apabila sesuatu tersebut juga kontingen maka ia kembali memerlukan sesuatu yang lain untuk mengada dan demikian seterusnya hingga tak-berujung (infinite circle). Dan karena tasalsul (infinite circle) itu absurd maka kita membutuhkan sesuatu yang bukan kontingen melainkan wajib (mesti) dan sesuatu tersebut adalah Wâjib al-Wujud."[3]
2. Ulasan Syaikh Isyraq atas Burhân Shiddiqin
Tiada sesuatu pun yang memiliki tuntutan ketiadaan dan non-eksisten bagi dirinya. Kalau tidak ia sama sekali tidak akan pernah ada. Cahaya segala Cahaya (Nur al-Anwar) adalah entitas yang berzat tunggal yang dalam ketetapan zat dan wujud-Nya tidak bersyarat dan apa yang selain-Nya mengikuti-Nya. Dan karena Dia bukan syarat dan juga bukan anti-syarat, maka oleh karena itu ia juga bukan yang menggugurkan zat. Dengan demikian wujud-Nya senantiasa ada dan subsisten (swa-ada, ada dengan sendirinya).[4]
3. Ulasan Qaishari atas Burhân Shiddiqin:
Qaishari dalam pendahuluan Fushush al-Hikam menyebutkan lima ulasan atas Burhân Shiddiqin. Kami hanya akan menyebutkan salah satu dari uraian itu di sini. Sebagai contoh: “Hakikat keberadaan tidak lain kecuali dirinya; karena apabila hakikat keberadaan itu adalah sesuatu selain dirinya maka dalam realisasi dan proses mengadanya, hakikat yang dimaksud membutuhkan entitas dan sebab pengada. Dan demikian seterusnya akan meniscayakan tasalsul yang absurd. Karena itu hakikat keberadaan meniscayakan tidak adanya sesuatu selain dirinya. Hakikat ini akan bersifat mesti secara esensial; karena esensi sesuatu tidak terpisah dari dirinya.[5]
4. Uraian Sabzewari atas Burhân Shiddiqin:
Jalan terkuat dan terpendek (untuk memahami burhân shiddiqin) adalah, bahwa apabila entitas bersifat hakiki dan kuiditas mengikut dan menjadi citra atas entitas dan inti entitas (murni dan mutlak, tidak terbatas, dan tidak bersyarat), sedangkan ketiadaan adalah lawan dan berada berhadap-hadapan dengan keberadaan (entitas) (tiada satu pun selainnya yang dapat diterima sebagai lawan dan berhadap-hadapan dengannya), maka sekali-kali inti keberadaan sama sekali tidak akan menerima ketiadaan dan secara esensial menampik segala bentuk ketiadaan dan tidak dapat tiada. Konklusi dari segala tipologi ini adalah kemestian azali dan keharusan esensial hakikat keberadaan.”[6]
5. Uraian Allamah Thabathabai atas Burhân Shiddiqin:
Allamah Thabathabai, dalam Ushul Falsafeh, memberikan uraian atas burhân shiddiqin sebagai berikut:
“Realitas keberadaan (entitas) yang tidak kita ragukan ketetapannya (tsubut) sekali-kali tidak akan menerima penegasian dan tidak akan pernah sirna. Dengan kata lain, realitas keberadaan, sekali-kali tidak akan pernah bersyarat dan berstipulasi. Realitas keberadaan tidak akan terwujud dengan syarat dan stipulasi (kesepakatan). Karena dunia ini berikut bagian-bagiannya tidak demikian dan menerima penegasian; maka dunia ini bersandar pada satu realitas yang tidak menerima penegasian dan realitas tersebut ada dengan keberadaannya. Apabila tidak demikian, maka dunia berikut bagian-bagiannya tidak akan pernah ada. Akan tetapi hal ini tidak bermakna bahwa realitas menyatu dengan segala sesuatu atau melakukan penetrasi dan infiltrasi di dalamnya atau sebagian besar darinya terpisah dari realitas dan menyatu dengan benda-benda, melainkan seperti cahaya yang menerangi segala sesuatu yang gelap dan tanpanya segala sesuatu akan menjadi gelap.[7]
Singkatnya, uraian Allamah sebagai berikut; bahwa realitas absolut sekali-kali tidak akan pernah sirna dan sesuatu yang tidak akan pernah sirna, kesirnaannya mustahil secara esensial, maka itulah Wajib al-Wujud azali. Karena itu, inti realitas Wujud Mesti akan menjadi azali dan kemudian realitas-realitas yang mengalami kesirnaan dan entitas-entitas terbatas bersandar pada realitas yang tidak akan pernah sirna.
6. Uraian Mulla Shadra atas Burhân Shiddiqin
Burhan ini dijelaskan dan diuraikan sendiri oleh Mulla Shadra berdasarkan prinsip-prinsip Filsafat Hikmah (Hikmah Muta’aliyah). Mulla Shadra memandang Burhân Shiddiqin ini sebagai burhan yang paling kokoh dan merupakan jalan para shiddiqin.[8] Burhân Shiddiqin dalam uraian Mulla Shadra berpijak pada prinsip-prinsip yang akan dijelaskan sebagaimana berikut ini dan kemudian menjelaskan uraian Mulla Shadra atas Burhân Shiddiqin:
1. Kehakikian Entitas dan Non-Hakikinya Kuiditas
Jelas bahwa di alam luaran, setiap entitas tidak lebih dari satu realitas. Benak dan pikiran kitalah yang menyimpulkan dua pahaman entitas dan kuiditas. Sebagai contoh, seorang manusia atau sebatang pohon, tidak memiliki dua bagian luaran sehingga kita menamakannya sebagai entitas dan selainnya adalah kuiditas (mahiyyah). Namun analisa di alam pikiran kita jumpai kuiditas dan pelbagai tipologi benda jauh berbeda dengan inti entitasnya. Seperti kualitas dan kuiditas seseorang atau sebatang pohon sebagaimana keduanya di alam luaran, yang kemudian menjelma di alam pikiran. Namun entitas keduanya sangat berbeda di alam luaran dan alam pikiran. Efek yang dipredikasikan atas api atau pohon luaran, tidak berpengaruh pada pemahaman terhadap keduanya. Karena itu, menjadi jelas bahwa entitas atau kuiditas, atau dengan kata lain, keberadaan dan kesesuatuan (whatness), dua masalah yang berbeda dan terpisah satu sama lain. Dan apabila keduanya tidak ada, maka tidak akan terealisir satu pun kuiditas dari setiap makhluk. Entitas inilah yang menampakkan kuiditas pohon atau manusia dari tingkatan tiada (non-eksisten) beralih ke tingkatan ada (eksisten). Kalau tidak demikian, kuiditas itu sendiri tidak memiliki keterikatan pada alam luaran antara ada dan tiada, al-mahiyyah min haits hiya laisat illa hiya la maujudah wala ma’dumah” (kuiditas qua kuiditas tidak ada kecuali dirinya sendiri, tidak mengada juga tidak meniada). Dan sesuatu yang mengada dengan entitas dan meniada ketika tidak diberikan entitas merupakan bukti bahwa kuiditas tidak hakiki.
2. Tasykik al-wujud: Mulla Shadra memiliki keyakinan bahwa wujud-wujud eksternal, baik ia kuat atau lemah, sebab atau akibat, semuanya merupakan sistematika dari sebuah hakikat dan yang menjadi keragamannya adalah keseragamannya dan keseragamannya adalah keragamannya (ma bihi al-isytirak 'ain ma bihi al-iftirak wa ma bihi al-iftirak 'ain ma bih al-isytirak) bersumber dari satu genus yang disebut sebagai tasykik al-wujud (gradasi wujud). Sebagai misal -untuk memudahkan pemahaman- intensitas cahaya matahari dibandingkan dengan cahaya bulan, cahaya bintang dan cahaya lampu adalah lebih kuat dan yang belakangan adalah lebih lemah. Tetapi dengan keragaman cahaya yang ada, dari sisi intensitas, ia seragam dalam sebutan sebagai cahaya.
3. Besathat al-Wujud (simpelitas wujud); entitas merupakan sebuah realitas simpel. Ia tidak memiliki bagian dan bukan merupakan bagian dari sesuatu. Karena kita tidak memiliki sesuatu selain entitas.
4. Kriteria Perlunya Akibat kepada Sebab: Mulla Shadra memandang hubungan akibat kepada sebab merupakan sebuah hubungan faqri (amat sangat membutuhkan). Mengingat seluruh entitas dan identitas akibat diperoleh dari sebab maka akibat memiliki wujud relasional (wujud rabthi) dan tanpa adanya sebab, maka akibat tidak akan pernah ada. Ketergantungan akibat kepada sebab adalah ketergantungan yang bersifat absolut. Dan kita tidak dapat berharap banyak dari esensi akibat selain keterbatasan, kebutuhan, dan kefakiran.
Entitas sebagaimana yang telah dijelaskan merupakan sebuah realitas dan hakikat luaran, bergradasi, dan simple. Intensitas paling sempurna tingkatan entitas, yaitu tidak ada lagi tingkatan yang sempurna dan paling paripurna serta tidak bergantung dan berhajat kepada selainnya, maka entitas, tidak membutuhkan dari selainnya atau secara esensial membutuhkan dan berhajat kepada selainnya. Pada bentuk pertama, entitas tersebut disebut sebagai Wâjib al-Wujud (Wujud Mesti) yang merupakan puncak tingkatan kesempurnaan. Tidak terdapat cela dan ketiadaan pada dirinya. Pada bentuk kedua, mengingat entitas tersebut adalah bergantung dan berhajat maka ia tidak dapat disebut sebagai Wâjib al-wujud, lantaran secara esensial bergantung kepada wajib dan tidak bersifat subsisten, tidak mengada dengan sendirinya kecuali dengan perantara Wâjib al-wujud.[9]
Dengan ungkapan lain, apabila entitas, sesuai dengan konsep kehakikian wujud (ashalat al-wujud) tidak membutuhkan yang lainnya, maka gagasan ideal kita telah tercapai dan Wujud Mesti akan dapat ditetapkan. Namun apabila entitas secara esensial membutuhkan, maka dalam hal ini ia merupakan akibat dan secara esensial ia akan membutuhkan sebuah Entitas yang kaya secara esensial; karena realisasi sesuatu yang secara esensial fakir, berhajat, identik dengan ketergantungan dan merupakan wujud relasional, tanpa entitas mandiri, kaya dan paripurna, adalah mustahil.”[10]
Kiranya perlu diingat bahwa argumen ini dalam filsafat Islam merupakan salah satu burhan dan argumen yang paling kokoh dan paling kuat dalam menetapkan dan membuktikan keberadaan Tuhan.
Sebagaimana yang telah disebutkan, salah satu alasan mengapa ia disebut sebagai burhân shiddiqin adalah karena masalah ini, yaitu burhan dan argumen yang paling kokoh dan paling kuat dalam menetapkan dan membuktikan keberadaan Tuhan. Selanjutnya, kami akan menyebutkan beberapa keunggulan burhân shiddiqin atas argumen-argumen lainnya.
Beberapa Keunggulan Burhân Shiddiqin:
Mulla Shadra menjelaskan beberapa keunggulan burhân shiddiqin sebagaimana berikut ini:
1. Burhân shiddiqin merupakan burhan yang paling kokoh dan paling kuat. Berpijak di atas dalil-dalil yang kokoh dan memberikan tingkatan tertinggi derajat yakin dan determinasi.
2. Burhan ini merupakan burhan yang paling mulia, sublim, dan subtil dalam menetapkan keberadaan Tuhan; karena dengan bersandar pada hakikat entitas (wujud), manusia dibimbing kepada Wajib Ta’ala. Dan Entitas (di sini) adalah murni kebaikan dan sumber segala kebaikan. Sementara burhan-burhan ketuhanan lainnya, yang menjadi media dan perantara untuk menetapkan Tuhan adalah makhluk-makhluk yang berjalin berkelindan dengan ketiadaan dan kecacatan. Dari sisi sumber keberadaan, ketiadaan murni dan dari sisi sumber keburukan adalah keburukan murni yang merupakan tipologi makhluk.
3. Burhan paling simpel dan sederhana; karena untuk mengenal Tuhan (Wajib), sifat dan perbuatan-Nya tidak memerlukan media selain Tuhan sebagaimana burhan ini tidak memerlukan media lainnya dalam menggugurkannya dengan daur dan tasalsul.
4. Penggunaan imkan wujudi (kontingen entitas) atau faqr wujudi (kemiskinan entitas) yang merupakan tuntutan simpelitas dan kehakikian wujud. Berbeda dengan metode maktab Peripatetik yang menggunakan imkan dzati mahuwi (kontingen esensial kuiditas).
5. Berbeda dengan burhan-burhan lainnya, burhân shiddiqin memadai dengan sendirinya dalam mengenal zat Tuhan, mengenal sifat Tuhan, tauhid sifat, dan mengenal perbuatan-perbuatan Tuhan dan tauhid perbuatan.
6. Burhân Shiddiqin di samping menetapkan inti keberadaan Tuhan, juga meniscayakan penetapan dan pemaparan tauhid, ilmu, kudrat, iradah, subsistensi dan sifat-sifat mulia dan nama-nama indah Tuhan.[11]
Akhir kata, ada baiknya kita ketahui signifikansi burhân shiddiqin. Sublimitas burhân shiddiqin sejatinya berpijak dan berasandar pada sebuah hakikat irfani dan bukan semata-mata pikiran dan konsep. Sebagaimana yang dapat dipahami dari maksud shiddiqin di sini adalah orang-orang yang berargumentasi dan bernalar melalui jalan Tuhan atas selain Tuhan. Bukan selain Tuhan atas Tuhan; artinya keberadaan Tuhan bagi mereka sedemikian nyata dan tidak membutuhkan penalaran melalui jalan selain Tuhan, melainkan yang lain itu sendiri dipandang membutuhkan penetapan dan pembuktian. Tingkatan shiddiqin merupakan sebuah tingkatan yang tidak dapat dicapai oleh setiap orang. Hakikat dan sandaran keyakinan mereka adalah apa yang telah disebutkan. Dan tanpa sentuhan irfani, penalaran dan argumentasi ini hanya menjelaskan sebuah bentuk dari realitas keyakinan tersebut. Sebagaimana kegamblangan dan benderangnya pengertian wujud (wujud murni) hanya menunjukkan sebuah bentuk dari kemutlakan dan keyakinan hakikat wujud yaitu Tuhan. Kini dengan perbedaan di antara keduanya sebanding dengan perbedaan antara penalaran logis dan penyaksian yakini. Tentu hal ini tidak boleh diabaikan begitu saja. Karena itu, dalam jenis penjelasan shiddiqin (para imam dan arif) apakah jenis peringatan (tanbih) atau merupakan hasil dari penalaran-penalaran filosofis? Jawaban dari pertanyaan ini memerlukan ketelitian dan perenungan mendalam. Nampaknya filosof hanya melakukan uraian filosofis dari penjelasan irfani ini dan boleh jadi dengan menghapus prinsip-prinsip irfan, sehingga jenis penjelasan ini tidak mengandung muatan orisinilnya.
Di sini kami akan menyinggung beberapa contoh dari penjelasan para Imam Maksum As yang merupakan obyek nyata dan sempurna shiddiqin. Sabda-sabda ini menunjukkan bahwa irfan dan pengenalan terhadap Tuhan lebih utama bagi mereka daripada pengenalan terhadap makhluk Tuhan. Oleh karena itu, penjelasan mereka tentang Tuhan semakin nampak nyata, bahwa Tuhan di dalamnya sebagai yang utama dan bukan obyek majhul (tidak diketahui) yang harus ditetapkan melalui sosok makhluk atau orang lain. Di samping itu, mereka tidak sampai pada hakikat ini melalui burhan dan filsafat, melainkan dengan jalan menunjukkan Tuhan itu sendiri mereka mengenal Tuhan. Perbedaan subtil (halus, tidak kentara) antara penjelasan shiddiqin (para imam, arif dan wali Allah) dan penjelasan filosofis (para filosof) adalah bahwa melalui burhân shiddiqin yang telah ditunjukkan, dapat diidentifikasi bertitik tolak dari metode gnostikal yang telah dilalui untuk sampai pada hakikat:
1. Dalam sebuah riwayat Jatsliq bertanya kepada Imam Ali As, beritahulah kepadaku apakah engkau mengenal Tuhan melalui Muhammad atau mengenal Muhammad melalui Tuhan? Amirul Mukminin Ali As menjawab pertanyaan ini, “Aku tidak mengenal Tuhan dengan perantara Muhammad Saw, Aku mengenal Muhammad dengan perantara Tuhan.. sebagaimana Tuhan, mengilhamkan kepada malaikat ihwal ketaatan kepada-Nya, aku mengenal nabi buatan yang berada di bawah pemeliharaan Tuhan.”[12]
2. Imam Ali As pada kesempatan lain bersabda, “Aku melihat Tuhan sebelum melihat segala sesuatu.”[13]
3. Imam Husain As dalam doa Arafah berseru lirih, “Apakah selain-Mu memiliki penampakan yang tidak Engkau miliki sehingga selain-Mu menampakkan-Mu? Kapankah Engkau gaib sehingga memerlukan sebuah dalil yang menunjukkan-Mu? Kapankah Engkau menjauh sehingga melalui karya-Mu Aku sampai kepada-Mu? Butalah orang yang tidak melihat-Mu..”[14]
Di tempat lain, Imam Husain bersabda, “Engkau menampakkan diri-Mu pada segala sesuatu bagiku, sehingga Aku melihat-Mu nampak pada segala sesuatu. Maka Engkaulah penampak segala sesuatu yang ada.”[15] [IQuest]
[1]. Muhammad Muhammad Ridhai, Muqâyase bain-e Burhân Shiddiqin Falâsefe-ye Islâmi wa Wujud Syenâkhti Falâsafe-ye Gharb bar Itsbât-e Wujud-e Khudâ, Fashl Nâme Kalâmi Islâmi, Paiz, 1376 S, No. 23.
[2]. Muhammad bin Ibrahim Shadruddin Syirazi, al-Hikmah al-Muta’âliya fi al-Asfar al-‘Aqliyah al-Arba’ah, jil. 6, hal. 13, Cetakan Ketiga, Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, Beirut, 1981 M.
[3]. Ibnu Sina, al-Isyârat wa al-Tanbihât, hal. 97-98, Cetakan Pertama, Nasyr al-Balaghah, Qum, 1375.
[4]. Syaikh Isyraq, Hikmat al-Isyrâq, Henri Corbin, hal. 121, Cetakan Kedua, Muassasah Muthala’at wa Tahqiqat-e Farhanggi, Teheran, 1373 S.
[5]. Muhammad Daud Qaishari, Syarh Fushush al-Hikam, hal. 18, Cetakan Pertama, Intisyarat-e Ilmi wa Farhanggi, 1375 S.
[6]. Hakim Sabzewari, al-Ta’liqat ‘ala al-Syawâhid al-Rububiyah, hal. 461 dan 462, Cetakan Kedua, al-Markaz al-Jami’i Linasyr, Masyhad, 1360 S.
[7]. Allamah Thabathabai, Ushûl Falsafeh wa Rawesy Riyâlism, 76-86, jil. 5, Teheran, Intisyarat-e Shadra.
[8]. Asfar, jil. 6, hal. 13-14.
[9]. Asfar, jil. 6, hal. 14-16.
[10]. Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Ta’liqiyah Nihâyat al-Hikmah, hal. 413, Muassasah Dar Rah-e Haq, Qum, 1405 H.
[11]. Asfar, jil. 6, hal. 24-26.
[12]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 3, hal. 272, edisi 110 jilid, Muassasah al-Wafa, Beirut, 1404 H.
[13]. Sayid Abbas Ali Musawi, Syarh Nahj al-Balâgha, jil. 5, hal. 291, Cetakan Pertama, Dar al-Mahajjah al-Baidha, Beirut, 1376 S.
[14]. Bihâr al-Anwâr, jil. 64, hal. 143.
[15]. Ibid.